12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Wen!" panggil Bimo menangkap gadis itu keluar dari ruang karyawan usai shift berakhir. 

Tanpa menoleh, Wendy mempercepat langkah kaki yang terbalut sepatu kets hitam dan mengabaikan suara Bimo yang masih meneriaki namanya. Dia terlalu malas berinteraksi dengan Bimo di saat kesialan hari ini mendera Wendy tanpa henti. Setelah mendapat teguran dari tamu, dia juga mendapat omelan dari Lucy yang mengatakan kalau seharusnya Wendy mengonfirmasi terlebih dahulu menu yang akan diubah bukannya memutuskan seenak jidat. Lagi-lagi gadis bermata bulat itu berkelakar kalau sajian yang dihidangkan tak beda jauh dari sandwich croissant, malah lebih cepat daripada pembuatan croissant. Sayangnya, Lucy tidak menerima alasan apa pun dari Wendy karena dianggap tidak melaksanakan pesanan tamu. 

Sepertinya semesta sedang tidak berpihak kepada Wendy kala kakinya tidak berkoordinasi dengan baik sampai tersandung. Wendy mengaduh kesakitan saat kedua lututnya membentur keramik hotel membuat Bimo berlari menghampiri sang istri. Dia membantu gadis keras kepala itu berdiri seraya melingkarkan tangan kanan Wendy ke pundak lalu berkata,

"Kamu kenapa sih sensitif amat hari ini, Wen. Mbok yo sabar to dadi wong wedok, ojo grusa-grusu koyok ditagih utang kowe iki."

(Sabar jadi perempuan, jangan terburu-buru kayak ditagih hutang kamu ini.)

"Niat nolongin enggak sih, Mas!" cerocos Wendy ingin melepaskan diri dari Bimo. "Lepasin!"

Sontak saja lelaki itu menahan tangan Wendy agar tetap di pundaknya. "Maaf. Aku salah. Kamu jangan marah dong, enggak enak lihatnya."

"Aku enggak marah kok cuma kesel aja," ketus Wendy berjalan tertatih-tatih menuju lift sambil merintih menahan sakit.

"Apa bedanya coba? Apa karena masalah sama tamu tadi?" tanya Bimo menekan tombol nomor satu. Dia berjongkok dan menyentuh pelan kaki Wendy. "Kayaknya kakimu terkilir, nanti naik motorku aja, biar motormu diparkir di sini."

"Aku bisa jalan sendiri kok," elak Wendy merajuk. "Lagian jangan sok peduli deh kalau Mas Bimo masih main rahasia sama aku."

Ketika mereka sampai di lantai satu, Bimo berdiri dari posisinya dan kembali membantu Wendy berjalan. "Siapa yang main rahasia sih?"

"Iya, Mas Bimo," tandas Wendy sesekali menyapa karyawan hotel lain. "Masa setan!"

"Ecieee, manten baru lagi anget-anget tai ayam," celetuk salah seorang lelaki bagian resepsionis. "Sudah..." dia mengelus perutnya sendiri yang mendapat balasan tatapan tajam dari Wendy.

"Sembarangan! Ini aku habis kesandung di lantai atas," sembur Wendy kehabisan stok sabar.

Bimo mengedipkan mata menyiratkan agar lelaki itu pergi daripada kena omel Wendy yang sedang dalam mode senggol bacok. Jikalau seperti ini maka makanan atau minuman manis mungkin bisa meredam amarah seorang wanita seperti istrinya. Atau satu scoop es krim vanila dengan isian stroberi adalah pilihan terbaik untuk mendinginkan kepala. Manalagi ada restoran cepat saji dekat dengan apartemennya. Untuk hari ini, Bimo tidak akan memasak dan membeli makanan dari restoran itu demi menyenangkan Wendy. Bukankah perempuan akan luluh jika diberi makanan?

Sesampainya di parkiran, hati-hati Bimo memosisikan Wendy duduk terutama kakinya agar urat itu tak semakin terkilir. Lantas dia berkata, "Nanti ke apotik bentar beli perban elastis dan krim buat otot biar enggak bengkak kakimu."

"Enggak usah!" tolak Wendy seakan tak butuh bantuan yang diberikan Bimo secara tulus. Dia sudah berjanji dalam hati tidak akan luluh begitu mudah hanya karena mendapat simpati seperti ini. Tidak sampai Bimo mau membuka rahasia untuknya.

"Ck, dibilangin bandel banget. Nanti kalau bengkak kamu enggak bisa kerja, Wen." Bimo memasangkan helm ke kepala Wendy setelah menyisir untaian rambut gadis itu ke belakang. "Sekalian beli makanan di Mcdonald's ya, aku mager masak."

"Tumben."

"Buat istri yang lagi ngambek," kata Bimo menaik-turunkan alisnya sambil tersenyum manis. "Es krim sundae suka banget kan? Aku hafal loh." Tangan kanan lelaki itu terulur untuk mencubit pipi istrinya yang sedang merajuk. 

"Ih, jangan pegang-pegang!" Wendy menepis tangan Bimo karena ada semburat merah muncul di pipi. "Dibilangin aku lagi kesel sama kamu, Mas Bim!" ucap gadis itu mencoba menyembunyikan betapa gugup hatinya mendapat perlakuan seperti ini. Kalau dibiarkan terus-menerus, tak lama Wendy bisa luluh sebelum tahu apa yang disembunyikan Bimo darinya. 

"Mukamu merah gitu loh, Wen, sakit?" Bimo menempelkan punggung tangannya ke kening Wendy yang sedikit berkeringat. 

"Ih, bukan Mas Bim!" seru Wendy menyingkirkan tangan Bimo.

"Oh, salting?" goda Bimo cekikikan menambah debaran dalam dada Wendy. Gadis itu memukul lengan Bimo kuat-kuat mengabaikan rasa nyeri di kaki. Bimo mengaduh lalu segera naik ke jok motor sport merah dan menyalakan mesinnya. "Pegangan!" perintah Bimo menarik kedua lengan Wendy.

"Ini bukan pegangan tapi pemaksaan!" ketus Wendy dengan bibir mengerucut. 

###

Semilir angin malam menerpa dua sejoli yang duduk di kursi kayu balkon seraya menikmati segelas es krim manis setelah menghabiskan nasi dan spicy fried chicken. Memang benar apa kata pepatah, makanan adalah obat terbaik untuk hati yang panas. Begitu perutnya terisi dengan makanan ditambah penutup dinginnya es krim yang diberi selai stroberi ini, mood Wendy berangsur membaik sekalipun ada rasa dongkol di hati. Sesekali Wendy melirik Bimo yang tenggelam dalam pikirannya sendiri seolah dunia yang dilaluinya begitu rumit sampai tak bisa menemukan jalan keluar. Tapi di sisi lain, Wendy justru memerhatikan garis wajah Bimo yang menawan dan baru disadarinya sekarang.

Mungkin sejak dia keluar dari kamar mandi dengan telanjang dada.

Rahang yang dipatri Sang Penguasa Alam membuat bentuk wajah Bimo terlihat tegas, hidung mancung dengan puncak sedikit membulat, bibir kemerahan dihiasi janggut tipis membuat jemarinya ingin bermain di sana, mata bulat sedikit sayu namun bisa berubah tajam saat terjerembap dalam kubangan emosi, hingga alis tebal yang sedikit menukik di bagian ujung dekat pelipis. Tapi yang paling utama dari semua keindahan ciptaan Tuhan yakni cara senyum Bimo membuat siapa saja akan terpana ditambah nada bicaranya yang rendah tapi tegas berkesan misterius di telinga. 

Selain fisik yang nyaris sempurna di mata manusia, Bimo juga termasuk lelaki yang digandrungi karena sifat menghargai juga pekerja keras. Wendy jadi bertanya-tanya kenapa pula Risya bisa menyia-nyiakan lelaki berkarisma ini? Dalam kacamatanya, tak pernah sekalipun Wendy melihat Bimo melakukan hal buruk pada perempuan bahkan di dapur kecuali mereka yang membuat kesalahan. 

"Kamu lihat aku sampai segitunya, ada apa sih?" tanya Bimo berpaling memandangi Wendy hingga iris mata mereka bertemu.

"Cuma penasaran aja kenapa cowok kayak kamu malah disia-siakan, Mas," jawab Wendy jujur.

Bimo tertawa, mengaduk es krim vanila dengan saus cokelat itu lalu menyuapkan ke mulut Wendy. "Aku malah penasaran kenapa kamu bertanya kayak gitu."

Wendy melahap es krim dari Bimo. "Iya pengen tahu aja. Terus yang masalah kemarin itu sampai kamu diam aja, emang ada apa?"

Untuk sesaat bibir Bimo membisu menatap lurus ke arah pantai Tanjung Benoa yang  sedikit bercahaya di bawah sinar rembulan. Bayangan posisi eksekutif chef baru memenuhi kepala Bimo setelah dia berusaha sekuat tenaga untuk melupakan persoalan itu. Tapi, dia juga manusia yang kadang memiliki rasa ambisi juga iri kalau tidak dihargai atas semua pengorbanan dan dedikasinya selama di D'amore. 

"Kamu enggak denger info kalau posisi kepala dapur bakal ada yang ngisi?" ucap Bimo kembali menyuapi istrinya dengan es krim.  

Wendy menggeleng cepat melahap suapan es krim dari Bimo. "Enggak tuh, kata siapa?"

"Lucy. Dia bilang ke aku beberapa hari lalu. Katanya sih ada beberapa kandidat termasuk aku."

"Loh, bagus dong kalau Mas Bimo naik pangkat!" Wendy bersemangat mendengar jikalau benar Bimo akan dipromosikan menjadi eksekutif chef mengingat kerja keras lelaki itu untuk menyenangkan perut tamu. "Terus kenapa malah muram gitu mukanya?"

"Kan belum tentu aku kepilih, Wen. Tahu sendiri kan atasan kayak gimana? Padahal selama jabatan itu kosong, aku banyak bantu mereka buat kemajuan restoran. Mana udah lama juga kan aku kerja di sana?"

Wendy menepuk pundak Bimo. "Kirain masalah apa, ternyata gini doang. Mas, rejeki itu enggak bakal ke mana. Percaya deh kalau posisi yang diimpikan Mas Bimo bakal tercapai suatu hari nanti meski enggak sekarang. Lagi pula, Mas Bimo lebih suka turun ke lapangan atau bergelut di belakang layar?"

Bimo memandang kelamnya langit malam yang dipenuhi kerlip bintang seraya mendengar kata hati mana yang sebenarnya diinginkan. Bekerja langsung bersama juru masak dan bercengkerama dengan mereka memang menyenangkan tapi dari kecil Bimo ingin sekali dipanggil Chef. Sedangkan kepala dapur tidak selalu turun ke lapangan kecuali ada masalah besar atau kurangnya tenaga. Alasan kedua dirasa jarang terjadi karena hotel D'amore selalu menjadi tempat magang anak-anak pariwisata atau yang baru lulus sekolah kuliner.

"Kalau dari wajah Mas Bimo..." Wendy menyipitkan mata lalu menjentikkan jari. "Lebih suka masak kan?"

Bimo mengangguk. "Tapi enggak bisa dipanggil chef."

"Walah koyok bocah wae pengen diceluk chef!" Wendy terbahak-bahak mendengar penuturan Bimo sampai keluar air matanya.

(Halah, kayak anak kecil aja pengen dipanggil chef)

"Ck, tuh kan. Kalau cerita sama kamu pasti kayak gini," ucap Bimo merajuk lantas membereskan gelas es krim kosong.

"Chef!" panggil Wendy mengerlingkan mata. "Chef Bimo, besok masak steak ya. Pengen makan itu."

"Apaan sih!" wajah Bimo memerah berjalan masuk ke dalam rumah diikuti Wendy.

"Chef Bimo!!!" goda Wendy mengekori jejak Bimo. 

"Wendy! Diem!" seru Bimo salah tingkah. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro