Lust and Lost

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lust and Lost


Dress pink selutut yang dipakai Kirana melambai mengikuti gerakan tubuhnya yang anggun. Di sampingnya, Bram menggandeng tangannya dengan penuh rasa bangga. Mereka sedang menghadiri acara peresmian kafe salah seorang teman Bram di sebuah kawasan ruko.

"Liat deh, Yang. Tuh cowok ngeliatin lo."

Bram menuding ke sebuah meja yang dihuni dua orang cowok. Antara bangga dan sedikit tidak nyaman karena perempuan miliknya menjadi pusat perhatian kemanapun ia membawa Kirana ke depan umum. Tidak terkecuali di tempat mereka berada sekarang. Tapi ia tidak bisa menyalahkan mata-mata yang menyorot langkah Kirana. Kirana yang malam itu menyanggul rambutnya dan memakai make-up natural terlihat menggemaskan. Bibirnya yang tersaput lipgloss pink merekah setiap ia tersenyum.

Kirana mencubit lengan Bram. "Udah jangan diliatin. Biarin aja."

Di salah satu sudut kafe, sepasang mata memicing ke arahnya. Masih menyisakan dendam. Kirana melemparkan senyum kepada siapapun yang berpapasan dengannya dan Bram, tidak terkecuali perempuan yang pernah menghadiahi cakaran di pipinya yang telah tersamarkan di bawah pupuran bedak.

Kirana tersenyum lebih lebar, seolah sudah memaafkan insiden kemarin. Tapi ia bukan tipe orang yang mudah melupakan. Khususnya untuk orang yang pernah menyakitinya.

"Bram, tuh cewek ngeliatin kamu terus. Mantan kamu ya?" tanya Kirana sengaja menarik Bram duduk di meja yang strategis supaya cewek itu bisa melihat dengan jelas kemesraannya dan Bram.

"Mm, cuekin aja." Bram mengarahkan wajah Kirana agar menatapnya. "Dia nggak ada apa-apanya dibanding lo."

"Aku tenang dengarnya." Kirana kembali menatap panggung, tempat band live beraliran jazz memulai performance mereka.

Perempuan malang. Batinnya.

Usaha Bram untuk menempatkan Kirana di lokasi KKN yang tidak terlalu terpencil akhirnya berhasil. Sejak Kirana mengatakan akan memprogramkan KKN di semester ini, Bram langsung tancap gas. Mengurus ke bagian administrasi yang mengatur pembagian nama-nama mahasiswa KKN beserta lokasi penempatan mereka. Mencari lokasi dengan akses termudah dalam segala hal, terkhusus komunikasi. Masa KKN yang dua bulan harus tetap dipantaunya via telepon.

Selembar kertas yang berisi nama Kirana dan mahasiswa lainnya mereka pandangi bersama-sama. Suasana hening karena tidak ada yang mengeluarkan suara.

"Kenapa, Sayang?" Bram menyelipkan rambut yang menjuntai di pipi kanan Kirana. "Nggak percayasama lokasinya? Itu lokasi yang paling tidak menyusahkan dibanding yang lain."

Bukan, bukan karena itu. Kirana bahkan tidak peduli dengan lokasi dan jika ia dan Bram akan terpisah dalam waktu yang lama. Bukan, bukan itu yang dipikirkannya.

"Bram, kita bisa jaga jarak?"

"Kenapa?"

"Ya. Nggak kenapa-napa. Aku nggak mau diomongin orang."

Bram tertawa sambil memeluk Kirana dari belakang. Dikecupnya tengkuk Kirana sebanyak dua kali. "Maksudnya?"

"Ibu kost negur aku kemarin."

Adegan pelukan Bram dan Kirana di dalam kamar Kirana sewaktu hujan kemarin dipergoki ibu kost. Bram waktu itu memang sangat gemas karena Kirana meninggalkannya di kampus dengan alasan bosan menunggu. Bram sempat menggelitiki tubuhnya dan mereka berguling di atas tempat tidur dengan Bram yang terus berusaha menciuminya.

"Cuekin aja. Oke. Di sini aja kalo gitu. Nggak bakal ada yang negur."

"Bram, udah." Kirana menggigit bibir, berusaha meredam gejolak yang berdentam-dentam karena sentuhan Bram di titik-titik sensitif di tubuhnya.

Jika bukan ia yang mencegah, mereka akan melangkah terlalu jauh.

"Bram..." Kirana mendesah. Mulai goyah. Siapa yang sanggup menolak surga dunia yang terlalu indah seperti ini?

Bram tidak membalas, terlalu sibuk dengan kecupannya di sepanjang tengkuk Kirana.

Kirana melepaskan tangan Bram yang mulai meraba bagian depan tubuhnya. Ia susah payah menolak sentuhan yang diakuinya membuat tubuhnya memanas dan bergairah.

"Bram. Aku nggak mau."

"Sayang, sekali saja." Napas Bram yang memburu terasa hangat dan memanas di daun telinganya. "Gue punya pengaman kok."

Kirana menepis tangan Bram dengan kasar dan cepat-cepat berdiri dari ranjang Bram. Bram rupanya sudah melepaskan kaus hitamnya hingga kini ia bertelanjang dada. Pantas saja Kirana merasakan punggungnya basah oleh keringat.

"Kita udah setahun, Kirana." Bram mengingatkan. "Dan ini...normal."

"Aku mau pulang." Kirana cepat membereskan tasnya.

Bram mendahului langkah Kirana. Ditutupnya pintu dengan kasar sampai terdengar bunyi berdebam di belakangnya. Kirana melangkah mundur ketika Bram melangkah maju.

"Aku bakal teriak, Bram," ancam Kirana. Mendadak ia menggigil kedinginan.

Bram berkacak pinggang. "Jadi lo nolak? Lo nolak gue?"

"Sekarang bukan waktu yang tepat." Kirana melemparkan tatapan menusuk.

"Cepat atau lambat gue bakal nikahin lo." Bram berkatadengan nada suara yang tidak stabil karena nafsu dan frustrasi karena hasratnya tidak tersalurkan.

"Lebih baik aku pulang sekarang, sementara kamu urusin nafsu kamu."

Bram yang tentu saja tersinggung, mendorong tubuh Kirana hingga punggungnya menempel di dinding. "Nggak pernah ada cewek yang nolak gue."

Wajah Bram merah padam. Sekujur tubuhnya menegang. Tanpa sadar ke dua tangannya yang menahan pergerakan Kirana di bagian wajah, menekan semakin keras.

Melihat wajah Kirana yang ketakutan, Bram mundur beberapa langkah dan membukakan pintu. Ditahannya napasnya beberapa saat dan dihembuskannya sekali dengan berat. Mengepal tangan dan menahan kepalan itu tidak dihantamkannya dinding.

"Lo mau pulang?"

Kirana menyeret langkahnya menuju pintu tanpa mengucapkan sepatah katapun.

"Gue anter lo pulang." Bram mengulang.

"Nggak usah, Bram." Kirana yang juga sama, dikuasai emosi karena pelecehan yang dilakukan oleh orang yang ia pikir akan menghormatinya dengan prinsipnya untuk tidak melakukan hubungan suami isteri sebelum menikah.

"Aku pikir kamu bisa menghargai aku dan prinsip hidupku. Ternyata aku salah."

Bram baru akan meminta maaf ketika gadis dengan ke dua mata bening yang nanar menjatuhkan vonis untuk hubungan mereka.

"Kita putus."

***

Maafin gw, Kirana

Sayang, jgn putusin gw

Gw janji nggk gt lg

I love u

Bombardir SMS dari Bram yang sudah bertumpuk dibaca Kirana dengan sekali membuka draft. Tidak ada nama lain dalam daftar pengirim SMS berantai itu. Ia masih nanar menatap layar ponselnya seperti menatap sama kepada si pengirim SMS

Kirana sudah mengira Bram akan menghubunginya.

Bram calling

Perasaan Kirana masih terlalu rentan untuk mendengarkan suara Bram. Rayuan Bram yang harus diakuinya sudah sering membuatnya luluh dengan cepat. Ia tidak mau membuat segalanya menjadi mudah untuk Bram. Khilaf dan dengan mudahnya meminta maaf. Ia sudah menaruh kepercayaan untuk digantungkan pada laki-laki yang dicintainya itu. Namun Bram baru saja menghancurkan kepercayaan itu demi nafsu.

***

Kamar sempit berukuran 3 x 4 meter yang diterangi sebuah bola lampu di tengah langit-langit rendahnya, hening. Pemilik kamar tengah berbaring tapi tidak sedang tidur. Otaknya tengah aktif berpikir hingga larut, seolah tidak lelah dipakai berpikir seharian.

Ke dua kelopak mata Kirana terkatup dalam terjaga. Ia memaksakan diri untuk tidur, setelah selama dua jam ia berada dalam pergulatan dengan perasaannya sendiri untuk melupakan dan membuang-buang waktunya untuk seseorang atas nama cinta.

Bukan soal putus hubungan yang dipikirkannya. Tapi soal sikap Bram yang kasar.

Bram yang dikenalnya perhatian, menghargai, dan membebaskan, nyatanya tidak lebih dari seorang laki-laki bajingan.

Waktu bisa mengubah seseorang, apakah menjadi lebih baik atau malah lebih buruk. Sayang, Bram tidak berubah jadi lebih baik.

***

Selepas bekerja, Kirana memutuskan untuk berjalan-jalan. Ia tidak mau pulang dalam keadaan yang sama seperti kemarin. Menatap setiap orang tanpa ekspresi. Seperti zombie.

Argh! Tidak mungkin Bram yang membuatnya jadi begini. Ia memang cinta Bram, tapi tidak akan meratapi jika harus pisah dengan Bram. Mereka hanya pacaran jadi wajar pisah. Orang yang sudah menikah saja banyak yang cerai, apalagi yang hanya sekedar pacaran.

Orang-orang dalam angkot memiliki masalah dalam hidup mereka masing-masing. Kirana menatap salah satu penumpang. Seorang ibu yang baru saja kecopetan di sebuah pasar yang ia dengar dari pengakuan si ibu kepada seorang bapak yang duduk di depannya.

Satu contoh kehilangan.

Kehilangan uang bukan kehilangan cinta.

Kasihan si ibu. Kasihan juga baginya.

***

Kirana tahu tidak ada uang yang akan dibelanjakannya di mall sore itu, karena tujuannya memang bukan untuk berbelanja. Ia hanya butuh keramaian agar ia tidak merasakan kesepian. Kata orang sepi menghadirkan sedih.Persetan dengan kesedihan.

Kirana membandingkan dirinya dengan cewek-cewek berpakaian keren yang tengah duduk di satu meja sambil tertawa-tawa. Andai ia bisa ikut bergabung dengan mereka. Menertawakan cerita-cerita konyol dalam hidup mereka. Seolah tanpa beban. Sedangkan dirinya sendiri seperti digariskan harus hidup bersimbiosis dengan kehidupan pahit sejak ayahnya membuang mereka dan membuat mereka hidup sederhana jika tidak ingin dikatakan miskin.

Kirana menghela napas dan kembali melangkah. Melintasi restoran franchise Amerika berlambang pria berjanggut tanpa sedikitpun minat untuk masuk dan memesan makanan.

"Ayah! Beliin ituuu!!"

Kirana berjalan memelan ketika melihat seorang anak perempuan berusia kira-kira 5 tahun, berhenti di depan sebuah toko mainan yang memajang boneka Barbie. Sang ayah berjongkok di sampingnya kemudian menggendongnya masuk ke dalam toko. Posisi anak dan ayah tadi kini digantikan oleh Kirana. Ia memandangi boneka Barbie yang didandani pakaian pantai. Membayangkan rohnya ada dalam diri anak kecil itu.

Ia ikut masuk ke dalam toko. Penasaran apakah si ayah membelikan putrinya boneka sesuai keinginannya.

"Aku mau ini juga!! Ini!!"

Anak perempuan montok menggemaskan itu berkeliling toko dan menunjuk mainan lainnya. Sang ayah yang sedang menelepon meminta anaknya untuk memilih satu saja. Tapi anak perempuan itu tidak mau. Ia tidak mau satu. Ia mau semua.

"Satu aja, Priscil."

Si anak perempuan menggeleng. "Mau cemua, Papaaa!!"

Sebuah boneka beruang cokelat kecil disodorkan Kirana. "Adik, ini aja. Cantik bonekanya."

Anak perempuan bermata bulat itu menerima boneka beruangnya dengan ragu. Tapi kemudian dipeluknya erat.

"Aaa ini aja Papa. Pisil suka."

Kirana mencubit ke dua pipi anak perempuan tersebut dengan gemas, lalu bergegas keluar dari toko mengabaikan tatapan heran ayah anak itu.

Setelah melakukan tindakan yang menurutnya aneh, Kirana kembali melanjutkan window shopping. Tersenyum walau hatinya tengah menahan haru. Mengarang kisah tentang cerita seorang puteri dengan boneka beruang cokelat kesayangannya.

***

Kisah tentang sebuah boneka beruang cokelat yang diberikan sang ayah untuk putri kecilnya yang sedang berulangtahun. Boneka berbulu halus yang dibeli di sebuah toko mainan dengan harga murah untuk si putri karena sedang diskon.

"Ayah, Kirana mau boneka itu."

Kirana kecil berjinjit kegirangan melihat sebuah boneka Barbie yang lengkap dengan dapur kecil dan perlengkapan lainnya. Boneka cantik yang dipajang di bagian tengah toko, dekat dengan kasir.

Ayah tidak mengatakan iya untuk boneka itu. Kirana yang berdiri di sampingnya dengan harapan besar akan membawa pulang boneka itu pulang ke rumah hanya ikut diam, mengikuti langkah ayah menuju rak lain.

"Ayah. Ini aja. Boneka beruang raksasa!" seru Kirana, kembali melompat-lompat. Mainan yang sudah terlewat tadi tidak dihiraukannya lagi, karena ia kini lebih antusias dengan boneka raksasa yang berbulu cokelat.

Harapannya untuk membawa pulang boneka raksasa itu kembali urung ketika ayah melewati rak itu. Sampai beberapa kali memutari toko, tidak ada satupun boneka yang dibelikan ayah untuk Kirana.

Ayah menggandeng tangan Kirana yang keluar dari toko dengan perasaan kecewa. Mungkin hari ulangtahunnya kali ini akan sama dengan ulangtahun sebelumnya. Yang dirayakan kecil-kecilan dan tanpa kado boneka besar. Seperti punya Melisa.

Langkah ayah terhenti di depan sebuah kotak kayu yang dikerumuni ibu-ibu. Ayah membimbing Kirana duduk di sebuah kursi kosong. Kirana pun duduk sambil menikmati harum manis pink di tangannya. Tampak tenang dan tidak tergoda untuk bermain di dalam sebuah arena permainan anak-anak.Walau ia ingin. Sangat ingin.

Tidak berapa lama, ayah menghampiri Kirana. Dari dalam sebuah kantung plastik putih, ayah mengeluarkan sebuah boneka beruang. Bulunya pendek dan tidak sehalus yang dilihatnya di dalam toko. Matanya yang terbuat dari kancing pun sudah lepas satu.

"Ini boneka beruang untuk Kirana."Ayah berjongkok di hadapan Kirana, dan mengelus rambutnya. "Yang kecil dulu ya? Nanti ayah belikan yang besar."

"Ini bayi beruang ya, Ayah?" Kirana dengan jari-jari mungilnya menyentuh wajah boneka beruang kecilnya. "Tapi, matanya ilang satu, Ayah."

"Nggak pa-pa hilang satu. Kan beruangnya sedang berkedip?"

"Oh gitu ya?"Kirana dengan cepat melupakan protesnya. "Terimakasih, Ayah." Kirana memeluk ayah kemudian memeluk boneka barunya dengan penuh rasa sayang.

Boneka yang dibeli dari kotak mainan obralan di sebuah toko yang banyak lampu dan tangga berjalan.

Airmata Kirana jatuh tanpa ia sadari. Walau tubuhnya tidak lagi sekecil dirinya dalam kisah itu, ia merasa tidak ubahnya seperti kisah putri kecil yang pulang dengan boneka bayi beruang bermata satu itu.

Selalu sendiri.

Suasana hatinya sudah lebih baik, walau tidak bisa dikatakan sembuh ketika Kirana memutuskan mengakhiri jalan-jalannya sore itu. Tangannya menenteng bungkusan berisi nasi goreng untuk menu makan malam. Berharap nafsu makannya bisa kembali.

"Gue SMS-in lo kok nggak terkirim ya?"Elsa masuk ke kamar Kirana ketika Kirana sudah selesai mengganti pakaiannya dengan jubah mandi.

"Oh. Maaf, Sa. Handphonenya aku matiin," jawab Kirana.

"Padahal aku mau nitip shampoo."Elsa berkata lagi.

"Pake aja shampooku." Kirana mengangkat botol shampoo dari dalam keranjang perlengkapan mandinya.

Elsa menggeleng. "Masih ada sih. Nanti deh besok gue beli sendiri."

Hari yang sudah makin menggelap membuat Kirana terburu-buru masuk kamar mandi. Beruntung, ada kamar mandi yang kosong dari tiga kamar mandi yang tersedia di tempat kostnya tersebut. Mandi kilat dilakukannya tidak lebih dari sepuluh menit.

Selesai mandi, Kirana duduk masih mengenakan jubah mandinya yang lembab. Handphone diaktifkan kembali. Tiga buah SMS, termasuk SMS Elsa dibacanya satu-persatu.

Dua SMS berasal dari nomer handphone Wulan. Isinya sama karena terkirim sebanyak dua kali.

Teh, ibu mw k Bdg. Mw jguk Teteh 

Dari rincian pesan, SMS tersebut dikirim Wulan dua jam yang lalu. Tidak ingin membuat adik dan ibunya resah, Kirana cepat membalas.

Sbb. Kapan?

Sepertinya Wulan memang stand bymenunggu balasan, karena hanya dalam hitungan beberapa detik setelah SMS Kirana terkirim, Wulan membalas.

Hari Minggu. Lusa, Teh.

Kirana tersenyum. Ia tidak akan berkata tidak untuk ibu. Bahkan ia sendiri yang akan menjemput ibu di terminal. Alih-alih membalas SMS Wulan, ia menelepon adiknya. Kebetulan ibu ada di dekat Wulan, jadi Kirana bisa langsung berbicara dengan ibu.

Untuk sementara, Kirana merasakan percikan kebahagiaan, walau tidak sampai membuatnya tertawa.

***

Dengan perasaan khawatir, Kirana menunggu bus yang membawa ibu ke Bandung. Ia berdiri di ruang tunggu bersama calon penumpang atau orang yang datang menjemput. Pagi itu matahari bersinar cerah.

Kekhawatiran Kirana sirna ketika seorang perempuan berbaju batik dan memakai rok panjang dengan rambut disanggul sederhana, yang dikenali sebagai ibunya, turun dari pintu depan bus. Tanpa menunggu apa-apa lagi, Kirana berjalan tergesa menuruni tangga menuju area parkir.

"Ibu." Kirana langsung mencium tangan kanan ibu.

Di samping ibu, sebuah kardus bekas mie instant yang diikat tali plastik hendak diangkat sendiri oleh Kirana. Ternyata cukup berat. Lebih berat dari bobot kardus yang dulu dibawanya sewaktu balik ke Bandung. Jadilah ia dan ibu bekerjasama mengangkat kardus itu menuju ke tempat angkot sedang parkir.

Sebuah angkot yang tadi hampir penuh sekarang benar-benar penuh dengan masuknya Kirana, ibu diikuti dua penumpang lainnya. Angkot melaju pelan meninggalkan terminal. Asap abu-abu membumbung ke udara.

***

Hari Minggu adalah hari mencuci dan beres-beres kamar sesuai versi Kirana. Karena ia harus menjemput ibu pagi-pagi sekali, ia hanya sempat membereskan kamar. Cucian masih direndam dalam sebuah baskom di dekat sumur. Tiga jam adalah waktu yang lebih dari yang dianjurkan pada kemasan deterjen untuk merendam pakaian.

Tapi, Kirana tidak menghiraukan cucian. Ia sangat antusias menyambut kedatangan ibu. Soal cucian bisa diurusnya belakangan.

Ibu duduk di tepi kasur sambil mengamati keadaan kamar. Mencerna semua obyek dalam ruang yang menurutnya sedikit lebih kecil daripada kamar Kirana di kampung. Semuanya tampak bersih dan rapi. Sampai pandangannya kembali kepada Kirana yang tengah membongkar isi kardus sambil duduk di sampingnya.

"Kamu gimana kuliahnya? Senang tinggal di Bandung?" tanya ibu, sekalipun pertanyaan itu juga yang ditanyakan sewaktu Kirana pulang kampung.

"Kuliahnya baik. Lancar. Kirana senang tinggal di sini." Kirana menarik sebuah bungkusan berisi rempeyek kacang dan keripik pisang.

"Itu Ibu yang bikin." Ibu mengusap rambut panjang Kirana yang diikat karet. "Kalau teman kamu dateng kan bisa disuguhi kue bikinan Ibu."

Kirana tersenyum. Keripik pisang dimasukkan ke dalam stoples kaca yang memang sengaja dibeli Kirana untuk wadah kue. Terkadang ia mengisinya dengan biskuit dan camilan lainnya. Lumayan untuk jadi suguhan tamu. Ibu yang selalu mengajarkan untuk menjamu tamu tidak hanya dengan minuman namun juga dengan makanan.

Sebuah stoples berisi abon tongkol dan kering kentang dipandangi Kirana dengan kagum. Ibu selalu saja ingat makanan kesukaannya.

"Ibu nggak mau kamu kekurangan gizi selama di sini."

Sewaktu di terminal, ibu menegur Kirana yang nampak lebih kurus. Kirana menjawab diplomatis bahwa mahasiswa memang banyak tugas dan kadang melupakan makan dan istirahat yang cukup. Tapi ia bersyukur tidak pernah terserang penyakit yang parah. Demam atau pusing sudah biasa.

"Iya, Bu. Nanti deh kalo udah libur semester, Kirana bakal melakukan program penggemukan badan." Kirana menghibur ibu. "Bu. Kirana bentar lagi mau KKN. Setelah itu menyelesaikan skripsi. Doain Kirana ya Bu?"

Ibu mencium pipi Kirana. "Tentu saja. Doa Ibu selalu menyertai kamu."

***

Televisi di kamar Bram menyala nonstop sejak kemarin sore. Pemiliknya tengah berbaring santai di atas karpet. Kepalanya disangga sebuah bantal yang dilipat jadi dua supaya lebih tinggi. Menatap pertandingan sepakbola yang ditayangkan sebuah channel TV luar negeri. Suara sang komentator dalam bahasa Inggris, menjadi satu-satunya suara manusia yang terdengar di dalam kamar yang memiliki pemandangan seperti habis terguncang gempa.

Putus cinta ia sudah biasa. Sudah terlalu biasa sampai ia lupa sudah kali ke berapa. Dan ia tidak pernah menghitung sudah berapa perempuan yang hatinya dipatahkan olehnya.

Tapi, tidak ada yang sesakit seperti ini. Sakit yang berujung tindakan pelampiasan yang destruktif. Ia bisa saja membohongi dunia bahwa ia tidak apa-apa sekarang. Tapi dari caranya melampiaskan kemarahan pada benda-benda di sekitarnya, ia tidak dapat membohongi dirinya sendiri bahwa ia tidak sedang baik-baik saja.

Rian masuk ke dalam kamar membawa semangkuk mie instant yang dimasak bersama aneka sayur-sayuran. Mengacuhkan keadaan kamar yang berantakan, sedangkan si pemilik tidak keberatan terkurung dalam kamar yang kemarin-kemarin dipenuh guncangan emosi dan hamburan barang. Tadi, ia menawari Bram, tapi Bram tidak menjawab. Jadi ia berkesimpulan bahwa sahabatnya itu tidak sedang ingin makan.

"Udah berapa skor? Ada gol lagi?" tanya Rian sambil mengaduk-aduk mie.

"Nggak tau. Gue nggak merhatiin." Bram menunjuk monitor dengan remote. "Emang lo nggak liat tuh skornya? Pake nanya gue lagi."

"Ckck." Rian menggeleng-geleng. "You did, Bro."

"Apaan?"

"Patah hati. Broken heart. Apalagi?" Rian mengecilkan volume TV sampai suaranya bersahabat untuk sebuah dialog serius.

"Udah berapa kali gue bilang, lo salah," elak Bram.

Dan tidak ada bosan-bosannya Rian meyakinkan kalau Bram memang benar sedang dalam fase kritis percintaan. "Ya sudahlah. Lo bakal ngaku juga nanti."

"Yan." Bram menggerakkan badannya, mengajukan permohonan. "Bantu gue cari cewek lagi. Pake kamera lo. Jangan yang terlalu cantik. Jangan yang rambutnya panjang."

Tuh kan. Mulai aneh.

Tanpa meminta persetujuan, Bram menyambar mangkuk mie yang bahkan belum disentuh sama sekali oleh si pembuat. Ia menyantap mie sebanyak-banyaknya bisa masuk ke mulutnya. Baru kali ini mie instant rasanya benar-benar nikmat.

Selesai menyantap mie, Bram mencari handuk. Suara sendawa terdengar setelah ia minum. Lalu ia bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Tidak berselang lama, suara shower berpadu dengan suara nyanyian sumbang Bram.

Rian memandang foto Kirana yang tertancap di bulatan berwarna kuning hitam yang menjadi sasaran tembak anak panah pendek berwarna merah. Satu anak panah tepat mengenai wajahnya. Dua anak panah lainnya meleset dari target.

"Kenapa dilepas?" tanya Bram yang keluar dari kamar mandi memakai celana pendek hitam ketika dilihatnya Rian menurunkan foto Kirana yang tertempel di papan panahan.

"Bukan fotonya yang salah. Gila lo. Wajah cantik begini lo jadiin sasaran anak panah lo." Rian menancapkan lagi sebuah anak panah di permukaan papan bundar itu.

"Cantiknya itu yang jadi racun." Bram berbalik dan melempar handuknya dengan asal.

Tidak mau berdebat untuk hal yang sepele dengan seorang laki-laki yang emosinya sedang labil, Rian mengangkat mangkuk dan gelas yang sudah dipakai Bram, lalu keluar dari kamar.

Selembar foto dipegang dengan tangan kiri sementara tangan kanan menyalakan korek gas. Api yang tercetus dari korek perlahan membakar foto dari ujung. Lama-kelamaan api menghanguskan seluruhnya. Hanya menyisakan remah-remah hitam di atas asbak.

Andaikan semudah itu juga menghapus jejak Kirana di hatinya.

***

Kirana mengajak ibu berkeliling. Tidak sepenuhnya menjelajahi Bandung. Hanya tempat-tempat yang dihapalnya saja. Melihat-lihat gedung sate, taman kota sampai ke Cibaduyut. Tanpa bermaksud membangkitkan ingatannya tentang Bram, Kirana mengajak ibu makan di sebuah warung yang khusus menjual aneka olahan mie yang beberapa kali didatanginya berdua dengan Bram.

"Kamu sering makan di sini?" tanya ibu sambil menuangkan saus ke dalam mangkuk.

"Nggak sering sih, Bu. Kalo kebetulan jalan aja," jawab Kirana yang sedang menambahkan sedikit cuka ke dalam racikan mie.

Ibu mencicipi kuah mie ramen. "Enak ya?"

Kirana mengangguk. "Ini memang tempat makan mie ramen paling terkenal di Bandung, Bu."

Udara dingin dan perut lapar membuat santapan mereka cepat habis. Setelah makan, Kirana masih ingin mengantarkan ibu berkeliling. Namun ibu sudah capek berjalan. Lagipula cuaca sedang mendung. Mereka harus segera pulang jika tidak ingin kehujanan di jalan.

Angkot yang mereka tumpangi cukup lengang. Ibu mengaku senang diajak berkeliling. "Lain kali, ibu ajakin Wulan juga. Nanti kalau kamu wisuda."

***

Pantulan wajah Kirana di cermin ikut tersenyum ketika obyek aslinya tersenyum. Sama seperti airmata yang meluruh di wajah dinginnya. Ada rindu untuk seseorang yang tertawan dalam batin namun tidak ingin diungkapkan kepada makhluk ke mana rasa rindu, cinta dan pengharapan itu berlabuh.

"Aku rindu kamu, Bram."

Menggantikan kalimat yang tidak pernah sekalipun terucap untuk laki-laki yang selama ini menghujaninya dengan cinta dan kasih sayang.

Aku cinta kamu. Aku sayang kamu, Bram.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro