Bab 22

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Semenjak pertemuan perdananya dengan Megan, Fio jadi sering menjumpai gadis itu di rumah Ian. Megan rupanya sahabat Ian sewaktu kecil yang baru pulang menyelesaikan program studi S2-nya di Inggris. Gadis itu mengambil jurusan Psikologi. Tergambar dari sikapnya yang kalem dan penuh pengertian, cara bicara gadis itu juga termasuk lemah lembut. Menenangkan.

Megan dan Ian membicarakan masa kecil mereka. Ketika mereka diam-diam bermain di halaman belakang, dan Megan yang menangis karena dikejar-kejar anjing. Mereka berdua tertawa lepas, menimbulkan semacam kejutan listrik yang menggetarkan hati Fio. Fio di sana, tapi rasanya ia terlempar di sebuah negeri asing tak berpenghuni. Kesepian. Dunia seolah milik Ian dan Megan saja. Fio cuma mampir dan sebentar lagi mau diusir.

Gadis itu berdeham, barulah ia mendapat perhatian dari Ian.

"Astaga, maaf. Aku terlarut dalam nostalgia. Maklum, Megan dan aku sudah tak bertemu selama belasan tahun. Aku takjub karena ia masih ingat wajahku."

Wah, lihat. Kalimatnya panjang lebar saat membahas si Megan.

"Hei, kamu pikir cuma kamu yang takjub? Aku pun juga. Coba deh, pikir. Anak pendiam kayak kamu, dan dari kecil kelihatan cuek banget. Setelah gede, kamu makin ganteng. Kamu ngenalin wajah aku juga, itu tuh udah amazing tahu nggak?"

Mereka ngobrol berdua lagi. Aku beneran dianggep angin yang nggak terlihat?

Fio menyerah. Ia menatap arlojinya. Sudah saatnya ia pulang. Sebentar lagi, Aaron menjemput. Fio sudah harus kembali ke depan gerbang kantornya agar Aaron tak curiga. Selama ini, Fio menyiasati Aaron. Gadis itu mengatakan, jam pulang kantornya mundur setengah jam. Dan Fio gunakan waktu itu untuk berkunjung ke rumah Ian. Walau ujung-ujungnya jadi obat nyamuk di sana—setelah tiga hari ini dijejali orang ketiga.

"Hei, aku pulang dulu, ya. Sebentar lagi aku dijemput."

"Oh, ya, udah. Hati-hati."

Hati-hati aja? Nggak dianterin ke depan gitu? Dia asyik lagi sama Megan.

Fio cemberut. Ia berjalan tanpa menengok ke belakang. Matanya malas ketika harus melihat pemandangan yang luar biasa memerahkan telinga. Tahan, Fi. Ada apa sih denganmu? Kenapa jadi panas begini?

***

"Jujur, deh. Kamu masih sering main ke sana, 'kan?"

"Ke mana, Kak? Jam pulang aku emang mundur, kok. Jangan mikir yang aneh-aneh."

"Kamu pikir aku nggak tahu, Fi? Selama ini aku diem, supaya denger pengakuan dari mulutmu sendiri. Aku tahu, kamu anaknya jujur. Nggak pernah bohong, apalagi nipu aku kayak gini. Kamu kenapa? Kok perubahanmu drastis banget?"

"Kak Aaron, aku udah dewasa. Please, Kakak hilangin sifat Kakak yang terlalu posesif, aku ngerasa tertekan."

"Oh, jadi kamu nggak suka aku perhatiin, Fi?" tanya Aaron. Mobilnya direm mendadak di tepi jalan raya. Ketegangan kini menyelimuti keduanya. Hanya deru mesin mobil yang terdengar. Keduanya saling mematung.

"Kapan kamu peka, Fi?"

"Maksud Kakak apa? Oke. Aku berterima kasih karena selama ini Kakak merhatiin aku. Ngelindungi aku. Tapi Kakak berlebihan, dan itu yang bikin aku risih. Aku bosen hidup dalam bayang-bayang Kakak terus. Aku mau bebas."

Aaron melonggarkan dasi yang mencekik lehernya. Tangannya meremas kemudi, mengurangi loncatan emosi yang membakar kesabarannya.

Fio adikmu, Aaron ... tahan. Ini nggak bener.

Dada Aaron naik-turun. Napasnya memburu. Fio mengalihkan wajahnya, melihat ke luar jendela. Gadis itu tidak tahu, kebimbangan apa yang menganggu isi kepala Aaron saat ini.

Logika lelaki itu menggila di dalam sana. Beradu dengan hasrat yang membara, yang tak bisa ia blok lama-lama. Tidak! Dia adikmu. Sepupumu. Keluargamu. Jangan bodoh, Aaron!

"Kamu udah aku kasih tahu 'kan siapa orang tuanya? Kenapa kamu masih nekat, Fi?"

"Hah." Fio membuang napasnya kasar, sekarang ia menatap tajam Aaron sepenuhnya. "Punya bapak kriminal, bukan berarti anaknya ikut kriminal juga. Kakak lupa, ya, don't judge a book by its cover!"

"Fi!"

Aaron menggeram, ia mematikan mesin mobilnya. Urat-urat nadi di lengannya tergambar jelas, seakan menyembul keluar dari lapisan epidermisnya. Kedua mata Aaron memerah, pun juga wajahnya. Lelaki itu marah, Fio bisa menebaknya. Gadis itu kenal Aaron sejak kecil. Jarang-jarang lelaki itu marah tanpa alasan. Dan saat ini, Fio tak mengerti, kenapa Aaron jadi lepas kendali begini?

"Dengar, Fi!"

Aaron membelalak, kedua tangannya mencengkeram pundak Fio. Fio ketakutan, baru kali ini Aaron menampilkan sisi garangnya.

"Sekali aku bilang nggak, ya, nggak! Jauhi dia! Nggak usah lagi kamu deketan sama cowok itu! Aku nggak mau kamu kenapa-napa!"

"Kakak apaan sih? Jangan–"

Bibir Fio mengatup rapat. Butiran bening menggenang di garis bawah matanya. Siap tumpah ruah dengan kucuran kepedihan yang menyayat jiwa.

Aaron meraup rakus bibir Fio yang terus menyerukan protesan. Laki-laki itu di luar kesadarannya, tangannya dengan kuat menekan tengkuk Fio. Mendorong wajah gadis itu agar lekat padanya.

Fio yang berontak refleks meninju dada Aaron, membuat ia terbangun dari kesesatan akalnya. Fio megap-megap masih tak percaya. Barusan kakak sepupunya mencumbunya untuk yang pertama kali. Sungguh tak logis! Gadis itu terisak sambil menutup setengah mukanya menahan malu. Sementara Aaron, ia kelihatan stres. Duduk menyandar dengan pikiran kosong.

Fio seketika kabur. Ia keluar mobil dan berlari entah ke mana. Yang jelas, ia ingin sendiri saat itu. Tak mau menemui siapa pun dan sedang sibuk menenangkan dirinya.

"Ya Tuhan ... apa yang kuperbuat?" sesal Aaron.

***

"Nak?"

Fio terduduk di depan teras toko yang sudah tutup. Ia memeluk lututnya, menyembunyikan wajahnya di sana. Matanya bengkak, dan punggungnya tampak bergetar.

"Nak, kamu baik-baik saja?"

Fio mendongak. Seorang bapak menghampirinya, menangkapnya dalam keadaan cengeng. Hari bahkan telah berganti malam. Ia tak kunjung pulang karena masih marah sekaligus takut bertemu Aaron.

"Kamu sakit?"

"S-saya nggak papa, Pak."

Fio menghapus air matanya. Sementara, bapak tadi duduk dan menyerahkan air mineral dari kantong plastiknya ke Fio.

"Minumlah," ucapnya. "Bapak bukan penjahat, yah, walaupun bapak baru bebas dari penjara."

Fio tersentak. Penjahat yang mengakui latar belakangnya, bukankah aneh? Kalau niat bapak ini buruk, pasti yang Fio dengar adalah rayuan dan kata-kata manis. Tapi, bapak ini unik. Malah mengaku baru bebas dari penjara.

"Kalau takut, nggak diminum juga nggak papa. Tapi, nggak baik anak gadis keluar malam-malam. Kamu harus pulang, nanti orang tuamu nyariin."

"Nggak, Pak. S-saya terima minumnya. Terima kasih," kata Fio ragu-ragu. Ia membuka botol minum itu dan menenggak isinya sampai bersisa setengah.

"Manusia memang tidak lepas dari masalah, ya. Baik kamu maupun bapak. Tapi yang pasti satu, kita nggak boleh hanya berdiam diri. Harus punya usaha buat bangkit dan menghadapi masalah itu."

Fio sedikit tenang setelah bapak itu berbicara bijak padanya. Rasanya seperti habis menelan pil anticemas, kalimat bapak itu membuat batinnya yang sebelumnya berguncang jadi lebih rileks.

"Namamu siapa?"

"Fiorenza, Pak. Biasa dipanggil Fio."

"Kok sepertinya nggak asing, ya? Tapi bapak lupa pernah denger di mana."

"Bapak sendiri, tinggal di sekitar sini, ya?"

"Iya. Di rumah–"

"Danang! Ngapain kamu di sana? Ini aku bawakan makanan!" teriak seseorang dari kejauhan yang membuat Fio dan bapak itu menoleh bersamaan.

"Loh, Om Rudi?"

Dunia memang sempit, pikir Fio.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro