Bab 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Persis rencananya tadi siang, saat ini Fio ikut dalam barisan para pembeli gado-gado di warung Mbok Jum. Tidak peduli jam berapa pun, di sana selalu saja ramai. Bumbu yang pas, porsi yang banyak, dan harga yang terjangkau menjadi tiga poin utama yang membuat gado-gado Mbok Jum unggul di mata pembeli.

"Tuh ... tuh ... tuh. Ngapain dia di sini? Ngerusak pemandangan."

"Dia ke sini udah pasti mau beli lah, lo pikir mau nyalon?"

"Bukan itu maksud gue! Sumpah, gue jijik banget liat mukanya. Lo kok bisa tahan gitu?"

"Karena gue nggak liat dia dari mukanya."

"Maksud lo?"

"Udah lah. Cewek kayak lo nggak bakal paham, Dis."

Meskipun di keramaian, Fio dapat mendengar jelas percakapan kedua wanita yang ada di sebelah kirinya itu. Fio hanya pura-pura tidak tahu. Lagian, akan makin canggung jika ia tiba-tiba datang dan memergoki orang yang menggosipnya di belakang.

Tapi samar-samar, bibir gadis berkacamata itu tertarik ke atas. Ia senang mengetahui bahwa seseorang tidak memandangnya dari segi wajah. Bisakah Fio mengartikannya sebagai sinyal pertemanan?

Yup. Tanpa diduga ia datang—wanita berpakaian necis dengan turtleneck hitam dan blazer abu-abu. Wanita yang sempat membicarakan Fio bersama temannya tadi.

Fio menatap terpana ke arahnya. Selain penampilannya yang terbilang keren—dengan mengenakan jeans bergaya vintage—hal yang paling menonjol dari wanita itu adalah model rambut shaggy pixie cut miliknya. Fio pernah melihat model rambut itu sekali, saat aktris kesayangannya—Jennifer Lawrence—menghadiri acara AFI Fest 2013 di Hotel Roosevelt, Los Angeles. Kala itu, gaya rambut pendek Jennifer menjadi the middle of style dan dinobatkan sebagai evolusi kecantikan sebagian besar wanita Hollywood. Saking terpesonanya, Fio tidak sadar, sedari tadi wanita itu memanggil namanya.

"Fio? Fiorenza?"

"Eh ... loh, kok Mbak tahu nama saya?"

"Gue baca kartu tanda pengenal yang lo pake."

"Ah, begitu, ya."

Fio malu sendiri. Ia sampai lupa kalau mengenakan kartu identitas. Bodohnya kamu, Fi! Bikin malu aja!

Mata Fio melotot, giliran ia yang melirik nama dari wanita keren tersebut, Fio hampir dibuatnya pingsan. Bagaimana bisa? Kalimat itulah yang ia gumamkan berkali-kali di dalam otak.

"Kenapa, Fi?"

"Mbak ... namanya emang asli Jennifer?"

"Iya, jelek, ya?"

"E-eh, nggak kok Mbak. Kalo begini 'kan, jadi memenuhi ekspektasi saya," ucap Fio menahan malu.

Ya ampun, ini sih Jennifer versi KW tapi orisinilnya keterlaluan! Jadi berasa real ketemu sama idola.

"Rambut Mbak warnanya emang hitam kepirangan gitu?"

"Iya, Fio. Oh, ya, jangan panggil pake embel-embel 'Mbak'. Gue lebih nyaman dipanggil Jenni."

"Emang ... Mbak Jenni seumuran sama saya, kok saya nggak boleh manggil 'Mbak'?"

Sekali lagi, pertanyaan muncul dari mulut Fio. Bukti kepenasaran lebih jauhnya. Namun, yang ditanya malah terkekeh geli. Fio jadi kelimpungan sendiri.

"Liat muka lo, gue jadi kebayang zaman-zaman sepuluh tahun lalu. Waktu gue seumuran lo."

Hah? Sepuluh tahun lalu? Jangan bilang-

"Gue udah kepala tiga. Tepatnya tiga puluh satu tahun. Gue juga udah punya suami, anak satu di rumah. Masih bayi, namanya Aileen."

"Hah?! Mbak Jenni udah punya bayi? Masa, sih?" kaget Fio tidak percaya. "Padahal wajah masih semuda itu, cantik lagi," lanjutnya begitu lirih.

"Nggak usah heran. Nah, rambut gue ini asli. Mama emang orang Jerman. Gue blasteran," jelas Jenni. "Lo anak magang baru yang bikin gempar satu gedung itu, 'kan?"

Anak magang baru? Menggemparkan? Memang ada tsunami yang datang ketika gadis berkulit cokelat itu menginjakkan kakinya di gedung MyStore? Atau ada serangan zombie dadakan? Atau ... burung-burung gagak yang berjatuhan menabrak jendela kaca? Atau ada geledek yang tiba-tiba muncul di hari pertamanya kerja?

Fio rasa semua berjalan dengan normal. Ia malah baru sadar kalau keberadaannya seterkenal itu.

"Gempar ... gimana maksudnya, Mbak?"

"Gimana nggak gempar, orang standar pemilihan karyawan magang di kantor ini cukup tinggi. Yah, kalau dilihat-lihat, fisik lo ini nggak memenuhi. Makanya, aneh aja karena mendadak Jason nerima lo."

"Jason ... oh, jangan-jangan mas yang nge-interview saya hari itu?"

"Hm. Dia HRD manager di sini. Keren lo, ya, bisa masuk jadi staf customer service dengan wajah dan penampilan kayak gini."

Itu pujian apa hinaan, Mbak?

Baru saja Fio merasa bangga karena ada seseorang yang melihatnya tidak secara fisik. Yah, pada akhirnya, di manapun sama saja. Visual tetap nomor satu, yang menjadi bentuk kesan pertama yang dinilai dari orang yang baru dikenal.

Fio akui, dirinya memang tidak cantik. Tapi, tetap saja, jiwa penggemar Jennifer Lawrence-nya meraung-raung. Jenni terlihat bersinar di matanya, sepahit apa pun kalimatnya barusan, Jenni tetaplah menawan. Fio jadi tidak sanggup marah karenanya.

"Lo mau pesen gado-gado juga?"

"I-iya, Mbak," jawabnya kaku.

"Ya udah, gue antrein sekalian, ya. Biar cepet."

"Eh, beneran, Mbak?"

"Iya, beneran. Lo mau beli berapa bungkus?"

"Tiga."

"Banyak banget? Buat keluarga?"

"Nggak. Buat temen."

Bagaimana pun juga, Mbak Jenni adalah sosok yang baik menurut hati Fio. Kalau dipikir matang-matang, mana ada orang yang mau mengantrekan makanan untuk Fio? Apalagi mereka baru saling kenal. Jelas, Jenni adalah tipikal teman yang selama ini Fio incar.

Dan, ya. Fio mempertimbangkan karakter Mbak Jenni yang agak mirip dengan idolanya itu. Kapan lagi bisa berteman dengan seseorang yang mirip artis Hollywood?

***

"Permisi, Om Rudi?" panggil Fio sedangkan tangannya mengetuk-ngetuk pintu rumah yang terbuat dari kayu.

Fio melirik ke dalam melalui jendela yang tembus pandang. Sepi, suasana di dalam tampak sunyi.

Tok ... tok ... tok ....

Fio mengetuk pintu itu lagi, kemudian, datanglah seseorang dari arah dapur—tempat Paman Rudi menyeduh tehnya kemarin. Pintu pun terbuka, mempertontonkan sosok lelaki bertubuh jangkung dengan bahunya yang lebar.

Fio agak kecewa. Bukannya tidak senang sebab disambut oleh cogan. Tetapi, apa gunanya punya wajah tampan jika di depan orang ekspresinya selalu datar—sedatar jalan hidup Fio dalam mencari jodoh.

"Senyum, kek. Nih, aku bawain gado-gado. Di mana Om Rudi?"

"Nggak usah sok akrab. Kasih gado-gado kamu ke ayam sana, aku nggak butuh!"

"Loh, siapa yang bawain buat kamu? Ini buat Om."

"Paman lagi nggak di rumah."

"Ya udah, aku tunggu di dalem, deh."

"Ngapain sih?! Pergi!" ucapnya sambil mendorong bahu Fio yang nyelonong masuk.

"Ih, aku kan mau ketemu sama Om, kok dilarang?"

Fio ngotot ingin masuk ke dalam. Sebenarnya, mau ketemu sama Om cuma ia jadikan alasan supaya bisa kenal dekat dengan Ian. Sayang sekali, niat baik Fio terendus duluan. Ian terus terang mengusir kehadiran Fio.

Gadis itu berusaha menerobos pintu. Namun, gerakan cepat Ian membuatnya tertahan. Kedua tangan lelaki itu terentang, menempelkan jari-jarinya ke kedua sisi pintu. Seolah Ian menjadi benteng pertahanan yang melindungi rumahnya dari serangan musuh.

"Beneran nggak boleh masuk, ya?"

Ian tidak menyahut. Gadis itu semakin murung. Ia hampir saja menyerah. Walaupun Fio memiliki tujuan baik datang ke rumah Ian, Fio tidak akan memaksa. Jika Ian tidak mengizinkannya bertamu sampai setegas itu, maka Fio tidak bisa memaksakan kehendak.

"Ya udah, deh. Aku nitip gado-gadonya buat Om, ya. Katakan padanya, ini dari Fio, jangan lupa dimakan. Oh iya, kalau kamu mau, juga boleh ambil, kok."

"Ogah."

"Oke, nggak masalah. Aku pergi dulu ...."

Mau tidak mau, Ian menerima kantung kresek oleh-oleh dari Fio. Bersyukurlah pamannya tidak ada di rumah. Kalau ada, mungkin gadis sok kenal sok dekat itu akan berhasil memasuki istananya.

Baru saja Ian mau menutup pintu, pria yang dia pikirkan tiba di rumah. Siapa lagi? Pasti lelaki empat puluhan yang baru pulang dari rutinitas antara penulis dan editornya itu.

"Paman?"

"Nah, ini dia. Yuk, masuk Dek Fio."

"Hehe, makasih, Om."

Seketika, mimik muka Ian menjadi cengo. Napas pasrah pun berhembus melalui mulutnya. Hah. Gadis itu memang seperti kutu. Semakin dibiarkan, semakin menjadi. Bikin tangan Ian bertambah gatal untuk menyentilnya ke Antartika.

"Kita ketemu lagi, Ian. Sepertinya, hari ini kita ditakdirkan makan malam bersama."

Ian ingin sekali mengumpat. Sebaiknya ia menahan diri, karena yang ia hadapi ini bukanlah penjahat. Bukan tandingannya. Fio hanyalah seorang gadis yang pastinya punya perasaan. Ian pernah dengar bahwa sekali gadis tersakiti hatinya, maka akan sulit untuk diperbaiki.

Untuk saat ini, Ian membiarkan Fio memasuki ranah keluarganya. Namun, jika suatu saat gadis itu melonjak, Ian tidak akan pernah memaafkan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro