7: Adil

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kalau gitu, gue duluan, ya!" seru Andien beranjak dari tempat duduknya, menepuk-nepuk pundak Nai beberapa kali. "Semangat latihannya bestie. Gue bakal nonton lo di barisan paling depan nanti."

Perempuan itu lalu menyandang tas pink dengan banyak gantungan kunci menggantung di sana. Nai menduga berat tas itu lima puluh persen katena keberadaan benda-benda lucu tersebut. Bunyinya berisik ketika digoyangkan karena kebanyakan berbahan akrilik, Nai berharap perempuan itu segera pergi karena keberadaannya sungguh mengganggu.

Andien melambai sebelum berbalik pergi meninggalkan Nai. Sudah lima belas menit sejak bel pulang sekolah berbunyi nyaring, kebanyakan murid sudah kembali ke rumahnya. Sebagian lagi masih mengobrol di luar untuk mengerjakan tugas atau sekedar mengobrol biasa.

Nai membuka tasnya mengeluarkan sepasang pakaian, kaos polos dengan celana training. Ia membawanya ke kamar mandi yang terletak di ujung koridor kelas sepuluh.

Hari Rabu jadwalnya latihan teater, ekstrakurikuler satu ini merupakan salah satu dari empat organisasi besar di sekolahan. Pertama dipegang oleh Pramuka, ekstrakurikuler ini bahkan diwajibkan untuk semua murid. Mau tak mau setiap hari Jumat harus mengikuti pelatihan katanya untuk melatih kedisiplinan. Kedua ada paskibra alias pasukan pengibar bendera, isinya murid-murid dengan kaki jenjang tubuh tegap, melenggak-lenggok di lapangan ketika upacara, sang bintang dalam prosesi pengibaran bendera. Ketiga ada PMR, Palang Merah Remaja, mayoritas anggotanya diisi oleh murid yang memiliki cita-cita di bidang kesehatan entah itu menjadi dokter, apoteker, perawat, bidan dan sebagainya. Mereka biasanya punya karakter lembut, dan yang pasti pandai membuat teh manis. Bagaimana tidak? Setiap kali ada yang sakit atau pingsan saat upacara mereka pasti menyuguhkan minuman itu, yang memang kadang mujarab.

Keempat ialah teater, masuk dalam jajaran organisasi paling banyak peminatnya. Populer sejak tiga tahun belakangan karena prestasi yang terus mengalir, juga karena satu hal.

Nai membawa dirinya menuju ke ruangan tempat kemarin ia melakukan seleksi. Ini sudah ke tiga kalinya ia ke sana, tetapi masih saja terasa gugup.
Saat masuk ia menjumpai beberapa orang sudah berada di dalam, lima orang senior kelas sebelas, tiga orang kelas dua belas. Meskipun masih terbilang baru, Nai bisa mengenali mereka lewat name tag dan logo bintang di atas saku. Bintang satu untuk berwarna hijau anak kelas sepuluh, bintang dua berwarna biru untuk anak kelas sebelas, dan bintang tiga warna oranye untuk anak kelas tiga. Ia bisa dengan muda mengetahui mana senior mana teman sepantaran.

Sekedar formalitas ia berjalan menghampiri para senior sambil menyalam, sebuah kebiasaan bila bertemu. Sembari menanti anggota lain hadir, Nai memutuskan untuk menghampiri dua senior kelas sebelas yang tengah mengerjakan sesuatu.

Mereka terlihat sedang menggunting kertas, membaginya menjadi beberapa bagian. Di atas kertas tersebut sudah tertulis sebuah peran, lalu digulung lalu dimasukkan dalam cangkir kaca.

"Helo, Nai," sapa Zia sambil menggeser duduknya agar Nai bisa masuk. "Selalu paling cepat datang."

Ria yang juga ada di sana ikut menimpali, "Kenapa enggak balik ke rumah dulu? Kan masih ada satu jam setelah pulang sekolah?"

Itu benar, latihan dimulai jam empat, sedangkan mereka pulang jam tiga. Sebenarnya ia masih punya banyak waktu, tetapi ia sayang uang kalau dipakai untuk ongkos pulang balik. Memilih langsung menunggu di sekolah saja, membawa baju ganti dan uang sakunya alih-alih untuk ongkos bisa ia pakai jajan.

"Sayang ongkos, Kak." Nai memberikan jawaban jujur lalu menunjuk gelas kaca. "Ini untuk apa, Kak?"

"Kan, kalian ada yang belum dapat peran," jawab Ria menggoyangkan gulungan kertas dalam gelas, "undian peran, biar adil."

Ah, Nai baru ingat minggu lalu memang hanya sampai pemilihan pemeran utama. Nai merapatkan tubuh pada Zia dan Ria meminta bocoran peran apa lagi yang masih kosong, melihat tingkah Nai dua orang itu tertawa kecil lalu menyerahkan print-an naskah di atas meja kepada Nai.

"Ini lihat dibagian pemeran, yang belum ditandai berarti masih kosong."

Jemari Nai membuka perlahan lembaran kertas itu, daftar pemeran berada di halaman paling awal. Melihat ada enam yang kosong, dua peran sebagai pohon dan empat sebagai bunga. Matanya lalu membaca setiap peran, keduanya sama-sama hanya akan muncul dua kali selama pertunjukan. Saat adegan tokoh utama bernyanyi di taman, bunga-bunga akan ikut bernyanyi bersama pemeran utama. Sedangkan pohon hanya berakting senyum-senyum sambil bergoyang selama tokoh utama bernyanyi.

Nai mengerutkan keningnya, astaga peran macam apa itu. Ia lalu berdoa agar kepilih menjadi bunga, setidaknya ia bersuara ketika di panggung nanti. Meskipun tidak memiliki suara seindah Celine Dion, tapi ia yakin suaranya masih enak didengar.

Waktu bergulir, perlahan ruangan menjadi ramai.

***

"Yes!"

Nai melompat girang saat membuka gulungan kertas mendapati dirinya akan menjadi bunga. Senyumannya merekah bersama tiga orang lainnya, sedang dua yang mendapatkan pohon hanya bisa pasrah.

"Baiklah." Kak Linda yang kini menjabat sebagai wakil ketua teater mengambil kembali perhatian seluruh orang. Perempuan cantik itu memang mudah sekali mengambil atensi orang, baik karena paras ataupun suara garangnya. Benar, cantik - cantik garang, sangat menarik.

"Karena semua orang sudah mendapatkan peran, kita bisa mulai untuk melatih dari awal."

"Tunggu-tunggu!" Seorang laki-laki mengangkat tangan keberatan, ia maju ke depan. Itu Bang Reno, ketika pengenalan mengaku sebagai ketua.

Satu hal yang membuat teater menjadi terkenal adalah karena isinya murid-murid dengan paras rupawan --tentu saja kecuali Nai--yang berkumpul menjadi satu. Rahang tegas, mata tajam, tubuh tegap, tiga hal yang menjadi daya tarik laki-laki ini.

Ia maju ke depan menghampiri Linda, sambil menatap Nai dan lima temannya yang baru saja mendapatkan peran.

"Gue minta ada sedikit perubahan," katanya membuat semua orang heran.

Tangan Reno menunjuk Nai dan salah seorang di sebelahnya. "Kalian tukaran saja," ujarnya membuat Nai mengernyitkan keningnya.

"Lihat dia lebih pantas menjadi pohon," kata Reno memandangi tubuh Nai lalu membandingkan dengan gadis di sebelahnya. "Sama sekali enggak cocok jadi bunga."

Nai memandang Reno tanpa berkedip bukan karena takjub akan ketampanannya melainkan karena ucapannya barusan. Seingat Nai tubuhnya memang sedikit lebih lebar dibandingkan gadis itu, juga penampilannya yang lebih boyish, sedangkan gadis disebelah sangat feminim.

"Tubuhnya juga cocoknya jadi pohon, tukaran ya. Jangan egois, keberhasilan pertunjukan lebih utama."

Tidak ada pilihan lain, kertas dalam pegangannya terjatuh. Bahunya melemas, saat diperintah untuk kembali ke tempat. Nai merasakan sesak yang luar biasa dalam dadanya.

Jangan cengeng, Nai. Lo kuat, jangan nangis.

Apa yang barusan terjadi seperti mengingatkan Nai masa SMP nya, apalagi saat orang-orang di sana tertawa ketika Reno menyebut tubuh Nai cocok sebagai pohon. Ia malu, merasa kesal.

"Maaf, ya," ujar gadis yang kini mendapatkan peran bunga.

Nai tidak menjawab, itu memang bukan kesalahannya, tetapi ia tidak bisa berbicara saat perasaannya kacau. Apalagi kini pelupuk matanya penuh air.

Tidak mau mempermalukan diri, ia berangsur membaik badan. Keluar ruangan setelah sebelumnya berpura-pura izin ke kamar mandi.

Belum sampai di kamar mandi, air matanya sudah jatuh. Ia mengusapnya kasar.

"Dasar cowok sialan!" umpatnya di depan pintu kamar mandi.

"Siapa?"

Pertanyaan itu membuat ia terlonjak, alih-alih masuk ke kamar mandi ia malah mundur lalu kakinya oleng karena tali sepatu yang lepas sehingga membuat Nai jatuh cukup keras.

"Kenapa terkejut begitu?" sebuah tangan terulur membantunya berdiri.

"Bang Rega kenapa ngagetin, sih?" Nai menepuk-nepuk bokongnya yang kotor karena bersentuhan dengan lantai.

"Sorry-sorry," kata Rega sambil membantu Nai membersihkan celananya, debu cokelat terang sangat kontras dengan celana hitam Nai. Setelah selesai, ia kembali bertanya. "Jadi siapa cowok sialan yang buat lo nangis?"

Nai terdiam, tidak mungkin jujur. Tahu sendiri Rega juga anggota teater meskipun sudah tidak terlalu aktif karena anak kelas tiga memang dianjurkan untuk berhenti dari segala kegiatan keorganisasian, meskipun tidak dilarang hadir dalam latihan atau penyambutan anggota baru.

Rega pasti berada di pihak Reno, pikir Nai. Jadi ia memilih bungkam.

"Kasih tahu gue, Nai. Biar gue hajar, berani-beraninya buat kamu nangis."

Perempuan itu tertegun, melihat Rega yang kini seperti kesal pada seseorang yang tidak ia ketahui, pada orang yang membuat Nai menangis.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro