10: Paksa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kiri, Bang!" teriak Nai dari tempat duduk paling belakang.

Karena musik DJ dangdut yang diputar begitu keras dari speaker tepat di samping Nai, bergetar karena bass yang disetel tinggi, membuat suara Nai tidak terdengar, angkot berwarna merah itu masih melaju dengan kencangnya. Kesal karena titik berhentinya sudah kelewatan Nai pun memutuskan untuk berteriak.

"WOY BANG, KIRI, BANG!" teriak perempuan itu sambil mengetuk-ngetuk atap, barulah si pengemudi mengerem secara cepat hingga tubuh Nai yang tidak siap terdorong ke depan.

Angkot berhenti, ia bergegas turun sembari memegang telinganya yang sakit. Menyerahkan uang lima ribuan, si supir langsung tancap gas begitu uang sampai di tangannya. Nai melongo sebab seharusnya ia dapat kembalian seribu, ongkos pelajar dan penumpang biasa memang beda, pelajar lebih murah seribu.

"Haish, sialan. Udah kelewatan, kuping gue sakit. Gue sumpahin mogok di jalan tuh angkot," sewotnya kini berjalan menyusuri jalan menuju rumahnya yang sudah kelewatan enam puluh meter. Beberapa detik kemudian berhenti karena memikirkan sesuatu, "ah, tadi penumpangnya masih banyak, kasihan kalau mogok. Enggak jadi, deh, Tuhan. Gue tarik kata-kata yang tadi," katanya cengengesan membuat beberapa orang yang lewat melihatnya keheranan.

Seorang pelajar bicara sendiri di jalan sambil ketawa-ketawa, beberapa berpikiran ia gila, sebagian mengasihaninya karena tahu beban pelajar zaman sekarang memang berat kadang buat stres jadi mereka mengganggap Nai stres.

Akhirnya sampai juga dia de depan sebuah rumah sederhana bercat putih gading di kelilingi pager hitam dan ada satu pohon mangga yang tengah berbunga di depannya.

Ia menggeser gerbang karena celah yang terbuka terlalu kecil untuknya bisa masuk. Bunyi ngilu dari gesekan besi yang telah berkarat menambah sakit telinga Nai, ia jadi kesal dan tak mau menutup kembali pagar.

Saat mau masuk ke dalam rumah ia melihat mobil Kijang Innova berwarna silver telah terparkir di garasi. Nai terheran kenapa baru jam segini sudah dimasukkan saja. Langit memang sudah gelap, tapi masih terlalu awal, jalanan tadi yang baru saja ia lalui masih ramai.

Mengucapkan salam, ia segera masuk ke dalam rumah. Di ruang tengah sudah ada papa dan Vrinn duduk dengan beberapa brosur tergeletak di meja. Sekali melihat saja Nai tahu itu brosur iklan beberapa bimbingan belajar.

"Baru pulang jam segini?"

Suara bariton itu menghentikan langkahnya menuju kamar, ia memutar tubuh untuk menghadap Bara. "Iya, Pa. Tadi ada latihan teater ditambah jalanan macet banget," kata Nai menjelaskan tanpa diminta, ia malas berlama-lama, ia ingin mandi tubuhnya sudah cukup lengket. Hari ini cuaca cukup panas ia jadi sering berkeringat.

"Kamu selalu beralasan, kemarin juga kamu pulang lama. Sebenarnya ngapain aja, sih, di sekolah?"

Nai menghela napas. Ia sudah jujur, tak ada kebohongan pada kata-katanya, kenapa Bara tidak mempercayai?

"Vrinn saja bisa pulang lebih awal, padahal dia ada kursus tadi."

Nah, itu dia alasannya. Ada Vrinn sebagai pembanding, selagi putri kesayangannya itu berbuat lebih baik dari Nai, maka Nai akan selalu salah.

Kata-kata perlawanan sudah di ujung lidah, tetapi ia enggan untuk berdebat. Akhirnya memutuskan mengalah saja, "Maaf, Pa. Besok Nai bakalan pulang lebih awal."

Setelah itu ia kembali meneruskan langkahnya ke pergi ke kamar. Melemparkan tas ranselnya ke atas meja belajar, sudah capek disambut papa yang mengomel membuat ia semakin lelah.

Nai sangat ingin segera membaringkan tubuh di atas ranjang tapi ingat ia harus mandi, jadi ia mengurungkan niat, mengambil handuk yang di gantung di samping pintu kamar mandi.

***

Lima belas menit berlalu ia keluar dari kanr mandi dengan kesegaran meliputi tubuhnya, seakan beban-beban sudah larut bersama daki yang ia siram dengan air. Badannya enteng, sambil mengusap rambut basahnya dengan handuk ia keluar kamar mandi.

"Eh, astaga!" seru Nai setengah berteriak melihat seorang wanita berambut panjang terurai dengan dress tidur putih tengah duduk di tepian tempat tidurnya.

"Kenapa teriak-teriak begitu?" tanya wanita itu.

"Mama ngagetin aja." Ia berjalan mendekati Bunga sambil memperhatikan kaki wanita itu masih menapak lantai atau tidak, memastikan yang ia lihat bukanlah mahkluk halus.

"Kamu kira mama hantu, ya?" Bunga terkikik melihat tingkah lucu putrinya tersebut, membuat Nai merinding, lalu sekali lagi memastikan orang di hadapannya ini benar-benar manusia apa tidak dengan menyentuh tangannya.

"Sembarang, nih, anak!" Bunga menyentak tangan Nai, "Ini mama."

"Habisnya Mama kenapa pakai baju putih segala, sih?" gerutu Nai tidak terima dengan penampilan menyeramkan Bunga.

"Ini baju tidur, Mama nyaman pakai ini." Nai mendengus, pilihan baju tidur mamanya memang ada-ada saja.

"Kamu sudah selesai? Yuk, ke depan. Papa sudah menunggu."

Gerakan tangan mengusap rambut dengan handuk terhenti, ia menatap mamanya dengan wajah memelas. "Boleh nggak kali ini Nai nolak? Nai capek, Ma. Pasti Papa mau marahin Nai ini itu, sebel banget."

"Kamu berapa lama mengenal papamu?" tanya Bunga mengambil sebuah sisir di atas meja, lalu mengambil alih rambut Nai. Ia perlahan menyisir rambut setengah basah tersebut. "Setiap perkataan Papa jangan kamu masukin dalam hati, itu karena Papa peduli sama kamu. Mungkin memang kata-katanya kasar, dengerin aja setiap perkataannya."

"Tapi Nai enggak suka, Ma. Apalagi kalau dibanding-bandingkan sama Vrinn."

"Hush!" Bunga menepuk pelan kepala di hadapannya, "kok, manggil kakak kamu pakai namanya? Enggak sopan."

"Kita cuma beda tiga tahun, Ma. Nai enggak perlu pakai embel-embel 'Kak' segala. Mama nggak tahu aja di luar sana beda lima bahkan sepuluh tahun sekalipun itu tetap panggil nama doang," sahut Nai membela diri.

"Yang jelek-jelek kok diikutin, kamu tuh kebanyakan bergaul sama yang jelek-jelek, nih."

Muka Nai cemberut, ia menahan tangan mamanya yang ingin kembali menyisir rambutnya. Karena kulit kepalanya sakit saking Bunga menyisir penuh semangat sehingga sisirannya dalam menembus kulitnya.

"Mama lama-lama mirip Papa, dikit-dikit nyalahin pergaulan Nai."

"Itu karena kamu memang sudah kelewatan, kamu seharusnya sadar kelakuan kamu semakin lama semakin buruk."

"Tuh, kan! Mama sama papa sama aja." Nai berdiri, wajahnya tertekuk, mood-nya hancur berantakan.

Ia meninggalkan Bunga menuju ringan tempat Vrinn dan Bara masih duduk membicarakan sesuatu. Melihat kehadiran Nai, Vrinn segera menyelesaikan perkataan. Perempuan itu menepuk-nepuk sofa kosong di sampingnya mengisyaratkan Nai agar duduk di sana. Namun, Nai tidak mau ia melengos ke sofa tunggal yang berhadapan langsung dengan Bara.

Bara berdecak. "Lama banget, kamu mandi sambil semedi?"

Nai tidak mau menanggapi, ia berada di sana hanya karena tidak mau membuat ia semakin dicap anak berkelakuan buruk oleh orang tuanya. Mungkin apapun yang akan disampaikan Bara nanti akan ia dengar dengan telinga kiri sedetik kemudian keluar terlinga kanan, alias ia benar-benar tidak peduli.

"Vrinn mau pindah tempat bimbingan karena Papa rasa yang lama kurang berkualitas," ucap Bara mengawali perbincangan melihat Bunga juga sudah hadir, istrinya itu duduk di samping Vrinn.

"Kamu juga papa daftarin. Jadwalnya empat hari dalam seminggu."

Nai mengangkat alis, apa-apaan, pikirnya. Ia bahkan belum bilang setuju atau tidak, kenapa pria itu seenaknya saja.

"Senin, Rabu, Jumat dan Sabtu. Jam tiga sampai lima sore."

Mendengar nama hari yang bersamaan dengan jadwal latihan teater membuat Nai tidak bisa diam lagi, walaupun rencananya di awal hanya mendengarkan saja, tapi ini tidak bisa dibiarkan.

"Nai enggak pernah bilang mau ikut bimbingan, Pa," kata Nai menentang keras.

"Papa udah bayar uang bimbingan kalian, kalian bisa berangkat bareng karena jadwalnya sudah papa samain." Bara seolah tidak memperdulikan suara Nai.

"Nai enggak mau."

"Kalau sempat, nanti pulangnya Papa bisa jemput."

"Papa!" teriak Nai, wajahnya memerah.

"Papa enggak minta pendapat kamu, ini perintah enggak ada penolakan!" balas Bara tegas.

"Tapi, Pa. Hari Rabu Nai ada latihan teater." Nai masih berusaha menolak.

"Ya, sudah besok kamu bilang kamu keluar. Bilang mau fokus sama belajar."

Melihat sepertinya Bara tidak akan mendengarkannya, Nai menoleh ke Bunga yang sedari tadi hanya mendengarkan. Ia memasang muka paling sedih yang ia punya meminta pertolongan pada wanita tersebut. Kode yang Nai berikan diterima oleh Bunga dengan baik.

Berdeham sebentar, "Pa, Nai benar. Kamu jangan maksa-maksa begitu, nanti kalau Nai les tapi nggak niat, sama aja buang-buang duit," kata Bunga pada suaminya.

"Kamu lagi. Jangan suka manjain anak kamu yang satu ini." Bara ternyata tetao saja tidak bisa dilawan. "Lupa waktu SMP anak ini hampir tinggal kelas berapa kali? Empat kali! Papa juga yang repot mohon-mohon dan nyuap guru agar dinaikkan. Nilai dia hancur, otak anakmu ini kosong. Enggak ada satupun pelajaran yang ada di sana. Kerjaannya main terus. Papa enggak mau kejadian itu terulang kembali."

Perkataan Bara menyakiti perasaan Nai, seburuk itukah dirinya? Ia ingin menentang tetapi semuanya fakta. Ia memang empat kali hampir tinggal kelas ketika SMP, tetapi jelas bukan karena ia kebanyakan main.

Matanya berkaca-kaca menahan tangis, ini terlalu kejam untuknya. Bara tidak pernah mencoba memahami kondisi sebenarnya yang Nai alami.

"Keputusan Papa mutlak, enggak ada penolakan. Kalau kamu coba menentang dengan nggak datang bimbingan, Papa enggak segan-segan ngusir kamu dari rumah."

Bunga melihat anaknya menahan tangis, ikatan batin yang kuat membuat ia bisa merasakan kesedihan anaknya.

"Pa, kamu terlalu keras sama Nai."

"Ini semua demi kebaikan dia. Biar enggak malu-maluin, supaya dia jadi orang nantinya."

"Kamu, kan, bisa bilang dengan pelan-pelan."

Bara mendengus, menurutnya memperlakukan Nai dengan keras dan tegas adalah pilihan yang tepat. "Kalau enggak begini dia akan semakin menjadi-jadi. Dulu memang hampir tinggal kelas, mungkin kali ini dia akan dikeluarkan dari sekolah karena berulah. Anak enggak tahu diri kayak dia harus dikerasin."

Habis sudah pertahanan Nai, air matanya terjatuh lalu menganak sungai, ja bangkit berdiri. Meninggalkan mereka masuk ke kamar lalu membanting pintu.

Ia melemparkan tubuhnya ke atas tempat tidur, menutup wajahnya dengan bantal lalu menangis keras-keras.

Perkataan papanya bagaikan pisau yang menusuk-nusuk hatinya, itu sakit sekali.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro