Puncak

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Puncak



Sebuah bus besar bercat putih bergerak perlahan meninggalkan sebuah terminal yang ramai oleh manusia dengan beragam aktivitas.Meninggalkan jejak asap karbon monoksida yang berkontribusi menambah jumlah polutan di udara. Pepohonan beruntung, mendapat asupan bahan bakar fotosintesis yang tidak terbatas. Seperti simbiosis mutualisme. Mengolah zat yang bersifat racun menjadi oksigen yang berguna untuk kehidupan.

Lalu sebuah bus lainbercat biru muda yang melaju sama hati-hatinya dengan bus yang baru saja berlalu pergi tersebut,berhenti di area kosong yang memang diperuntukkan bagi jalur angkot di dalam terminal.

Kehidupan pun seperti itu. Ada dua hal yang berlawanan. Ada yang datang dan ada yang pergi. Masing-masing bergerak di bawah kendali manusia yang diatur Tuhan dalam kitab yang disebut takdir. Semacam siklus yang akan terus berlangsung sepanjang periode kehidupan manusia.

Sang kenek bus yang baru tiba tadi melompat turun sebelum bus benar-benar berhenti, seolah tidak takut akan jatuh dan keserempet, kemudian berteriak sambil sesekali menunjukkan isyarat tangan di mana bus bisa berhenti di posisi yang benar. Bus nyaris berhenti ketika dua orang penumpang remaja ikut melompat turun dari bus, seolah takut keduluan dengan penumpang lain.

Penumpang yang penuh sesak di dalam bus tersebut satu-persatu turun dari bus dengan beragam ekspresi wajah, sebagian besar nampak lelah. Turun dengan aneka bawaan masing-masing berupa tas, kantung kresek aneka warna, kardus bahkan ayam hidup. Bagi yang memiliki barang tambahan di bagasi, mereka menunggu kenek yang berjumlah tiga orang, menurunkan barang mereka masing-masing. Sedangkan penumpang lain yang tidak memiliki barang di bagasi, berjalan menjauhi bus tanpa perlu menunggu lebih lama. Ada yang langsung mendapatkan jemputan. Seperti serombongan ibu-ibu yang berjalan sampai ke tempat parkir dan masuk ke sebuah mobil Avanza hitam. Lainnya memilih duduk di ruang tunggu. Mengabaikan tukang ojek dan angkot yang masuk ke terminal menawarkan jasa.

Kirana yang duduk termenung di salah satu kursi di ruang tunggu, mengamati aktivitas orang-orang di terminal sambil ikut membayangkan menjadi salah satu dari mereka. Tas berisi pakaian diletakkan di pangkuannya.

Ia hanya satu dari banyak penumpang yang menunggu keberangkatan bus. Ia sudah mendapatkan kursi dalam bus sesuai yang diinginkan. Beruntung ia cepat membooking kursi hingga ia berhasil mendapatkan kursi di bagian depan, dalam satu deret dengan kursi supir. Di dekat jendela pula.

Tadinya ia bermaksud menunggu saja di dalam bus. Namun tidak ada tanda-tanda bus akan berangkat cepat. Masih banyak kursi yang kosong di deretan tengah hingga ke belakang. Seperti sudah janjian sebelumnya, penumpang yang datang lebih awal, mengisi kursi mulai dari depan. Bagi yang kurang beruntung, silahkan menempati kursi di deretan paling belakang.

Seperti kehidupan. Melakukan seleksi. Mengambil yang terbaik di antara pilihan yang tersedia serta menyisihkan lainnya yang kurang baik.

Sejak sejam yang lalu bus itu masih diam di dalam terminal bersama bus-bus lain yang menunggu penumpang sampai terisi penuh. Sejam itu pula masa penantian Kirana dan lima penumpang pertama. Menunggu kapan bus itu akan penuh dan berangkat. Berkali-kali supir dan kenek secara bergantian membujuk mereka untuk bersabar menunggu. Alasannya rugi jika bus berangkat dengan jumlah penumpang sedikit.

Pengalaman menunggu dosen selama kuliah membuat Kirana tidak terlalu merisaukan kapan bus itu akan berangkat. Pikirannya lebih banyak tersita untuk hal-hal lain, namun bukan tentang kuliah. Pikirannya sudah berat tentang itu selama kurang lebih empat bulan.

Bukan. Bukan tentang itu. Karena ada hal lain yang tidak kalah pentingnya. Sesuatu yang bersembunyi dalam memorinya akan masa lalu. Terkadang membuatnya takut, berharap sesuatu itu segera pergi.

***

Bus bertuliskan nama sebuah armada pengangkutan itu akhirnya bergerak juga. Para penumpang pun akhirnya bisa bernapas lega. Perjalanan mereka dimulai juga setelah sebelumnya mereka dalam penantian tidak pasti tentang kapan busnya akan berangkat.

Bus itu membawa Kirana pulang.

Pulang. Satu kata yang memiliki dua arti untuk Kirana. Rindu dan kalah. Dua kata yang saling berhubungan satu sama lain. Yang bersekutu hingga membuatnya mengambil keputusan untuk pulang.

Ia rindu ibu.

Ibu yang tidak banyak bertanya ketika Kirana mengatakan akan kuliah ke Bandung. Tidak bertanya alasan kepergian Kirana yang dirahasiakan dari semua orang. Tidak bertanya mengapa harus meninggalkan kampung mereka.

Ibu tidak bertanya walau sebenarnya beliau ingin tahu.

Ibu bertanya bukan karena tidak peduli.

Yang beliau tahu, walaupun ditanya berkali-kali putri sulungnya itu tidak akan menjawab apa-apa.

***

Sepanjang perjalanan pulang, Kirana lebih banyak membuka mata. Ia tidak bisa tidur. Yang dibayangkannya kini adalah bagaimana reaksi ibu dan Wulan ketika ia pulang, setelah dua tahun komunikasi mereka terkoneksi lewat surat. Apakah ibu dan Wulan akan menyambutnya dengan hangat? Melupakan? Atau malah sebaliknya? Bagaimana jika ke dua orang tersayangnya itu...membuangnya dari kehidupan mereka? Sama seperti seseorang yang membuang mereka bertiga dari kehidupannya?

Kirana cepat menepis pertanyaan di benaknya sebelum beranak pinak menjadi pertanyaan yang semakin lama semakin tidak masuk akal. Diyakinkannya diri sendiri. Ibu dan Wulan sangat menyayangi dan siap menerima kehadirannya kapanpun ia mau.

Kaca jendela yang luas menyajikan pemandangan indah di luar. Pepohonan rimbun yang berjajar seakan berlari, padahal pepohonan tersebut tetap di tempatnya masing-masing.

Kirana ingat sewaktu kecil dulu, ia paling tidak tahan naik mobil. Ia akan merasa pusing, mual, bahkan muntah ketika berada di atas mobil, meskipun jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh. Jadi oleh ibu, Kirana selalu dibekali obat-obatan sebelum naik mobil. Ibu akan menggosokkan minyak angin atau minyak kayu putih ke perutnya. Kemudian meminta Kirana membaui aroma minyak pengusir masuk angin itu supaya ia tidak merasa pusing dan mual lagi.

Untuk pertamakalinya Kirana tidak mengeluh pusing dan mual lagi yaitu ketika ia berdua ibunya naik sebuah bus yang sangat nyaman. Seingatnya lebih nyaman daripada bus yang ditumpanginya kini. Entah karena ia bersama ibu yang terus memeluknya sepanjang perjalanan. Atau karena pakaian Kirana yang baru dan berbau harum. Sebuah dress pink dengan bunga-bunga kecil di ujung rok dan lengannya yang pendek yang dibelikan ibu untuknya di sebuah toko besar.

Seingatnya waktu itu ia sangat antusias dengan liburan mereka sampai-sampai ia tidak pernah membayangkan maksud liburan yang dimaksud ibu.

"Bajunya bagus, Bu."

Kirana kecil berputar-putar lalu mematut tubuh mungilnya di depan cermin. Dress itu sedikit kebesaran, namun tetap saja indah di matanya. Kirana mendengar ibu akan membereskan pakaiannya yang belum semuanya masuk ke dalam koper. Ibu menghilang dari kamar dengan cepat. Dan Kirana berbalik menatap cermin dan kembali kagum dengan bayangannya sendiri.

"Nanti bajunya mau dipakai buat ulangtahun Melisa." Kirana menyebut teman sebangkunya di kelas yang akan berulangtahun minggu depan. Ia kemudian cekikikan lagi. Mendapati seluruh benda di tubuhnya berwarna pink.

"Nana cantik," gumamnya riang sesaat sebelum ia berlari keluar kamar menuju ke teras. Ia ingin menunjukkan pakaiannya untuk siapa saja yang kebetulan lewat di depan rumah.

Waktu itu ibu mengatakan bahwa mereka akan berlibur di sebuah tempat yang sangat indah. Tempat yang banyak gunung-gunung untuk digambar dan sungai kecil untuk tempat bermain air. Tempat yang jauh lebih baik dibanding tempat mereka tinggal sebelumnya. Tempat Kirana lahir dan tumbuh menjadi gadis kecil yang manis dan lincah. Bersama ayah yang sebulan ini belum juga pulang dari bekerja di luar kota.

"Ayah kok nggak pulang-pulang, Bu?"

Sambil menunggu kedatangan Oom Putra, saudara jauh ibu yang akan mengantar mereka ke terminal, Kirana menanyakan pertanyaan itu sekali lagi.

"Nanti pulang kok," jawab ibu tenang sambil mengelus puncak kepala Kirana.

"Trus gimana kalo ayah pulang kita nggak ada?" tanya Kirana lagi.

"Nanti ayah nyusul kita, Kirana." Ibu menjawab lagi. Kali ini sambil memeluk Kirana kuat-kuat.

Airmata ibu mengalir di sudut mata yang mulai berkerut-kerut karena faktor usia. Ibu kerap menangis tiba-tiba. Kirana selalu bertanya alasan ibu menangis, dan ibu selalu menjawab kalau ibu hanya kangen dengan opa dan oma.

Seharusnya Kirana tahu, ini adalah akhir dari kehidupan mereka di Jakarta sekaligus awal hari baru mereka di tempat yang baru. Yang banyak gunung dan sungai itu.

"Ibu, mobilnya kapan berhenti?"

"Sebentar lagi, Sayang."

"Nana pusing."

"Ya sudah. Tidur di pangkuan Ibu ya?"

"Tapi kasih tau Nana ya kalau sudah sampe?"

"Iya."

Lama kelamaan botol minyak kayu putih terlepas dari genggaman tangan Kirana. Walau boneka beruang kecil yang matanya sudah lepas satu, dan satu sisi dijahit tangan karena kapasnya terburai, masih didekapnya erat dalam tidur.

. ***

Kirana bangun dan mencari botol minyak kayu putih. Ia memandang dalam kegelapan, sampai ke dua matanya benar-benar mampu menangkap rangsang cahaya di sekelilingnya. Entah berapa lama ia tertidur begitu pulasnya padahal tadinya ia belum merasakan kantuk.

Ah, rupanya hanya mimpi. Di sebelahnya seorang perempuan tengah tidur dengan posisi kepala miring ke kanan. Bukan ibu seperti yang dilihatnya dalam mimpi. Ia membetulkan posisi duduknya, menghalau jauh-jauh mimpi yang sejenak mengusik pikiran.

Sebagian besar penumpang bus tertidur dengan posisi duduk walau bukan posisi yang nyaman bagi sebagian orang. Bagian kecil penumpang yang tidak tidur, mengobrol.

Kali ini, setelah dua tahun kuliah di Bandung, ia memberanikan diri untuk pulang. Rindunya tidak bisa ditahan lagi. Rindu kepada ibu, Wulan, kios kecil di depan rumah mereka. Puncak, sebuah lokasi tenang dan berudara dingin adalah pemandangan indah yang diakrabinya selama bertahun-tahun. Seindah-indahnya kota Bandung, tidak akan sanggup menggantikan keindahan kampung kelahirannya.

Kirana turun dari ojek yang berhenti di depan rumahnya. Kios terbuka, entah siapa yang tengah menungguinya. Sepi, tidak ada manusia bahkan ayam yang kadang berkeliaran di halaman pun tidak nampak.

Sejak bus tibadi terminal, Kirana semakin tidak sabar ingin segera bertemu ibu dan adiknya, Wulan. Terbayang reaksi ibu dan Wulan mendapat kejutan dengan kedatangannya yang dirahasiakan. Oleh-oleh yang sudah disiapkan tersimpan rapi di dalam tas kecilnya yang berisi pakaian santai untuk dipakai di rumah selama liburan.

Wulan yang muncul di ambang pintu setelah mendengar bunyi klakson motor, bergegas keluar. Ia berlari menyambut Kirana. Wajahnya senang. Dipeluknya tubuh sang kakak erat-erat lalu berbalik dan berteriak ke arah rumah. "Ibuuu! Teteh pulang!"

Kirana menyeka airmata haru dan memeluk adiknya. Tubuh Wulan nyaris menyamai tinggi tubuhnya. Wulan mengenakan pakaian panjang. Jilbab dan kaus coklat serta rok biru bekas rok SMP-nya. Ia antusias mengangkat barang bawaan Kirana, tas pakaian dan satu kantung kresek hitam yang sempat diintipnya tadi, masuk ke dalam rumah.

Beberapa saat kemudian ibu yang keluar dari dapur, melihatnya.

***

"Wah, handphone. Keren pisaan, Teh."

Wulan berdecak kagum dengan handphone yang dibelikan Kirana untuknya. Hampir dua tahun yang lalu, kakaknya janji akan membelikan alat komunikasi itu. Untungnya ia baru kelas XI, jadi masih ada waktu untuk memakai sekaligus memamerkan handphonenya kepada teman-teman. Ia ingin membuktikan ucapannya seminggu lalu kalau ia akan punya handphone ketika kakaknya pulang di waktu libur kuliah.

Untuk ibu, Kirana membelikan sebuah baju yang bisa dipakai ibu jika ada hajatan. Juga sepasang sandal. Oleh-oleh lainnya yang berupa makanan dikeluarkannya dari kantung plastik. Sekotak roti unyil, brownies paling kesohor di Bandung dan pastel ayam. Sebagian disisihkan untuk disuguhkan buat tamu. Siapa tahu ada tamu yang kebetulan datang berkunjung ke rumah.

"Maaf, Bu. Kirana cuma bisa bawain ini."

Ibu yang tadinya sempat terpaku melihat kedatangan Kirana, mengelus punggung putri sulungnya tersebut. "Kamu mau pulang aja, Ibu udah seneng."

Kirana dan ibunya saling berbalas senyum.

Selama kuliah, Kirana berkomunikasi dengan ibu dan Wulan melalui surat-surat yang rutin dikirimkannya. Namun setelah Wulan punya handphone, Kirana berjanji akan semakin rajin menghubungi ibunya melalui handphone Wulan.

Setelahpuas memeluk dan mencium Kirana, ibu menyuruh Kirana untuk makan siang. Kirana bersemangat. Alasannya perutnya yang lapar sudah sangat rindu masakan ibunya. Sejak pagi, menjelang keberangkatan menuju terminal ia hanya sarapan roti unyil dua buah dan segelas air putih. Rasa antusias akan sesuatu memang kerap membuat seseorang mengabaikan rasa lapar.

Di atas meja tersaji menu sederhana yang menjadi kesukaan Kirana. Tempe goreng, tumis oncom jamur tiram, dan sayur bening bayam lengkap dengan sambal terasi dan lalapan. Ibu menyendokkan nasi dan ikut duduk mengamati putrinya makan.

"Teh, handphonenya bisa Wulan bawa ke sekolah?" tanya Wulan yang menarik kursi di dekat ibunya. Di kedua telinganya terpasang headset yang terhubung dengan lagu-lagu dalam playlist barang elektronik yang sepenuhnya sudah jadi miliknya tersebut.

"Boleh. Tapi jangan pamer atuh. Handphonenya juga nggak mahal kok. Nanti kamu diledekin."

Wulan mengerucutkan bibir. "Bagus handphonenya. Sama punya Ratna." Wulan menyebut salah satu teman sekelasnya yang suka pamer barang-barangnya yang sebenarnya bukan dari jenis barang yang terlalu mahal. Karena teman yang lain tidak ada yang tukang pamer seperti Ratna, makanya Ratna jadi keasyikan sendiri dengan hobi pamernya itu.

"Ya sudah. Asal dijaga, Wulan."

Wulan mengangguk. "Iya. Pasti!" Ketika tangannya mencomot sebuah tempe goreng, ibu menepuk pelan punggung tangannya. "Cuci tangan dulu."

Wulan tersenyum malu. Saking bersemangatnya dengan handphone baru, ia lupa mencuci tangan. Ia lantas buru-buru masuk dapur, mencuci tangan dengan air dan sabun, lalu kembali ke meja dengan gelas berisi air putih untuk Kirana. Sepotong tempe diambil dan dikunyah dengan lambat.

Kirana tersenyum. "Bentar pijitin Teteh ya? Kan udah dibeliin oleh-oleh."

Wulan mengangguk. "Siip! Kalau perlu sampe Subuh dipijitin, Teh."

Mereka bertiga tertawa bersamaan. Kehangatan seperti ini yang telah lama dirindukan Kirana. Bahagianya mereka bisa berkumpul lagi. Walau seminggu ini akan terasa singkat, Kirana berjanji akan memanfaatkannya sebaik mungkin.

***

Kamar kecil yang sempit dengan dua buah tempat tidur ukuran single ramai oleh suara musik yang berasal dari sebuah handphone bercasing pink. Wulan tengah memijit betis kanan dan kiri Kirana secara bergantian sambil mengobrol santai dengan kakaknya.

"Udah baikan sama kak Bagas sama kak Irin?" tanya Wulan yang selalu ingin tahu tentang kakaknya. Bukan karena ingin merecoki, namun lebih ke arah prihatin. Ia melihat betapa akrabnya kakaknya dulu dengan sahabat-sahabatnya itu. Dan sekarang, ketika kakaknya pulang kampung, ke dua sahabatnya malah tidak tahu sama sekali.

"Teteh nggak pernah musuhan kok sama mereka." Kirana berkilah. Ia ingat akan menanyakan perihal nomer handphonenya yang diketahui Bagas dan Irin, namun urung.

"Trus kenapa kayak orang musuhan?"

Kirana tidak menjawab. Ia diam saja. Wulan sudah hapal watak sang kakak. Jika ia mendadak diam, berarti ia tengah kesal dan tidak akan berkata apa-apa lagi. Setidaknya sampai sejam ke depan.

Wulan buru-buru meminta maaf. "Maaf, Teh. Udah, Teteh tidur aja."

Jam dinding bulat dengan merek sebuah produsen mie instant menunjukkan pukul dua kurang lima menit. Kirana mengerjapkan matanya yang masih terasa berat. Ternyata ia sempat tertidur tadi. Lelah dan karena pijitan Wulan yang mampu membuat tubuhnya rileks hingga akhirnya tertidur. Wulan entah ke mana. Ranjang adiknya yang sejajar dengan ranjang yang ditidurinya dalam keadaan rapi. Handphone beserta perangkat headset tergeletak di tengah-tengah ranjang kosong itu.

Ruang tengah, dapur dan kamar ibu dijelajahi Kirana, namun ia tidak menemukan bayangan seseorangpun. Sepertinya ibu dan Wulan ada di dalam kios.

Ternyata di dalam kios hanya ada ibu. Di atas meja tergeletak peralatan menyulam lengkap dengan kain sulam yang belum jadi. Kebiasaan ibu yang tidak pernah berubah. Ibu selalu memiliki banyak hal untuk dikerjakan.

Kirana tidak ingin mengagetkan ibunya yang tengah berjongkok di depan lemari. Menyusun gula pasir yang sudah ditakar dan dikemas dalam beberapa ukuran. Ia masuk kembali ke dalam rumah, menunaikan ibadah dan kembali lagi ke kios. Semua aktivitas itu dilakukannya tidak lebih dari 10 menit.

"Bu, nanti Kirana yang jaga kios."

Kirana tersenyum kepada ibu yang duduk sambil menyulam. Ke dua mata ibu yang rabun dekat membuatnya harus mengerjakan sulamannya dengan jarak yang cukup jauh dari matanya.

"Biar ibu saja. Kamu kan capek. Istirahat saja dulu." Ibu kembali melanjutkan pekerjaannya.

Dari arah jalan dengan pengerasan kerikil yang sejak SMA hingga detik ini belum tersentuh pengaspalan, Wulan berjalan sambil bergandengan tangan dengan Alfi, teman sebangkunya yang pengoleksi novel. Ke dua remaja yang sama-sama berkerudung itu tengah mengobrolkan sesuatu, yang Kirana harap bukan soal cowok.

Alfi duduk menunggu di teras, sementara Wulan berlari-lari kecil masuk ke dalam rumah. Tidak lama, karena rumah itu juga kecil, Wulan keluar membawa handphonenya.

Hmm, baru aja dibilangin jangan pamer, batin Kirana. Walau ia mengaku geli dengan kelakuan polos adiknya.

Alfi mengamati benda bercasing pink di tangannya dengan cermat. "Bagus ini, Lan. Keren. Unyu-unyu."

Pujian tulus terlontar dari mulut Alfi. Ia sendiri sudah sejak SMP memiliki handphone. Barang semacam itu bukan lagi barang mewah untuknya. Beruntung, sejak bersahabat dengan Wulan, Alfi bisa menjaga sikap dengan baik. Tidak sombong, apalagi pamer.

"Dibelikan Teh Kirana. Kakakku baik kaaan?" Wulan berseru senang.

Kirana dan ibunya tertawa pelan dari dalam kios. Ikut senang dan bahagia.

***

Setelah makan malam, Kirana memutuskan tidak langsung masuk kamar seperti kebiasaannya sejak dulu. Kamar kostnya di Bandung sudah membuatnya bosan terkurung dalam sebuah ruangan sempit. Ia menjaga kios bersama Wulan. Sementara ibu duduk di ruang tamu sambil menyulam.

Kirana yang duduk menunggui kios mengusap-usap lengannya yang sejuk karena tidak tertutup kain. Ia menghirup udara dingin dengan pelan, lalu menggigil. Semakin malam, udara semakin dingin.

Malam di Puncak selalu seperti ini. Sunyi, dingin dan sepi. Posisi desa yang jauh dari jalan poros kabupaten menyebabkan aktivitas penduduk berakhir lebih awal. Di rumahnya, begitu pula rumah-rumah lain di desanya. Pintu-pintu dan jendela tertutup rapat dengan para penghuni yang tengah beristirahat atau melakukan aktivitas di dalam rumah. Menonton bagi yang punya TV, mengobrol, atau menyulam seperti yang dilakukan ibu.

Terkecuali bila ada hajatan. Pernikahan, misalnya. Kampung akan ramai di satu tempat, yang memudahkan petugas kelurahan mencatat jumlah penduduk atau pemilik barang kredit yang biasanya sulit menagih karena orang yang ditagih sering menghilang dari rumah. Orang-orang, mulai yang muda sampai yang tua, anak-anak sampai kakek-nenek berkumpul di dalam rumah dan sekitar halaman penyelenggara pesta. Suara musik yang berasal dari VCD bajakan, atau elekton yang diteruskan oleh sound systemyang saking disetel terlalu keras, bisa terdengardalam radius beberapa kilometer.

Selain itu, tidak ada yang berbeda. Malam ini sama seperti kemarin malam dan malam-malam sebelumnya. Kalaupun ada yang berubah, itu hanya penunjukan tanggal di kalender.

Plak!

Seekor nyamuk yang tengah bernasib naas terkena tepukan keras, terhuyung di udara dan jatuh ke atas meja. Lengan kanan Kirana bernoda darah. Sepertinya sudah lumayan banyak darahnya yang terisap nyamuk yang sudah tewas tadi.

"Beliiii...."

Suara seorang anak laki-laki terdengar dari balik lemari kaca. Tubuhnya yang pendek membuat tubuhnya tidak terlihat dari tempat Kirana duduk. Hanya suaranya yang menyebutkan barang-barang yang disuruhkan orang rumah untuk dibeli.

Gula pasir, kopi dan teh.

"Hei, Asep ya?" Kirana mengelus kepala anak laki-laki yang membungkus tubuh hingga menudungi kepalanya dengan sarung. Kantung plastik berisi belanjaan Asep diulurkan setelah Asep memberikan selembar uang 20 ribu.

Asep adalah tetangga Irin. Terakhir kali melihat anak itu, ia duduk di kelas 1 di sebuah SD negeri di kampung, tempat Kirana dulu bersekolah. Dua tahun, tinggi anak itu tidak bertambah juga. Badannya yang pendek dan sedikit kurus diwarisi dari ayahnya yang seorang pegawai perkebunan teh.

"Iya teteh geulis." Asep tersipu malu. Walaupun masih kecil, ia sudah mampu menilai wajah seseorang.

"Ah, Asep mah bisa aja." Kirana menutup kembali laci penyimpanan uang setelah menghitung uang kembalian. Ke dua mata cekung Asep membulat.

"Kembaliannya bisa buat jajan, Teh?" tanya Asep penasaran. Anak seusia dia, dimanapun selalu girang jika melihat uang seribu atau dua ribuan. Uang dengan pecahan tersebut berarti peluang untuk membeli jajanan.

"Ibu memang pesen apa aja?"

Asep menunduk. "Ibu udah meninggal, Teh."

Cepat-cepat Kirana meminta maaf. "Maaf, Asep. Teteh nggak tau."

Asep masih memurungkan wajah. "Nggak pa-pa." Matanya memperhatikan lembaran uang yang baru diterimanya. "Teh, kata bapak, kembaliannya buat jajan."

Asep menunjuk ke gelantungan makanan ringan berhadiah yang tergantung di atas lemari. "Itu aja, Teh."

"Berapa?"

"Satu aja. Uangnya mau disimpen buat jajan besok di sekolah."

Setelah menarik sebungkus makanan ringan, Kirana beranjak ke deretan stoples plastik yang berjejer di atas lemari. Dibukanya satu stoples berisi kue pabrik sejenis bakpia.

"Nah, ini hadiah buat Asep." Kirana mengacungkan sebungkus kue dan dimasukkan ke dalam kantung plastik beserta makanan ringan yang ditunjuk Asep tadi.

Walau ragu, Asep akhirnya tersenyum juga. Kirana menatap punggung Asep sampai memasuki halaman rumahnya. Di sebelah rumah Asep, sebuah rumah mungil beratap genteng berdiri kokoh.

Rumah Irin.

***

"Teh Irin udah nggak tinggal di situ lagi," jawab Wulan sambil menatap kakaknya yang duduk bersila di atas kasur. Malam itu ia tengah mengerjakan PR Fisika. Kepalanya berdenyut karena pusing. Soalnya susah sekali.

"Trus sekarang di mana?"

Wulan menggeleng. "Nggak tau. Tapi..."

Wulan beranjak dari duduknya yang sebetulnya sudah gelisah karena soal yang membuat otaknya berputar-putar sampai kepanasan. Ia membungkuk di depan lemari buku. Tidak sampai sepuluh detik, ia sudah kembali dengan secarik kertas. Belum bicara, ia sudah tertawa keki. Rupanya kertas itu juga yang dulu diberikan Kirana sebelum pergi.

Kertas berisi nomer handphonenya dan Irin. Letak ke dua nomer itu bertingkat. Nama Kirana berada di bagian atas. Dua jenis tulisan yang berbeda dari segi artistik. Tulisan Kirana rapi, tulisan Irin persis tulisan dokter di resep obat.

"Ketahuan deh kamu yang ngasih nomer handphoneku." Kirana pura-pura marah.

"Sampai kapan mau begini? Kamu nggak nganggap lagi saya sama Irin sebagai sahabat kamu?"

"Bukannya begitu, Gas. Aku juga nggak mau begini, tapi..."

"Memangnya aku pernah nyembunyiin apa ke kamu, Na?"

Sebelum suara Bagas semakin membuatnya menumpuk rasa bersalah, Kirana lekas menyibukkan diri. Ia menghampiri meja belajar adiknya dan menawarkan bantuan mengerjakan nomer-nomer yang kata Wulan susahnya luar biasa.

"Gini aja nggak bisa. Gimana mau juara kelas, Lan?"

Banyak hal yang disyukuri Wulan selama dua tahun tidak bertemu Kirana. Tidak ada yang mengomelinya soal akademik. Tidak ada yang menyuruhnya belajar lebih keras lagi, jika perlu begadang sampai Subuh. Tidak ada yang memaksanya membatasi pergaulan agar tidak salah pilih teman.

Kakaknya adalah tipe pembelajar yang disiplin sekaligus keras kepala. Wulan pernah mengintip kakaknya yang begitu giat belajar menjelang ujian nasional. Belajar sampai merendam kaki di dalam baskom ditemani dua gelas kopi pahit. Jika ia ada di posisi kakaknya, ia hanya akan lebih banyak berdoa daripada memaksakan otaknya sampai kelebihan kapasitas. Walau setahunya otak manusia memiliki kapasitas yang hampir tidak terbatas.

"Ya. Kapasitas otak Wulan hanya segini, Teh."

Kirana mendesah panjang. "Semua orang terlahir pintar, nggak ada hubungannya dengan kapasitas otak. Hanya orang malas yang ngomong kayak gitu."

"Iya, tau."

Kirana mengambil posisi duduk di lantai dan mulai menulis langkah penyelesaian di selembar kertas.Ia tidak mengisi jawaban akhir karena harus Wulan yang mencarinya sendiri. Kirana merasa sudah cukup berbaik hati membantu mengerjakan sebagian PR adiknya. Ia harus tegas soal ini agar Wulan untuk tidak manja dengan pelajaran-pelajaran yang katanya sulit.

Tidak ada hal yang sulit di dunia ini, kecuali bagi orang-orang malas. Prinsip itu yang selalu dipegang Kirana.

***

Wulan tidak sekalipun menatap ke arah kakaknya yang kembali menyinggung soal pekerjaan rumahnya yang payah. Ibu mendengarkan dengan seksama dan terkesan mendukung Kirana. Sejak dulu, Wulan yakin ibu lebih sayang kakaknya.

"Teteh kamu itu pintar. Juara kelas. Lulus di universitas terkenal. Kamu harus bisa seperti dia ya?"

Kirana menambahkan. "Sebentar, Teteh mau lihat PR kamu yang lain lagi."

Tanpa protes lagi, Wulan mengangguk patuh. Walau hatinya mendongkol. Harapannya ia bisa lekas memperbaiki diri supaya tidak terus-menerus mendengar nasehat. Soal teori malas pangkal bodoh pun ia pahami dengan benar. Hanya saja, ia merasa dirinya bukan orang malas.

Apalagi bodoh.

Wajah adiknya nampak cemberut ketika berpamitan tadi. Wulan memiliki kadar sensitif yang kurang lebih sama dengan Kirana. Mereka sudah sering diam-diaman. Tapi lebih sering Wulan yang meminta maaf. Semarah-marahnya, Wulan tidak pernah sampai menaruh dendam kepada kakaknya.

"Mungkin Kirana terlalu keras ya sama Wulan?" tanya Kirana.

Ibu menggeleng dan tersenyum lembut. "Nggak apa-apa. Adik kamu itu memang harus ada yang mengingatkan biar nggak terlalu santai belajar. Ibu sudah sering menasehati, tapi kan Ibu nggak bisa setegas kamu."

Ibu hanya terlalu baik.

"Ya, bagus kalo Wulan sudah punya handphone. Jadi Kirana bisa ikut ngawasin dia." Kirana lalu menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya.

Obrolan mereka terus berlanjut. Bukan tentang Wulan lagi. Sekarang ibu mulai intensif bertanya tentang keadaan kuliah Kirana. Dengan jujur Kirana bercerita. Ia tahu tidak ada yang bisa disembunyikannya dari ibu. Lagipula tidak ada untungnya menutupi apalagi sampai berbohong kepada ibunya.

Andai saja dulu ia bisa sejujur ini, tentu ia tidak akan memendam perasaan bersalah akan satu kesalahan selama bertahun-tahun.

"Na, Dewi anaknya Pak Isman temen kamu, bukan?" tanya ibu, memecah kesunyian.

Sebelum menjawab, Kirana mengingat-ingat. Susah payah. Ia sosialis yang payah sewaktu sekolah dulu. Daripada asal menebak, ia memilih mengatakan tidak mengingatnya.

"Kenapa, Bu?" Kirana masih terus mengingat nama-nama teman sekelasnya di kelas XII karena mereka yang paling gampang untuk diingat.

"Ibu dapat undangan nikahannya. Acaranya hari Sabtu besok. Yang nganter undangannya teman sekolah kamu juga." Ibu yang baru saja selesai makan, meletakkan sendok di atas piring yang bersih dari butiran nasi.

Menikah muda adalah hal biasa di kampung. Beberapa teman SMP Kirana yang tidak bisa melanjutkan sekolah dengan berbagai alasan sudah banyak yang menikah. Sekarang mungkin anak-anaknya sudah ada yang masuk sekolah. Kebanyakan menikah karena alasan ekonomi. Daripada membebani orang tua, lebih baik menikah dan tinggal di rumah mertua. Tindakan halus ketika orang tua sudah merasa kalau anak-anaknya yang sudah semakin besar semakin membebani kehidupan mereka.

"Nanti Ibu mau ke sana bantu-bantu. Kamu mau ikut?" tanya ibu.

"Nggak, Bu. Kirana mau jagain kios aja," tolak Kirana cepat. Sejak SMA, ia jarang menemani ibu mengikuti acara-acara yang berbau sosial kemasyarakatan.

Bukan karena angkuh, tapi karena malu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro