Bab 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Namanya Aaron Edward Natanael, anak dari seorang sutradara film tersohor Chandra Daniswara. Pada umur tujuh belas tahun, orang tua Aaron mengalami kecelakaan pesawat dalam perjalanannya menuju Honolulu, Hawai. Kesedihan Aaron berlipat ganda karena sang ibu, Katherine, juga terlibat dalam kecelakaan maut tersebut.

Aaron yang masih berada di Jakarta merasa sangat terpukul atas meninggalnya mereka. Kemudian, Bramantyo datang untuk melaksanakan janjinya. Ia mengajak Aaron tinggal bersama dan membiayai sekolah anak itu sampai lulus. Layaknya keluarga, Aaron sudah dianggap sebagai putra Bramantyo, seperti kakak kandung Fio sendiri. Sejak kecil, memang Aaron sering bermain ke rumah pamannya itu. Namun kini, dengan terpaksa ia harus tinggal bersama sang paman sebab tak ada lagi yang menjaganya setelah kedua orang tuanya wafat.

Aaron anak yang pintar, punya banyak bakat—termasuk bermusik. Di masa SMA, lelaki itu cukup popular karena bergabung dalam sebuah band bentukan ekstrakurikuler. Parasnya yang tampan, suaranya yang merdu, serta kemahirannya dalam memetik gitar mampu memikat hati siapa pun.

Menjadi terkenal tidak membuatnya jauh dari Fio—gadis yang selalu jadi sasaran ejekan teman-temannya. Ketika gadis itu terjatuh, diguyur air dari kamar mandi atau kuah soto, bahkan ketika gadis itu dibuat malu di tengah lapangan basket—dengan dilempari sampah oleh sekumpulan anak geng—Aaron meringankan tangannya untuk Fio dan mengabaikan ketenarannya. Fio selamanya akan tetap menjadi gadis kecilnya, keluarganya, dan teman dekatnya. Tentu banyak yang tak suka, apalagi yang senantiasa melindungi Fio dari berbagai macam tindak pembully-an itu adalah Aaron Edward. Sang idola yang banyak penggemar di SMA mereka.

Seperti kebanyakan anak seusianya, Fio yang berumur lima belas tahun pernah merasakan cinta monyet pada salah satu teman sekelasnya—David. David terbilang cowok yang manis, yang naksir padanya pun tak sedikit. Merasa dirinya berkuasa, David mengajak teman-temannya yang lain untuk mengerjai Fio. Hari itu, di pesta ulang tahun David, Fio datang diundang. Tepat setelah acara tiup lilin dan potong kue, David bersimpuh di hadapan Fio. Kedua tangan Fio digenggamnya, anak itu lalu mengucapkan kalimat yang tidak pernah Fio duga.

"Fi, lo mau jadi pacar gue, nggak? Nggak ada penolakan, ya?"

Tentu Fio terkejut. Ia sedikit bengong namun buru-buru menyadarkan dirinya. Apakah itu mimpi atau sekadar fantasi belaka? Tepat saat Fio terbangun dari lamunannya, tubuhnya berasa didorong. Kemudian, air masuk melalui hidungnya. Ia basah kuyub, pakaiannya, tasnya, bahkan kotak kado yang masih ia pegang pun kena telan air kolam.

Mereka semua menertawai Fio. Dada Fio terasa sesak, tapi ia tidak mau menangis di depan teman-temannya. Itu lebih memalukan daripada tercebur di kolam ikan sedalam setengah meter.

Fio yang tahu diri, akhirnya pamit pulang. Ia tidak mau lebih dipermainkan lagi. Sesampainya di rumah, Aaron memergoki Fio menangis. Bau amis menyeruak ke indra pembaunya. Melihat jejak-jejak air di lantai, Aaron menjadi sangat panik. Ia pun menggedor pintu kamar Fio, sementara Fio tak menjawabnya sedetik pun.

Keesokan harinya, Fio mendengar kabar bahwa Aaron kena skors. Murid teladan seperti Aaron sangat mustahil melakukan pelanggaran di sekolah. Tapi faktanya, anak itu ketahuan memukuli David sampai dibawa ke rumah sakit. Satu-satunya alasan mengapa ia melakukan tindakan bodoh itu adalah air mata Fio semalam. Aaron sangat kesal mengetahui kenakalan David, dan sebagai sosok pelindung Fio, Aaron bertingkah tanpa berpikir lebih awal.

Dari dulu sampai sekarang pun Aaron tak pernah berubah. Lelaki yang kelihatannya bersifat tenang itu dapat berubah menjadi macan yang menakutkan apabila seseorang menyentuh betinanya. Fio adalah gadis paling berharga di hidup Aaron, maka Aaron tak akan pernah membiarkan siapa pun mengusiknya.

***

"Pak Aaron, ini laporan keuangan bulan ini."

"Terima kasih."

"Sama-sama, Pak. Saya permisi."

Sehabis beraktivitas di dapurnya yang baru, Aaron duduk di ruang kerja yang sebelumnya dipakai Miranda. Ia membaca dengan teliti seluruh dokumen yang menumpuk di atas meja. Wajahnya begitu serius. Tercetak guratan-guratan di keningnya selagi jemarinya membolak-balikkan lembar dokumen tersebut.

"Bagus, keuntungan kita meningkat 20% dari bulan lalu. Aku janji, akan membuat angka itu lebih besar lagi ke depannya," ucapnya dengan bibir melengkung ke atas. Ia sangat optimis.

"Tante percayakan semua padamu, Aaron. Bekerjalah dengan baik," sahut Miranda yang duduk di sofa sebelah kiri meja Aaron.

"Hei, jam berapa sekarang? Bukankah kamu harus menjemput Fio?"

Aaron tersentak. Segera ia mengintip arlojinya yang tertutup kemeja lengan panjang. Sesaat kemudian, ia menepuk jidatnya.

"Oh, iya, Tan! Hampir lupa. Ya udah, Aaron pamit dulu, ya!" ucapnya terburu-buru.

"Hati-hati, Nak!"

***

Aaron menyandarkan tubuhnya di sisi mobil. Ia mengenakan kacamata hitam yang sama. Ia menaikkan lengan kemejanya sampai ke siku dan melepas dua kancing bagian atasnya. Bibirnya menyunggingkan senyum, lebih ke menyeringai. Lantas, gadis di depan gedung perkantoran itu menjerit-jerit.

Fio yang baru saja keluar langsung merasa dongkol. Tidak bisakah kakaknya itu sehari saja bersikap biasa tanpa menggoda para gadis?

"Hai, Fi!" sapa Aaron ketika bertemu tatap dengan Fio yang baru saja muncul dari balik pintu lobi.

Fio mempercepat langkahnya. Bergegas ia menghentikan perilaku konyol Aaron. Seketika teriakan para gadis berhenti setelah mengetahui Aaron tadi menyapa Fio dengan wajah yang menyenangkan.

"Sst!!" Fio membungkam mulut Aaron. "Kak Aaron bisa-bisa buat aku dalam masalah kalo sikap Kakak kayak gini terus!"

"Tenang, Fi. Bukannya aku pernah bilang, siapa pun nggak akan bisa ngelukai kamu selagi ada aku?" kata Aaron. "Kamu sendiri tahu hobiku, 'kan? Melihat mereka yang kecewa setelah kamu tiba di sini sangat menghiburku."

Aaron langsung menarik Fio ke dalam pelukannya. Kentara betapa kesalnya para gadis itu menyadari nasib mereka yang kurang beruntung. Fio—yang notabene-nya cewek berwajah di bawah standar—dapat memeluk seorang Aaron yang keren luar biasa adalah suatu hal yang paling melukai harga diri para gadis menor tersebut.

"Apaan, sih, Kak? Lepas! Kakak mau aku besok pulang tinggal nama?"

"Ya ampun, Fi. Kalau aku deket sama kamu gini, mereka jadi nggak punya nyali mau nyakitin kamu. Nggak usah cemas, oke?"

"Cara Kakak berlebihan tahu nggak?"

"Terserah."

Dengan cepat Fio melepaskan diri dari pelukan Aaron, namun tak lama setelah itu ia menarik Aaron dan membuat lelaki itu berhadapan dengannya. Tubuh Fio giliran yang menyandar di pintu mobil, tangan mungilnya meremas kerah kemeja milik Aaron—membuat lelaki itu cukup terkejut.

Dengan penasaran, Aaron melirik sekitar. Matanya terpaku pada seorang lelaki yang berdiri di luar pagar. Aaron sangat mengenalnya karena mereka baru bertemu kemarin.

Ketika lelaki itu masuk dan tampak sedang mencari-cari seseorang, Aaron dengan sigap meletakkan kedua tangannya di sisi tubuh Fio—mengurung gadis itu.

"Permisi, Anda pria yang kemarin di rumah Fio 'kan?"

"Apa kamu tidak lihat? Kami sedang sibuk berpacaran, tolong menyingkirlah."

"A-ah, maaf. Saya tidak tahu, sekali lagi maaf."

Fio menghembuskan napasnya lega, berbeda dengan Aaron yang mimik mukanya masih tampak tenang.

"Makasih, Kak," ucap Fio dengan bangga. "Kak?" panggilnya sekali lagi karena Aaron tidak menjawab.

"Iya?"

"Aku bilang makasih. Coba aja nggak ada Kak Aaron, Ian pasti nemuin aku di sini."

"No problem. Sekarang masuk ke mobil."

"Marah?"

"Gimana nggak marah? Aku udah ngancem cowok itu kemarin. Tapi, emang dasar nggak punya malu. Masih aja coba deketin kamu."

"Ya udahlah, Kak. Lagian dia nggak bakal bisa nemuin aku, dia nggak tau wajahku."

"Maksudmu?"

"Kita pulang dulu, yuk. Ntar aku ceritain di rumah."

Hampir saja Aaron tersulut emosi. Karena ini hari pertamanya bersama Fio, Aaron tak ingin membuat gadis itu jengkel.  Aaron bisa saja menyeret Ian keluar, meninju wajahnya, atau mematahkan kakinya supaya Ian tak berani lagi mencari Fio. Tapi, Aaron menangguhkan niatnya tersebut demi kenyamanan Fio bersama dengan dirinya.

Sebelum masuk ke dalam mobil, Aaron menatap tajam sosok Ian yang tampak bercakap-cakap dengan seseorang di meja resepsionis. Sudah berapa kali ia melakukan itu?

***



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro