9: Dengar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ini jadwal piket pagi dipegang oleh Nai dan tiga teman. Sesuai pembagian, dua perempuan dua laki-laki. Meskipun tidak pernah ada aturan yang resmi, tapi perempuan akan mengambil bagian menyapu dan mengepel sedang laki-laki mengambil pekerjaan menyusun tatanan kursi dan meja juga membuang isi tong sampah.

Pagi itu Nai sudah selesai mengepel lantai, setelah temannya Karin menyapu terlebih dahulu. Sayangnya sampai belll masuk satu anggota yang piket tidak kunjung hadir. Sehingga mereka melewatkan satu pekerjaan.

Bu Tri guru pengampu mata pelajaran Sejarah sekaligus wali kelas mereka hendak masuk ke dalam kelas, dua tong sampah di depan kelas mencuri perhatiannya. Isinya penuh sehingga tidak bisa ditutup dengan benar.

Wanita yang hari itu memakai seragam batik berwarna biru masuk dengan wajah sebal, seperti biasa ketua kelas menyiapkan kelas juga berdoa, ia matanya menyapu seisi kelas kemudian mulutnya terbuka, "Pagi ini siapa yang piket?"

Nai yang sedang mengipasi tubuhnya karena efek capek habis mengepel masih terasa, bayangkan saja harus membuat lantai seluas enam kali lima meter itu bersih seorang diri.

Meskipun sekolah mereka swasta yang mana sudah ada oetugas kebersihan sendiri, tetapi sekolah masih menugaskan siswa untuk bersih-bersih dengan dalih agar para murid lebih rajin dan peduli kebersihan.

Nai mencibir alasan tersebut karena menurutnya itu hanya alibi agar sekolah lebih hemat biaya kebersihan. Bagaimana tidak berpikir begitu? Nai menghitung biaya sekolah yang telah orang tuanya bayarkan setiap bulan, jumlahnya tidak sedikit mengingat sekolah Nusa Indah Sejahtera merupakan salah satu sekolah yang cukup bergengsi.

Uang sekolah seharusnya cukup untuk memfasilitasi kebersihan sehingga ia tidak perlu capek piket seperti hari ini, pinggangnya sedikit encok.

"Saya siapa yang piket?" Bu Tri kembali mengulang ketika hanya dua orang yang mengangkat tangan, melihat sekitar Nainbaru sadar ia lupa mengangkat tangan.

"Cuma berempat?"

"Kiki belum datang, Bu. Kayaknya hari ini absen," jawab Nai menjelaskan.

Bu Tri mengangguk, tetapi wajah sebalnya belum juga berubah, "Itu yang membuat kalian tidak mengosongkan tong sampah?"

Nai dan dua temannya secara kompak menepuk jidat tanda kelupaan. "Kalian bisa fokus belajar kalau tong sampah itu penuh, bau! Kalian tidak punya hidung, ya?"

Bentakan dari Bu Tri membuat Nai tersinggung, sebenarnya yang lebih membuat tidak fokus belajar adalah ia yang sudah capek karena mengepel, lagi pula tidak ada bau busuk yang tercium. Memangnya mereka menaruh bangkai di tong sampah? tanya Nai dalam hati.

Andien menyenggol lengan Nai saat menyadari ekspresi perempuan itu berubah jengkel, tahu kalau Nai bisa saja nekat dan berujung membuat masalah ia segera memperingati.

"Udah, Nai. Sabar, lo ngalah aja, sana buang sampahnya, sekalian lo lama-lamain di luar biar bisa istirahat," bisik Andien.

Benar juga, pikir Nai. Ia memang malas belajar, ide itu cukup brilian. Ia segera mengacungkan tangan, "Baik, Bu. Buar saya buang segera. Saya izin keluar ya, Bu."

Begitulah cara Nai bisa boleh mata pelajaran sejarah, ia sengaja membuang sampah di belakang sekolah agar rutenya lebih jauh dan ia bisa lebih lama. Padahal tadi sebenarnya ia sudah mengosongkan setengah isi tong sampah di bak sampah milik petugas kebersihan keliling.

Sesampainya di belakang ia berharap bisa bersantai sebentar di sana. Namun, ia tidak menyangka malah mendengar sebuah perdebatan. Buru-buru ia merapatkan tubuh ke dinding sebelum dua orang yang ada di sana melihatnya.

"Mau apa, sih, kamu?" Sebuah suara yang Nai kenali berbicara agak keras. Nai sampai takjub karena biasanya pemilik suara itu selalu bertutur lemah lembut.

"Sudah gue bilang, kan, lo nggak bisa kabur dari gue?"

"Aku nggak paham apa maksud kamu."

"Gue akan hancurin lo, seperti apa yang lo lakuin ke gue."

"Gila!" suara perempuan itu mulai meninggi seperti teriakan tertahan mengingat mereka di sekolah ia tak mau mengundang perhatian. "Kamu enggak bisa ngelakuin itu ke aku."

"Lo duluan yang hancurin gue, Vrinn. Lo duluan, gue cuma mengantarkan karma yang lo tabur," Suara bass seorang laki-laki membuat Nai penasaran ada apa sebenarnya.

"Kamu salah paham, aku sudah berulangkali menjelaskan tapi kamu keras kepala kamu cuma percaya apa yang kamu lihat."

"Halah. Gue lihat dengan mata kepala gue, itu sudah cukup sebagai bukti betapa jahatnya lo. Tega banget! Bersembunyi di balik topeng perempuan baik-baik," terdengar si lelaki mendengus sebentar. "Malaikat? Orang-orang nyebut kamu malaikat, padahal kamu setan paling keji."

"Kamu--"

Suara debum tong sampah yang jatuh membuat dua orang itu sontak terkejut lalu menoleh ke samping melihat sebuah tong sampah berguling, isinya tumpah ruah.

Nai merutuk diri karena tidak memegang benda itu dengan erat, kini ia ketahuan. Perlahan ia muncul dari balik dinding dengan sebuah cengiran untuk mengelabui bahwa kini ia takut.

"Maaf, Kak, Bang. Saya tadi berencana mau buang sampah tapi kepeleset," ujar Nai berbohong. Ia segera mengutip sampah-sampah yang berjatuhan.

Meskipun kaget akan kehadiran Nai, Vrinn segera menghampiri lalu berjongkok ikut mengutipi sampah. Nai sebenarnya tidak suka akan perhatian perempuan itu, tetapi karena ada orang lain di sana ia tidak bisa melarang. Sebagaimananya sekedar junior ia menghormati Vrinn.

Sedangkan laki-laki yang tadi berdebat itu memilih pergi karena tahu tidak akan bisa melanjutkan perbincangan dengan Vrinn.

"Kamu hati-hati," Kata Vrinn setelah keduanya selesai membereskan sampah-sampah itu. "Kaki kamu baik-baik saja? Sakit tidak keseleo tadi?"

Karena satu-satunya alasan Nai menahan diri telah pergi ia segera mengambil jarak dengan Vrinn. "Gue enggak kenal lo, lo enggak kenal gue. Inget?"

"Aku hanya khawatir sama kamu," sahut Vrinn sambil melihat kaki Nai, mencoba menebak yang mana yang sakit.

"Urus aja hidup lo sendiri, enggak usah sok jadi malaikat."

Perkataan Nai membuat Vrinn menyadari satu hal, sebuah kata yang terucap itu menegaskan bahwa Nai mendengar perdebatannya dengan Lingga.

"Kamu dengar apa aja?" tanyanya menyelidik.

"Gue enggak peduli sama lo, sama hidup lo, apalagi sama masalah lo."

Nai melengos begitu saja segera melaksanakan tugasnya membuang sampah segera berbalik lalu hendak meninggalkan tempat tersebut. Tetapi lengannya ditahan.

"Jangan beritahu siapa-siapa, Nai."

Tangannya ia tarik paksa sehingga tangan Vrinn sedikit terhempas. "Udah gue bilang gue nggak peduli," katanya lalu berlalu pergi.

Kenyataan ia sangat penasaran apa yang terjadi di antara Vrinn dan Abang kelasnya tersebut. Nai heran kenapa bisa perempuan itu disebut jahat, menghancurkan hidupnya, emang apa yang telah Vrinn lakukan?

Pertanyaan itu bercokol di kepalanya sampai ia kembali ke kelas, menemukan Bu Tri sudah pergi. Ia duduk di kursinya memanggil teman sebangkunya Andien yang kini bergosip bersama siswi-siswi di pojokan.

"Eh, udah balik. Kirain bakalan ngumpet sampai istirahat."

"Kok Bu Tri cepat banget keluar?"

"Lo aja kelamaan! Jam nya udah habis tauk!"

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro