Bagian 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku menatap sekilas laki-laki yang ada di sampingku saat ini dengan ekor mata. Masih tak tahu kelanjutan hubungan kami akan seperti apa. Dia yang tak pernah membicarakan keseriusan hubungan kami ke depannya. Aku sudah berulang kali menanyakan hal itu, tapi dia selalu mengalihkan topik itu atau beralasan jika dia ingin sukses terlebih dahulu pada karirnya. Bagiku, sudah cukup apa yang dia miliki saat ini. Dia sudah punya apartemen, pekerjaan, mobil, penghasilan cukup dan tetap. Apalagi yang dia tunggu? Bahkan selama satu tahun ini dia belum pernah mengenalkan aku pada orang tuanya. Aku bingung dengan hubungan ini. Seriuskah dia dengan hubungan kami? Sampai kapan akan terus seperti ini? Kenapa aku begitu mengharapkannya?

"Kamu mau langsung pulang atau ke distro dulu?"

Aku tak menatapnya, fokus ke luar kaca mobil. "Ke distro. Alma nunggu aku di sana," balasku cuek. Tatapanku masih pada awan yang menampakkan kemendungannya, sama seperti hatiku, galau.

"Bagaimana perkembangan distro kamu? Aku lihat akhir-akhir ini sepi?" Dia masih berusaha mengajak aku untuk mengobrol di sela menunggu kemacetan.

Jika saja dia tahu kalau penghasilanku lebih banyak via online ketimbang di distro. Dia hanya melihat usahaku dari luarnya saja tanpa tahu pemasaranku di media sosial. Kurang peka.

Entahlah. Sejak pulang dari menemaninya mencari jas di pusat perbelanjaan, mendadak aku kesal dengannya karena dia menyepelekan hubungan kami. Aku dan dia menjalin hubungan bukan hanya sebulan atau dua bulan, melainkan sudah lebih dari satu tahun. Wajar jika aku meminta kepastian darinya. Sampai kapan dia akan menggantungkan hubungan kami seperti ini? Aku butuh kepastian darinya, bukan hanya janji manis belaka sampai dia sukses. Aku rasa dia sama saja seperti laki-laki lain yang hobi mengobral janji manis.

"Apa ada masalah?"

Perhatianku teralih. Kugelengkan kepala untuk menanggapinya. Malas.

"Lalu?" Dia memastikan.

Aku menghela napas. "Apa hubungan kita akan terus seperti ini?" tanyaku. Sudah ke sekian kalinya aku menanyakan hal ini.

"Maksud kamu?" Dia bertanya balik.

"Kita sudah pacaran lebih dari satu tahun, Fan. Apa kamu nggak ada niatan buat ngenalin aku ke orang tua kamu? Aku butuh kepastian dari kamu mengenai hubungan kita. Apa kamu nggak ada niatan buat nikahin aku?" Aku to the poin padanya. Geram.

"Sarah. Aku pasti akan nikahi kamu. Kamu harus sabar sampai aku dapat tabungan yang cukup buat acara menikah kita. Aku nggak mungkin nikahi kamu sekarang karena tabungan aku masih belum cukup. Menikah butuh dana banyak. Mengenai pertemuan dengan orang tua, aku rasa itu lebih baik nanti ketika kita akan menikah dengan kamu. Kamu tahu, tempat kelahiranku jauh di sana." Fandi beralasan.

Memilih tak membalas. Dia selalu banyak alasan untuk menjawab pertanyaanku. Aku tak mengerti apa yang dia sedang rencanakan. Aku selalu menunggu kapan dia akan mengenalkan aku dengan orang tuanya atau dia akan membicarakan keseriusan hubungan kami. Apa dia sudah tidak mencintaiku?

Aku kembali menghela napas. Kupejamkan mata sesaat. Kulihat langit dari balik kaca terlihat semakin gelap. Rintik hujan pun mulai turun. Aku sudah hampir tiba di distro.

"Aku turun di sini saja." Aku mengintruksi.

"Biar aku putar balik saja sampai distro." Fandi membalas.

"Nggak usah, nanti kamu puter baliknya lagi jauh. Aku nggak apa-apa kalau turun di sini. Lagian sudah dekat, tinggal nyebrang." Aku kukuh pada keinginanku.

"Ya sudah." Fandi menyahut singkat.

Mobil ini pun berhenti di depan masjid. Rintik hujan mulai turun. Aku membuka pintu mobil dan berpamitan pada Fandi. Dia hanya mengangguk. Aku menutup kembali pintu mobil. Fandi melajukan mobilnya. Aku hanya bisa menatap kepergian Fandi dan mobilnya. Rintik hujan semakin deras. Aku bergegas mencari tempat teduh dan hanya masjid di belakangku yang lebih dekat. Aku berjalan setengah berlari untuk segera sampai di masjid agar terhindar dari rintikan air hujan. Aku mengibas pakaian karena basah terkena rintik air hujan ketika tiba di teras masjid. Waktu salat zuhur sudah berlalu jadi tempat ini sudah sepi. Aku berjalan menuju arah kamar mandi karena aku merasa ingin buang air kecil.

Langkahku terhenti ketika ketika indra pendengaranku menangkap samar suara lantunan ayat suci. Aku mengabaikan suara itu karena bisa saja itu murotal MP3. Ketika aku keluar dari dalam kamar mandi selesai menunaikan hajat, suara itu masih kudengar, bahkan lebih jelas dari sebelum aku masuk ke dalam kamar mandi karena suara hujan terdengar mereda. Rasa penasaran menghantui pikiranku. Perlahan langkahku mengikuti suara lantunan itu.

Lantunan itu terdengar merdu dan sangat fasih. Mataku menyusuri setiap ruangan yang ada di dalam masjid ini. Dan langkahku terhenti ketika kudapati sosok laki-laki pelantun ayat-ayat suci Quran sedang duduk membelakangiku di bawah coran tiang. Aku penasaran pada sosok laki-laki itu.

Siapa dia? Suaranya sangat merdu. Makhraj dan tajwidnya sangat pas. Aku sering ke sini, tapi kenapa baru aku lihat dia di sini? Apa dia musafir? Atau jamaah baru di masjid ini?

Deringan ponsel membuyarkan pikiranku. Aku merogoh tas untuk meraih benda pipih itu. Kugeser layar ke warna hijau, lalu menempelkan benda itu ke telinga.

"Iya, Al." Aku menyapa seseorang yang menghubungiku. Dia sahabatku, Alma.

"Kamu di mana, Sar?" tanya Alma

"Aku masih di masjid dekat distro. Kenapa, Al?" tanyaku

Ya. Salma adalah teman dekatku. Aku dan dia bekerja sama merintis distro sejak dua tahun lalu. Aku dan dia janjian di distro untuk membahas masalah distro.

"Aku sudah di distro, Sar. Cepat ke sini. Lagian hujannya sudah reda." Alma melanjutkan.

"Iya. Aku ke sana sekarang." Aku membalas.

Setelah membalas Alma, aku mematikan sambungan telepon kami. Aku memasukkan ponsel ke dalam tas dan akan berlalu, tapi langkahku terhenti ketika mengingat laki-laki pelantun ayat suci yang kudengar tadi. Aku membalikan tubuh untuk memastikan laki-laki itu. Hening. Sepi. Aku mencari sosok laki-laki yang tadi duduk di bawah tiang, tapi kini sosok itu tak ada di tempat yang aku lihat.

Ke mana dia? Perasaan tadi masih ada di sana. Kenapa tiba-tiba nggak ada? Apa aku salah lihat? Tapi tadi benar-benar ada di sana. Ah, sudahlah. Mungkin dia sudah pergi. Lebih baik aku pergi dari sini karena Alma sudah menungguku di distro.

Aku melangkahkan kaki untuk keluar dari masjid. Langkahku terhenti sebelum meninggalkan masjid. Aku menoleh ke dalam masjid. Hatiku berharap, semoga aku masih bisa menjumpai suara itu ketika kembali menginjakan kaki di masjid ini.

Aku pun berlalu meninggalkan masjid untuk menuju distro. Napasku naik turun setelah tiba di teras distro. Aku masuk ke dalam. Kulihat Alma tidak ada di tempat ini.

Bukannya dia tadi bilang sudah sampai distro? Kenapa sekarang nggak ada? Apa dia pergi?

Aku menghampiri Jasmin. "Min, kamu lihat Alma? Tadi dia bilang sudah sampai sini?" tanyaku pada Jasmin, karyawati distro.

"Iya, Mbak. Tadi Mbak Alma sudah datang, tapi beliau baru saja keluar, katanya mau ketemu sama temannya." Jasmin membalasku.

Aku mengangguk, kembali masuk ke dalam ruanganku dan Alma. Aku meraih ponsel untuk mengirim pesan pada Alma jika aku sudah tiba di distro.

To: Alma
Al, lu di mana?
Gua udah di distro nih.

Aku meletakkan ponsel di atas meja sambil menunggu balasan pesan dari Alma. Kubuka komputer untuk melihat pemasukan hari ini dan mengecek desain kaus yang akan kugarap untuk keluaran edisi bulan depan. Aku tenggelam pada layar komputer.

Perhatianku teralih ketika pintu ruangan ini berdecit. Kulihat Alma masuk ke dalam ruangan ini sambil mengucapkan salam. Aku membalas salamnya. Dia duduk di kursi kerjanya.

"Lo nggak baca WA gua?" tanyaku padanya.

"Lo kirim WA?" Dia tanya balik.

Aku memutar bola mata jengah. Dia nyengir merasa tak bersalah. Aku kembali menatap layar komputer.

"Tadi gue habis ketemu Bara. Sayangnya dia nggak bisa mampir karena ada pasien dadakan mau dioperasi. Ini yang mau gue ceritain sama elo, Sar." Alma bercerita.

Aku menatap Alma. Dia terlihat datar.

"Bara siapa?" Aku merasa penasaran.

"Temen SMA gue. Dia minta bantuan ke gue mengenai bahan kaus dan tempat sablon yang murah buat galang dana untuk aksi kemanusiaan warga Palestina." Alma melanjutkan.

"Terus?" Aku masih penasaran dengan kelanjutan cerita Alma.

"Ya, gue mau bantuin dia. Niat dia udah baik, kenapa gue nggak mau bantu? Gue miris aja dengar cerita dia. Lo tau kan, selama ini itu negara nggak ada ujungnya polemik masalah penindasan. Dia semangat buat galang dana untuk saudara-saudara muslim kita di sana yang tertindas. Wajar. Dia berusaha keras buat bantu negara di mana dia lahir." Alma menjelaskan panjang lebar.

"Dia orang Palestina?" tebakku.

"Yups. Dia lahir di Palestina. Orang tua dia asli sana. Tapi ayah dia meninggal karena tembakan rudal Israel secara berturut-turut saat dia masih balita. Akhirnya ibu dia dinikahi jurnalis Indonesia yang saat itu bertugas di sana. Diboyonglah ibunya ke Indonesia bersama Bara." Alma menambahi.

Aku hanya mengangguk-angguk. Pikiranku langsung tertuju pada postingan di media sosial mengenai negara yang mengalami penyiksaan itu. Banyak warga Palestina yang teraniaya. Bukan hanya warga asli sana saja, tapi banyak relawan jadi sasaran keji zionis. Apa aku harus bantu teman Alma itu?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro