Telepon Tengah Malam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Telepon Tengah Malam



Tangan kanan dan kiri milik Kirana bekerjasama menghitung pendapatan kios yang dijaganya seharian. Lebih banyak dari pendapatan kemarin walau selisihnya tidak seberapa. Ditolehnya sekali lagi jalanan dan halaman rumahnya. Siapa tahu masih ada orang yang mau berbelanja di kios.

Sepi.

Pukul sepuluh malam, kios kecil yang buka sejak pagi itupun ditutup. Bilah demi bilah papan yang sudah diberi nomor dengan spidol hitam disusun dengan posisi vertikal. Saling merapat satu sama lain. Tujuan pemberian nomor itu supaya bilah papannya tidak tertukar ketika menutup kios.

Lalu setelah memastikan semua barang-barang sudah rapi di tempatnya masing-masing, Kirana memeriksa laci sekali lagi. Memastikan laci yang berisi uang dalam pecahan kecil tersimpan di kotak-kotak kecil sesuai satuannya masing-masing, dalam keadaan terkunci. Setelah semua beres, Kirana melangkah ke pintu. Menutup daun pintu, menguncinya lalu diakhiri dengan memasang gembok.

Di ruang tamu rumah mereka yang sempit, Wulan sedang tertidur, bukannya belajar.

"Dek, tidurnya di kamar." Kirana menepuk-nepuk punggung Wulan yang tidur dengan posisi kepala tertelungkup di atas meja. Sebuah buku paket IPA tergeletak di sisi kanannya, di atas lantai.

"Udah pagi ya, Teh?" Wulan mengigau.

"Nggak. Kamu pindah tidur. Ini masih malam."

Wulan melangkah sempoyongan menuju kamar, mengabaikan buku-bukunya. Ke dua matanya langsung terpejam tepat di saat kepalanya menyentuh bantal.

Dengan sabar, Kirana merapikan buku-buku pelajaran Wulan. Ia tidak sempat mengecek isi buku adiknya satu-persatu. Kantuk dan alam mimpi sudah memanggil-manggil.

Setelah bersih-bersih, Kirana naik ke tempat tidur. Malam-malam yang selalu dingin mengharuskannya tidur dengan memakai baju tebal dan juga selimut. Guling yang terletak di sisi kiridipeluknya. Ia memejamkan mata dan tidur beberapa detik kemudian.

Suara deringan tapi bukan alarm terdengar. Walaupun tidurnya pulas, jika ada suara nyaring di tengah tidur, Kirana akan terjaga. Terkadang ia akan sulit tidur kembali jika sudah terbangun kaget seperti itu.

Dalam cahaya minim sebuah lampu tidur yang tentu saja tidak banyak membantu, tangan Kirana meraba-raba sekitar bantal. Petunjuknya hanya suara deringan yang semakin lama semakin terdengar nyaring. Dan mengganggu. Karena tidak ketemu juga, Kirana memutuskan bangun, turun dari tempat tidur dan menyalakan lampu.

"Duh, siapa sih nelepon tengah malam?" Keluhan seragam setiap orang yang dibangunkan telepon mendadak di tengah waktu istirahat panjang itu digumamkan Kirana.

Dengan serangan kantuk yang luar biasa, Kirana berjongkok untuk mengambil handphone yang jatuh ke atas lantai. Beruntung tempat tidurnya rendah. Handphonenya tidak sampai terbongkar karena benturan.

"Ya Tuhan!"

Bram lagi, Bram lagi. Kapan cowok itu akan berhenti mengganggu ketenangan hidupnya?

Kirana sudah mendiamkan panggilan Bram yang masuk sejak kemarin sore. Bukannya menyerah, Bram malah menghubunginya lagi.

Gerakan cepat Kirana menekan tombol untuk menonaktifkan handphone. Walau cara ini hanya bersifat temporary, paling tidak untuk sementara gangguan di malam hari dari orang aneh itu bisa diatasi.

***

Kirana tahu, dengan mengaktifkan kembali handphonenya, itu sama saja memberi kesempatan Bram untuk mengganggunya lagi. Jadi ia mengambil keputusan untuk menonaktikan handphone, seterusnya selama liburan. Ya, walau hal itu tidak akan berlangsung lama karena ketika kembali ke Bandung pun, ia akan bertemu lagi dengan Bram. Namun paling tidak untuk sementara ia bisa menikmati liburan dengan tenang.

Di hari ke empatnya berada di kampung, Kirana berencana akan menghabiskan satu pagi dengan berjalan-jalan. Seperti napak tilas. Hanya saja hal ini akan dilakukannya sendiri.

Kirana menyusuri jalan yang biasa dilaluinya menuju ke sekolah. Jalanan yang cukup lebar itu tidak beraspal. Permukaannya hanya dilapisi kerikil kecil yang terdengar berderak ketika ada kendaraan yang lewat. Di sisi kiri dan kanan jalanan, terhampar kebun sayur yang terisi tanaman kol dan selada. Dari kejauhan nampak samar perkebunan teh.

Matahari pagi menyinari bumi. Cahaya keemasan menyusup dari sela-sela pepohonan. Memberikan energi yang cukup bagi tumbuhan untuk melakukan fotosintesis.

Kirana menikmati suasana pagi bermatahari itu. Udara sejuk berangsur menghangat oleh kemunculan matahari membuat langkahnya tidak lagi terhalangi oleh rasa dingin yang menggigit. Kakinya yang beralas sandal jepit berjalan semakin jauh ke tengah-tengah kebun sayur.

Sayang, sekarang belum waktunya panen. Tanaman kol, selada dan sawi masih berukuran kecil. Sebulan atau dua bulan lagi sayur-sayuran itu baru akan dipanen. Ketika masa panen tiba, Kirana sudah ada di Bandung.

***

Pintu villa mungil di hadapannya dalam keadaan tertutup. Kirana yang sejak lima menit lalu berdiri di halaman tanpa melakukan hal lain selain bernapas dan melamun, meyakinkan dirinya bahwa tidak ada apa-apa di sana. Pintu itu akan terus tertutup. Penghuninya mungkin masih tidur. Atau mungkin saja villa itu sudah benar-benar kosong.

Saat Kirana berjalan meninggalkan villa, sepasang mata menatapnya dari dalam villa. Lelaki tua bertopi baret hitam itu terbatuk-batuk. Ia berdiri di depan jendela sejak bayangan gadis itu terlihat di sekitar halaman.

Ada yang harus diberikannya kepada gadis itu. Sebuah titipan dari putranya.

***

Kirana mengurungkan niatnya untuk berjalan-jalan di kebun teh. Ia belum punya kekuatan lebih untuk menuju ke sana. Kakinya terlalu lelah setelah berkeliling kebun sayur.

Dalam perjalanan pulang, Kirana menimbang-nimbang lagi tempat apa yang akan dikunjunginya besok. Kebun teh dan kebun strawberry. Galeri lukisan Caang.

Ia teringat galeri milik seorang seniman lukis yang dulu kerap ia datangi. Ia belum tahu bagaimana nasib galeri lukisan itu sekarang.Tiba-tiba hati Kirana tergerak untuk melangkah ke sana. Ia tidak bisa menunggu sampai besok.

Kirana bernapas lega melihat galeri lukisan Caang yang masih dijaga oleh orang yang sama. Mang Udin yang tengah membersihkan teras dengan sapu tersenyum kepada Kirana yang berjalan masuk ke dalam kawasan galeri.

"Pagi Mang Udin." Kirana menyalami Mang Udin.

"Kirana kan?" tanya Mang Udin, menjabat tangan Kirana dengan penuh semangat. "Pengunjung terbaik galeri Caang. Tidak mungkin Mamang lupa."

"Ah, Mang Udin bisa aja." Kirana tersipu. Kardigan hitam dan kulit di bawahnya jadi terasa hangat di dalam galeri yang dilengkapi dengan pemanas itu.

"Darimana saja? Lama tidak ke sini." Mang Udin meletakkan sapu bersandar di pilar kayu di area teras. Ia lalu mengajak Kirana masuk ke dalam galeri.

"Mm, saya kuliah, Mang. Di Bandung." Kirana menjawab dengan sopan. Ia mengucapkan terimakasih saat Mang Udin menunjukkan sebuah kursi untuk diduduki.

Sambil mengobrol, Kirana memandangi deretan lukisan yang belum pernah dilihat sebelumnya. Sudah terlalu lama ia tidak ke sana. Hanya dua lukisan lama yang masih terpajang, belum juga menemukan jodoh pembeli.

"Pak Satria ke mana, Mang?" Kirana menanyakan keponakan pemilik galeri tersebut yang mewarisi galeri dari pamannya yang sudah lama hijrah ke Bali.

"Ada di dalam. Masih tidur. Kemarin Pak Satria melukis sampai Subuh."

"Oo."

Tanpa banyak bertanya lagi tentang si pemilik galeri yang cukup dikenalnya, gadis itu memilih berkeliling. Di mulai dari sebuah lukisan kuda hitam dan kuda putih. Aliran realisme yang dianut dalam lukisan itu, juga mayoritas lukisan karya Pak Satria membuat obyek lukisannya tampak nyata. Persis seperti obyek asli.

Sungguh beruntung orang kaya yang bisa membeli lukisan-lukisan mahal. Mereka tidak hanya bisa membeli satu, namun banyak. Sesuai yang mereka mau dan mereka suka. Kirana selalu berharap kelak ia akan memiliki pekerjaan yang baik, menghasilkan banyak uang. Uang yang akan digunakan untuk membeli lukisan yang disukainya. Yang kelak akan dipajang di dalam rumah, hingga ia bisa terus memandangi lukisan itu, tanpa risau tidak bisa melihatnya lagi karena lukisan tersebut sudah dibeli orang.

Dulu, Kirana pernah punya dua lukisan favorit. Ke duanya memiliki tema berbeda. Satu lukisan yang menunjukkan pemandangan kebun sayur dan satunya lagi bertemakan pemandangan di waktu sore hari.Sayang, ke duanya sudah laku dibeli orang. Mang Udin tidak hapal siapa yang membelinya. Yang pasti, lukisan favorit Kirana itu sudah tidak berada di dalam galeri dan tidak akan bisa dipandanginya lagi.

Namun Kirana sudah melupakan lukisan-lukisan favoritnya. Ia mengaku tidak terlalu terobsesi lagi untuk memilih lukisan mana yang disukai. Ia tidak mau merasakan sedih karena kehilangan lagi.

***

Keesokan harinya, Kirana kembali lagi ke galeri. Ia mendapati Pak Satria tengah mengobrol dengan seorang bapak berpakaian batik. Mungkin calon pembeli.

Entah ada perasaan canggung ketika bertemu pak Satria lagi. Kirana menyalami laki-laki tua itu. Serba salah ketika beliau mempersilahkannya duduk. Pak Satria setengah berteriak memanggil Mang Udin. Meminta dibawakan secangkir teh lagi. Kirana menolak, jadi ia sendiri yang masuk ke dapur, menyusul Mang Udin.

"Bapak mau ngobrol penting. Boleh?" Pak Satria menatap Kirana yang sedang menyeruput teh buatannya sendiri.

Kirana meletakkan cangkir itu dengan begitu pelan, tanpa terdengar suara beradu antara cangkir dengan tatakannya. "Iya, Pak. Boleh."

"Tunggu sebentar ya?"

Tidak sampai semenit, Pak Satria kembali ke teras dengan sebuah amplop besar berwarna cokelat. Diletakkannya amplop itu di atas meja. "Ini ada titipan buat kamu."

Suara berat Pak Satria ditambah ketegangan, menciptakan kegugupan luar biasa bagi Kirana. Ia sudah lama mengenal Pak Satria namun baru kali ini ia merasakan tubuhnya gemetar ketika mengobrol dengan seseorang.

"Itu sketsa buatan Arkana."

Kirana menatap pilu pada kertas putih di tangannya. Ia tersenyum melihat sketsa hasil karya Arkana. Wajahnya sendiri. "Indah sekali."

"Saya tidak percaya itu hasil karya Arka. Dia pernah bilang nggak suka gambar."

Kirana mengangguk. "Iya."

***

Bukan mati. Seseorang itu pergi bukan karena mati. Bumi hanya tengah menyembunyikannya di sebuah tempat. Semoga Tuhan menjaganya agar tetap hidup.

Pulang dari galeri, Kirana membawa pulang sebuah lukisan yang lagi-lagi dihadiahkan Pak Satria untuknya. Ia susah payah menolak, tapi Pak Satria terus memaksanya untuk mengambil lukisan.

"Pilih lukisan yang kamu suka, Kirana. Bapak sudah lama nggak ngasih hadiah untuk kamu."

Setelah perdebatan kecil, akhirnya Kirana mengalah. Masih dengan tidak enak hati, walau senang luar biasa dipilihnya satu lukisan yang menurutnya paling murah.

"Pak Satria memang baik ya, Teh."

Wulan ikut menatap bergantian dua lukisan yang diletakkan berdampingan. Lukisan pertama diberikan tiga tahun lalu. Lukisan ke dua, yang dibawa kakaknya hari ini.

"Baik sekali." Kirana menjawab.

Untuk rumah mereka yang sangat sederhana, ke dua lukisan itu kelihatan terlalu mewah. Kirana tidak berpikir untuk memajangnya di ruang tamu. Ia tetap meletakkannya di dalam kamar tidur. Sedangkan amplop cokelat yang berisi sketsa dimasukkannya ke dalam lemari. Ditahan-tahankannya airmata yang sayangnya sudah merembes di ke dua kelopak matanya.

***

Hari terakhir sebelum kembali ke Bandung, Kirana duduk di atas sebuah batu di tengah-tengah kebun sayur milik salah satu tetangganya di kampung. Ia duduk diam. Mengagumi pemandangan pegunungan yang tersaput kabut. Meresapi udara yang masuk ke dalam paru-paru dalam keheningan yang diciptakan oleh alam, juga keheningan yang diinginkan ada untuk dirinya sendiri.

Sudah dua tahun berlalu. Dan ia tahu tidak banyak yang bisa dilakukannya selain berharap.

"Kamu di mana?"

Tidak satupun nama yang tercetus dari bibirnya. Ia hanya terus mempertanyakan hal itu kepada dirinya dan kepada Tuhan. Berharap dapat bertemu walau ia tidak yakin harapannya akan terkabul.

Kirana terus duduk di sana sampai jingga di ufuk barat berubah warna.

"Teh Kiranaaa !!"

Suara teriakan Wulan yang menyusulnya memanggil Kirana pulang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro