Lukisan Langit

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lukisan langit


Bram segera mengecek ponselnya setelah mematikan mesin motor. Membaca sebuah SMS masuk yang diketik si pengirim dengan kalimat super irit, namun mampu membuatnya tersenyum-senyum seperti orang gila.

Aku lg di dpn kls

Cepat diketiknya SMS balasan. Tidak mau mengecewakan pengirim SMS yang baru saja membuat hatinya berbunga-bunga.

Gw udh mau kesitu

Hanya berselang beberapa detik, SMS balasan masuk ke inboxnya lagi.

Thx

***

Cinta itu membuat kita merasa terlindungi. Jika kemudian menyakiti, ia bukan cinta. Ia nafsu terbungkus amarah.

Alangkah naifnya perempuan yang bersedia menerima cinta seorang laki-laki agar laki-laki tersebut bisa melindunginya. Dan lebih menyakitkan lagi, ketika perlindungan itu diminta si perempuan demi melindungi dirinya dari laki-laki lain. Entah karena alasan takut kepada laki-laki lain atau karena alasan agar ia selalu merasa aman.

Apapun alasan yang dianut Kirana saat menerimanya sebagai pacar, Bram tidak peduli. Ia hanya butuh jawaban itu. Dan bukan lagi jawaban lain yang terus-menerus menggantungnya tanpa status. Bukannya ia begitu mengagungkan status hubungan dengan perempuan. Tidak. Ia sudah menjalani hubungan dengan banyak gadis dan dengan status macam-macam. Mulai sekedar teman tapi mau sampai dibilang pacar nggak juga. Atau yang terparah, hubungan one night stand yang memang usianya hanya semalam itu saja.

Tapi untuk Kirana, ia butuh kepastian.

"Jadi gimana hubungan lo sama semua cewek lo?"

Ini persyaratan terberat yang diajukan Kirana. Monogami. Yang artinya tidak ada namanya selingkuh, menduakan, mentigakan, dan seterusnya.

"Dilihat ntar deh."

Bram bisa menjawab sesantai itu di depan Rian. Padahal sejam sebelumnya, ia mengatakan pasti di depan Kirana. Bagaimana ia bisa dengan mudahnya mengikuti kemauan Kirana, itu yang tidak dimengerti Bram sampai sekarang. Bram kurang percaya dengan santet dan ilmu perdukunan, walau contohnya sudah banyak ia saksikan. Ia tidak percaya jika ia jadi korban. Menurutnya, ilmu hitam akan menyakiti seseorang yang lemah dan percaya akan menjadi korban. Dan ia jelas-jelas tidak termasuk di dua kategori tersebut.

"Hebat ya tuh cewek. Bisa bikin lo ngejar-ngejar dia. Setahun, Man!"

"Tepatnya 13 bulan 5 hari." Bram meluruskan.

"Berarti dia spesial."

"Pasti."

***

Gadis berambut panjang sepunggung dengan ujung-ujung dicurly dan beraroma green tea yang tengah memainkan Blackberry di tangannya, menatap nanar kepada satu makhluk sejenisnya yang tengah menempati sebuah meja di kantin Fakultas Psikologi. Di sebelah gadis yang ditatapnya dari kejauhan itu, seorang gadis berambut pendek tengah mengobrol bersamanya.

Sementara Kirana, yang tengah serius membahas kuliah berikut tidak menyadari bahaya yang datang hanya dalam waktu kurang dari semenit.

"Kamu cewek barunya Bram?"

Percakapan Kirana dan Adel yang tengah serius-seriusnya terinterupsi oleh pertanyaan dari sesosok tubuh langsing tinggi yang datang menghampiri meja mereka.

Pertanyaan apapun tentang Bram apalagi jika itu datangnya dari perempuan, harus dijawab Kirana dengan hati-hati. Tanpa ditebak pun ia yakin, gadis itu salah satu dari pacar Bram. Atau mantan pacar. Ia tidak bisa menyimpulkan gadis itu masuk kategori mana.

"Maaf, ada apa..."

Belum tuntas pertanyaan Kirana, gadis itu langsung melayangkan tamparan keras ke pipi kiri Kirana menggunakan tangan kanan berjari panjang dengan kuku yang juga panjang nan tajam. Kirana yang tentu saja tidak mendeteksi adanya bahaya tidak sempat mengelak ketika kuku-kuku tajam menyabet seperti pedang di pipi kanannya. Meninggalkan tanda garis di sepanjang pipinya yang mulai mengeluarkan darah.

Seorang cowok jurusan lain yang memegangi tubuh si pelaku yang masih belum puas dengan dua tanda mata di wajah Kirana, berteriak dengan suara nyaring.

"GUE BAKAL HANCURIN LO!!"

Kirana tidak ingin mendengar lebih banyak umpatan lagi yang ditujukan padanya. Dalam diam ia berusaha tidak menyesali diri. Ia sudah tahu konsekuensi jika berpacaran dengan cowok seperti Bram. Cowok yang mengumbar janji untuk banyak cewek sebelum dirinya. Seharusnya ia sadar akan hal itu. Tapi ia tidak bisa menarik diri dari hubungan yang baru seumur jagung itu.

"Laporin aja dia, Na," kata Adel yang marah sekaligus panik melihat goresan panjang di pipi kanan Kirana. Ia sudah berinisiatif memberikan tissue untuk menutupi luka itu sementara mereka berjalan setengah berlari mencari tempat yang aman.

Kirana menggeleng. "Nggak. Ini salahku juga."

Adel bingung. "Salah lo? Salah lo gimana? Jelas-jelas tuh cewek yang ngelukain lo?"

Kirana berbalik menatap Adel. "Nggak, Adel. Aku salah. Karena aku,Bram mutusin dia."

Ponsel di dalam tas selempang Kirana berdering. Sebuah SMS dari Bram yang meminta maaf karena tidak bisa menjemputnya sore itu. Kirana tidak membalasnya. Seakan tidak peduli dengan pertanyaan yang mungkin akan Bram ajukan karena ia tidak membalas SMSnya.

Lalu dinonaktifkannya ponsel itu dan mengalihkan pikirannya kepada hal yang lain. Bagaimana menyamarkan luka itu supaya tidak terlihat mencolok di dalam kelas nanti.

Tapi Kirana sempat tersenyum. Sekalipun pipinya jadi korban, setidaknya ia terlihat seperti malaikat. Yang diam ketika dianiaya, lalu berdoa untuk orang jahat agar diampuni kesalahannya. Seharusnya ia kasihan terhadap cewek itu. yang mungkin sudah memberikan segala-galanya untuk cowok yang meninggalkannya demi cewek lain.

Ia mengampuni kesalahan cewek yang rela Bram tinggalkan untuk dirinya karena tanpa melakukan perlawanan pun ia sudah menang. Kirana tidak perlu membuang energi untuk kompetisi yang sudah dimenangkannya sejak Bram memilihnya dan bersedia melakukan monogami.

Pemenang sejati tidak perlu terlalu sesumbar dan terlihat bangga atas kemenangannya, bukan?

"Stupid girl."

Tanpa dapat ditahan, tawa kecil Kirana lepas ke udara. Menebarkan hawa Pride untuk arena yang disebut cinta.

***

"Gue ke jurusan lo tadi. Kenapa pulang nggak..."

Bram bermaksud mengambil handuk yang disodorkan Kirana. Curiga dengan Kirana yang lekas memalingkan wajah kembali ke lembaran kertas yang terhampar di atas meja belajarnya. Ada semburat, tepatnya ruam merah di pipi kiri kekasihnya, yang jelas bukan semu merah karena senang dengan kedatangannya.

"Pipi lo kenapa, Sayang?"

Bram menangkup dagu Kirana lalu membalik wajah putih di depannya, mendapati luka samar lain di pipi sebelah kanan.

"Tadi nggak sengaja kegaruk kuku teman." Kirana tersenyum tipis, cukup terhibur dengan perhatian Bram.

"Niat banget ya teman lo?" Bram mengerutkan dahi. "Trus yang ini?" Bram mengelus lembut pipi kiri Kirana. "Nggak sengaja kegampar teman juga?"

"Bram udah. Aku nggak pa-pa kok," kata Kirana sambil menurunkan jari-jari Bram dari jangkauan dan sentuhan di wajahnya.

"Ada orang yang jahatin lo?" tanya Bram. Ia duduk lesehan di tengah kamar masih menggosok rambutnya yang meskipun masih lembab namun tidak lagi sebasah tadi.

Kirana enggan menjawab. Kakinya diseret menuju meja kecil tempat dispenser berada. Seperti kebiasaannya ketika Bram datang, ia akan menyuguhkan sesuatu. Entah minuman atau makanan kecil. Atau menyiapkan makanan yang sedikit lebih berat untuk mengganjal perut.

"Lo kerjain tugas aja lagi. Nanti gue bikin sendiri." Bram mengambil gelas kosong yang tengah dipegang Kirana.

Diliriknya dispenser dan sekitarnya. Kata Kirana, kopi sachetnya sudah habis. Tinggal teh celup melati kemasan kotak kesukaan Kirana beserta gula pasir dalam stoples bening bertutup plastik.

Kirana duduk kembali, menatap tulisannya yang amburadul. Sejak dua jam lalu, ia terus memaksakan dirinya mengerjakan tugas dengan otaknya yang terus merewind kejadian di kantin fakultas. Kemarahan seseorang yang pernah dekat dengan Bram dan tatapan orang-orang. Membuatnya benci dan malu. Kirana selalu benci jadi tontonan. Terlebih untuk tontonan di mana ia berperan sebagai korban yang tengah dianiaya.

Ia paling benci dengan tindakan penganiayaan. Menurutnya tindakan seperti itu hanya dilakukan oleh orang-orang yang bodoh. Yang membiarkan dirinya dikendalikan amarah dan pada akhirnya hanya bisa menyakiti orang lain.

Ponsel di atas meja menunjukkan pesan dari Adel. Sahabatnya itu menanyakan keadaannya. Kirana membalas dengan pesan bahwa ia baik-baik saja. Plus permohonan agar Adel tidak menceritakan kejadian itu kepada Bram. Adel mengiyakan.

Segelas teh untuk Kirana diletakkan Bram di atas meja setelah menggeser sedikit kertas untuk menciptakan ruang sempit untuk gelas. Kirana mendongak dan Bram menunduk mengambil kertas berisi tulisan Kirana.

"Biasanya tulisannya halus, kenapa malah mirip tulisan gue ya?" Bram membaca kata per kata di bagian atas. Dari tulisan sub bab latar belakang, Kirana sedang membuat makalah. "Mau dibantuin?"

Kirana menggeleng. Ia bukannya tidak tahu bagaimana sibuknya Bram dengan tugas-tugas gambarnya, malah masih menawarkan bantuan pula. Tugas-tugas kuliah Arsitektur jauh lebih sulit dari tugas kuliah Psikologi. Kepala Kirana sampai sakit melihat rancangan sebuah hotel yang dibuat Bram dengan konsep green living. Begitu rumit dan detail. Namun Bram mengaku sangat menikmati setiap tugas yang dikerjakannya.

"Aku masih terlalu yakin sama kemampuanku." Kirana mengambil kertas yang belum selesai dibaca Bram. Lalu mengusirnya agak halus dari meja belajarnya. "Tugasnya mesti cepat selesai, Bram."

Bram mengalah dan pamit ke kamar Elsa untuk numpang menonton TV. Kekasihnya yang cerdas akademik itu sedang tidak ingin diganggu.

***

Tubuh yang terbungkus blus pink dan rok katun panjang berwarna putih berbaring di atas bangku kayu panjang di sebuah taman. Tangannya membalik halaman sebuah buku Psikologi. Serius membaca kata perkata di dalamnya.

Bram, yang untuk kesekian kalinya meminjamkan pahanya untuk dijadikan bantal oleh Kirana, melakukan kebiasaannya. Mengusap rambut Kirana yang tergerai. Memilin-milinnya di jari telunjuknya. Mengelus permukaannya yang halus dan lembut.

Kirana menepiskan buku yang menghalangi pandangannya kepada langit. Sore itu cuaca sangat bersahabat. Tidak panas, tidak juga hujan. Bram seolah sudah tahu keindahan sore yang begitu cocok untuk mereka bersantai di taman.

"Bram. Kamu bisa buatin lukisan langit?" tanya Kirana.

"Melukis bukan keahlian gue." Bram menjawab. "Lagian apa bagusnya ngelukis langit?"

"Langit itu lambang kebebasan. Dan lapisan paling tinggi dari yang bisa kita lihat di atas bumi. Lambang kebanggaan." Kirana mengatakan alasannya. "Buatin ya?"

Bram berpikir sambil menelusuri pelipis Kirana yang tidak tertutup rambut.

"Bram? Kamu dengar nggak?"

"Nanti gue motret langitnya aja. Trus gue edit. Gampang kan?"

"Nggak bakal sama." Kirana menolak. "Bram ya?"

"Sayang, gue nggak bisa ngelukis, sumpah."

Kirana menggeram pelan. "Katanya sayang? "

"Mm, iya, iya."Bram mencubit pipi kanan Kirana dengan gemas. "Lo bangun dong. Pegel nih."

Kirana bangun perlahan dan Bram menunduk untuk mencium dahinya. Kirana memejamkan mata dan setelah Bram menegakkan kembali wajahnya, Kirana menoleh. Berpura-pura marah. "Nyium suka nggak ijin. Kebiasaan."

Bram menyeringai. Setelah Kirana duduk, diraihnya tangan kanan Kirana, dijalinkan dengan jemarinya. Kirana merapatkan tubuhnya dan membiarkan Bram memeluknya. Meletakkan puncak kepala di bawah dagu Bram.

"Aku mau es krim cone yang cokelat." Permintaan Kirana yang lainnya lagi. "Abis itu, anterin aku pulang. Besok ada kuis. Mm, aku belajar semalaman jadi nggak bisa jawab telepon dan SMS kamu."

Hanya senyuman, iya dan anggukan untuk semua keinginan Kirana. Bram sudah sampai taraf memuja perempuan itu. Apapun akan dilakukannya untuk Kirana.

Berapa lama ia akan bertahan?

Hubungan dengan satu perempuan adalah satu dari sekian banyak hal membosankan di dunia ini menurut versi Bram. Apa gunanya Tuhan menciptakan begitu banyak makhluk cantik dan seksi di muka bumi ini jika laki-laki tidak bisa bersenang-senang dengan beberapa di antara mereka? Garis bawahi kata beberapa. Bukan salah satu, karena Bram memang tidak memasukkankata "satu" itu dalam kosakata tentang perempuan.

Bukan hanya sekali Bram tergoda. Sering. Berkali-kali. Banyak perempuan lain yang lebih cantik secara fisik. Ya, sekali lagi soal fisik memang relatif.

Tapi mereka bukan Kirana. Mereka tidak seperti Kirana.

Kirana miliknya adalah yang terbaik dari semuanya. Ibarat kata, semua yang diinginkan laki-laki dari seorang perempuan ada di dalam diri Kirana. Terlepas dari sifatnya yang tertutup, Kirana sempurna.

Tapi bukankah tidak ada manusia yang sempurna?

Ah, tapi Kirana-nya adalah sempurna. Kirana-nya adalah segala-galanya.

***

Motor Bram berhenti di depan sebuah toko yang menjual laptop dan komputer. Kirana yang sudah mengganti seragam kerjanya dengan blus putih yang dilapisi jaket Bram, segera turun dari boncengan. Tidak sabar untuk masuk toko dan segera membawa pulang benda yang diinginkannya.

Selama ini, Kirana kerap meminjam laptop Elsa, komputer Adel atau rental komputer untuk mengerjakan tugas. Lama-kelamaan ia semakin tidak enak hati terus-menerus meminjam, walau Elsa dan Adel tidak pernah keberatan. Sudah saatnya ia memiliki benda yang sudah jadi barang umum mahasiswa dan pelajar itu. Uang yang dikumpulkannya dari beasiswa dan gaji bekerja di swalayan kalau dihitung-hitung sudah cukup untuk membeli sebuah laptop dan printer.

"Bram coba deh lihat yang ini." Kirana menarik-narik ujung kaus hitam Bram. Si cowok yang tengah melihat-lihat laptop di etalase yang berseberangan dengan tempat Kirana, langsung memindahkan fokus matanya ke laptop yang ditunjuk Kirana.

Sebuah notebook pink dengan merk produsen asal Jepang. Harganya cukup standart untuk kantong mahasiswa. Lalu bagaimana dengan fitur-fitur yang tersedia? Dan apakah bisa tahan lama?

"Serius mau yang warna ini?" tanya Bram. Warna pink cukup pas menggambarkan kepribadian Kirana yang lembut.

"Iya."

Sebelumnya Kirana memang sempat mengutarakan niatnya membeli laptop. Bram mengusulkan beberapa tipe sesuai spesifikasi dan harganya dengan menunjukkan gambar-gambar di Blackberry yang diambilnya dari sebuah toko online. Waktu itu Kirana belum memutuskan mau yang mana.

Setelah menanyakan tentang seluk-beluk laptop tersebut dan melakukan penawaran, Bram yang bertindak sebagai negosiator langsung meminta laptop tersebut untuk dikemas beserta perangkat tambahan lain.Printer,mouse, flash disk, pad dangarskin yang semuanya merupakan kombinasi dari sarannya dan juga pilihan Kirana.

Setelah berbelanja laptop dan printer, Bram mengajak Kirana ke sebuah rumah makan. Kirana menatap barang-barang yang dikemas dalam dua kantung plastik putih besar. Membayangkan jika harus menentengnya masuk rumah makan.

"Harusnya kan tadi makan dulu? Trus nih barang-barang gimana? Masak dibawa-bawa?"

"Tenang. Bentar lagi Rian nyampe bawa mobil." Bram mengacak poni Kirana. "Lo juga tadi, nggak sabaran mau cepat-cepat beli laptop."

Kirana tersipu malu. Ia menyingkirkan tangan Bram yang mencolek hidungnya dan menarik wajahnya menjauh ketika Bram hendak mengecup pipinya. "Bram?"

Klakson mobil Rian menyentakkan Bram yang tengah memeluk Kirana dengan satu tangan. Kepala Rian terjulur keluar dari jendela.

"Woi! Liat-liat tempat dong kalo mau pacaran."

Bram mengangkat dua kantung plastik dan memasukkannya ke dalam mobil. Diletakkan di kursi penumpang di sisi kiri kursi kemudi yang diduduki Rian. Kemudian kembali meminta kunci kamar Kirana.

Kirana ragu memberikan kunci kamarnya. "Rian nggak suka ngacak kamar orang kan?"

Bram menggeleng. "Nggak. Kan cuma mau disimpan di kamar? Habis itu kuncinya dititip ke teman kosan lo. Aman kan tempat kost lo?"

"Aman sih. Cuma..." Kirana menarik tangan Bram, memikirkan kemungkinan paling bodoh. Rian tidak mengunci pintu dan laptop barunya digondol maling. "Kalo gitu kita langsung pulang aja?"

"Gue laper, Sayang."

Kirana lekas melakukan penawaran. "Nanti aku masakin mie, gimana?"

"Gue maunya nasi." Bram menolak.

"Ya makannya nasi sama mie." Kirana menambahkan. Untuk anak kost, makan nasi dan mie yang mengawinkan dua jenis karbohidrat yang miskin gizi itu adalah hal lumrah. Bisa dikatakan sebagai makanan kebangsaan para mahasiswa, di samping telor ceplok dan ikan asin.

Bram masih menggeleng. "Sampe kosan lo, nanti gue ngacir beli nasi campur."

"Aku pulang sama Rian aja kalo gitu."

"NO!!"

Lima menit kemudian, Kirana duduk di boncengan Bram dan mobil Rian mengikuti dari belakang.

***

Bram muncul di depan kamar kost Kirana dengan tiga bungkus nasi campur. Rian, pihak ke tiga, tanpa direncanakan ikut makan sore bersama mereka.

Setelah menolak tawaran mie instant, Bram tanpa mau kompromi lagi langsung tancap gas ke warung nasi terdekat.Urusan makan saja kerap menimbulkan perdebatan walau tidak sampai ada pihak yang mogok makan.

"Ambil piring dulu." Kirana berbalik sebentar lalu membuka lemari kayu kecil tempat menyimpan peralatan makan. Piring, sendok dan gelas.

Rian yang baru saja hendak meletakkan nasi bungkusnya di atas karpet dan makan pakai tangan seperti biasa, mengurungkan niatnya. Bram mengangkat ke dua alis. "Ikutin aja."

Rian tidak berkedip menyaksikan Kirana yang mengatur nasi bungkus di atas piring yang masing-masing sudah dilap bersih. Meletakkan masing-masing piring ke depan Bram dan ia yang duduk bersila. Sendok diletakkan di atas nasi dengan posisi bagian cekung menghadap ke atas. Lalu gelas berisi air putih yang diletakkan di atas baki, masing-masing gelas ditutup dengan penutup gelas dari bahan stainless.

"Sudah boleh makan?" tanya Rian.

"Iya. Silahkan." Kirana tersenyum.

Sambil makan, mereka mengobrol tentang kuliah. Rian terkejut mengetahui Kirana ternyata sudah mengambil mata kuliah seminar dan KKN untuk semester ini sementara di semester yang samaia dan Bram masih ada beberapa mata kuliah yang belum selesai.

"Jadi targetnya 3 setengah tahun." Rian mengangguk.

"Mudah-mudahan." Kirana tersenyum. "Perjalanan masih panjang,Yan."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro