8: Takut

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Vrinn ingat. Dulu sekali, ketika ia masih SD mungkin, ia adalah sosok yang pemalu. Sangat takut oleh tatapan orang - orang padanya, suka cemas bila ditatap terus menerus, ia juga mengidap demam panggung yang parah, sehingga acap kali disuruh ke depan seringkali gemetaran.

Bahkan sekedar untuk memperkenalkan diri saja ia takut. Ia takut pada pandangan semua orang yang hanya tertuju padanya, efeknya setiap kali harus ke depan kelas, ia harus menahan rasa gelisah di tubuh berkeringat, kepala pusing dan tidak fokus. Paling parah adalah saking gugupnya ia bisa muntah karena gejolak aneh di perutnya.

Vrinn rasa masa-masa itu telah lewat, sejak SMP berkat gemblengan keras orang tuanya, pelan-pelan ia berhasil keluar dari zonanya. Ia sudah berani dan percaya diri.

Kini bahkan berdiri di depan ratusan bahkan ribuan audience sudah menjadi makanan sehari-hari Vrinn. Acap kali menang suatu lomba, ia selalu di panggil ke depan ketika upacara, Vrinn harus memberikan beberapa kata-kata atas kemenangannya di depan semua orang. Dan ia berani.

Gugup yang berlebihan, tangannya berubah dingin, ia tidak mampu memfokuskan perhatian, perutnya yang berulah membawanya harus beranjak ke kamar mandi karena rasa mual yang tidak tertahan. Sudah lama sekali perasaan seperti itu tidak ia rasakan, terakhir kali saat kelas enam SD, ketika tugas membacakan puisi di depan kelas.

Vrinn mengenalinya sebagai panic attack. Ia memuntahkan seluruh isi perutnya ke dalam lubang closet, setelahnya ia merasakan perih di tenggorokan karena asam lambungnya ikut naik. Ia menekan tombol flush, air melarutkan muntahan hingga hilabg dari pandangan.

Dengan lemas ia keluar dari bilik kamar mandi, lalu mematut dirinya di depan cermin wastafel. Melihat wajahnya pucat, ia menghidupkan keran lalu berkumur-kumur. Setelahnya ia mencuci muka.

Ini sudah dua kali mengalaminya dua Minggu ini, semua ulah satu orang. Pertama saat laki-laki itu tiba-tiba bergabung ketika makan siang, kedua saat ia tengah menjelaskan di depan kelas. Saat itu ia sebagai perwakilan kelompok ditunjuk sebagai pemateri presentasi.

Topik materinya adalah perubahan sosial, sebenarnya meskipun merupakan pelajaran lintas jurusan alias pelajaran sosiologi sedangkan Vrinn anak IPA, ia tetap menguasai materi tersebut.

"Perubahan adalah bentuk peralihan yang merubah tata kehidupan masyarakat yang berlangsung terus menerus karena sifat sosial yang dinamis dan bisa terus berubah." Perempuan itu menjelaskan tanpa melihat layar di depan yang menampilkan powerpoint, teman-teman sudah mengerti kecerdasan Vrinn tetap saja takjub.

"Karena pada hakikatnya manusia tidak bisa berhenti pada satu titik tertentu sepanjang masa yang artinya mereka akan selalu mengalami perubahan. Baik itu perubahan yang cepat atau lambat, maupun Perubahan yang kecil atau besar. Seperti dulu kita masih bayi tidak bisa berjalan, eh sekarang sudah bisa berlari dan manjat pager sekolah untuk bolos," jelas Vrinn diakhir kalimat membuat teman-temannya tertawa.

Vrinndani menguasai presentasi sesekali menyelipkan candaan agar suasana tidak terlalu tegang.

"Ada empat proses perubahan sosial." Vrinn mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. "Difusi, akulturasi, asimilasi, dan akomodasi."

Seseorang di sudut kelas mengangkat tangan menyela Vrinn menjelaskan, Bu Sumi yang sedang serius mendengarkan pun terkejut dengan perbuatan laki-laki itu.

"Ya, kamu. Kenapa angkat tangan?" tanya Sumi mewakili semua orang yang kebingungan.

"Saya mau bertanya, Bu."

Bona teman satu kelompok Vrinn mengernyitkan keningnya, ini bukan  sesi tanya jawab mengapa lancang sekali menyela.

"Maaf Lingga. Tapi kita belum buka sesi tanya jawab," tolak Bona yang diamini oleh dua teman lainnya.

"Jadi tidak boleh, ya? Padahal selagi gue ingat." Lingga menurunkan tangannya, menatap Bu Sumi dengan wajah memelas, "Bu boleh, ya, saya kadang lupa kalau menunggu materinya selesai."

"Kan, bisa lo catet dulu, baru tanya nanti."  Bona masih tidak terima, apalagi melihat Bu Sumi seperti goyah.

Tatapan Lingga pada Bu Sumi terasa mengintimidasi, dalam diam seperti memberikan perintah agar memperbolehkan dirinya bertanya.

Wanita paruh baya itu mendengar informasi bahwa anak dari pemilik yayasan pindah ke sekolah mereka Senin lalu, dari desas-desus anak itu sengaja dipindah karena ingin diawasi secara langsung orang Pak Damar yang merupakan ayahnya.

Pak Damar sangat memanjakan anaknya, itu sebabnya bahkan ketika setengah semester dilalui anak itu tetap bisa pindah sekolah seenaknya.  Beritanya juga mengatakan bahwa Lingga memilih sendiri kelas mana yang mau dimasuki.

"Baiklah, satu pertanyaan saja. Lagipula Vrinn pasti bisa menjawabnya," ujar Bu Sumi menyetujui, ia tidak mau membuat masalah sehingga membahayakan karirnya. Ia sudah tua punya anak lima yang masih bersekolah, gaji dari sekolah ini sangat lumayan ia tidak mau kehilangan pekerjaan.

Lingga tersenyum penuh kemenangan. "Terima kasih, Bu."

"Saya ingin menceritakan sebuah kasus, mungkin bisa jelaskan bagaimana perubahan sosial dalam kasus ini."

Vrinn merasakan tubuhnya mulai bereaksi aneh, seperti tiba-tiba kening dan lehernya berkeringat.

"Ada seseorang, anggap saja A. Dulu ia seorang yang jahat karena menghancurkan keluarga si B. Tetapi kini si A hidupnya baik-baik saja dan dikenal sebagai orang baik...."

"Lo tanya apa, sih? Nggak nyambung sama materi," keluh Bona memotong karena tidak mengerti ucapan Lingga.

"Teman kalian, kan, pintar. Langganan juara, pasti dia mengerti lagipula gue enggak berharap lo yang jawab."

Perdebatan Bona dan Lingga membuat kelas mulai tegang, bisik-bisik mulai terdengar dari beberapa anak.

"Gue lanjutin ya."

"Enggak-enggak, nggak bermutu banget pertanyaan lo."

Lingga menggeram, ia mengepalkan tangannya mengapa perempuan itu seolah tak menerima ia bertanya padahal Bu Sumi sudah mempersilahkan.

"Bona biar Lingga menyelesaikan pertanyaan, kalau kamu tidak mengerti itu wajar, nanti Vrinn pasti bisa jawab."

Muka Bona memerah menahan marah, bagaimana bisa Bu Sumi merendahkan kepintarannya di depan semua murid. Lihat beberapa temannya menahan tawa karena Bu Sumi secara tak langsung mengatainya tidak pintar.

"Tetap aja nggak bisa begitu, Bu. Saya juga anggota kelompok."

"Kenapa kamu keras kepala sekali Bona!"

"Ya, Ibu sendiri nggak jelas banget. Udah memperbolehkan nanya tidak diwaktunya, ngatain saya tidak pintar lagi."

"BONA!" Bu Sumi membentak dengan mata melotot, Bona sudah berkata keterlaluan.

Huek!

Pertengkaran langsung berhenti, Vrinn menutup mulutnya.

"Lo nggak apa-apa, Vrinn," Bona sigap menghampiri.

Vrinn mengangkat satu tangannya mengisyaratkan agar Bona tidak menyentuhnya. "Saya izin ke kamar mandi, Bu."

Bu Sumi hanya mengangguk masih syok dengan peristiwa barusan. Kenapa Vrinn tiba-tiba seperti mau muntah padahal sedari tadi kondisinya baik-baik saja.

•••

Malu, Vrinn malu untuk kembali ke kelas. Seharusnya ia bisa lebih mengontrol dirinya, mungkin seisi kelas sedang bertanya-tanya lalu membicarakan dirinya.

Namun, pertanyaan Lingga begitu besar pengaruhnya tidak bisa ia tangani. Tubuhnya bereaksi sendiri tanpa bisa ia cegah.

Setelah dirasa kondisinya sudah cukup membaik, ia memutuskan untuk kembali ke kelas. Tidak mau dicurigai bolos karena sudah hampir setengah jam dalam kamar mandi, sedangkan pelajaran Bu Sumi setengah jam lagi selesai.

Merapikan penampilannya, memastikan surainya terikat dengan rapi, juga dasi abu-abunya tidak miring. Ia keluar dari kamar mandi.

"Eh---"

Ia terkesiap ketika tangannya ditarik tubuhnya dibawa paksa oleh seseorang, ke arah berlawanan dari kelasnya. Ia ingin melepaskan diri tetapi kekuatannya kalah jauh.

Hingga sampai di belakang sekolah dekat tempat pembuangan sampah, ia lepaskan membuatnya hampir jatuh karena tindakan tiba-tiba itu.

"Mau apa, sih, kamu?" tanyanya kesal.

"Sudah gue bilang, kan, lo nggak bisa kabur dari gue?"

"Aku nggak paham apa maksud kamu."

Bohong sekali. Kalau tidak tahu mengapa kini ia begitu ketakutan, hingga perlu meremas roknya menahan tangannya yang gemetaran.

"Gue akan hancurin lo, seperti apa yang lo lakuin ke gue."

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro