19

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Separuh jiwa yang sempat mati kini hidup lagi setelah kembali menjalin komunikasi dengan pujaan hati. Bibir kemerahan Bimo lebih sering mengembang bak bunga matahari yang bersenang-senang menerima bias mentari. Lihat saja pipi lelaki 32 tahun itu merona seperti tengah memulas blush on. Pikiran lelaki itu dipenuhi oleh bayangan Risya setelah sekian lama lost contact dan tidak menyangka jikalau sang mantan masih mengingat kalau Bimo adalah tempat terbaik untuk bersandar. Meski senang, tapi dia juga prihatin dengan kabar pernikahan Risya yang tak seindah apa yang diceritakan kala mereka berpisah. 

Sang sous chef tersenyum geli membuat orang di sekitarnya menatap keheranan. Beberapa dari mereka berkusu-kusu kalau atasan bermata sayu itu kemungkinan sedang menikmati hari-hari sebagai lelaki yang dimabuk asmara semenjak menikah. Sementara yang lain berpikir kalau Bimo tampak bahagia karena Wendy sudah berbadan dua. 

"Ah, enggak mungkin. Badannya Mbak Wendy kok enggak kelihatan kayak orang hamil loh?" bisik salah satu commis

Tapi, hal paling gila yang ditangkap oleh kru dapur adalah bagaimana seorang Bimo Hartawan yang notabene selalu bersikap keras di dapur terhadap bawahan yang tak becus, kini malah senyum-senyum sendiri dan membiarkan si pembuat onar seolah kesalahan yang diperbuat mereka bukanlah apa-apa. Contohnya, salah satu anak magang memasak steak wagiyu overcooked . Bukannya marah-marah layaknya monster kelaparan yang ingin menelan apapun bulat-bulat, Bimo menyuruhnya mengambil daging mahal itu ke bagian butcher dan mengabaikan bagaimana caranya mengganti bahan yang terbuang sia-sia itu. 

"Gila loh, itu mahal hampir sepertiga gaji," komentar anak commis mengamati si anak magang yang menghampiri butcher di pojok hot kitchen. "Terus yang ganti siapa?"

"Mas Bimo lah, ya kali masa kita? Dia gajinya udah gede," timpal yang lain. 

"Aneh tahu enggak sih? Kayak dia lagi kerasukan setan pohon pisang," ujar si commis bergidik ngeri. 

"Apa karena mau cari muka ke Bu Lucy? Kan bentar lagi perayaan D'amore. Tahu sendiri kan dia sudah menyabet berapa kali gelar karyawan terbaik?" cibir lelaki berkepala plontos itu sambil melirik sinis ke arah Bimo yang kini mengajari si anak magang cara memasak steak yang benar setelah diberi bumbu. 

"Udah jangan gosip, ah! Nanti kita dimarahi."

Hal serupa ternyata juga dirasakan Wendy menangkap gelagat Bimo makin hari makin aneh. Ponselnya sudah seperti nyawa kedua karena ke mana lelaki itu pergi selalu dibawa. Kadang tengah malam, Wendy mendengar Bimo masih berbincang dengan seseorang entah siapa. Mereka kini juga jarang ngobrol berdua di balkon seperti sebelumnya termasuk Bimo lebih sering makan seorang diri tanpa mengajak Wendy. Sekarang Wendy bagai angin yang tak terlihat juga tak teraba oleh semua indra Bimo. Seluruh perhatiannya terlampiaskan pada seseorang yang disembunyikan dari Wendy. 

Ada rasa tak suka dalam hati yang mulai menggerogoti Wendy entah sejak kapan. Semacam dia sudah kehilangan teman yang biasanya mau berbagi cerita, berbagi tugas membagi rumah, hingga teman tidur di kala malam-malam yang dingin. Wendy mengernyit, untuk pilihan ketiga itu rasanya sudah lama dia tidak melakukannya bersama Bimo. Oke, mungkin Wendy merasa menjilat ludah sendiri, hanya saja Bimo tak lagi menyentuhnya seperti dulu. Memberi kecupan, sentuhan kecil seperti mengikat rambutnya atau menyuapi makanan layaknya pasangan suami-istri yang dimadu cinta. Tapi, di sisi lain, Wendy sadar bahwa pernikahan ini hanyalah sebatas di atas kertas juga hubungan timbal balik dalam memuaskan hasrat yang suatu saat akan berakhir tanpa aba-aba. 

Masalahnya, dalam aturan yang sudah disepakati kedua belah pihak, Wendy harus tahu perempuan yang sudah menjadi tambatan hati baru Bimo. Sebagai teman, Wendy tidak ingin Bimo gagal untuk kedua kali. Selain itu, Wendy lebih paham isi kepala perempuan yang ingin mendekati sous chef. Apakah mereka PDKT untuk bersenang-senang atau yang lain mengingat Bimo kadang terlalu royal dengan perempuan. Lagi pula, dia pun akan melakukan hal yang sama ketika ada seorang lelaki yang ingin mendiami hati Wendy.

Tapi, siapa?

Dia memiringkan kepala sebentar selagi menghiasi cupcake dengan icing cream, bertanya-tanya pada diri sendiri lelaki mana yang bisa menembus perisai hati di kala cincin kawin tersemat di jari. Sementara itu ... semenjak menikah dan hafal semua kebiasaan Bimo sampai bergelut di atas gairah. Ada sesuatu yang begitu kecil dan transparan menghampiri diri Wendy.

Perasaan itu berubah-ubah, kadang membuncah hingga sekujur tubuh Wendy dibuat lunglai kadang juga menggelegak membakar ubun-ubun. Dia mengira, apakah perasaannya pada Bimo sebagai teman sudah berganti?

"Ah, kayaknya enggak deh," gumam Wendy bergidik ngeri. Dia tidak akan menjilat ludah sendiri untuk kedua kali. Dia harus fokus pada cita-citanya untuk menjadi chef hebat.

"Mbak Wen," panggil Astrid mengangkat cupcakes yang sudah dihias di atas piring saji.

"Iya?" Wendy menoleh sedikit gelagapan. Untungnya pergerakan gadis itu tak terbaca oleh Astrid.

"BEO buat nanti malam gimana? Mungkin sekalian aku cicil biar anak-anak yang jaga sore enggak keteteran, mumpung tugasku sudah selesai."

"Iya enggak apa-apa, stok es krim yang rasa taro udah habis kan? Kamu buat itu dulu nanti biar dibantu sama Ratih," kata Wendy. "Oh iya, yang mini pai udah siap?"

"Udah, Mbak," kata Astrid, "Tinggal cupcakes yang dikerjakan Mbak Wen. Sini, biar aku aja yang ngerjakan. Masa chef de partie cold kitchen, aku suruh menghias cupcakes," sambungnya cekikikan.

"Halah, enggak apa-apa lagian kerjaan anak lain udah bener kok."

"Oh iya, Mbak Wen, Mas Bimo auranya makin ke sini makin ke sana ya."

"Ha?" Wendy mengernyit tak mengerti. 

"Iya, tuh tadi aku denger ada anak magang bikin steak wagyu overcooked eh enggak dimarahi dong, malah nyuruh ambil daging lagi ke butcher," jelas Astrid. "Mbak Wendy hamil ya sampai bikin Mas Bimo kegirangan gitu?"

"Hah! Ngawur!" seru Wendy tercengang. "Aku belum hamil dan kayaknya nunda dulu."

"Kenapa? Padahal punya anak kan lucu, Mbak," timpal Astrid sambil membayangkan dirinya menggendong seorang bayi gembul. 

"Kamu enggak lihat makin ke sini banyak anak-anak terlantar? Bayi dibuang, perempuan jadi korban KDRT, perceraian meningkat, sekolah makin mahal, penyakit makin aneh-aneh," jawab Wendy jikalau mengingat deretan berita yang tiada habisnya mengenai isu kekerasan pada anak sampai rumah tangga. 

"Iya juga sih, mana sekarang panasnya juga enggak kayak dulu ya, Mbak," sahutnya Astrid. "Udah, aku taruh di meja saji aja, Mbak Wen." Gadis itu merebut loyang cupcake yang sudah dihias Wendy.

"Oke, makasih, Astrid, hati-hati ya."

"Mbak Wen, jadi, rasanya menikah itu gimana? Katanya enak?" tanya Astrid polos membuat Wendy tersipu malu sampai mukanya memerah. 

"Nano-nano," jawab Wendy mengerlingkan mata. 

###

Tiba waktunya ishoma, Bimo buru-buru mengambil jatah makan dan bergegas ke ruang kerjanya sambil melakukan video call bersama Risya sekadar menanyakan kabar. Wajahnya langsung sumringah begitu melihat penampakan Risya tengah duduk dan mengenakan baju kebanggaan sebagai pegawai di salah satu bank BUMN. Bimo menyandarkan ponsel ke beberapa tumpukan buku kemudian membuka jatah makan ketika Risya bertanya,

"Dapet menu apa, Bim?"

"Nasi, cap cay, udang asam manis," jawab Bimo. "Kamu udah makan siang?"

"Udah barusan sekalian jadwal minum vitamin," kata Risya lalu mengelus perutnya. "Aktif terus nih anak dalam perut."

"Bahagia kali," ucap Bimo menyendok nasinya.

"Om Bimo kapan main ke Yogya?" tanya Risya lagi dengan bada suara dibuat-buat untuk mewakilkan bayinya. Dia tersipu kemudian menutup wajah Ayu itu.

"Iya, nanti kalau ada waktu, Om datang biar temu kangen sama bundamu."

"Eh? Kok aku?" Risya menunjuk wajahnya sendiri.

Bimo mengangguk. "Iya dong, masa enggak boleh kangen sama kamu."

"Istrimu gimana?" Risya menaikkan sebelah alisnya. "Jangan main belakang loh, Bim."

Lelaki itu tergelak. "Iya, iya, Wendy sih anaknya santai-santai aja. Dia enggak bakalan marah kok."

"Ah yang bener?" Risya menopang dagunya, memandangi wajah Bimo yang dirasa makin memesona setelah perpisahan mereka. "Sejak sama Wendy, kok kamu makin cakep, Bim. Sering dapet jatah ya?"

Alhasil, Bimo terbatuk-batuk mendengar penuturan Risya sampai mukanya memerah nyaris kehabisan napas. Sementara sang mantan justru terbahak-bahak seraya memegangi perut buncitnya tak ingin sang jabang bayi mendadak keluar akibat tegangan otot perut Risya. Bimo meneguk air mineral dari botol minumnya lalu terengah-engah usai mendapat kembali irama napas yang hampir terputus.

"Ya kali cuma gara-gara itu doang," sembur Bimo tersipu. "Enggak ada hubungannya deh!"

"Ada kali, tandanya kamu udah bahagia. Jadi, udah enggak ada aku dong di hati kamu," goda Risya menelengkan kepala sambil mengerlingkan mata.

Bibir lelaki itu membisu cukup lama. Perasaannya kepada Wendy maupun Risya sungguhlah berbeda dan tidak akan bisa tercampur aduk. Meski dia dan Wendy pernah melewati malam-malam penuh gairah yang tidak cukup sekali saja, Bimo tidak merasakan ada getaran dalam dada layaknya bersama Risya.

Dia mengulum senyum tipis lalu menatap lurus iris mata lentik Risya kemudian berbisik, "Enggak ada yang bisa menggantikan kamu, Ris, bahkan Wendy sekalipun."

Tanpa disadari Bimo, Wendy mendengar semua percakapan suaminya bersama Risya. Hatinya serasa disayat oleh pisau lalu ditumbuk sekuat mungkin sampai terasa menyesakkan sekaligus menyakitkan. Jikalau bukan otaknya yang menyuruh Wendy tetap tersadar, mungkin tubuhnya sudah jatuh tersungkur ke lantai mengetahui kalau Bimo hanya memanfaatkan dirinya saja.

Bulir air mata jatuh membasahi pipi Wendy meski sebisa mungkin dia ingin menghentikan kristal bening itu keluar. Bukankah seharusnya dia tahu bahwa keputusan menjalani pernikahan kontrak akan selalu berakhir seperti ini? Harusnya Wendy lebih legowo kan?

Kenapa rasanya malah seperti  ini? Kenapa sakit sekali?

Done revisi sampe bab 19 ini gaes, boleh dibaca ulang ya karena banyak scene tambahan. Semoga suka 😍

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro