14 🔞

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rasanya pagi ini tubuh Wendy serasa dipukuli orang sekampung. Selagi berjalan menuju dapur hotel, dia menguap lebar merasa jam tidurnya kurang. Betul kata Bimo kemarin, seharusnya mereka pulang lebih awal daripada harus hang out seharian penuh sekadar memenuhi hasrat untuk healing. Pagi ini mereka hampir terlambat akibat bangun kesiangan kalau bukan alarm milik Bimo yang terdengar seperti pemadam kebakaran membuyarkan bunga tidur gadis itu.

Sejujurnya, Wendy tak dapat tidur nyenyak setelah semalam dia mendapat kecupan di kening sewaktu duduk di bibir pantai Tanjung Benoa. Mungkin orang lain akan menganggap ciuman biasa itu sesuatu yang tidak berarti karena mereka suami-istri yang sedang manis-manisnya menjalani bahtera rumah tangga. Tapi, bagi Wendy, kecupan sore itu menimbulkan sesuatu yang lain di hati sampai-sampai debaran di dadanya enggan tuk berhenti. Meski bukan kali pertama, entah kenapa tatapan Bimo kemarin dan semua perlakuannya begitu beda.

Ah, jangan keburu baper, Wen!

Alam bawah sadar Wendy berusaha menyadarkan gadis itu bahwa hubungannya dengan Bimo hanyalah sebatas di atas kertas yang berarti tidak ada kata cinta di dalamnya. Wendy juga menguatkan diri sendiri kalau yang dilakukan Bimo semalam hanyalah ungkapan terima kasih sebagai teman bukan yang lain.

"Iya, masa gitu aja, aku langsung baper," gumamnya sambil mencuci tangan di wastafel sebelum memasuki area cold kitchen.

Begitu masuk ke dapur, Wendy melihat papan di mana banquet hari ini tak terlalu banyak. Dia sedikit bersyukur tak perlu mengeluarkan tenaga ekstra seperti biasanya dan berharap tidak ada pesanan mendadak seperti sebelumnya. Kepalanya bisa pecah kalau ada pesanan mendadak tanpa persiapan.

"Mbak Wen!" sapa Astrid terlihat ceria.

"Ayang Wendy..." sahut lelaki bernama Ketut yang datang setelah cuti panjang. Dia adalah demi chef bagian bakery yang sudah hampir enam tahun bekerja di sini.

"Bli!" seru Wendy kegirangan. "Ya ampun apa kabar?"

"Baik. Gimana sama Bimo? Jos enggak?" goda Ketut membuat Astrid tersipu. "Akhirnya setelah sekian lama ada yang berhasil taklukin kamu."

"Lah dikira ular," ketus Wendy.

"Iya habisnya sih ... semua cowok kamu tolak, Wen. Eh, ternyata jodohnya temen sendiri," ledek Ketut menangkap sosok Bimo datang untuk mengecek alat-alat di hot kitchen. "Bim!"

Bimo menoleh dan hanya melambaikan tangan sebentar sebelum mengumpulkan anak-anak dapur untuk briefing. Tiga orang di cold kitchen mendatanginya disusul beberapa anak lain untuk mendengar arahan Bimo kalau hari ini mereka akan kedatangan eksekutif chef baru. Wendy tercengang kalau pihak hotel secepat ini memutuskan siapa yang jadi pemimpin dapur bahkan setelah Bimo berhasil mengembalikan mood. Lihat saja sekarang wajah suaminya yang datar seakan ada kata tak terima tersirat di sana. Tak lama Lucy datang bersama seorang lelaki berperawakan sedikit pendek dari tubuh tinggi Bimo dan berkepala agak botak.

"Kukira Mas Bimo yang bakal naik takhta," bisik Astrid. "Padahal dia lebih mumpuni kan?"

Wendy mengangguk tapi tak berani banyak komentar kalau posisi itu ternyata tak bisa diraih suaminya. Namun, dia dapat menilai kalau Bimo mulai menerima posisinya sebatas sous chef atau lebih sering dikenal sebagai wakil kepala dapur. Setidaknya, Bimo masih bisa berinteraksi dengan kru dapur juga bermain-main dengan alat masak daripada bergelut di balik meja kantor untuk menulis laporan maupun membuat ide resep.

"Baik, perkenalkan nama saya Teguh saya pindahan dari D'amore pusat di Yogyakarta," kata lelaki itu setelah diminta memperkenalkan diri oleh Lucy. "Saya harap dengan kedatangan saya di sini bisa ikut memajukan D'amore."

"Aminn ..."

Selesai briefing yang diakhiri doa pagi, Bimo menghampiri Wendy dan memberikan sebungkus toast dengan telur dan keju mozarella meleleh bagai lahar panas. Di apartemen tadi Wendy tak sempat sarapan karena takut terlambat padahal Bimo sudah susah payah membuat sarapan pagi. Daripada terbuang percuma, Bimo membawakannya khusus untuk sang istri.

"Makan dulu," pinta Bimo. "Mumpung enggak banyak orderan kan?"

"Ayang Wendy ... Duh cemburu aku," sahut Ketut mengerlingkan mata.

"Ih, apaan!"

Bimo mendekat dan berbisik. "Itu salah satu cowok yang kamu PHP kan?"

Wendy terbahak-bahak sambil menerima bungkusan toast itu. Lantas mengangguk membenarkan ucapan Bimo. Meski dari ekspresi Ketut tidak menunjukkan penyesalan telah di-ghosting Wendy, entah kenapa Bimo agak tak suka mendengar Ketut memanggil istrinya dengan sebutan ayang yang dinilai terlalu berlebihan.

Orang lain bakal berpikir kalau Bimo tidak memiliki etika untuk melindungi martabat rumah tangganya bukan?

"Jangan mau dipanggil gitu deh!" pinta Bimo terkesan memerintah. "Dengernya enggak enak banget."

Wendy menggigit toast dan terhenti lalu memandang iris mata Bimo sambil bertanya-tanya. Dia mengedikkan bahu kalau panggilan seperti itu sudah biasa untuknya. Di cold kitchen suasananya tak sekaku di hot kitchen di mana kebanyakan karyawannya lelaki. Kalau pun ada perempuan, mereka tidak bisa seakrab anak-anak di cold kitchen karena Bimo kerap menegur mereka yang memanggil dengan sebutan sayang sebagai etika di dapur.

"Biasa aja, Mas, emang kenapa sih? Jangan kaku banget jadi cowok. Lagian Bli Ketut juga udah akrab sama aku sejak masuk di sini," jelas Wendy membelai pipi suaminya. "Udah ya, balik kerja sana. Enggak enak diliat orang. Makasih buat sarapannya, enak!"

###

Bimo baru keluar dari ruang karyawan dan terkejut mendapati Wendy berdiri sambil melipat kedua tangan di dada dan senyum lebar. Lantas gadis itu segera datang dan melingkarkan tangan ke lengan Bimo sambil berkata, "Chef, masak apa hari ini?"

"Wen, jangan gini nanti dilihatin orang," elak Bimo celingukan melepas tangan Wendy dari lengan kekarnya. "Iya masak kayak biasanya. Kamu mau apa?"

"Kalau masak sejenis gimbap sambil nonton film gimana?" ajak Wendy seraya berjalan beriringan dengan Bimo. "Kayaknya kemarin aku beli nori deh, Mas."

"Iya enggak apa-apa, lebih praktis juga sih. Tapi ada kecap ikan dan minyak wijen emangnya?"

"Ada kok, aku juga beli. Nonton film Pearl Harbour gimana?" usul Wendy.

Bimo mengernyitkan alis lalu mendecak kesal ketika Wendy mengajak menonton film yang berkesan di hati karena itu film favorit Risya. Bukankah ada film lain yang lebih bagus dari Pearl Harbour? Seperti Titanic atau Armageddon yang lebih menguras air mata daripada sekadar film cinta segitiga di pelabuhan kapal Amerika di masa perang dunia itu.

"Enggak ada film lain?" tanya Bimo. "Jangan itu deh."

"Apa? The best of me punya Nicholas Sparks? Atau ... film Korea tuh yang ceweknya buta."

"Kenapa kamu suka film lama? Bukannya film tahun ini bagus-bagus?"

Wendy menggeleng. "Aku suka rewatch dulu baru pindah ke film lain, Mas. Oh ini aja Armageddon aja, gimana?"

"Iya boleh lah," kata Bimo sambil tersenyum tipis. "Kamu bikin popcorn, aku bikin gimbap."

Sesudah bersih-bersih apartemen mode cepat lalu mandi dan mengenakan setelan baby doll berbahan kain Bali. Wendy menyalakan TV LED sebesar 42 inci itu serta menaruh beberapa makanan dan camilan untuk disantap ketika menonton film selagi menunggu Bimo yang masih berada di kamar mandi. Rencananya setelah film Armageddon, dia usul untuk menonton film romantis-komedi dari Thailand sebagai cara melepas penat usai bekerja. Wendy tak ingin Bimo bermuram durja karena tak terpilih sebagai eksekutif chef jadi hanya inilah yang bisa dilakukan sebagai seorang teman.

Aroma cabai bubuk dan karamel dari dua rasa berondong jagung menggiurkan lidah Wendy. Inilah enaknya menjadi seorang juru masak yang bisa membuat camilan yang bisa dikreasikan sesuai keinginan. Meski banyak yang memandang sebelah mata, Wendy tetap senang dengan profesinya ini di saat orang-orang membanggakan gelar sebagai pegawai negeri. Dia duduk berselonjor mencomot gimbap buatan Bimo dengan isian telur dadar, smoke beef, dan selada. Meski sederhana, olahan tangan Bimo selalu terasa lezat di lidah dan pas dengan selera Wendy.

Lalu dia mencicipi popcorn buatan sendiri, rasa manis karamelnya sangat pas. Sebagai orang Yogyakarta, Wendy memang terbiasa dengan makanan yang lebih manis meski ancaman penyakit diabetes di depan mata. Oleh karena itu, dia membatasi komsumsi karbohidrat kadang juga puasa sehari penuh untuk menyeimbangkan masuk dan keluarnya glukosa.

Bimo keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan tetes-tetes air yang menetes dari sela rambut turun membasahi pundak yang tertutupi kaos putih. Aroma parfum woody bercampur citrus menggoda indra penciuman Wendy dan diam-diam memuji penampilan kasual Bimo. Pantas saja dia menjadi incaran banyak perempuan, pakai gitu aja udah ganteng, batinnya.

Lelaki itu duduk di samping kanan Wendy, bersandar pada sofa seraya mengambil popcorn buatan istrinya. "Manis kayak yang bikin," puji Bimo.

"Ih, apaan!" Wendy tersipu malu mencubit lengan Bimo.

Mematikan lampu utama supaya suasananya lebih terasa di bioskop, adegan Armageddon dimulai dengan jatuhnya meteor di Amerika. Melihatnya saja Wendy bergidik ngeri membayangkan bagaimana jika hal itu benar terjadi suatu hari nanti. Sementara bencana alam yang memakan korban jiwa saja kadang membuat Wendy panik. Apalagi keluarganya di Yogyakarta dulu sempat terkena dampak letusan merapi.

Dia melirik Bimo tengah serius sambil memangku mangkok popcorn dan sesekali mengomentari pemain favoritnya, Ben Affleck. Meski film lama, Bimo masih menggemari Armageddon karena dianggap pelopor cerita bertema bencana luar angkasa. Selain itu, Bimo update dengan kehidupan pribadi Ben Affleck sampai hafal perempuan mana saja yang pernah berkencan dengannya. Wendy tertawa mendengar penuturan Bimo yang menggebu-gebu daripada adegan di depannya manakala sang suami bercerita kalau Ben akhirnya bersatu bersama JLo. Bimo menjadi percaya kalau suatu hari nanti dirinya dan Risya akan kembali seperti aktor itu.

"Jadi, Mas Bimo nunggu Risya sampe dua puluh tahun mendatang kayak mereka?" tanya Wendy sambil memakan gimbap. "Umur kan enggak ada yang tahu, Mas."

"Iya emang, tapi namanya juga usaha kan?"

"Emang apa sih keistimewaannya Risya sampe enggak bisa move on gini?" tanya Wendy sedikit cemburu. "Padahal cewek yang lebih cakep dari dia juga banyak."

Bimo terkekeh. "Cinta enggak butuh alasan, Wen. Aku nyaman aja sama dia kayak ... enggak bakal nemu yang kayak Risya."

"Padahal kemaren udah teriak-teriak bisa move on," cibir Wendy tak suka.

Mereka terdiam beberapa lama, sesekali Bimo menyuapi Wendy dengan popcorn begitu juga sebaliknya. Bimo menarik gadis itu mendekat ke sampingnya agar tak berjauhan saat menonton film. Tak lama, musik pengiring ketika awak yang akan diberangkatkan untuk misi meledakkan asteroid itu berbaris mengenakan baju astronot. Disusul Grace yang diperankan Liv Tyler merangkul kekasihnya, A.J. Frost kemudian memagut bibir penuh cinta.

So kiss me and smile for me

Tell me that you'll wait for me

Hold me and never let me go

Lagu yang dinyanyikan oleh para pemain Armageddon membuat Bimo bergumam seakan mencurahkan rasa rindunya kepada Risya. Tapi di sisi lain, lagu itu memang booming sekali dan sampai sekarang tak pernah bosan untuk didengar. Wendy bergumam menyanyikan lagu itu meski suaranya tak seberapa enak didengar, Bimo tertawa menyuapi istrinya dengan gimbap terakhir sementara Wendy menyuapi popcorn.

Untuk beberapa saat, mereka bertatapan cukup lama selagi lagu itu mengalun. Iris mata Bimo turun ke sudut bibir Wendy karena ada cuilan popcorn menempel di sana. Jempol kanannya terangkat dan membelai garis bibir Wendy perlahan. Hal begini saja, menimbulkan efek dahsyat di setiap aliran darah Wendy. Jantungnya bertalu-talu seakan sedang menabuh genderang begitu keras, atmosfer di sekitar mendadak terasa panas dan menyesakkan. Anehnya, Wendy maupun pun Bimo enggan bergerak ketika ada sesuatu yang menarik mereka berdua.

Bimo memiringkan kepala kala sorot matanya mengarah ke bibir Wendy yang tak dipulas lipstik layaknya mendapat undangan. Tapi, hal lain yang membuatnya tergoda adalah wangi sabun bercampur parfum manis yang menguar dari tubuh istrinya. Terhipnotis oleh tatapan sendu itu, Wendy memejamkan mata merasakan sebuah kecupan lembut menyapa bibirnya untuk pertama kali. Wendy membuka mulutnya menyambut penuh suka cita sentuhan kecil itu. Merasakan jejak manis karamel yang tertinggal di setiap geligi Bimo.

Kecupan-kecupan kecil itu berubah menjadi pagutan penuh damba dan hasrat menggelora memenuhi jiwa. Wendy melingkarkan lengan ke leher Bimo tak ingin ciuman ini berakhir begitu saja. Pikirannya mendadak lunglai dan hanya dipenuhi bayangan Bimo dan hari-hari bersamanya terutama di Tanjung Benoa. Getaran dalam hati Wendy langsung menimbulkan efek dahsyat yang mengaduk-aduk perut dan merangkak naik sampai ke kerongkongan.

Ciuman itu tak berhenti di sana, bibir Bimo turun tuk menyesap leher Wendy meninggalkan jejak samar di sana. Sementara tangannya mulai bergerilya tanpa sadar di balik kaos yang dikenakan sang istri. Untuk sesaat, Bimo menempelkan dahinya ke dahi Wendy dengan napas saling memburu. Bibirnya mengulum senyum tipis tapi penuh arti. Film yang masih berputar di depan mereka tak lagi dihiraukan ketika lelaki itu menarik Wendy ke kamar untuk menciptakan pelangi di malam hari.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro