Bab 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aroma hidangan yang masih hangat dan suara berisik khas orang memasak, membuat Fio terlena. Tak peduli akan suasana restoran yang begitu sesak, gadis itu berjalan ke arah dapur. Di sana, ia melihat Miranda tampak sibuk menginstruksi para chef dengan mengenakan apron dan topi kebanggaannya. Hari ini—sepulang dari kantor—Fio menahan diri untuk tidak datang ke rumah Ian. Ia punya rencana lain.

Dengan bibir yang mengembang ramah, Fio menyapa para pekerja di restoran keluarganya. Waktu belum cukup sore hingga ia bermaksud untuk sedikit membantu. Yah, walaupun tidak semahir Miranda atau kakaknya dalam mengolah sajian, ia ahli dalam belajar cepat. Cukup beberapa kali latihan, Fio bisa dikatakan lulus. Bakat anak itu memang langka. Mungkin bisa disebut serakah karena Fio adalah gadis dengan multitalenta, yang dapat dengan mudah menguasai banyak hal dalam waktu singkat, seperti memasak.

L'Acino adalah restoran yang didirikan oleh Bramantyo sejak berusia 25 tahun, sesaat setelah menikahi Miranda. Kedua orang tua Fio membangun restoran ini bersama-sama. Dari yang awalnya asing, L'Acino kini menjadi salah satu restoran yang paling direkomendasikan di Jakarta Selatan.

Nama L'Acino sendiri terinspirasi dari salah satu restoran yang pernah dikunjungi Bramantyo di Turin, Italia. Karena itu pula, Bramantyo, yang bercita-cita sebagai pengusaha muda, mendapatkan ide untuk mendirikan restoran Italia. Bukti cintanya pada kuliner khas negara dengan Menara Pisa-nya itu.

Ketika menginjakkan kaki di L'Acino, kesan kontemporer akan didapatkan setiap pengunjung melalui visualisasi bangunannya yang geometris. Dinding-dinding restoran itu terbuat dari batu-bata ekspos. Langit-langitnya dibuat tinggi dengan jendela-jendela yang besar penuh ukiran. Warna ruangan dibuat hangat—khas Italia. Terdapat area buffet dengan tambahan pohon imitasi, menambah estetika restoran yang di bangun di tengah kota tersebut.

"Mama!" sapa Fio. Tangannya melambai pada Miranda, namun Fio tampak tidak ditanggapi.

"Mama, menu spesial hari ini apa?"

"Ravioli," jawab Miranda singkat. Langkahnya ke sana - ke mari, memeriksa tiap detail bahan-bahan yang dimasukkan pekerjanya ke dalam menu makanan yang disiapkan.

"Ma, aku mau bantu-bantu, dong."

"Serius?"

Akhirnya Miranda terpaku pada Fio. Kedua maniknya menatap tidak percaya. Tidak biasanya putri tunggalnya itu mau bantu-bantu di resto. Katanya, Fio tidak betah dengan suasana resto yang selalu penuh pengunjung. Meskipun gadis itu suka bersosialisasi, namun satu hal yang membuatnya tidak percaya diri, yaitu berinteraksi secara langsung—face to face—dengan orang lain. Pekerjaan yang biasa ia lakoni setiap hari berbeda sangat signifikan. MyStore meletakkan Fio pada staf customer service online, di mana ia hanya memberikan layanan pelanggan dari balik layar. Artinya, hanya melalui via suara atau tanggapan komentar yang dikirim melalui beberapa media sosial.

"Ada apa ini, Fi? Tumben sekali."

"Hm, sebenernya ... Fio mau minta diajari membuat pasta carbonara. Boleh, ya, Ma?"

"Buat apa? Sejak kapan kamu tertarik di dunia mama?"

Benar. Memasak adalah dunia Miranda. Fio sama sekali tidak punya kecenderungan memilih zona itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Ini demi meraih hati seorang Ian.

Memikirkan Ielaki itu, Fio sampai tidak sadar bahwa ambisinya keterlaluan. Dari sekian banyak orang—yang mungkin bisa dijadikan teman—Fio lebih memilih Ian yang cuek dan sedikit kasar.

"Ada deh, Ma. Mama mau ngajarin nggak, sih?"

"Boleh. Tapi, nanti. Sekarang kamu bantuin mama dulu. Lihat, banyak banget pengunjung yang datang."

"Siap, Ma."

Dan sebagai bentuk barter dengan Miranda, Fio rela menguras tenaganya di restoran yang selalu ia hindari itu.

***

"Om Rudi?"

Tak terhitung berapa kali Fio bermain ke rumah Rudi—siasatnya agar bertemu dengan Ian. Sore itu ia mampir ke sana lagi. Agaknya ia terlambat, karena harus berbelanja bahan-bahan memasak dari minimarket terdekat. Di kedua tangannya, masing-masing terdapat kantong plastik berwarna putih berukuran sedang.

"Dek Fio? Wah, akhirnya datang juga."

Melihat wajah semringah milik lelaki dewasa itu, alis Fio saling bertautan. Aneh menurutnya.

"Kenapa, Om? Kok seneng gitu?"

"Kamu kemarin ke mana? Kok nggak mampir?" tanya Rudi selagi kedua tangannya sibuk membantu membawakan barang belanjaan Fio.

"Om kangen, ya?" goda Fio yang membuat Rudi tergelitik.

"Bukan Om, tapi Ian."

"Eh?!"

Pernyataan Rudi seketika membuat pipi Fio memerah. Benarkah Ian merindukannya? Artinya, Ian sudah mulai memaknai keberadaan Fio di sekitarnya.

"Ian mondar-mandir di depan pintu. Di jam biasanya kamu ke sini."

"Yang bener, Om?"

"Iya. Anak itu memang suka gengsi, om tanya ngakunya nungguin tukang bubur yang biasa lewat. Padahal om tahu, Ian nggak suka makan bubur."

Pengakuan itu menimbulkan harapan besar bagi Fio. Selangkah lagi, ia optimis akan sukses memenangkan hati Ian. Hitung-hitung, usahanya selama seminggu lebih tidak akan berujung percuma.

Kemudian, gadis itu mengedarkan pandangannya ke sepenjuru ruangan. Mencari eksistensi si pria tampan yang tinggal seatap dengan Rudi.

"Nyari Ian?"

Fio mengangguk. Setelah memastikan kantong plastiknya diletakkan di tempat yang benar—dapur—gadis itu pergi ke lantai dua, atas persetujuan Rudi. Katanya, Ian sedang melukis di kamarnya.

Fio diam-diam menyelinap. Dilihatnya Ian sedang asyik memainkan kuas dengan warna cat yang tersusun rapi di suatu wadah. Sejak lama Fio penasaran, bagaimana Ian membedakan warna saat akan menggunakanya untuk melukis? Mengingat bahwa lelaki itu tak bisa melihat.

Dengan cekatan, Ian mencomot warna kuning yang terletak di wadah dengan urutan ketiga dari yang paling kanan. Dan warna merah yang terletak di wadah dengan urutan ketujuh dari yang paling kiri. Mulut Fio terbuka, matanya jeli menyaksikan jari-jemari Ian yang tampak menghitung susunan cat. Terlihat sangat fokus.

Setelah berhasil mendapat warna yang ia inginkan, Ian mengeluarkan secukupnya warna itu di atas palet. Lalu, menorehkannya menjadi perpaduan warna yang cantik di atas kanvas. Gradasi antara kuning dan merah memunculkan suasana senja pada gambar yang Ian buat.

Sekarang, satu hal lagi yang Fio bingungkan. Bagaimana Ian bisa menggambar objek dengan posisi yang tepat? Matahari, laut, langit, pohon kelapa, dan pasir, semua komponen itu berada pada proporsi yang seimbang. Sehingga ketika di pandang, akan memunculkan suasana pantai dengan baik—meskipun cukup abstrak.

"Wah, Ian! Kau sangat jenius," celetuk Fio tanpa sadar.

Mungkin orang lain akan memandang lukisan Ian jelek—tidak berbentuk. Tapi, di mata Fio, Ian dapat melukis dalam keadaan buta saja sudah begitu menakjubkan.

"Ngapain kamu di sini? Belajar jadi penyusup lagi?"

"Santai, dong, Ian. Aku ke sini cuma buat minta tolong sama kamu."

"Minta tolong?"

"Iya, aku akan membuat pasta. Aku sudah membeli semua bahannya. Ada carbonara, keju, telur, daging, garam, minyak zaitun–"

"Siapa yang nanya?"

"Kan tadi kamu nanya, 'minta tolong' apa."

"Aku nggak minta kamu sebutin semua bahan penggendut badan itu. Sorry, vegetarian sepertiku malas berurusan dengan makanan berlemak."

Ya Tuhan, baru kali ini dia ngomong panjang lebar! Ini sungguh keajaiban!

"Yah, sayang sekali. Padahal aku udah capek-capek minta diajari mama buat masak, loh, kemarin," tukas Fio, menyinggung perihal ketidakhadirannya sebelum ini. Siapa tahu Ian peka dan mau membantunya di dapur.

"Kan ada Paman Rudi. Bukannya kamu ke sini selalu meneriakkan namanya?" kata Ian sambil meneruskan kegiatannya. "Om Rudi? Om Rudi?" lanjutnya seolah menirukan suara Fio.

Baiklah. Fio menyerah. Ia memilih kembali ke dapur, memasak ditemani Rudi. Tapi, ia tidak akan mundur begitu saja dari misinya. Daripada melalui paksaan, Fio lebih suka bertindak dengan perlahan, mengerahakn segenap kesabaran yang ia miliki untuk mendapat perhatian dari Ian.

Misinya kali ini adalah membuat Ian menyukai masakannya.

Masa bodoh dengan dietmu, Ian?! Hari ini, akan kubuat gendut kamu, sampai-sampai tidak bisa berhenti makan masakanku yang lezat.

***

Ian berdiri di depan sebuah gedung pencakar langit. Kakinya ragu untuk melangkah masuk ke dalam, menemui resepsionis dan menanyakan seorang gadis bernama Fio.

Ia hendak berjalan keluar, padahal sudah memasuki gerbang. Ia dikawal seorang satpam, bahkan bapak-bapak berkumis itu sampai linglung melihat tingkah Ian yang menggemaskan.

"Mas, jadi masuk nggak, sih? Ini saya masih ada tanggungan kerja lainnya, loh!" keluh pak satpam.

"Eng ... i-iya, Pak, jadi. Antarkan saya ke resepsionis, ya," pinta Ian seramah mungkin.

Sesampainya di tempat yang ia tuju, Ian menggaruk-garuk kepalanya. Tidak tahu, harus bertanya dengan kalimat macam apa.

Ia mengumpat, menyesali keputusannya untuk datang ke gedung MyStore.

"Ada yang bisa saya bantu, Mas?"

"Ehm ... a-apa ... gadis ... magang, customer service, masih baru ...,"

Tinggal mengatakan namanya saja, kenapa lidahku sulit sekali?! Batin Ian mengutuk dirinya sendiri. Ia terus saja mengatakan hal-hal secara acak.

"Maksud Mas, gadis bernama Fio?"

Ian sedikit terkejut. Belum mengatakan nama Fio secara spesifik saja, resepsionis itu sudah bisa menebak. Pasti Fio gadis yang sangat terkenal di kantornya, pikir Ian.

"Iya, itu. Gadis itu."

"Kalau boleh tahu, ada perlu apa, ya?"

"Ini. Berikan padanya," kata Ian sambil menyerahkan sebuah map.

Tadi pagi, Ian menemukan sebuah map tergeletak di sofa ruang tamu. Ia pikir itu milik pamannya. Namun, setelah Rudi mengatakan bahwa isi map itu adalah laporan keluhan pelanggan, Ian pun menduga, Fio pasti lupa meninggalkan map itu di rumahnya.

Dan entah apa yang meracuni pikiran Ian, daripada menunggu Fio datang—seperti saran Rudi—ia malah nekat mengantarkannya langsung ke kantor Fio di saat pamannya tidak di rumah.

"Baik, Mas. Akan saya infokan ke Mbak Fio untuk mengambil barangnya ke sini. Apa ada lagi yang dibutuhkan?"

"Tidak."

Ian pun berlalu, meninggalkan gedung itu dengan perasaan malu dan menyesal. Namun, sebelum betul-betul meninggalkan tempat, telinganya sempat mendengar sesuatu.

"Itu tadi siapa? Pacarnya Fio?"

"Ya mana gue tahu. Ganteng, ya. Tapi daripada buat gue, dia lebih cocok sama Fio, deh."

"Hehe, yang satu rupanya amit-amit, yang satunya buta. Nggak bisa liat."

"Uuh, serasi bangett!"

***






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro