Bagian 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah beberapa hari aku sibuk dengan pekerjaan, mengabaikan pesan dan telepon dari Fandi. Aku lelah dengannya yang tanpa kepastian. Biarlah dia instropeksi diri dengan kelanjutan hubungan kita. Aku lelah meladeninya. Lebih baik aku fokus dengan usaha yang sedang kujalani. Aku seperti pengemis yang meminta kepastian darinya. Seharusnya dia yang mengemis meminta kepastian, bukan aku.

Konsentrasiku terpecah ketika pintu ruangan ini terbuka. Alma tiba di ruangan ini. Aku kembali menatap layar lapto.

"Tumben lo sudah datang jam segini." Alma membuka suara, duduk di kursi kerjanya.

"Sudah siang kali, Al. Lagian gue lagi jenuh saja di rumah." Aku membalasnya.

"Hari libur nggak jalan-jalan sama Fandi?" tanya Alma.

Aku memutar bola mata jengah. Kenapa pula Alma sebut nama itu orang. Bikin aku jadi makin bad mood saja.

"Jangan sebut dia. Gue lagi sebal sama dia," ucapku dengan nada sebal.

"Ada apa, sih? Kok kedengarannya seperti lagi ada prahara?" Alma menebak.

"Kalau menurut lo, Fandi sudah cukup belum buat nikah?" tanyaku.

"Kok lo tanya gue? Kenapa nggak tanya langsung sama dianya? Dia pacar lo, bukan pacar gue." Alma tanya balik.

Aku menatap Alma kesal. "Gue nanya lo, Al. Gue butuh pendapat. Gue sudah nanya langsung ke orangnya, tapi jawaban dia belum siap. Katanya masih ingin nambah tabungan buat nikahin gue."

"Ya, elo ngertiin dia, mungkin memang tabungan dia belum cukup buat nikahin elo." Alma membalas santai.

"Gue nggak minta dinikahi langsung, minimal dia lamar gue gitu, tapi dia tetap nunggu tabungannya cukup. Sedangkan Rio, dia yang maksa buat lamar lo. Sedangkan hubungan gue sama Fandi sebaliknya sama hubungan lo dengan Rio. Coba lo pikir." Aku mengeluarkan uneg-uneg pada Alma.

Alma terdiam memikirkan ucapanku. Salah nggak kalau aku ngomong seperti itu sama Alma? Aku rasa, Fandi memang nggak serius hubungan sama aku. Ke arah serius pun nggak. Sedangkan Mama selalu menanyakan hubungan aku sama Fandi.

Deringan ponsel menggema. Aku menghela napas, kembali menatap laptop yang menampilkan desain gambar untuk sampel kaus. Aku kembali sibuk pada laptop sambil mendengarkan Alma yang sedang asyik ngobrol dengan temannya. Perhatianku terusik ketika dia menyebut nama 'Bara'. Aku memang penasaran dengan sosok laki-laki satu ini. Seperti apa dia. Alma selalu memujinya di depanku. Katanya, kalau dia belum punya Rio, mungkin akan terus jatuh cinta pada Bara. Gila itu anak. Kalau Rio tahu bisa kelar hidupnya.

"Sar, Bara minta ketemu sama kita masalah clothing. Mumpung dia libur. Lo bisa nggak ketemu buat hari ini sekalian makan siang gitu?" tanya Alma.

"Atur saja, gue bisa kok hari ini. Mumpung gue lagi stres, butuh hiburan." Aku membalas datar.

Tawa Alma menggema. "Gue baru lihat lo stres berat begini. Ya sudah, gue kasih kabar Bara dulu kalau kita bisa ketemu dia hari ini," balasnya senang. Senang ngeledek aku yang lagi kesal.

Ponsel kuraih di atas meja karena mendapati panggilan masuk dari Fandi. Sengaja aku modus diam biar nggak diganggu dia. Aku masih kesal dengannya. Biasanya kalau libur seperti ini dia ngajak aku jalan, tapi pekan ini aku malas bertemu dengannya sampai dia ada kepastian. Aku kasih waktu buat dia berpikir. Beberapa pesan dari Fandi pun masuk.

From: My Fandi
Kamu sibuk?
Kenapa teleponku nggak diangkat?
Aku rindu kamu, Sar.

Aku sudah nggak percaya sama kata-kata manismu sampai kamu datang ke rumah dan mengutarakan niat keseriusanmu padaku.

To: Fandi
Iya.
Aku sibuk.

Ponsel kembali kuletakkan di atas meja setelah membalas pesan dari Fandi. Laptop kembali menjadi pusat perhatianku. Nggak peduli kalau Fandi sudah balas pesanku.

☆☆☆

Setibanya di lokasi, aku dan Alma masuk ke dalam restoran yang cukup asing bagiku. Ini tempat rekomendasi temannya Alma, Bara. Lokasinya nggak jauh dari distro. Aku dan Alma menghampiri meja yang masih kosong. Kami memilih tempat lesehan. Tempat ini cukup ramai. Aku pun duduk setelah meletakkan tas laptopku di atas meja. Alma menyuruhku membawa laptop untuk kepentingan mengenai Bara.

"Mana orangnya?" tanyaku pada Alma karena yang bersangkutan nggak ada. Dia yang mengajak ketemu, tapi malah dia yang terlambat.

"Ada. Katanya sih sudah datang, tapi kok nggak ada." Alma menatap sekitar.

Kedua bahu kuangkat, lalu mengeluarkan laptop dari dalam tas, kuletakkan di atas meja.

"Aku ke toilet dulu ya, Sar." Alma izin.

Anggukan kepala kuberi, masih menatap layar laptop. Alma sudah pergi dari hadapanku untuk ke toilet. Aku sibuk dengan desain karakter untuk sablon sweter.

"Assalamu'alaikum."

Peehatianku dari laptop teralih ketika ada orang yang menyapaku dengan salam. Persis di depanku. "Wa alaikum salam," balasku sambil mengangkat kepala.

Penampilan laki-laki itu mencuri perhatian, membuatku menatapnya dari bawah hingga atas. Tatapanku berhenti pada wajahnya. Tampan. Dia masih menunduk.

"Saya Bara, teman SMA Alma." Dia mengenalkan diri.

Aku beranjak dari tempat duduk, mengulurkan tangan padanya. "Aku Sarah, teman kuliah sekaligus teman bisnisnya."

Dia menatapku, lalu menangkupkan kedua tangan di dada. Tangan segera kutarikkarena malu, lalu mengangguk lemah. Aku pun kembali duduk.

"Afif!" serunya pada seseorang.

Seorang pelayan restoran ini terlihat menghampiri kami. Di saat yang sama Alma pun sudah kembali dari toilet.

"Bara." Alma menyapanya yang sedang berbicara pada pelayan restoran ini.

Mereka terlibat obrolan ringan seputar pertemanan mereka sedangkan aku hanya menjadi pendengar setia. Lebih baik aku kembali pada duniaku, menatap laptop. Tak lama, Alma pun duduk di sampingku. Aku masih sibuk pada layar laptop. Dia bertanya padaku mengenai munuman apa yang akan kupesan dan aku membalasnya seperti biasa.

"Sar. Ini loh yang namanya Bara." Alma mengenalkan Bara padaku.

Dia nggak tahu kalau tadi aku sudah kenalan dengan Bara. Aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Lebih tepatnya aku malu dengan Bara gara-gara nggak jadi jabat tangan tadi.

"Tadi kita sudah kenalan." Bara membalas.

"Pantas saja lo cuma diam, ternyata sudah kenalan." Alma menyenggol bahuku.

Senyum kutahan, masih menatap laptopku tanpa ingin membalas Alma. Rasanya masih canggung pada Bara. Dia benar-benar agamis. Ngobrol sama Alma saja dia halus banget dan jaga pandangan. Benar-benar saleh.

Aku terkesiap ketika Alma mencubit pelan lenganku. Pandangan kulempar ke arah Alma. Aku paham dengan maksudnya. Laptop kututup untuk fokus.

"Sebenarnya, aku malu mau minta bantuan sama kamu, tapi cuma kamu teman dekat aku dan tahu mengenai hal ini." Bara memulai obrolan.

"Nggak apa-apa. Aku malah senang bisa bantu. Benar kan, Sar?" Alma membalasnya.

"Iya," balasku singkat dengan senyum tipis.

"Alhamdulillah. Aku bersyukur banget kalian mau bantu." Bara terlihat bahagia.

"Untuk selanjutnya. Kamu bisa tanya langsung ke Sarah masalah bahan kaos dan desain seperti apa yang kamu inginkan. Sarah ahlinya dan dia tahu semuanya mengenai spesifik bahan dan bahan sablonnya." Alma menambahi.

Jadi Alma membebankan masalah ini ke aku? Kenapa nggak dia langsung yang menjelaskan ke Bara mengenai spesifikasi bahannya. Bukannya dia yang niat banget buat bantu Bara.

Obrolan terjeda karena minuman dan makanan yang kami pesan tiba. Kuraih ponsel dari dalam tas untuk memastikan benda itu. Pasti banyak pesan menumpuk dari Fandi. Benar. Beberapa panggilan dari Fandi masuk. Pesan pun menumpuk.

From: Fandi
Kamu di mana?
Aku ke distro, tapi nggak ada.
Kata Jasmin, kamu pergi sama Alma?
Ke mana?
Aku mau bertemu kamu.

Aku menghela napas melihat pesan Fandi. Kuketik balasan untuknya.

To: Fandi
Iya, aku sama Alma.
Aku lagi sibuk masalah pekerjaan.
Nggak usah menemui aku dulu.

Ponsel kuletakkan di atas meja. Kudengar obrolan Alma dengan Bara mengenai restoran ini, jika restoran ini milik  orang tua Bara. Pantas aku merasa ada yang ganjal dengan perlakuan pelayan pada Bara. Seperti kenal satu sama lain.

"Sar." Alma menegurku.

Gumaman kuberikan sambil menikmati makanan yang tersaji.

"Gimana masalah spesifikasi bahannya dan masalah sablon?" tanya Alma.

Gelas berisi minuman segera kuraih, lalu menyesap isinya. Kuletakkan kembali gelas itu pada tempatnya. Aku meraih laptop dan membukanya. Kubuka mengenai daftar bahan dan desain kaus yang tersimpan di laptop. "Ini spesifikasi bahan dan desainnya. Kamu tinggal pilih mau yang mana sudah ada daftar harganya." Aku memberikan laptop pada Alma. Alma menunjukannya pada Bara. "Untuk sablon, kamu tinggal tunjukkan saja karakter apa yang ingin kamu pakai untuk kausnya." Aku menambahi.

"Dia minta dibuatkan karakternya yang berhubungan dengan Palestina. Lo kan bisa bantu buatkan. Untuk masalah kaus, dia sedang pikirkan. Nanti dia hubungi lo lewat WA." Alma mewakili.

Aku lagi? Kenapa nggak lo aja sih, Al? Kenapa kudu gue? Ribet amat dah!

"Gimana?"

Perhatianku teralih. Tatapan kulempar ke arah Alma. "Iya, gue bantuin. Tapi gue lihat contohnya seperti apa karakter yang Bara inginkan. Mengenai Palestina kan banyak." Aku membalas malas.

"Insya Allah nanti aku kirim contohnya," timpal Bara.

Anggukan kembali kulakukan, lalu kembali fokus pada makanan yang ada di hadapanku. Aku belum pernah makan makanan ini. Ini makanan khas Timur Tengah. Hanya aku dan Alma yang makan. Bara katanya sedang puasa.

Obrolan pun berlanjut. Kali ini membahas mengenai harga. Untuk masalah ini, aku menyerahkan sepenuhnya pada Alma karena ini tugas dia. Aku hanya menyimak dan sesekali memerhatikan Bara yang sedang berbicara.

Dia dokter, hafidz Quran, pintar, baik, ditambah tampan dan tinggi pula. Pantas saja Alma jatuh hati akut sama Bara. Ternyata Bara memang tampan. Rio kalah dengannya. Apalagi Fandi. Pasti pacar Bara lebih cantik dari yang kubayangkan. Beruntung banget cewek itu punya pacar sempurna seperti Bara.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro