Bab 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kak Aaron?" tutur gadis yang terbaring di atas ranjangnya itu dengan lirih. Keadaannya begitu pucat, tubuhnya yang kurus tampak semakin menyusut.

"Apa kabar, Fi? Lama kita nggak ketemu, ya?"

"Ya ... gini, Kak."

Aaron menyerahkan koper dan barang-barang lainnya ke Pak Yanto untuk dibawa masuk ke kamarnya yang tak jauh dari kamar Fio. Lelaki itu tersenyum, lesung pipinya yang begitu istimewa langsung terpampang mengesankan. Jari-jarinya yang besar mengelus puncak kepala Fio menimbulkan kilat kerinduan. Mata Fio menutup, menikmati sentuhan Aaron di dahinya yang bersuhu panas.

"Kamu kok bisa sakit, sih, Fi? Bukannya sistem imunmu yang paling kebal dibandingkan aku?"

"Namanya juga manusia, Kak. Pasti bisa lemah. Kakak baru pulang?"

"Iya, baru nyampe dari bandara. Capek juga, ya, menempuh perjalanan dari Italia ke Indonesia."

"Salah sendiri sekolah jauh-jauh, Kak Aaron kan bisa ngelanjut pendidikan di negara sendiri."

"Kamu, ya, Fi. Aku baru pulang bukannya disambut, malah dikasih wejangan. Lagian, ini semua kan demi nerusin bisnis papamu."

Fio tak menjawab. Memang ucapan Aaron seratus persen tepat. Tujuannya dididik dan dibesarkan sang papa adalah untuk melanjutkan bisnis kuliner miliknya. Fio tak mau menghalangi Aaron, apalagi lelaki itu melakukannya atas kemauan sendiri.

Fio terkadang bingung, kenapa semua keluarganya menyukai dunia makanan? Berdarah chef. Sementara hanya ia yang melenceng. Apa benar Fio anak kandung keluarga ini? Sungguh unik dan meragukan.

"Tante masih di resto?"

"Hmm...."

"Oh, iya, Fi. Kamu punya temen cowok, ya? Sejak kapan?"

Fio menegang mendengar perkataan Aaron. Ia yang tadi malas bicara dan ingin terus memejamkan mata, sekarang jadi melek sempurna.

Apa yang dimaksud Kak Aaron adalah Ian?

"Fine kalau kamu nggak mau jawab. Aku cuma ngingetin, jangan terlalu deket sama cowok dan jangan terlalu percaya sama mereka. Semua cowok kecuali aku, patut untuk dicurigai."

"Iya ...," jawab Fio pasrah.

Namun, dalam hatinya, Fio berharap Ian tak patah semangat untuk menemukan keberadaannya. Fio mendengar dari Jenni bahwa selama ini Ian terus menunggu kedatangan Fio di depan rumahnya. Bahkan kemarin, Jenni mengatakan kalau ia sempat memberi alamat rumah Fio pada Ian.

"Fi, kamu inget 'kan, gimana cowok-cowok memperlakukan kamu semasa SMA? SMP juga kamu jadi bahan bully-an. Sekarang, kamu udah dewasa. Nggak selamanya aku ada di sisimu, jadi sebaiknya kamu selalu waspada. Mengerti?"

Fio mengangguk sekali lagi. Kalau sudah Aaron yang berbicara, gadis itu tak dapat berkutik. Kentara sekali betapa berpengaruhnya lelaki bernama Aaron itu dalam hidup Fio hingga berhasil mengontrol setiap tindakan yang Fio lakukan.

"Aku udah peringatin cowok itu buat jauhin kamu. Kamu nggak perlu khawatir lagi kalau dia deket-deket. Kamu aman," ucap Aaron dengan jelas.

Tampak raut kekecewaan di air muka Fio. Sedikit tidak setuju dengan pendapat Aaron, tapi Fio menerima keputusan itu dengan pertimbangan yang berbeda. Sebaiknya memang Ian dan Fio tidak usah bertemu kembali. Fio tidak bisa menunjukkan dirinya dengan wajah yang seburuk itu di hadapan Ian. Ian bisa-bisa kecewa padanya, atau mungkin tidak sudi juga menjadi temannya.

***

"Nggak mau dianter sampai dalam?"

"Nggak usah, Kak. Sampai sini saja. Tuh, cewek-cewek udah pada heboh ngelihat Kakak."

Dagu Fio mengarah pada sekumpulan perempuan yang berkerumun histeris mengintip kedatangan Fio bersama dengan seorang pria rupawan berkacamata hitam. Dengan usil, Aaron membuka jendela mobilnya yang transparan lebar-lebar, membuat teriakan mereka semakin melengking. Lelaki itu juga tampak menaik-turunkan kacamatanya, berniat menggoda.

"Haha, udah biasa kali, Fi. Aku kan ganteng, pasti banyak yang nge-fans."

Fio memutar matanya malas. Bosan dengan pujian Aaron terhadap dirinya sendiri. Sementara, kedua tangannya sibuk menutup lubang telinganya yang hampir meletup-letup kesakitan.

"Ya udah, aku ke resto, ya. Ntar sore aku jemput lagi."

"Iya, Kak."

"Bye!"

Fio melambaikan tangannya pada Aaron dan melanjutkan perjalanannya masuk ke tempat magang. Cuti selama lima hari ternyata membuatnya kangen pada suasana kantor. Gadis itu sangat tidak tahan dengan kondisi rumah yang sepi. Meskipun keberadaannya di kantor tak terlalu diakui, Fio hobi sekali menyapa rekan-rekan kerjanya. Baik senior maupun yang sepantaran dengannya. Menurutnya, lebih menyenangkan begitu daripada harus terbaring menahan bosan di atas tempat tidur.

"Eh, Fio. Udah mulai masuk kantor?" sapa Dita dari meja resepsionis. Wanita itu tak sendiri, ada tiga temannya yang lain—ikut bergabung dalam pembicaraan.

"Iya, Mbak."

"Yang tadi itu ... siapa, Fi?" tanya Dita dengan nada meledek tidak suka.

"Oh, itu. Cuma sepupu, kok, Mbak. Sepupu jauh."

"Sepupu jauh, kok kelihatannya deket banget?"

"Iya, dari kecil orang tua saya ikut mengasuhnya. Jadi, lumayan deket. Permisi, Mbak. Saya harus segera ke ruangan. Kalau nggak, bisa diomeli Mbak Mecca."

Dita tak menjawab. Lirikan matanya yang seperti penari kecak itu membuat Fio merinding ketakutan. Dengan alasan pekerjaan, Fio mengundurkan diri menuju ke ruangannya.

Fio meletakkan tasnya di kursi duduk. Ia mengeluarkan kotak makannya, lalu ia letakkan benda itu di dalam laci. Kali ini bukan mamanya yang memasak, melainkan Aaron.

Ruangan masih cukup sepi. Hanya ada dirinya dan dua seniornya yang lain. Sepertinya gadis itu datang terlalu pagi karena jam kerja masih dimulai 45 menit lagi. Ia terpaksa berangkat lebih awal dari rumah, menyeimbangi jadwal Aaron yang harus segera sampai di resto keluarganya untuk memulai hari.

Aaron adalah kakak sepupunya yang baru pulang mengenyam pendidikan sekaligus kursus Food Management-nya di ICIF, Italia. Laki-laki yang kemarin sempat bertemu dengan Ian itu adalah 'kakak' yang pernah disebutkan Miranda untuk menggantikan posisinya di L'Acino, sebagai manager.

Laki-laki itu pemaksa. Sejak remaja, Fio tak pernah lepas darinya. Ke manapun Fio pergi selalu dikawal. Fio sudah seperti anak presiden dengan Aaron sebagai ajudan pribadinya. Walaupun dibuntuti setiap hari, Fio tak pernah merasa kesal atau bosan. Di samping Aaron, ia merasa nyaman dan aman. Sebab itulah, Fio jarang memberikan ketidaksetujuan atas keputusan yang Aaron ambil. Laki-laki itu tahu yang terbaik buatnya.

Fio melirik jam tangan. Baru berkurang sepuluh menit dari sisa waktu menuju jam kerjanya. Daripada jenuh, ia memilih menjejakkan kakinya ke dekat dinding kaca. Fio merindukan lelaki itu. Bagaimana kabarnya? Setelah diusir Aaron, apakah Ian tidak lagi menampakkan dirinya? Apakah Ian benar-benar mundur?

Rumah lelaki itu kelihatan damai. Tidak ada aktivitas yang dapat Fio tangkap. Tirai di kamar Ian juga masih tertutup, mungkin lelaki itu masih tertidur di kasurnya.

Ketika tengah asyik melamun, kain berwarna putih yang melapisi jendela kamar Ian mendadak tersibak. Tampak wajah lelaki itu di sana. Ian meregangkan badan, memutar kepalanya, mengendurkan otot-otot lehernya yang kaku. Hingga ... deg. Kedua mata Ian melirik ke arahnya. Spontan Fio membalikkan badan, membelakangi dinding kaca tersebut.

Semoga Ian nggak lihat ... semoga Ian nggak lihat.... Rapal Fio dalam hati.

"Fi? Ngapain?"

"Duh! Mbak Jenni jangan ke sini! Sana-sana!" kaget Fio saat Jenni menyapanya. Gadis itu langsung mendorong punggung Jenni menjauhi dinding kaca. Kalau Ian melihat Jenni, maka Ian akan curiga dengan sosok gadis berambut sebahu yang ada di sekitar Jenni.

***

"Fio, Fio. Lo ngapain sih ngumpet kayak gitu tadi? Harusnya lo seneng karena Ian nyari-nyari lo selama ini. Kasihan dia, mending lo temuin deh."

"Nggak bisa, Mbak. Aku nggak ada keberanian. Udahlah, lagian cowok itu bakal ngusir aku kalau tahu wajahku jelek begini."

"Sejak kapan lo meng-underestimate diri sendiri, Fi? Setahu gue, lo cewek yang pede dan nggak peduli gimana tatapan orang soal penampilan lo."

"Ini lain cerita, Mbak. Aku sama Ian udah kenal dekat. Ian cowok tampan, aku buruk rupa. Ian nggak pantes deket sama aku, dan aku yakin, cowok itu ngira sosok Fio adalah jelmaan gadis cantik. Aku nggak mau menjatuhkan ekspektasinya."

"Lo yakin Ian cowok yang mentingin paras jelita? Kok gue nggak, ya. Gue bisa lihat ketulusan dari kedua matanya, Fi. Dia beneran tulus sama lo."

"Itu mata orang, Mbak. Kan dia baru operasi," elak Fio.

"Hishh, lo ya. Dikasih tahu malah ngeles. Ya udah, terserah. Gue cuma ngutarain pendapat gue soal Ian aja. Sisanya gue serahin ke lo."

Setelahnya Jenni pergi. Fio mengembuskan napas kuat-kuat. Mulai hari itu, ia tidak boleh menampakkan muka seenak jidat di dinding kaca. Ian bisa curiga.

Maaf, Ian. Aku masih nggak sanggup buat tampil di depanmu.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro