Bab 23

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Gebrakan pintu terdengar di mana-mana, memenuhi semua sudut rumah yang berdiri megah di tengah kawasan elit itu. Aaron membuka mata lebar-lebar, kepanikannya tergambar jelas di wajah. Keringat bercucuran membasahi kemejanya. Rambut model fringe-nya sudah tak berbentuk. Berantakan.

Sesekali ia berteriak memberangsang. Jari-jemari yang ia biasa gunakan untuk memasak, sekarang beralih fungsi sebagai penjambak rambut. Bola matanya bergerak gelisah tak kala derap langkah seorang wanita yang ia kenal melewati anak tangga. Menyusulnya yang sedang kacau berjongkok di lantai, di depan sebuah kamar yang jadi satu-satunya harapan. Tapi, nihil. Gadis yang Aaron cari tak ada di dalam sana. Menghilang tak tahu rimbanya.

"Aaron, kamu kenapa, Nak? Dari tadi tante denger kamu teriak-teriak. Ada masalah?"

Nggak. Tante nggak boleh tahu masalah antara aku dengan Fio.

"Ng-nggak. Nggak ada apa-apa, kok. Apa Tante lihat Fio?"

Aaron harap-harap cemas, semoga saja Miranda tahu keberadaan putrinya. Karena sumpah demi apa pun, lelaki itu resah. Di luar sana, gelap telah melanda ibu kota. Di tambah cuaca yang belakangan ini kurang bersahabat, membuat Aaron takut Fio kedinginan di luar sana. Meskipun Jakarta terpanggang oleh polusi udara—atau kalor-kalor yang lepas dari mesin kendaraan bermotor—tetap saja, angin akan terus bergerak menyelimuti kota itu di malam hari. Bahkan bisa dikatakan cukup dingin untuk sekadar bernapas sepuluh menit di luaran rumah.

"Fio? Bukannya dia sama kamu?"

Bukannya dia sama kamu? Itu pertanyaan atau sindiran? Aaron seolah tertekan dengan kalimat itu. Harus ia jawab apa sekarang? Bahwa Aaron khilaf dan mencium sepupunya sendiri, lalu sepupunya marah dan pergi begitu saja? Aaron belum siap untuk ditendang dari rumah tantenya. Hubungan mereka terlarang, kisah cinta antarsepupu itu tidak etis. Pamali.

"Oh, Aaron inget. Tadi dia izin pergi ke rumah temennya, si Jenni."

"Ya ampun, Aaron. Kok kamu jadi pikun sekarang?"

"Hehe, iya, Tan. Ya udah, Tante istirahat aja di kamar. Biar Aaron yang nungguin Fio pulang."

"Ya, deh. Tante ke kamar dulu, ya. Kalo ada apa-apa, panggil tante aja."

Menunggu Fio pulang? Tampaknya sebuah harapan tak sampai bagi Aaron. Karena, yang lelaki itu lakukan hanyalah mondar-mandir di depan pintu selama hampir tengah malam. Ke mana Fio? Apa gadis itu sungguh tak pulang? Apakah Aaron sekurang ajar itu sampai Fio pun tak menjawab teleponnya?

***

"Jadi, om tadi ayahnya Ian?"

Setelah berhasil memohon-mohon untuk tidak dipulangkan, Rudi mengajak Fio bersamanya. Pria itu heran, tak biasanya Fio si gadis ceria mendadak menangis sampai matanya bengkak. Ia juga tak berani bertanya, tak baik ikut campur urusan orang. Tapi, kalau Fio yang mau cerita, Rudi akan mendengarnya dengan senang hati. Gadis itu sudah seperti anaknya sendiri.

"Iya. Beruntung kamu ketemu sama dia, coba kalau ketemunya malah sama orang jahat. Bisa gawat darurat."

"Ehm, Om nggak penasaran kenapa aku nggak mau dianter pulang?"

Fio memainkan tangannya di atas pangkuan. Lampu jalanan yang berwarna kekuningan terlihat bergerak melintasi kaca, menjadi pemandangan satu-satunya yang ia saksikan di tengah lengangnya lalu lintas kota diamati dari dalam mobil. Terdengar helaan napas Rudi, ia masih fokus menyetir tetapi dalam otaknya ia sedang merangkai sebuah kalimat untuk menjawab pertanyaan Fio dengan bijak.

"Perasaanmu lebih penting daripada kepenasaran om. Kalau sudah merasa baik, Dek Fio boleh cerita ke om. Siapa tahu, om bisa bantu."

Fio tersenyum tipis hingga tak terasa mobil mereka telah sampai tujuan akhir. Rumah Rudi.

Fio turun dari mobil. Di sana, Ian sudah berdiri membelakangi pintu yang terbuka. Mukanya terlihat menuntut penjelasan. Fio melirik Rudi sesaat, ternyata pria itu masih memasang ekspresi tenangnya. Bahkan memberikan senyuman yang paling indah. Fio semakin tidak mengerti apa yang terjadi antara keponakan dan pamannya itu.

"Paman dari mana? Kenapa pulang malam?"

"Kamu tahu jawabannya. Buat apa bertanya?"

Ian mendongakkan kepalanya, tersenyum menyeringai menatap langit. Seperti sedang berbicara pada angkasa hitam yang tak berbintang, mengungkapkan kekesalannya pada sang paman.

"Pa–"

"Ian, kamu nggak ajak tamu kita masuk?"

Ian yang sedari tadi sibuk dengan kemarahannya dan hanya memperhatikan keberadaan pamannya, sampai-sampai tidak tahu bahwa ada seorang gadis yang berdiri kikuk di belakang Rudi.

"Loh, kok kamu di sini?" kagetnya kemudian.

Rudi membiarkan keduanya bicara, ia memilih masuk ke dalam dan segera menyentuh kasurnya yang ia rindukan.

"Ceritanya ... pendek. Kamu nggak akan paham."

"Ceritanya pendek? Kukira ceritanya panjang, sampai butuh berhari-hari untuk menjelaskan," gurau Ian, mengalihkan suasana tegang yang tadi ia ciptakan. Fio tak boleh tahu perkara dirinya dengan sang paman. "Lalu? Kamu nggak pulang? Ini tengah malam, lho."

"Aku ... nggak bisa pulang sekarang."

"Kenapa?"

"Ceritanya pendek. Kamu nggak akan paham."

"Astaga, aku lupa kalo kamu udah bilang gitu tadi. Hmm, gimana ya?"

"Gimana apanya?"

"Aku nggak bisa terima tamu malem-malem. Apalagi cewek."

"Semalem aja, Ian. Aku mohon," pinta Fio.

Ian bisa menerawang Fio dari sudut matanya, gadis itu dilanda kebingungan dan kesedihan. Jika Fio bilang ia baik-baik saja, maka Ian akan tahu kalau gadis itu berbohong. Matanya yang merah dan bengkak mengatakan segalanya. Lelaki yang biasanya dingin bagai es, pedas bagai bubuk cabai itu berdecak pasrah. Tak ada cara lain untuk meningkatkan mood Fio. Gadis itu butuh hiburan. Apakah sebaiknya Ian menunjukkan sedikit selera humornya yang garing?

"Nggak bisa, Fi. Kamu tahu apa alasannya?"

"Karena bakal timbul fitnah?"

"Kurang tepat. Yang bener adalah, rumahku hanya terbuka 24 jam khusus untuk tamu cewek yang resmi aku angkat sebagai tamu di hatiku, pendamping hidupku di masa depan."

Krik, krik, krik. Seperti merekam suara jangkrik di kepalanya, Ian terbengong. Fio juga. Tidak ada interaksi lebih, gadis itu tak menanggapi lelucon Ian. Jurtru membeku, melayangkan jurus tak percaya pada apa yang barusan ia dengar.

"Ahaha, m-masuk, yuk."

Ian menarik tangan Fio ke dalam rumah.

Ya ampun, jin apa yang baru saja masuk ke tubuhku tadi? Umpat Ian dalam hati.

***

"Kamu nggak mau bersihin wajah?"

Fio terkejut saat Ian tiba-tiba muncul di belakangnya. Gadis itu sedang termangu, memandang ruangan di sekelilingnya. Ruangan yang biasanya ia datangi saat bertamu. Ruangan kesayangan Ian, tempat lelaki itu menjelajah malam, mengistirahatkan otak, dan menyusuri alam bawah sadar.

"E-eh iya. Nanti," jawabnya gelagapan.

Ian mengeluarkan sesuatu dari dalam almarinya, sebuah selimut tipis. Fio mendekat ragu-ragu, tangannya hendak meraih bahu lelaki itu tapi tertunda karena ia telah membalikkan badan duluan.

"Kenapa?"

"I-itu. A-apa aku beneran disuruh tidur di sini?"

"Iya-iyalah. Kamu mau tidur di sofa, di lantai bawah?"

"Nggak papa, kok. Daripada di sini. Ini kan kamarmu, aku jadi nggak enak."

"Kalo kamu tidur di bawah, yang ada aku disuruh angkat kaki dari rumah paman. Kamu tega?"

"Nggak gitu juga. Terus gimana dong? Aku beneran ngerasa nggak nyaman kalo harus tidur di sini, sementara kamu menggigil di ruang tamu."

"Kalau gitu, aku punya solusi."

"Apa?"

"Kita tidur sekamar."

"Hah?! Jangan bercanda, Ian. Kamu cowok dan aku cewek, kita bukan pasangan suami-istri, masak iya harus tidur sekamar?"

"Sekamar, Vi, bukan seranjang. Pengertiannya udah beda. Jangan berpikiran kotor, deh."

Fio mengusap pipinya yang memanas. Pikirannya memang kotor. Salah Ian sendiri mengucapkan kata-kata yang ambigu. Dirinya jadi salah tingkah 'kan.

"Aku ngerti yang kamu cemasin. Tenang, aku ada kasur lipat, kok. Aku biasa tidur di lantai untuk menghindari mimpi buruk. Aku lebih merasa nyaman tidur di bawah, jadi nggak usah khawatir."

"Beneran?"

"Iya...."

Akhirnya, Ian menggelar kasur lipatnya tepat di sebelah kiri ranjang. Lelaki itu mengambil salah satu bantalnya dan segera membaringkan diri di tempatnya, menyelimuti dirinya dengan selimut tipis yang tadi ia ambil.

"Kenapa malah ngelihatin aku? Sana cuci muka. Kamu mau tidur pake make up lengkap kayak gitu?"

Benar juga. Aku harus bersihin make up, tapi ... gimana kalo Ian lihat wajah jelek aku?

"Kok diem?"

"Ah, anu ...," ucap Fio terpotong, diselingi aktivitasnya yang mengusap leher bagian belakang. "Aku mau cuci muka, tapi janji, ya, kamu nggak boleh ngintip wajah aku."

"Konyol sekali kamu, Vi. Seolah-olah aku nggak pernah liat wajah kamu aja. Kita pernah ketemu sekali sebelum kamu makin cantik dengan topeng itu."

Fio terdiam. Senang karena Ian mengakui kecantikannya setelah ber-make up. Sedih juga karena tidak tahu kenapa, kata 'topeng' sedikit menganggu pikirannya.

"Kamu benar. Tapi, pokoknya kamu nggak boleh liat. Sana, hadap ke arah yang berlawanan."

"Baiklah. Terserah kamu saja."

***

Fio menggeliat di atas kasur, tak bisa tidur. Bayangan Aaron yang mencuri ciuman pertamanya tak berhenti berputar. Bahkan, saat ia menatap ke arah plafon putih yang tak bergerak pun wajah Aaron tetap dapat menembus isi kepalanya.

Fio tak habis pikir, bagaimana Aaron bisa berbuat seperti itu? Fio menganggap Aaron sudah seperti kakak kandungnya sendiri. Ia sangat kecewa dengan lelaki itu, tanpa sadar, Aaron telah melukai hati Fio. Melukai kepercayaan yang ia bangun bertahun-tahun lamanya.

Kemudian saat berbalik menyamping, dilihatnya wajah Ian yang tertidur polos. Meski Ian terlelap, parasnya yang tampan malah semakin rupawan. Ian tertidur dengan cantik, seperti pangeran. Orang bisa tahu betapa tegasnya lelaki itu hanya dengan memperhatikan raut muka Ian saat tidur.

Tiba-tiba, ingatan masalahnya dengan Aaron hilang dan berganti dengan bayangan Megan dan Ian yang saling tertawa. Kenapa gadis yang cantiknya natural itu harus muncul di tengah-tengah kedekatan Fio dan Ian? Fio sedikit tidak suka, atau malah sangat tidak mengharapkan kemunculan Megan. Ia tidak tahu mana yang benar. Tapi, seandainya Megan tak seakrab itu dengan Ian, mungkin perasaan Fio saat ini lega. Gadis itu tak perlu khawatir Megan mengambil Ian darinya.

"Mengambil? Bahasa macam apa itu? Akh, aku sudah nggak waras!" ungkapnya tiba-tiba.

Mengetahui pergerakan kecil dari Ian, Fio langsung membungkam mulutnya.

Aduh, hampir aja kebangun.

Dengkuran harus Ian kembali terdengar. Syukurlah, pria itu masih terjaga dalam tidurnya. Fio tak boleh berisik.

"Kenapa, sih, Ian? Tuhan harus mempertemukan aku dengan kamu? Tuhan harus ngasih rasa kagum aku ke kamu? Dan sekarang Dia membuatku bertanya-tanya, tentang perasaan apa yang sedang kumiliki untukmu saat ini.

Kenapa juga Tuhan harus ngirim Megan di saat kita lagi deket-deketnya?

Aku juga bertanya-tanya, apa cewek seperti Megan yang jadi idaman kamu? Apa aku harus secantik Megan supaya bikin kamu nyaman dan suka sama aku?

Aku ingin tahu secepatnya, supaya ... aku nggak terlambat untuk jadi tamu yang menetap di hatimu. Seperti yang kamu bilang tadi."

***


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro