Bagian 9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Libur sehari terasa seperti nggak libur, cepat banget berlalu. Hari ini terpaksa sudah harus kembali ke distro. Mana Alma belum ada kabar mau masuk kapan. Enak banget yang lagi bulan madu, menikmati masa pengantin baru. Aku cuma ngiler lihat pengantin baru yang lagi asyik berduaan menikmati waktu libur, seakan dunia milik mereka berdua, dan yang lainnya ngontrak. Haduh. Nasib amat, sih, ya kaum jomlo.

Deringan ponsel menggema, membuat pikiran buyar serta mengalihkan perhatianku. Langkah kuayun untuk mengampiri ranjang, meraih benda pipih itu. Panjang umur. Baru saja diomongin dalam hati, eh, nongol dia. Jangan-jangan ini orang kangen sama aku. Eh, ada apa dia telepon aku? Bukannya dia lagi bulan madu?

Suara salam terdengar dari seberang sana saat aku menempelkan HP pada telinga. Aku pun menjawab salamnya.

"Panjang umur, lo. Baru aja gue ngomongin lo dalam hati," lanjutku.

"Lo kangen ya sama gue," ledeknya.

Tas di atas meja segera kuraih, menyampirkannya di bahu. "Iya, gue kangen lo karena nggak ada lo kerjaan gue numpuk banget. Kapan lo mulai ke distro? Gue udah nggak betah ngerjain semuanya sendiri."

"Rencana sih hari ini gue mau ke distro sama suami. Ada yang mau gue omongin sama lo. Lo sudah di distro?" tanyanya.

Aku menutup pintu kamar. "Ini gue lagi jalan mau ke distro. Emang ada apa? Bukannya lo lagi honeymoon di Bandung?" tanyaku penasaran.

"Udah balik kali. Nanti kita omongin di sana. Gue siap-siap dulu," lanjutnya.

"Ya sudah, kita ketemu di sana," balasku mengakhiri.

Setelah obrolan dengan Alma selesai, aku memasukan ponsel ke dalam tas. Paling yang mau dia omongin masalah kerjaan. Lebih baik aku cepat ke distro buat rapi-rapi. Seminggu nggak ada Alma, ruangan berantakan karena aku males beresin. Kalau Alma tahu, dia bisa ngomel dan bikin aku pusing. Lebih baik aku segera ke distro sebelum Alma datang duluan. Sebenarnya, bisa saja aku suruh jasmin beresin, tapi aku dan Alma konsisten nggak bolehin karyawan masuk ke dalam ruangan kami kecuali ada kami di sana. Sebelum ke distro, aku harus pamit dulu sama Mama dan Papa.

"Ma, Sarah ke distro, ya." Aku pamit pada Mama yang sedang asyik di dapur.

"Iya, hati-hati," balas beliau tanpa menatapku, sibuk dengan pekerjaannya.

Setelah pamit, aku meninggalkan dapur untuk menuju luar, pamitan sama mentri utama. Papa terlihat sedang sibuk mengurus tanamannya. Senang rasanya lihat kedua orang tua ada di rumah. Mama jadi nggak kesepian karena ada Papa. Kebetulan, sudah beberapa hari ini Papa nggak kerja. Biarlah, mungkin beliau ingin istirahat dan menikmati masa berdua dengan istri tercinta. So sweet. Aku jadi laper. Eh, baper.

"Pa, Sarah ke distro, ya." Aku pamit pada Papa.

"Iya, hati-hati," balas Papa tanpa mengalihkan pekerjaan, sama seperti Mama. Nggak tahu kenapa mereka jadi kompak begini.

Motor yang biasa aku naiki buat ke distro sudah ada di halaman rumah. Senang rasanya motorku jadi bersih karena dicuci sama Papa. Pengertian banget beliau sama anak gadisnya yang malas bawa motor ke tempat steam. Sebenarnya, mobil Papa ada di garasi, tapi sekarang aku lebih suka naik motor karena lebih cepat. Kalau pakai mobil yang ada kena macet dan bikin lama. Aku segera meninggalkan halaman rumah untuk menuju distro. Jam segini jalanan sudah cukup lenggang. Lagian distro sendiri, ngapain pagi-pagi datang ke sana, dan di sana juga sudah ada Jasmin dan yang lain. Biasanya aku dan Alma ke sana kalau ada yang mau dibahas, baik masalah distro atau kita saling curhat. Ke distro cabang juga jarang.

Nggak sampai setengah jam, aku tiba di distro. Sesaat, aku terdiam di atas motor ketika melihat sebuah mobil terparkir di depan distro. Mobil yang sangat nggak asing.

Bara? Bukannya dia seharusnya sudah terbang ke Palestina? Kenapa dia masih di Indonesia? Ada apa dia datang ke sini?

Deringan ponsel membuat pikiranku buyar. Aku segera merogoh tas, meraih HP di dalam sana. Nama Alma menghiasi layar HP-ku. "Lo di mana?" tanyaku setelah telepon tersambung.

"Assalamu'alaikum," balasnya mengawali salam.

"Wa alaikumussalam." Aku hanya tersenyum getir tanpa dia bisa lihat.

"Gue lagi di jalan. Sepuluh menit lagi sampai."

"Lo janjian sama Bara mau ke sini? Ini dia sudah datang."

"Iya, aku janjian sama dia mau ketemu di distro. Tunggu aku, ya," imbuhnya.

"Ya sudah, aku masuk dulu, ya." Aku pamit.

Sambungan telepon terputus. Aku menatap layar HP dengan tatapan bingung karena sambungan telepon mati tiba-tiba. Ya sudah, mungkin pulsa Alma habis. Lebih baik aku masuk ke dalam.

"Siang, Jas." Aku menyapa Jasmin ketika memasuki distro.

"Siang juga, Mbak Sarah," balasnya.

Saat aku akan melangkah menuju ruang kerja, Jasmin menggerakkan jempol di dada, menunjuk ke arah lain, membuat aku menaikkan kedua dahi. Aku memang pura-pura sengaja nggak tahu kalau ada Bara di sini. Dia datang ke sini bukan buat aku, tapi buat ketemu Alma.

"Apa kabar, Sar?" tanya seseorang dari belakang tubuhku.

Tubuh kubalikkan perlahan, lalu mendapati sosok Bara berdiri tak jauh dari posisiku saat ini. Selalu. Aku selalu merasa hilang kesadaran kalau sudah di depan dia.

"Mbak Sarah."

"A-aku baik," balasku gugup. Merutuki diri sendiri karena nggak fokus.

Bara hanya tersenyum tipis sambil mengamgguk lemah.

"Alma tadi telepon aku kalau dia masih di jalan. Mungkin lima menit lagi sampai," lanjutku menyampaikan.

"Iya," balasnya singkat.

"Mau nunggu di dalam atau mau lihat-lihat dulu di sini? Aku mau masuk ke ruangan kerja." Aku menawarinya.

"Oh, silakan kamu duluan masuk. Aku nunggu Alma di sini saja sambil lihat-lihat."

"Oh, iya." Aku menganggukkan kepala, berlalu dari hadapannya untuk menuju ruangan kerja.

Tas kuletakkan di atas meja setelah masuk ke dalam ruang kerja, lalu muali beraksi merapikan meja kerjaku yang berantakan. Apalagi Bara mau masuk ke sini, jadi jangan sampai meja kerjaku merusak mengotori mata dan pikirannya. Meja kerja Alma biar dia bereakan sendiri. Lagian meja kerja dia nggak begitu berantakan.

Suara pintu terbuka dan salam menggema, membuat konsentrasiku buyar. Balasan salam segera kuucapkan. Untung saja aku sudah selesai merapikan meja sebelum Alma masuk. Aku masih duduk di kursi kerja sambil pura-pura sibuk menatap layar laptop.

"Lo udah lama sampai?" tanya Alma.

"Baru sepuluh menit yang lalu," balasku tanpa menatapnya, masih pura-pura sibuk sama layar laptop.

"Sudah makan?" tanyanya lagi.

Pandangan kualihkan padanya. Ternyata dia masuk ke sini sendirian. Mungkin Rio di luar sama Bara.

"Lo mau traktir gue makan?" tanyaku balik.

"Ya sudah, gue traktir makan sekarang sekalian ada yang mau gue omongin," ajaknya.

"Sekarang? Seriusan? Bara?" Aku menatapnya bingung.

"Sekalian sama dia."

Ini gimana, sih? Bukannya mau ngomongin masalah kaus lagi? Kenapa nggak di sini saja ngomonginnya?

"Sar!"

Seruan Alma membuat barisan kata di otakku jadi bubar. Dia terlihat sudah berdiri di depan pintu sambil menatapku, sedangkan tangannya sudah menyentuh handel. Aku segera menutup laptop, memasukkan HP ke dalam tas, lalu beranjak dari kursi. Setelah memastikan nggak ada yang tertinggal, aku mengikuti Alma. Sosok Bara sudah nggak ada di distro saat aku keluar dari ruang kerja dan mengedarkan pandangan. Apa dia sudah di mobil sama Rio?

Setelah pamit pada Jasmin, kami bergegas keluar, lalu masuk ke dalam mobil. Sesuai dugaan, Rio dan Bara sudah duduk di depan. Aku dan Alma segera masuk ke dalam mobil bagian penumpang. Seperti biasa, aku selalu memerhatikan pakaian yang dikenakan Bara. Nggak jauh beda dari sebelumnya. Dia terlihat santai, hanya mengenakan celana jins dan kaus yang terlapisi jaket. Dia pakai apa saja cocok. Ganteng.

"Apa kabar, Sar?"

Sapaan dari Rio bikin aku terkesiap. Aku terkesiap. Lebih tepatnya untuk membuka obrolan karena sejak mobil ini bergerak suasana hanya hening.

"Baik, Kak," balasku singkat sambil tersenyum ramah.

Rio hanya mengangguk sambil tersenyum. Fokus lagi sama setir.

"Kita mau makan di mana?" tanya Alma.

"Maunya di mana? Aku ikut saja." Rio menimpali.

"Bar. Ada tempat rekomendasi?" Alma melempar ke Bara.

"Aku juga ikut saja, mana yang kalian suka." Bara membalas.

"Sar?" Alma melempar ke aku.

"Kok aku? Yang mau ngajak makan siapa?" Aku tanya balik.

Sudah tentu Alma bingung. Nggak ada yang mau kasih rekomendasi tempat makan. Akhirnya dia pasti turun tangan sendiri. Lagian aneh juga, sih. Dia yang mau ngajak makan, tapi malah belum nentuin tempat. Dasar pengantin baru.

"Ya sudah, kita ke Omah Resto. Di sana lebih nyaman dan asri. Gimana?" Alma akhirnya menemukan tempat buat makan.

Semua kompak setuju, karena dari awal sudah pasrah mau makan di mana saja, asal jangan di bawah jembatan. Mobil ini pun meluncur ke lokasi. Aku belum pernah ke sana. Mungkin Alma sudah. Dia pecinta kuliner, jadi nggak heran kalau banyak tahu mengenai restoran atau tempat makan yang enak dan nyaman.

Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam, kami tiba di lokasi. Tempatnya cukup nyaman. Banyak tanaman hias di sudut ruangan. Kami menghampiri meja yang kosong. Aku duduk di bagian sudut agar bisa dekat dengan tanaman. Melihat tanaman, aku jadi ingat Papa. Alma duduk di sampingku. Bara ke toilet, sedangkan Rio mengambil buku menu.

"Al. Bukannya Bara pekan ini harusnya sudah di Palestina? Kok masih belum berangkat?" Aku memulai obrolan dengan Alma.

"Ditunda, Sar. Keadaan di sana lagi nggak memungkinkan katanya. Umi Maryam juga khawatir," balas Alma santai.

Oh, ternyata ditunda. Wajar sih kalau ibunya khawatir karena di sana memang keadaannya horror kalau lagi gencatan.

"Kalian mau pesan apa?" tanya Rio. Meletakkan buku menu di atas meja.

Nggak selang lama Bara juga tiba, lalu duduk di depan aku, hanya terhalang meja. Aku seketika membetulkan posisi duduk untuk menjaga imej di depannya. Kenapa dia harus duduk di depan aku? Duh, mana posisi kursi semuanya seperti ini. Aku bakal salah tingkah di depan dia. Gimana ini?

"Kamu mau pesan apa, Sar?" Alma bersuara.

Buku menu di atas meja segera kuraih, lalu membukanya untuk menyusuri menu apa saja yang disajikan restoran ini. Setelah menemukan menu yang cocok, aku mengungkapkan pesanan pada karyawan restoran yang siap mencatat. Setelah aku, giliran Bara yang mengungkapkan pesanan. Aku benar-benar merasa risih duduk di depan Bara. Enak banget dia bisa santai dan cuek sedangkan aku nggak bisa.

"Gimana tempatnya?" tanya Alma setelah selesai memesan makanan.

"Bagus." Bara memberi komentar.

"Sar?" Alma meminta pendapatku.

"Lumayan," timpalku.

Obrolan berlanjut menjadi santai. Aku hanya menyimak tanpa ingin ikut berkomentar karena topik yang sedang mereka bicarakan adalah mengenai Bara. Terutama mengenai negara kelahirannya. Bukan aku nggak suka, tapi merasa jenuh saja karena nggak ada kesempatan buat komentar.

"Kita mulai saja obrolan seriusnya."

Kenapa nggak dari tadi? Aku cuma nunggu obrolan seriusnya.

"Sar. Sebelumnya gue minta maaf ke elo."

Kalimat itu sontak bikin aku menatap Alma. Emang dia berbuat salah sama aku sampai minta maaf? Aku jadi bingung.

"Kamu serius ingin punya suami seperti Bara?"

Pandangan kini kualihkan pada Rio. Pertanyaan itu datang darinya. Kenapa dia jadi nanya seperti itu? Aku jadi malu di depan Bara.

"Ini sebenarnya ada apa, sih? Bukannya kita ke sini buat ngomongin masalah kaus yang bakal jadi galang dana selanjutnya?" tanyaku bingung.

"Nggak, Sar. Bukan mengenai itu kita kumpul di sini. Kita semua di sini atas keinginan aku." Bara angkat suara.

Sekarang, giliran aku menatap Bara, karena kalimat itu diucapkan olehnya. "Maksud kamu apa? Jangan bikin aku bingung begini?" tanyaku semakin bingung. Sudah puncaknya bingung.

Dia hanya tersenyum tipis. "Sebenarnya, ada yang ingin aku sampaikan sama kamu mengenai niat baik aku, tapi bukan masalah galang dana, melainkan masalah pribadi."

Masalah pribadinya? Apa hubungannya sama aku? Kenapa aku jadi terlibat sama urusan pribadinya? Dia nggak lagi bercanda, 'kan?

"Aku mau ajak kamu taaruf," ungkapnya.

Seketika aku terdiam, baik mulut atau hati. Nggak bisa komentar apa-apa, karena antara sadar dan nggak sadar. Pikiranku mendadak oleng. Suasana juga jadi kaku.

Obrolan terjeda saat makanan yang kami pesan tiba. Suasana menjadi sedikit mencair karena fokus dengan makanan masing-masing. Tapi bagi aku sama saja, belum tenang mengenai obrolan tadi.

"Maaf, ya, Sar. Gue yang nawarin Bara buat taaruf sama elo. Elo sendiri yang bilang ke gue kalau lo pingin punya suami kayak Bara. Ya sudah, aku bilanglah ke Bara buat comblangin kalian berdua secara syari. Lagian Bara juga nggak lagi dekat sama cewek dan dia setuju waktu gue tawarin buat taaruf sama elo," ungkap Alma kemudian setelah kondisi cukup tenang, dan hanya tinggal kami berempat.

"Gue nggak lagi mimpi, kan, Al?" Aku menatap Alma.

Dia hanya tersenyum sambil menggeleng. Rasanya aku ingin nangis, tapi terpaksa ditahan karena malu. Tahu karena aku mau nangis, Alma memelukku. Air mata yang aku tahan jadi nggak bisa dibendung. Aku terisak dalam pelukan Alma.

"Lo nggak mimpi, Sar. Bara serius mau taaruf sama elo." Alma mengusap punggungku.

"Kenapa lo cerita ke dia? Kan gue jadi malu?"

"Kan lo bilang sendiri kalau lo pingin punya suami seperti Bara." Alma masih mengulang kata itu.

"Apa gue pantas sama dia?" Aku masih nggak yakin.

"Bukan siapa yang pantas, Sar. Tapi siapa yang menjadi pilihan terbaik dari Allah, maka dia pilihan terbaik dan pantas buat aku. Aku dan kamu hanya ikhtiar dan cuma Allah penentunya." Bara menimpali.

Pelukan kulepas, lalu mengusap air mata. Posisi duduk segera kubetulkan. Aku masih menunduk karena malu. Nggak berani sedikitpun buat natap Bara. Tambah lagi karena masih nggak percaya. Demi apa Bara mau taaruf sama aku?

"Kenapa kamu mau taaruf sama aku?" tanyaku pada Bara.

"Karena aku ingin ikhtiar mengenal kamu lebih dekat. Alhamdulillah, aku sudah izin sama Umi untuk taaruf dengan kamu dan beliau mengizinkan," balasnya.

Jujur, masih nggak percaya kalau Bara mau taaruf sama aku. Masih sadar diri kalau aku bukan cewek pintar, hafiz Quran, atau baik seperti dia. Kenapa Bara milih aku buat taaruf? Apa nggak ada cewek yang lebih baik dari aku?

"Bara nggak maksa, Sar. Itu kalau kamu mau. Dia hanya mengajukan. Kalau kamu mau, nanti Alma yang dampingi kalian taaruf. Kalau nggak mau juga nggak apa-apa. Taaruf hanya perkenalan saja." Rio angkat suara

"Apa aku boleh minta waktu buat berpikir?" tanyaku.

Alma mengusap punggungku. "Boleh, Sar. Jangan merasa terbebani. Niat Bara baik, kok. Kamu juga jangan merasa minder. Semoga ini doa-doa yang kamu panjatkan sama Allah agar dapat suami yang baik," ucapnya menyemangati.

Walaupun masih belum sepenuhnya percaya, tapi aku merasa senang karena Bara percaya sama aku buat taaruf sama. Aku terharu sama niat Alma buat comblaing aku sama Bara. Ya Allah, semoga Bara bena-benar jodoh hamba. Apa dia cowok yang sedang Engkau siapkan untuk aku?

"Makan, Sar."

Perintah dari Alma membuatku berani mengangkat kepala. Dia yang kasih kekuatan buat aku. Beruntung banget aku punya sahabat seperti dia. Laki-laki di hadapanku terlihat sedang menikmati makananya. Beruntungnya aku dikasih kesempatan buat taaruf sama dia. Kepala kembali menunduk saat dia akan menatapku. Jangan sampai aku tertangkap basah karena sudah memerhatikannya.

Ya Allah, mimpi apa aku semalam dapat kejutan seperti ini? Semoga Bara benar-benar jodoh hamba yang sudah Engkau siapkan untukku. Semoga, ya Allah. Aamiin.

♡♡

Bersambung ...


Note: Aku perbaharui lagi di bab lain karena yang kemarin kena konflik sama Wattpad, jadi tak hapus dan pindah kolom lain.

Ada yang baper ngalahin Sarah? 🤣🤣🤣
Aku udah duluan yang ada.

Jangan lupa koment dan vote ya biar aku semangat revisi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro