Lucifer, Perahu Karam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lucifer, Perahu Karam

Dua orang berlainan jenis memasuki sebuah kamar kost tanpa induk semang. Si perempuan yang tidak seteler yang laki-laki, membuka pintu kamarnya dengan laki-laki teler yang memeluknya dari belakang. Setelah mereka berdua masuk, pintu bertuliskan nama Sylvia tertutup lagi.

"You're mine, Brahmantyo."

***

Bram terbangun di tempat tidurnya. Menutup matanya yang silau setelah seseorang memaksa menyingkap tirai jendela kamarnya. Mengundang sinar matahari menerangi kamar yang terasa jauh lebih nyaman tanpa terang.

Seluruh kamarnya tampak rapi. Berbeda dengan yang kemarin. Semerbak aroma pengharum ruangan yang disemprotkan ke seluruh sudut kamar oleh seorang perempuan yang kini menunduk mengambil kotak sampah yang sudah penuh di sudut kamar.

Perempuan yang hanya dilihat punggungnya tadi kembali lagi ke dalam kamar. Tapi kali ini membawa baki entah berisi apa, yang diletakkan di meja nakas.

"Kirana?" Bram menggumam. Berpikir ini hanya ilusi. Ia bagai berada di sebuah alam mimpi yang hanya menyajikan pemandangan Kirana yang tengah berlari mendekat dan tersenyum.

Senyum Kirana dalam ilusinya perlahan memudar diikuti hilangnya senyum dari wajah Bram. "Gimana? Masih pusing?"

Senyum Kirana ditepikan dari alam khayalnya. Walau senyum itu terlalu manis untuk dikeluarkan dari peredaran darah Bram. Ketika Kirana mengambilkan gelas berisi air putih, dan ketika hendak diminumkannya, Bram langsung mengusirnya. Kemarahan mengambil alih pikirannya.

"Lo pergi sana," usir Bram walau dengan suara yang tidak nyaring.

Kirana termenung, tidak lama. Ia meletakkan kembali gelas di atas baki dan berdiri untuk mengambil tas kecil yang diletakkan di samping baki. Tahu, tidak banyak yang bisa dikomunikasikannya dengan seseorang yang masih memendam kemarahan.

"Aku udah bikinin bubur buat kamu. Obatnya juga ada di situ." Kirana berkata sepelan mungkin.

Bram tertawa. "Lo senang kan liat gue begini?"

Kirana langsung menggeleng karena memang di pikirannya tidak pernah terlintas pikiran sesuai tudingan Bram. Wajah muramnya yang walau diterangi cahaya, tetap saja muram.

"Aku dengar kamu sakit, Bram. Jadi aku ke sini." Kirana beralasan.

"Nggak usah sok peduliin gue." Bram menyipitkan mata, silau dengan cahaya dari luar yang berasal dari matahari. Hari sudah terik, aktivitas pagi seharusnya sudah dijalani bagi yang pikiran dan raganya masih sedang dalam keadaan sehat.

"Baik. Semoga cepat sembuh. Aku pulang dulu."

Kirana tersenyum tipis, tetap menunjukkan sikap bersahabat. Ia berjalan cepat menuju pintu. Ia sadar mereka putus tidak dengan cara baik-baik. Dan saat Bram ingin meminta maaf, Kirana justru meminta putus saja. Ia tahu, ia terlalu emosi saat itu. Dan sekarang saat emosinya sudah reda, ia bermaksud ingin memperbaiki keadaan. Bukan untuk mengajak Bram kembali bersama meneruskan hubungan cinta, namun paling tidak mereka bisa jadi teman yang baik. Bukan menjadi dua orang yang kini saling membenci satu sama lain.

Tapi rupanya, harapan tidak selalu berbanding lurus dengan kenyataan. Bram tidak mengharapkan kehadirannya. Dan Kirana mulai menyadari kesalahannya menampakkan diri di saat Bram masih dalam keadaan marah.

Keadaan hening ketika Kirana berjalan keluar menuju pintu.

Kemarahan Bram yang tertahan oleh rasa sakit, menggumamkan kata yang entah sanjungan atau penghinaan.

"Lucifer betina."

Kirana berhenti. Kenop pintu yang baru akan diputar, dijauhkan dari jangkauan tangan kanannya. Berbalik dan menyandarkan sebelah tubuhnya di daun pintu. "Aku memang angkuh, Bram. Tapi aku hanya ingin kamu menghargai prinsipku."

Bram masih tersenyum sinis seolah ingin menendang sesuatu saat kemarahannya sedang meninggi seperti sekarang.

"Ya, harusnya gue sadar nggak ngejar perempuan suci yang maha menyanjung keperawanannya."

Kirana terhantam telak di dadanya. Karena sesungguhnya subyek yang sedang dibahas Bram itu bukan dirinya."Paling nggak, aku nggak mau ngulang kesalahan yang sama."

Bram tidak mengerti tapi tidak mau memaksakan otaknya untuk mengerti ucapan barusan. "Kenapa belum pergi?"

Mata Kirana mulai memanas."Aku cuma mau bilang, kalau aku nggak seperti yang kamu pikirkan."

Bram turun dari tempat tidur sambil memegangi kepalanya yang terasa berat dan sakit luar biasa. "Nggak seperti yang gue pikir? Menurut gue lo sempurna dan lo bakal nyari cowok yang sempurna juga. Yang nggak buruk kayak gue."

Kirana menggeleng. "Nggak. Kamuterlalu baik buat aku. Akuyang nggak baik buat kamu."

Bram menyimpulkan dengan mata batinnya yang tengah diliputi emosi. Ia tahu tidak ada alasan lain yang bisa diungkapkan oleh seorang perempuan yang sudah tidak ingin bersama seorang laki-laki. Menggunakan kalimat bahwa Kirana tidak baik untuknya. Kalimat menjijikkan macam apa lagi yang akan didengarnya dari mulut perempuan itu?

"Kenapa nggak jujur? Lo punya yang lain kan? Lo nolak gue karena lo lebih milih ngelakuinnya sama cowok lain? Atau lo emang udah ngelakuinnya sama cowok lain? Oh, shit!"

Kali ini Kirana tidak lagi bisa membendung airmatanya. Pertahanan dirinya sudah hancur. Ia seharusnya bicara. Harus jujur. Tapi, mengapa ia tidak mampu?

"Nggak, Bram. Aku..."

Bram, dengan tatapan tajam yang menelanjangi seluruh keberanian yang dimiliki Kirana. "Lihat gue dan jujur kalo lo suka sama cowok lain."

"Nggak ada yang lain, Bram. Nggak ada." Nyali Kirana menciut dan melakukan penyangkalan.

"Bohong," Bram menumpukan semua kemarahan pada tatapan mata dan kekuatan tangan yang cukup untuk menyakiti fisik Kirana.

"Aku nggak bisa ngeliat kamu begini, Bram. Aku minta maaf karena nggak bisa ngasih cinta sebesar yang kamu punya buat aku."

Hati Bram mencelos. "Karena ada orang lain kan?"

Kirana diam.

"Lo jawab pertanyaan gue dengan jujur. Lo liat gue, Kirana." Bram menatapnya frustrasi.

Kirana menggeleng berkali-kali. "Nggak akan ada gunanya, Bram."

"Katakan siapa cowok lain yang lo suka?"

Tangis Kirana pecah. "Aku....Aku nggak bisa..."

"Katakan dia siapa?!! Katakan!!!"

Bram mengguncang tubuh Kirana yang terasa begitu kecil dalam sebuah teritori yang dibuatnya untuk mengurung tubuh gadis itu. Kirana yang tidak kunjung bereaksi selain tangisan tertahan, membuat kesinisan semakin terdengar enteng di bibir Bram.

"Beruntung banget tuh cowok."

Dipandanginya wajah Kirana yang basah. Bibirnya gemetar seperti kedinginan.

Dengan jari ditelusurinya setiap komponen wajah Kirana. Wajah rupawan dengan kulit putih pucat. Ke dua matanya yang bening indah. Hidung mancungnya. Bibir tipis merah jambu. Dagu lancip. Kesatuan yang membuat fisik Kirana begitu sempurna. Kesempurnaan yang tidak pernah membuat Bram bosan. Wajah itu yang ingin terus ditatapnya. Pemilik raga itu yang ingin dibahagiakannya. Dimilikinya. Tapi...

"Pergi!!"

Tubuh Kirana terhuyung saat Bram melepaskan pelukannya dengan tiba-tiba.

"Pergi sebelum gue kehilangan akal."

Kirana tidak menyahut lagi. Pergi meninggalkan Bram yang saat itu tidak tengah menyesali apapun.

***

Pintu kamar yang berjarak dua meter dari tempatnya terduduk, ditatapnya kosong. Di balik pintu yang tertutup, Bram melihat ilusinya lagi. Kirana yang berbalik, meratap dan meminta ingin kembali padanya.

"Lucifer betina." Bram mengulangnya. Kali ini lebih yakin.

Mengabaikan rasa sakit di kepala dan sekujur badan, Bram bangkit dari tempat tidur. Diraihnya gelas berisi air dan dilemparkannya ke dinding. Pecah berkeping-keping ketika mencapai permukaan karpet. Darahnya menggelegak seperti tersiram bensin.

Dengan sekali tendangan, pintu kamarnya terbuka. Rian yang sedang di dapur berlari keluar ketika mendengar suara gaduh dari dalam kamar.

"Mana Kirana?" Bukan kondisi Bram yang ditanyakannya.

"Udah gue usir!!"

"Lo emang nggak punya hati. Tuh cewek datang buat jenguk lo, Bram!"

"Dia datang buat ngetawain gue, Yan." Bram tertawa sinis. "Dia datang cuma buat ngeliat kejatuhan gue! Iblis betina!"

Rian menepuk-nepuk pipi Bram yang dibalas Bram dengan dorongan keras hingga Rian tersungkur di atas lantai. Rian cepat-cepat berdiri, tidak siap menghadapi perkelahian dengan seseorang yang emosinya sudah dikendalikan oleh setan.

***

Hiruk pikuk kendaraan padat di pusat kota Bandung memunculkan kemacetan di sebuah ruas jalan. Beberapa di antaranya membunyikan klakson tanda tidak sabaran. Seolah berkejaran dengan waktu. Seolah takut terlambat.

Sementara di depan sebuah kantor, Kirana berjalan sambil mengusap sudut-sudut matanya yang lembab. Tangan kanannya mengelus pelanpermukaan dada kiri atasnya yang tertutup blus biru. Rasa nyeri kembali menyerang organ di dalamnya. Sampai membuat paru-parunya menyempit sesak mengais udara. Sakit yang tidak terlihat namun sesungguhnya sudah bersarang, mendarah daging sekian lama.

Ia lelah menjadi Lucifer, yang selalu angkuh pada apapun. Kepada yang sedih dan senang, kepada yang beradab dan tidak. Lelah menutupi nafsu dan hasrat untuk mencintai seperti manusia normal yang selalu kuat. Sementara dalam kefanaan, ia hanya seorang gadis kecil yang selalu merasa kesepian tapi tidak mau meminta dunia mengasihaninya.

Ia tertunduk dan menangis lagi. Bersedih, merintih dan menangis. Kendati sia-sia, karena tangisan sekeras apapun tidak akan bisa mengembalikan yang telah pergi. Tangisan sepilu apapun tidak akan mampu melukiskan perasaannya dengan tepat.

Hatinya sudah sering terluka. Seingatnya sudah sejak lama. Sejak ia masih kecil dan baru mulai mengenal sesuatu yang bernama perasaan. Berkali-kali ia dan hatinya sakit, berkali-kali itu pula ia berusaha bangkit. Seperti mesin yang bekerja terlalu keras, yang suatu saat akan rusak. Mungkin seperti itu pula keadaan organ perasanya yang aus karena hantaman badai yang berulangkali.

Kirana menganggap dirinya seperti batu karang. Sekeras apapun ombak yang datang, ia tetap kokoh berdiri. Sekuat apapun badai dan tsunami ia tetap tangguh menjadi pelindung. Belakangan, ia merasa dirinya melemah. Ia rapuh. Ia, batu karang yang keras menjelma jadi batu karang yang berlubang-lubang dan mulai susut tergerus abrasi.

Jika sudah seperti itu, ia kembali mengingat dirinya sendiri. Raga dengan jiwa rapuh yang harus dilindunginya sendiri. Ia tidak bisa bersandar pada orang lain. Ia harus mampu bertahan demi dirinya, ibu dan Wulan. Jika ia lemah, ia akan binasa. Dan dunia hanya akan menertawakan.

Tidak. Ia tidak boleh lemah. Dunia yang kejam akan bersikap semakin kejam kepada manusia yang lemah. Hanya kekuatan sendiri yang bisa membuatnya bertahan hidup.

***

Bus yang mengantarkan mahasiswa ke lokasi KKN sudah terparkir di depan ruang auditorium. Para mahasiswa yang akan berangkat sebagian besar sudah mengatur barangnya di dalam bus. Sudah pula mendapatkan tempat duduk.

Di sebuah kursi yang terletak dua deret dari belakang, Kirana duduk membisu. Ia seolah tidak terpengaruh dengan suara ribut mahasiswa lainnya. Tidak ada satupun yang dikenalnya di dalam bus itu.

"Hei. Kita sebelahan. Namaku Wardah." Seorang muslimah berjilbab menyalami Kirana sebelum duduk di sampingnya.

Suara gitar yang mengiringi nyanyian beramai-ramai, mengantarkan perjalanan bus itu menuju lokasi KKN yang akan mereka tinggali dan mengakrabkan diri dalam dua bulan.

Selamat datang KKN...

***

"Gue nggak bisa kalo di sini nggak ada WC," teriak salah seorang dari mereka.

Setelah berkeliling rumah yang akan ditempati selama KKN, Kirana menyimpulkan kalau posko tersebut lumayan. Namun keluhan datang dari tidak tersedianya fasilitas yang bisa dikatakan urgent. Yaitu WC dan kamar mandi. Pantas saja beberapa cewek mengeluhkan soal itu. salah satu dari mereka memberitahu tentang sungai yang bisa dipakai untuk keperluan mandi dan buang air besar.

"Nggak ada sinyal. Naudzubillah...gimana gue mau BBM-an sama cowok gue?"

"Serius lo? Tidurnya dempet-dempetan gitu?"

Kirana menghela napas berat. Satu sikap yang menunjukkan ada beban berat di dalam pikiran seseorang. Bukan karena keadaan di sekelilingnya, tapi karena keadaan batinnya yang tidak tenang. Kirana meletakkan tas pakaian di dekat beberapa tas yang dikumpulkan di salah satu sudut kamar, tepat di samping sebuah lemari pakaian. Tiga orang dari lima teman sekamarnya mulai menyusun pakaian mereka di dalam lemari. Sepertinya mereka sudah akrab selama perjalanan, atau mereka kebetulan sudah saling mengenal satu sama lain sebelumnya.

Dalam keadaan kamar yang ramai, Kirana mengurung batinnya dalam dunia kecil yang diciptakannya sendiri. Beku, tak berniat menyapa atau berbicara dengan teman-teman seposkonya. Bukan karena angkuh. Bukan karena tidak ingin mengakrabkan diri. Pikirannya terlalu tersita tentang Bram.

Apakah Bram benar-benar telah pergi dari hidupnya?

"Gue masih bayangin soal tempat mandinya, sumpah. Kenapa harus di sungai sih?"

Lagi-lagi keluhan yang sama diperdengarkan cewek yang mengeluh soal kesulitan sinyal internet. Tawa dan keluhan dari teman-teman yang lain menimpali, mengemukakan ekspresi masing-masing.

Bukan KKN namanya kalau tidak menderita. Namun bayangan penderitaan selama KKN tidak dapat disandingkan dengan nasibnya dengan Bram. Mengapa justru di detik-detik menjelang keberangkatan, saat ia butuh dukungan, hubungannya dengan Bram harus putus?

***

Pukul 10.24

Dengan mendekap buku di depan dada, tas selempang di bahu kanan, Kirana berjalan dengan santai setelah keluar dari ruang kuliah. Adel ada keperluan dengan seorang teman sekelas mereka. Jadi Kirana berjalan duluan dan menunggu Adel di dekat gerbang. Mereka akan mencari makan siang di sekitar kampus. Jam segini, kantin jurusan dan fakultas selalu ramai. Kirana yang memang tidak suka berdesak-desakan, apalagi untuk makan, mengusulkan mereka makan siang di luar kampus saja. Ia sudah membayangkan menyantap nasi goreng untuk menuntaskan masalah perutnya yang sedang kosong. Perutnya sejak pagi hanya diisi segelas minuman bersereal dan sepotong wafer.

Dua orang cowok-cewek tengah berjalan di sekitar parkiran. Si cewek menyeka keringat di dahi si cowok dengan tissue.

Cowok yang ternyata, Bram.

Pemandangan orang berpacaran di sekitar parkiran sudah biasa disaksikan Kirana. Apalagi Bram yang memang bertipe player. Sebelum dengan dirinya pun, Kirana sudah tahu tentang kebiasaan Bram yang tidak bisa lepas dari makhluk berjenis perempuan.

Tapi, yang dirasakannya sekarang begitu beda. Ia menjadi bagian sejarah hidup Bram. Masa lalu. Dan Bram yang seolah tidak mengingat-ingat hubungan mereka, begitu cepat mendapatkan penggantinya.

Kirana tidak mengenali cewek yang kini sedang berusaha merebut ponsel dari tangan Bram. Gaya berpakaian si cewek cukup kasual dengan kemeja dan celana jins. Bram suka dengan perempuan berambut panjang. Cewek itu juga berambut panjang dengan ujung-ujung ikal hasil treatment di salon.

Pertemuan itu berlangsung dingin. Ketika Kirana menatap Bram dan berharap Bram berbalik, ternyata Bram mengabaikan. Acuh. Seolah mereka tidak pernah saling kenal dan saling cinta.

Semua ini sepenuhnya bukan kesalahannya. Bagaimanapun, sebelum mencapai kata jadian, ia dan Bram sudah membuat kesepakatan. Bram menyetujui semua syarat dan batasan yang ditetapkan Kirana selama mereka berpacaran.

Tapi mengapa Bram mengingkarinya? Apakah Bram tidak menghargainya lagi?

Mungkin Bram memang terbiasa bebas. Menabukan dirinya untuk tunduk kepada segala sesuatu yang bersifat mengikat. Mungkin Bram memang terlahir sebagai alpha male, yang segala sesuatu dalam hidupnya harus berada di bawah kuasanya. Bukan dikendalikan orang lain, terlebih jika sang pengendali adalah seorang wanita.

"Ah, ngapain mikirin dia?" Kirana menarik napas panjang. Hatinya yang sesungguhnya tidak pernah kebas untuk Bram, memunculkan senyum di wajahnya. Miris, tapi ia tahu, ia tidak mau terjatuh lagi.

***

Iseng, Kirana melipat-lipat kertas warna-warni menjadi origami. Ia membuat model burung dari kertas warna merah, kuning, hijau, dan biru. Setelah semuanya jadi, dan kertas sudah habis, dimasukkannya burung-burung kertas warna-warni itu ke dalam sebuah akuarium kecil bentuk bulat.

Lain waktu, ia terlihat sedang asyik bermain hujan. Membuat perahu-perahu kertas dan meletakkannya di atas genangan air hujan. Menunggu sampai perahu-perahu kertas buatannya oleng karena kemasukan air dan hanyut dalam air tidak berbentuk.

"Lo nggak bahagia waktu kecil?" Elsa yang ternyata juga ikut bermain air genangan di depan kamar mereka sempat meledek Kirana.

"Bahagia sekali. Pengen nostalgia aja."

Kirana mendorong perahu kecil di tangannya terlalu keras. Perahu kertasnya karam.

***

Bram menunggu sampai cewek yang diajaknya bermalam Minggu di sebuah mall, masuk ke dalam rumah. Si cewek tinggal di rumahnya sendiri di salah satu kompleks perumahan.

Setelah berputar-putar sendirian dengan motornya, Bram mengambil keputusan untuk nongkrong di sebuah tempat bermain bilyard yang buka sampai pagi. Ia tidak bisa pulang, masuk ke dalam kamarnya dan memutar memori yang mengingatkannya pada sesuatu yang salah. Ia dan keputusannya untuk tidak bersama Kirana lagi.

Cewek yang kini dipacarinya tidak akan pernah tahu alasan Bram ketika memacarinya. Hanya pelarian. Tidak ada yang serius. Kalaupun putus lagi, Bram tidak akan pernah peduli.

Akan dicarinya perempuan lain yang lebih sempurna. Yang kelak bisa menghapuskan kenangan Kirana dalam ingatannya. Tapi Kirana berpendar terlalu terang. Sulit bahkan mustahil menyingkirkannya.

***


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro