13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Halo, Chef!" sapa Wendy yang sedang membawa bak berisi baju kotor dan menangkap sosok Bimo keluar kamar sambil menguap lebar. "Bajumu aku cuciin enggak?"

"Hah!" Bimo menganga tak mengerti karena nyawanya masih belum lengkap dari alam bawah sadar. 

"Celana dalam?" Wendy mengulurkan tangan mengisyaratkan agar lelaki itu menyerahkan baju kotor untuk dicuci.

"Hah?"

"Ha he ha he aja nih! Aku mau nyuci baju mumpung libur, Mas!" gerutu Wendy gemas. "Biar bajumu kucuci sekalian."

"Kayaknya kalau celana dalam jangan deh, aku malu," cicit Bimo menggaruk rambutnya. "Lagian aku juga libur, Wen."

"Ya udah bagi tugas aja. Mas Bimo bersih-bersih, aku yang cuci dan setrika," usul Wendy. "Nanti kita masak bareng."

Bimo mengangguk setuju lantas masuk ke dalam kamar untuk mengambil pakaian kotor yang ada dalam keranjang baju. Sementara Wendy bergegas ke kamar mandi berukuran cukup luas sampai mampu menampung mesin cuci. Bimo menyusul dan membantu gadis itu mengambil bak besar untuk diisi air bersih. Benar-benar seperti kehidupan pasutri, pikir lelaki itu. 

"Beneran nih enggak apa-apa?" Bimo meragu karena baru pertama kali bajunya dicuci perempuan yang kini menjadi istrinya.

"Iya enggak apa-apa, emang kenapa?" Wendy menaikkan alis. "Udah sana bersih-bersih biar samaan nanti selesainya."

Mau tak mau Bimo meninggalkan Wendy untuk membersihkan apartemen mereka. Mulai dari menyedot debu, mengelap kaca jendela, menjemur bantal di balkon mumpung di luar sedang terik, sampai mengepel lantai. Ketika Bimo masuk ke dalam kamar Wendy, semerbak aroma bunga langsung menyergap hidung lancipnya. Dia terpana melihat begitu rapi dan wangi kamar sang istri. Pintu kaca yang berbatasan langsung dengan balkon terbuka lebar menyisakan gorden yang melambai-lambai mengikuti arah angin. Ditambah jejak cahaya mentari menerobos membuat kamar ini seolah disorot oleh semesta langsung.

Bibir merah delima Bimo mengulum senyum melihat ada tiga bingkai foto terpajang di atas nakas. Diraih salah satu foto itu di mana dia dan Wendy mengenakan baju akad nikah sambil tersenyum bahagia menunjukkan jari manis yang sudah disematkan cincin kawin. Orang lain akan melihat bahwa dua sejoli itu saling mencintai sampai rasa suka cita terpancar dari binar mata dan tawa. Padahal di belakang mereka, Bimo dan Wendy tidak pernah terikat rasa melebihi ikatan pertemanan.

Dia memiringkan kepala mengamati garis wajah ayu Wendy dengan riasan wajah yang natural. Pertanyaan langsung bermunculan di kepala Bimo kenapa perempuan secantik dia malah lebih suka terjebak dalam hubungan friendzone? Dia yakin jika Wendy mau serius dengan satu dari segudang koleksi teman pria, pasti ada yang mau meminang.

Siapa sih yang tak suka dengan wajah cantik dan rajin seperti istrinya? Bahkan Risya pun masih kalah jauh. Mantan tunangannya itu tak bisa memasak sama sekali karena pernah terkena cipratan minyak goreng atau tangan panas usai memotong cabai. Risya lebih suka memesan melalui aplikasi online yang dirasa lebih praktis.

Bimo terkikik sendiri, cinta membuatnya buta dan baru ini dia sadar kalau Risya tidak sebaik apa yang dibayangkan. Meski di jaman sekarang perempuan tak wajib bisa memasak akibat makin banyaknya kesetaraan gender, tapi di dalam hati Bimo lebih suka perempuan yang pandai mengolah makanan daripada sekadar membuang uang.

"Tapi, di lain sisi ... aku enggak bisa menebak isi hati Wendy," gumam Bimo.

###

Liburan kerja walau sehari menjadi surga untuk Wendy setelah beberapa hari kakinya harus berdiri berjam-jam membantu kru dapur mengolah kue. Duduk berdua di balkon sebagai tempat favorit selama tinggal di sini seraya menikmati sepiring kecil puding tiramisu buatan sendiri. Iris mata cokelat itu memandang lurus ke arah pantai Tanjung Benoa yang melambai-lambai tak sabar untuk didatangi.

Wendy bukan penyuka adrenalin tapi melihat orang-orang yang beterbangan di atas flyboard atau parasailing layaknya burung camar di atas permukaan laut, membuatnya ingin merasakan hal yang sama. Bagaimana jika tubuhnya melayang menyentuh awan atau menyaingi tingginya burung-burung yang ingin mencaplok ikan dari atas laut. Tak seperti perempuan lain, Wendy malah suka berada di bawah terik matahari yang menghangatkan daripada berdiam diri di rumah seharian tanpa mengerjakan apa-apa selain bersih-bersih rumah.

"Mas," panggil Wendy masih terus memandangi ke arah parasut-parasut jauh di sana dari atas balkon. "Main itu yuk!"

"Yakin? Kamu enggak takut ketinggian?" Bimo melirik sekilas dengan jempol yang menaik-turunkan layar ponsel. 

"Kalau enggak dicoba mana tahu. Ayo!" Wendy menyuapi suaminya dengan potongan puding terakhir. 

"Manis kayak yang bikin," puji Bimo membuat Wendy tertawa memukul dada  bidang suaminya. "Ya udah ayo, kita naik motor."

"Sekarang?" Wendy tak percaya kalau Bimo langsung mengiyakan ajakannya. 

"Enggak, nunggu pas lebaran. Iya, Wen, sekarang."

Bukan Wendy namanya kalau tidak antusias dengan petualangan baru bersama Bimo di Tanjung Benoa. Mengenakan kaus longgar tipis berwarna mencolok dan celana jeans selutut serta tak lupa mengikat rambutnya tinggi menampilkan leher jenjang nan mulus itu. Tak perlu juga mengenakan riasan yang heboh, cukup mengolesi wajah dan badannya dengan sunscreen serta memulas bibir dengn liptint oranye agar terlihat fresh juga wewangian beraroma vanila coconut yang tidak tengik ketika berlama-lama di bawah terik matahari. Meski tak berkulit putih bak porselen, kuning langsat Wendy menjadikan dirinya terlihat memesona sebagai perempuan khas Indonesia. Beda dengan perempuan-perempuan yang berlomba-lomba memutihkan kulit demi menarik daya pikat lelaki. Wendy lebih suka menjadi apa adanya karena kecantikan gadis itu sudah diturunkan dari darah sang ibu. 

Merentangkan kedua tangan kala melewati jalanan yang lumayan tak ramai, Wendy menikmati angin berhembus membelai kulitnya. Lalu dipeluk pinggang Bimo dari belakang sambil sesekali bercermin di kaca spion motor merah Bimo. 

"Udah cantik enggak usah kebanyakan ngaca!" ledek Bimo yang mendapat hadiah cubitan di perut. 

"Apaan sih!" Wendy merajuk. "Oh iya, nanti sekalian ke pasar malam yang ada di jalan Pratama itu loh Mas, gimana? Kita seharian ini jalan-jalan aja."

"Besok kita kerja, enggak capek kamu?" tanya Bimo setengah berteriak. 

"Enggak, aman. Nanti pulang jam delapan atau jam sembilan cukup kok. Kulineran lah ... oke, Mas!" Wendy memijit kedua bahu Bimo menimbulkan rasa geli pada diri lelaki itu. 

"Wen, jangan! Geli!" pekik Bimo.

###

Bimo geleng-geleng kepala melihat Wendy berteriak kegirangan ketika berdiri di atas papan seluncur yang ditarik speedboat tanpa mengenal rasa takut. Dari kejauhan, dia memotret istrinya dengan kamera SLR yang dibawa dari dalam tas ransel. Rambut sebahu gadis itu terurai melawan angin laut yang menerpa dirinya ketika perahu yang membawa Wendy meliuk-liuk dengan kecepatan tinggi di pantai Tanjung Benoa. Tadi, Bimo sempat ditawari untuk naik wahana ini tapi menolak karena ingin menaiki parasailing bersama Wendy nanti. Selain itu, dia juga ingin snorkeling atau scuba diving untuk menikmati indahnya pemandangan bawah laut Tanjung Benoa. 

Tak lama, Wendy berhasil mendarat sambil tertawa ke arah guide yang membantu melepaskan rompi pelampung dari tubuh. Baju dan rambut gadis itu sudah basah, tapi tak menyurutkan semangat Wendy untuk bermain lagi. Dia melambai ke arah Bimo yang sudah menantinya selama kurang lebih lima belas menit lantas berkata, 

"Seru banget!"

"Iya, bisa terlihat jelas dari muka kamu," kata Bimo menyeka keringat bercampur air laut di wajah Wendy dengan handuk kecil. "Untung aku bilang kalau kita sebaiknya bawa baju ganti, baju kamu basah semua kan."

"Enggak apa-apa nanti kan kering sendiri," ucap Wendy santai. "Jadi, naik parasailing enggak? Tuh, mumpung udah ditungguin." Gadis itu menunjuk ke arah beberapa lelaki bertelanjang dada yang berkulit eksotis melambai ke arah Bimo. 

Bimo membalas lambai tangan itu kemudian mengekori langkah kaki Wendy yang terlebih dahulu meninggalkannya. Dia menenteng ransel di punggung juga sandal Wendy di tangan kiri, melangkah cepat tak ingin ketinggalan merasakan watersport yang selalu ramai di kalangan turis. Dia disambut ramah oleh lelaki berambut gondrong yang mirip aktor India Hrithik Roshan versi pendek dan lebih berisi. 

"Barangnya kami amankan aja, Bli," kata lelaki itu. 

Bimo menurut sementara Wendy sudah mengenakan jaket pelampung.

"Istrinya semangat banget," ujarnya kepada Bimo. "Asalnya mana?"

"Yogyakarta, tapi kerja di D'amore Hotel kok," jawab Bimo ketika lelaki di depannya memberikan jaket pelampung berwarna oranye menyala. "Nanti ini aman kan?"

"Aman, Bli, masa takut sama istrinya?" tunjuk lelaki itu ke arah Wendy. 

Bimo tertawa kemudian dibantu memakai dua tali kekang di samping Wendy yang terhubung dengan parasut juga speedboat. Setelah persiapan selesai termasuk arahan petugas yang memberitahu cara pendaratan menggunakan slop merah dan biru, lelaki tadi naik ke atas speedboat dan menyalakan mesin beberapa saat sebelum menarik Bimo dan Wendy dengan kecepatan tinggi hingga parasut warna-warni itu melayang membumbung ke langit biru membawa dua sejoli itu terbang. 

Wendy berteriak sedangkan Bimo justru tertawa terbahak-bahak sembari menyisir  pemandangan di bawah kakinya. Dari ketinggian kurang lebih tujuh puluh meter ini, dia bisa melihat padatnya pelabuhan Benoa yang dipenuhi perahu, bibir pantai yang ramai wisatawan lokal maupun mancanegara, sampai orang-orang yang bermain banana boat maupun water sport lain. Selain itu, dari atas sini pula mereka bisa melihat hamparan reklamasi pulau Serangan di Teluk Benoa. 

Wendy menarik tangan Bimo, menggenggamnya erat sambil berteriak, "Teriak aja, Mas Bim, keluarin unek-uneknya biar enggak galau! Pejuang move on!"

Bimo terkekeh lalu mengikuti arahan Wendy, meneriakkan bahwa dia bisa memperoleh perempuan yang lebih baik dari Risya. Sampai akhirnya mereka mengerahkan semua suara melampiaskan apa yang terpendam di dalam dada hingga tuntas. 

"Kamu bakal nyesel, Risya!" seru Bimo sebelum mendarat ke bibir pantai Tanjung Benoa. 

Perjalanan masih belum berakhir meski waktu sudah bergulir begitu cepat. Wendy dan Bimo duduk di atas hamparan pasir putih sambil menikmati es kelapa muda yang menyegarkan dahaga juga menatap indahnya sunset  di depan mata. Semilir angin laut sore berhembus sedikit kencang, mengeringkan tubuh basah mereka sebelum membersihkan diri di toilet umum yang disediakan oleh pengelola wisata. 

Wendy si gadis pecinta matahari terbenam, mengabadikan lukisan alam itu dalam kamera ponsel untuk dijadikan wallpaper, kemudian ber-selfie ria bersama Bimo. Tiba-tiba, Bimo mencolek hidung Wendy dengan jari yang ditempeli pasir. Wendy memekik kaget, mencubit lengan Bimo membalas melumuri badan suaminya dengan pasir putih. 

Untuk beberapa saat mereka terdiam, memandangi pantulan wajah di pupil masing-masing. Waktu seakan berhenti berdetak pun mentari yang makin lama makin tenggelam di ufuk barat itu mendadak menjadi saksi bisu dua sejoli itu. Tangan Bimo terulur, menyingkirkan helai rambut setengah kering Wendy yang menutupi dahinya. Dia menekuk lutut, menopang dagu dengan tangan kanan, sementara tangan kiri menyusuri pelipis turun ke pipi Wendy mengirimkan getaran berjuta-juta volt ke seluruh pembuluh darah gadis itu. 

Layaknya dihipnotis, tatapan Wendy tertuju pada garis bibir Bimo yang mendekat ke arahnya dan makin lama makin menghapus jarak. Wendy tak sempat berpikir apa yang dilakukan, ketika otaknya memerintah tuk menahan napas menunggu apa yang selanjutnya terjadi pun tak dapat bergerak untuk menghindari jikalau ada ciuman yang datang. Bimo menyunggingkan senyum tipis melihat ekspresi Wendy lalu mengecup kening Wendy penuh kasih sayang kemudian berbisik, "Waktunya mandi."

Bimo beranjak, memanggul ransel sambil mengerlingkan mata berhasil membuat Wendy salah tingkah setengah mati. 

"Mas Bim!" seru Wendy grogi setelah di-PHP.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro