Bab 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sejak membawakan gado-gado ke rumah Rudi, Fio yakin, Ian punya sisi lain yang bisa disentuh. Meskipun lelaki itu memiliki perangai yang kasar dan omongannya yang selalu pedas, Fio tak sekalipun kapok. Gadis itu terus mencoba menjangkau hati Ian.

Bisa dikatakan Fio benar-benar terobsesi. Ada satu hal yang membuatnya menyukai Ian. Dari segala hal tentang lelaki buta itu, ada satu yang membuat Fio tertarik. Tentang tekad dalam diri Ian yang cukup besar. Fio ingin tahu, apa yang membuat Ian begitu semangat dalam melukis.

Orang awam akan berpikir, buat apa melukis kalau mereka tidak bisa melihat? Karena kekuatan terbesar dalam memoles cat ke kanvas adalah mata.

Tetapi, lelaki itu berbeda. Ia menjajal sesuatu yang sebelumnya tidak mungkin. Malah saat diteruskan, hasilnya cukup mengagumkan.

Hari-hari Fio yang melelahkan. Pekerjaannya saat ini cukup menguras tenaga. Tidak tahu kenapa, tapi beberapa seniornya bertindak sedikit kelewatan. Bukankah mereka tahu, Fio staf customer service. Tapi tetap saja, di jam istirahat, beberapa karyawan dari divisi lain memintanya untuk melakukan ini-itu.

Fio, mau ke mana? Nitip fotocopy-in ini, dong. Seratus lembar, ya.

Fi, bisa tolong panggilin Riko nggak? Bilang kalo Melani yang suruh dia ke sini. Cepetan, ya!

Fi, Fi! Ngapain buru-buru, sih?! Minta Mang Ujang bikinin gue kopi, sana. Gue ngantuk, nih. Nggak bisa fokus kerja.

Mau menolak? Tentu Fio bisa melakukannya. Ia tidak bodoh dengan menerima begitu saja permintaan para seniornya. Lagi pula, Fio tidak ada hubungannya dengan mereka. Satu divisi saja tidak, mau minta ini-itu seenaknya, memang Fio babu?

Bukan berarti punya kekurangan menjadikan Fio dengan mudah tertindas. Gadis itu paham, mana yang meminta bantuan dan mana yang cuma berniat mengerjai. Dan sayangnya, Fio tidak punya waktu untuk orang-orang yang tidak menghargai kebaikannya.

"Hai, Fi. Muka lo bisa cemberut juga, ya, ternayata," tegur Jenni tepat di sebelah Fio.

Hari ini langit hitam pekat. Gerimis telah turun sejak setengah jam yang lalu dan tampaknya mulai semakin deras.

"Iya, Mbak."

"Jenni, Fi. Panggil gue Jenni. Gue bukan 'mbak' lo," ucap Jenni kesal. "Lo nggak pulang? Apa nunggu dijemput pacar?"

"Eh! Aku nggak punya pacar.... Haha, mana ada yang mau sama aku?" kata Fio, mengubah suasana yang canggung menjadi lebih santai.

"Ya, barangkali cowok yang tinggal di sana mau jadi pacar lo."

Fio mengikuti arah pandang Jenni. Sedetik kemudian, matanya menyipit, tawa renyah terceletuk dari bibirnya.

"Haha.... Yang itu terlalu sempurna, Mbak. Eh, Jen. Nggak deh, kayaknya."

"Loh, kenapa? Kalian cocok. Mungkin kelihatannya dia kejam, tapi gue yakin, dia bakal segera sadar betapa menariknya lo."

"Mba ... eum ... Jenni kenal sama dia?"

"Nggak. Tapi gue sering perhatiin, semingguan ini lo selalu ke sana habis pulang ngantor. Dan beberapa kali, lo beli gado-gadonya Mbok Jum. Pasti buat dia, 'kan?"

"Yah, ternyata kamu udah bisa nebak. Iya. Aku lagi usaha deketin dia, tapi sebagai temen doang, kok. Nggak lebih. Aku sih nggak terlalu berharap punya pacar tampan kayak dia. Kalau pun Tuhan nurunin jodoh, aku cuma minta satu. Yang baik dan nerima aku apa adanya, nggak lebih."

"Lo emang orangnya sederhana, ya, Fi. Ya udah, deh. Semoga berhasil."

Fio tersenyum lebar. Mendengar tanggapan dan semangat yang diberikan Jenni.

"Hujannya makin lebat, nih. Mau pulang bareng gue? Bentar lagi suami gue nyampe, biar sekalian kita anter pulang."

"Ng ... nggak usah, deh, Jenn. Aku ... mau neduh di sana aja."

"Oh, ya, udah. Nggak masalah. Itu dia Robbert, gue duluan, ya!"

Tak berselang lama setelah Jenni masuk ke mobil suaminya, Fio berlari keluar gerbang. Ia menyeberang jalan dengan susah. Rinai hujan membuat pandangannya semakin kabur. Kacamatanya basah, pun juga seluruh pakaiannya. Ada bagusnya rumah Ian dekat, kalau tidak, mungkin penampilannya akan semakin parah karena basah kuyub.

"Om Rudi?"

"Om, bukain pintunya, dong? Saya mau numpang neduh."

Tak seperti biasanya—yang lama menunggu pintu dibukakan—kali ini Ian begitu sergap menyambut kedatangan Fio, yang ia kira pamannya tadi.

"Syukurlah, aku masuk, ya."

"T-tapi...."

"Please, Ian. Di luar dingin banget, aku juga nggak mungkin pulang sekarang."

"Masuk."

Fio mengembangkam senyum ketika Ian membiarkannya masuk. Demi Tuhan, ini pertama kalinya Ian menerima kedatangannya.

***

Ian tidak tahan. Telinganya terasa gatal karena sejak tadi mendengar suara Fio yang menggigil. Suasana juga menjadi sangat canggung. Hanya ada mereka berdua di dalam rumah, sementara Rudi belum pulang dari tempat kerjanya.

Ian berpikir keras, bagaimana caranya menawarkan minuman hangat ke Fio? Jujur, ia gengsi. Ia masih belum mahir menyeduh teh. Tapi setidaknya masih bisa menuangkan air panas dengan tepat ke dalam cangkir.

Suara langkah kaki Ian yang terseok-seok menimbulkan kekhawatiran Fio. Dilihatnya pria itu datang dari balik ruangan. Membawa sebuah handuk dan baju ganti—mungkin.

"Ian, itu apa?" basa-basi Fio menunggu Ian menyampaikan niatnya.

"Nih."

"Wah, makasih banyak. Aku emang lagi kedinginan banget. Makasih baju gantinya, ya. Aku bakal balikin secepatnya."

"Nggak usah ge-er. Itu punya paman. Jangan harap aku minjemin bajuku ke kamu."

"Oh, punya om ternyata. Nggak masalah."

Sesaat kemudian, gadis itu pergi menuju kamar mandi untuk mengeringkan badan dan mengganti pakaian. Ian duduk di ruang tamu. Harap-harap cemas sambil menunggu, kapan hujan akan reda?

Ian semakin dibuat tidak nyaman dengan kehadiran Fio di rumahnya. Kalau boleh jujur, Fio adalah gadis pertama yang bertamu untuk menemui dirinya. Biasanya Tante Betty dan Tante Marry yang datang, itu pun untuk mencari pamannya. Ian juga cukup heran, apakah Rudi sepopular itu? Dikejar dua orang wanita sudah lumayan hebat. Pamannya pastilah mengesankan dan meninggalkan pesona yang luar biasa di hati para wanita.

"Ian, mau sesuatu yang hangat? Aku buatin teh, ya?"

"Ini rumahku, kamu cuma orang asing di sini."

"Orang asing yang ... eum ... bisa dibilang saudara mungkin. Ayolah, nggak usah canggung gitu. Anggap aja kita temen deket."

"...."

"Ya udah, gimana kalo kamu yang bikin? Karena tadi kamu bilang aku orang asing di sini. Harusnya kan sebagai seorang tuan rumah, kamu menyambutku dengan baik."

"Baiklah. Cuma kali ini saja aku perbolehkan."

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Baguslah, Ian tidak perlu menawarkan mau minum atau tidak sebab Fio sudah memintanya duluan. Akan aneh jika Ian yang selama ini tidak menyukai Fio malah inisiatif membuatkan minuman hangat.

Ian meletakkan teko di atas kompor. Rudi selalu menyiapkan teko berisi air sebagai persiapan ketika ada tamu datang. Sehingga, Ian tinggal mendidihkannya saja.

Rudi telah mengajari Ian, di mana letak gula, di mana letak teh, sehingga ini bukan pertama kalinya bagi Ian menyiapkan minuman. Hanya saja, ia agak gugup. Entah kenapa, tapi kali ini ia membuat minuman untuk seorang gadis asing yang seminggu lalu menyelinap masuk di rumahnya.

Tangan Ian meraba, menemukan sebuah cangkir. Lalu dituangkannya satu sendok gula, diikuti dengan memasukkan sebuah teh celup ke dalamnya. Ketika air dalam teko mendidih, mengeluarkan bunyi yang begitu keras, dengan segera Ian mematikan kompornya.

Pria itu mengangkat teko pelan-pelan menggunakan sebuah lap. Dituangnya air ke dalam cangkir. Namun, kedatangan Fio yang mengagetkan, membuat air panas itu tumpah mengenai punggung tangan dan lengan bagian bawahnya.

"Aw!!"

"Aduh, Ian. Sorry."

Dengan panik, Fio membawa Ian mendekati wastafel. Tangan Ian diguyur dengan air mengalir, paling tidak itulah langkah pertama saat menemui seseorang yang terkena luka bakar.

"Kamu nggak bisa diem, ya?!"

"Maaf, aku cuma khawatir kamu nggak bisa nuang airnya ke cangkir. Jadi aku dateng. Eh, malah gini jadinya."

"Lain kali, jangan ngeremehin aku. Meskipun aku buta, aku bisa membuat teh dengan enak."

Usai mengobati luka Ian, Fio membuktikan omongan lelaki itu dengan meminum teh yang sudah tersaji.

"Gimana? Enak, 'kan?"

"Hm.... Lumayan."

Lumayan asin.

Fio tidak bisa menahan ekspresi wajahnya. Ia menjulurkan lidahnya sebagai respon rasa teh yang aneh. Sepertinya Ian salah menaruh garam ke dalamnya. Lelaki itu hanya omongannya yang besar, tapi lihat. Hasilnya benar-benar buruk.

Yah, Fio tidak menyalahkan. Mungkin Ian hanya sedang gugup. Gadis itu percaya Ian bisa menyeduh teh. Melukis saja ia sangat ahli, mengapa tidak dengan melakukan hal sekecil ini?

"Kalau sudah habis, bawa ke belakang."

"Iya."

Tehnya mungkin asin, tapi ini teh pertama yang kamu buatin, Ian. Aku pasti menghabiskannya.

Fio cukup senang. Ian yang membiarkannya masuk ke rumah, lalu memberinya handuk dan pakaian ganti, serta Ian yang membuatkannya teh hari ini, menurut Fio sedikit demi sedikit Ian mulai menerima pertemanannya.

Dan tentu saja, Fio tidak akan berhenti sampai di sini. Masih ada banyak hal yang belum Fio gali dari Ian. Ia akan membuat lelaki itu menceritakan semua kisahnya sendiri tanpa perlu Fio paksa.

***


Akhirnya di up, setelah hibernasi berjam-jam. Untung nggak kelupaan :v

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro