Dia Yang Ingin Kembali

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dia Yang Ingin Kembali


Pintu sebuah ruang yang sejam sebelumnya digunakan untuk seminar, terbuka beberapa jengkal. Tubuh Kirana melesat keluar dari ruangan yang sempat membuatnya tertekan seperti terkena Claustrophobia ringan.

"Selamat ya, Kirana."

"Terimakasih."

Teman-teman sekelas bergantian menyalami Kirana, orang pertama di angkatannya yang sudah sampai tahap seminar proposal. Ia baru saja menerima hasil seminar proposal penelitian. Nilainya sempurna. Hanya ada sedikit perbaikan di latar belakang. Selebihnya aman. Jika semua perbaikan selesai dan urusan perizinan berjalan lancar, ia sudah bisa memulai penelitiannya minggu depan.

Adel yang lengket dengan Kirana seperti amplop dengan perangko membimbing Kirana keluar dari ruang seminar. Mereka akan makan-makan untuk merayakan kesuksesan Kirana melewati satu tahap penting di bagian akhir masa perkuliahan mereka. Adel sendiri masih berjuang supaya judul penelitiannya di-Acc pihak jurusan.

"Na, ada Bram."

Jantung Kirana nyaris meninggalkan rongga dadanya hanya demi mendengar nama itu. Sambungan telepon dengan ibu tanpa sadar diputuskannya. Ia mengumpulkan kembali puing-puing konsentrasinya untuk mengakhiri percakapan dengan janji akan menghubungi ibu lagi sebentar malam.

Mau ngapain dia? Batin Kirana.

Bram duduk di atas motornya yang terparkir di bawah pohon parkiran fakultas yang padat oleh kendaraan tapi lengang oleh manusia. Aktivitas browsing yang dilakukannya via Blackberry, dihentikannya ketika melihat Kirana berjalan semakin mendekat ke arah parkiran. Ia mengenali motor milik Adel. Sebuah motor matic warna merah yang terparkir di antara motor lainnya.

Ada perasaan bangga melihat Kirana dalam balutan pakaian putih dan hitam. Elsa yang dihubunginya pagi tadi mengatakan kalau hari ini Kirana akan mengikuti seminar proposal penelitian. Bram yang harus mencuri waktu keluar limabelas menit lebih awal dari jadwal kuliah pagi, merasa bersyukur bisa bertemu Kirana. Ia belum punya cukup keberanian untuk mendatangi Kirana langsung ke tempat kostnya.

"Kirana nggak pernah punya cowok selain lo, Bram. Sekarang dia lagi nggak sama siapa-siapa."

Bram merasa masih memiliki harapan. Namun ia tidak tahu harus memulai darimana. Ia sudah siap jika Kirana menolaknya. Niatnya menemui Kirana bukan untuk mengajaknya kembali karena ia tahu tidak akan pernah semudah sebelumnya. Gulungan perasaan bersalah menghantuinya selama beberapa bulan belakangan.

"Hai, Kirana," sapa Bram.

"Hei, Bram." Kirana membalas sapaan cowok yang berdiri kikuk di hadapannya.

"Mau pergi ya?" tanya Bram basa-basi.

Adel mengeluarkan kunci motor dari saku jeansnya. "Gue mau jalan sama Kirana."

Bram tahu ekspresi cemberut di wajah Adel adalah bentuk supportkepada Kirana. Walau ia ragu jika Kirana sudah bercerita banyak soal insiden pengusiran di kamarnya empat bulan yang lalu. Kirana bukan tipe perempuan cerewet yang sudi membuka kisah hidupnya terlalu banyak dengan orang lain.

"Oo." Bram tersenyum. "Ya sudah. Nanti aja kalo gitu."

Bram sudah bersiap-siap menuju motornya dan kembali ke kampusnya dengan tangan kosong, ketika Kirana bertanya.

"Ada apa Bram?"

***

Bram berterimakasih untuk tiga hal. Pertama, Adel mau menghindar sementara ketika ia mengajak Kirana mengobrol. Ke dua, Kirana mau diajak mengobrol berdua. Dan ke tiga. Kantin tempatnya mengobrol tidak begitu ramai. Ke tiga faktor itu sudah cukup mendukung untuk mengutarakan niatnya meminta maaf.

"Oh, ya. Sebelumnya gue ucapin selamat buat seminarnya." Bram memulai percakapan. Ia sendiri merasa dirinya terlalu canggung untuk berbicara.

"Thanks. Aku nggak nyangka juga bakal secepat ini." Kirana berkata seolah tanpa beban. Ia sama sekali tidak canggung. Rasanya seperti berbicara dengan teman.

"Rencananya mau penelitian di mana?" tanya Bram. Bukan karena basa-basi. Ia memang ingin tahu.

Kirana menyebutkan nama sekolah berikut detail penelitiannya. Bram menyahuti dengan sewajarnya. Sampai pesanan makanan dan minuman datang, Kirana masih asyik memaparkan tentang penelitiannya.

"Pasti repot ke sana kemari."

Bram sudah siap jika suatu saat Kirana membutuhkan bantuannya di tengah-tengah kerepotan membuat skripsi. Mengurus perizinan, mencari literatur pendukung, sampai urusan mengejar-ngejar dosen untuk berkonsultasi.

"Iya. Udah resiko." Kirana tidak terlalu merisaukan soal kerepotan nanti. Ia akan menjalani proses ini dengan berusaha keras.

"Dan bakal repot kalo nggak ada kendaraan pribadi."

***

Pancingan Bram tidak tepat sasaran. Kirana sama sekali tidak menyinggung soal bagaimana ia akan mengurus keperluannya selama menyusun skripsi. Siapa yang akan menemaninya kemana-mana jika ada keperluan yang berhubungan dengan mencari alamat atau mencari literature. Atau mungkin ia sudah punya kendaraan sendiri?

Setelah obrolan yang bertema tugas akhir, Bram berkesimpulan. Ia akan menawarkan diri menjadi orang yang bisa diandalkan untuk membantu Kirana.

"Kalau lo butuh kemana-mana, lo bisa hubungin gue," Bram tidak bisa menahan diri untuk menawarkan jasa.

"Adel siap aku repotin kok."

Bram tidak kehabisan akal. "Adel nggak hapal jalanan kota Bandung. Kalo misalnya lo konsultasi atau ada urusan malam hari, gimana?"

"Aku bisa nyari ojek langganan."

"Gimana kalo tuh ojek berniat jahatin lo?"

Kirana terdiam. Bram memandangnya penuh pengharapan. Ia tidak pernah bisa menolak pesona Bram. Tapi mengingat rasa sakit hatinya yang dialami berbulan-bulan lalu, Kirana jadi berpikir. Apakah Bram baik untuknya?

"Gue nggak berharap kita balikan lagi. Tapi, gue mau nebus kesalahan gue."

Kirana tersenyum tipis. "Aku nggak mau ngerepotin kamu."

"Tapi lo mau ngerepotin Adel." Bram membalas telak.

"Itu lain soal, Bram." Kirana memainkan sedotan di dalam gelas jus jeruknya.

"Apa bedanya?" Bram penasaran.

"Itu..." Kirana mengalihkan pandangan ketika matanya beradu pandang sedetik dengan Bram. Ia sudah tahu maksud Bram, tapi ia sendiri masih ragu untuk membuka hatinya untuk Bram, walau untuk sekedar berteman.

Ia tidak mau mereka saling menyakiti dengan perasaan masing-masing.

Bram meraih tangan Kirana. "Gue sayang lo, Kirana."

Kirana menarik tangannya. "Aku butuh waktu, Bram."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro