18

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dunia Bimo seakan berhenti berputar bahkan ketika raga itu berada di dapur untuk mengawasi kru menyiapkan jamuan. Benaknya juga hampa berganti rasa rindu yang dipendam kini tumpah ruah memenuhi relung dada. Meski pada akhirnya lelaki bermata sayu itu sedikit mulai merelakan perempuan yang pernah meremukkan hati, nyatanya suara lembut Risya kembali memenuhi setiap aliran darah Bimo seperti menorehkan kembali harapan yang sempat pupus. Entah harus senang karena yang dipujanya kembali atau membiarkan masa lalu tetap berlalu.

Setelah mendapat telepon dari Risya kemarin, Bimo langsung masuk ke kamar begitu saja tanpa menjawab pertanyaan Wendy. Sampai sekarang pun bibirnya seperti dipaksa bungkam untuk tidak menceritakan kalau mantan tunangannya datang lagi. Jika Wendy sampai tahu, Bimo yakin semuanya akan runyam.

"Aku minta maaf udah ninggalin kamu, Bim," ujar Risya terdengar bersalah. "Maaf juga baru bisa bilang hari ini karena..." mendadak dia sesenggukan tak sanggup merelakan mantannya telah menikahi perempuan lain.

"Ka-kamu kenapa baru telepon?" Hanya itu yang bisa dilontarkan Bimo kepada Risya atas kepergiannya yang tiba-tiba.

"Ak-aku enggak kepikiran karena waktu itu hamil, Bim. Maafin aku ... sekarang aku bingung harus ke mana."

Dahi Bimo mengerut mengetahui penuturan Risya. "Loh, suami kamu di mana? Kamu masih hamil kan?"

"Iya, Bim, ini udah mau delapan bulan. Dia... Dia..." Risya tak mampu melanjutkan ucapan ketika bayangan lelaki pilihannya malah bermain  belakang dan tidak mau tahu tentang anak yang dikandung istrinya. 

Kenapa hidup Risya harus dijungkir balik seperti itu? batin Bimo nelangsa. Apalagi anak yang dikandung bakal merasakan tekanan batin Risya akibat suami yang tidak mau memberi nafkah malah foya-foya. Lelaki bejat yang seenaknya memanfaatkan tubuh sang mantan lalu berpura-pura tuli ketika dibutuhkan. Jika posisi Bimo berada di Yogyakarta, sudah dipastikan suami Risya babak belur atau meregang nyawa.

Padahal dulu Bimo mati-matian menjaga kehormatan Risya. Bekerja membanting tulang dan memeras keringat demi memenuhi kebutuhan pernikahan sampai rumah tangga. Dia tidak akan menyentuh wanita jika belum mengikrarkan janji suci di depan penghulu karena ingat dosa dan akibatnya di alam baka.

Berbekal belas kasihan, Bimo pun mengirimkan sejumlah uang tanpa sepengetahuan Wendy agar gadis itu meninggalkan rumah dan mencari kos yang terdekat dengan tempat kerjanya di bank. Setidaknya ini yang bisa dilakukan Bimo sebagai seorang teman di kala sang mantan tunangan terjerembap dalam kesusahan. 

Kamu enggak mikir betapa egoisnya dia waktu ninggalin kamu?

Sisi lain Bimo berteriak berusaha menyadarkan otaknya yang sudah terlena dengan kisah menyedihkan dari mulut Risya. Namun, diabaikan suara batin itu dan memilih mencemaskan Risya dibanding luka yang pernah ditorehkan oleh sang mantan.

Naif? Mungkin iya, pikir Bimo. Siapa yang tega melihat perempuan hamil malah ditelantarkan suaminya sendiri? Sebagai seorang teman sekaligus mantan tunangan yang masih menyimpan rasa sayang, tentu jiwa sosial Bimo tidak mampu membayangkan betapa menderitanya Risya di sana. Untung saja, selepas gadis itu menikah, suami Risya tidak menyuruh istrinya resign dari pekerjaannya sebagai customer service di bank. Meskipun begitu, Risya bercerita kalau semua gaji juga pengeluaran rumah tangga dikontrol oleh suami. 

"Kamu kok bisa nurut gitu aja sih?" gerutu Bimo sewaktu mendengarkan penjelasan Risya. "Aku mana pernah kan nyuruh kamu hemat jajan ini itu, nyuruh kamu berhenti beli skincare. Mana pernah kan?"

Apa yang terjadi memang tidak bisa kembali, Risya hanya sesenggukan mengetahui bahwa lelaki yang kini membuka tangan selebar mungkin untuk memberikan pertolongan itu jauh lebih baik dari suaminya sendiri. Ada perasaan menyesal menggerogoti nurani Risya, kenapa pula dia menyerahkan kehormatannya pada lelaki yang hanya memanfaatkan tubuh dan uang tanpa mau memeras keringat lebih banyak. Kenapa pula dia buta terhadap kesetiaan dan ketulusan Bimo? Betapa bodohnya dia melepaskan seorang Bimo demi parasit yang hanya mengandalkan paras tampan.

"Mas, Bim!" seru Wendy menepuk pundak suaminya yang termangu cukup lama mengamati anak-anak commis menuang berbagai olahan matang di atas piring saji. "Kenapa sih dari kemarin ngelamun, aku lihat dari cold kitchen Mas Bimo nyawanya enggak di sini."

"Eh?" Bimo gelagapan. "Eng-enggak."

Wendy memicingkan mata mencoba menembus perisai untuk bisa melihat apa yang sedang disembunyikan lelaki itu. Sejak semalam setelah mendapat telepon dari seseorang, Bimo berubah menjadi lebih pendiam. Saking khawatirnya, Wendy sampai menelepon mertua atau adik-adik Bimo siapa tahu mereka sedang ada masalah. Namun, kenyataannya tidak, justru gadis itu diberondong pertanyaan kapan hamil. Maklum, sebuah pertanyaan klise yang tak kunjung habis dilempar para orang tua atau orang-orang yang terlalu ikut campur. Untungnya Wendy sudah kebal bahkan terlalu kebal. 

Namun, sebesar usahanya untuk mengurai isi kepala Bimo, nyatanya beban yang sedang disembunyikan dari Wendy tak dapat terbaca juga. Alhasil, Wendy menghela napas dan berkata, "Kalau ada masalah bilang jangan diem. Tahu sendiri aku enggak suka kalau Mas Bimo main rahasia?"

Bimo melenggut seraya tersenyum simpul menerima sedikit perhatian dari Wendy. Iris matanya mengikuti ke mana arah jalan gadis itu pergi berbarengan dengan suara-suara kru dapur yang menyuruh untuk mengeluarkan sajian mereka ke tamu.

###

Saat jam istirahat tiba, diam-diam Bimo pergi ke tempat yang sepi untuk menghubungi Risya kembali sekadar menanyakan kabar terutama kehamilan yang sudah menginjak usia delapan bulan. Meski laki-laki yang tak ikut mengandung jabang bayi, setidaknya Bimo paham kalau kehamilan trimester akhir itu calon ibu harus sering-sering diawasi sebab takut jika tiba-tiba ada pecah ketuban seperti yang dialami adiknya. Beruntung kala itu Bimo dan adik iparnya langsung membawa sang adik ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan medis. 

Seraya melirik arloji di pergelangan tangan kiri, Bimo berencana untuk pulang ke Yogyakarta menemui Risya dengan maksud ingin menjadi penengah. Tapi, rasa-rasanya lelaki yang sudah main perempuan tak perlu lagi dimaafkan kalau pada akhirnya kelakuan itu sudah menjadi kebiasaan. Ditambah kehidupan mereka hanya bertopang pada penghasilan Risya di bank. Mungkin Bimo akan memberi saran bahwa sebaiknya Risya berpisah daripada harus terjebak dengan hubungan toksik seperti itu. Tidak ada salahnya kan? Tapi, alasan lain yang lebih mendominasi adalah Bimo ingin berjumpa untuk mencurahkan segala rindu hampir setahun berpisah. 

Tak berapa lama, suara lembut Risya terdengar membuat senyum merekah bak bunga matahari di bibir Bimo seketika muncul. Hatinya lega dan keresahan yang menggelayuti Bimo sejak semalam sedikit berkurang mengetahui gadis itu baik-baik saja. Setidaknya kali ini.

Risya berkata kalau akan mengajukan cuti melahirkan bulan depan yang mepet dengan hari H karena ingin memanfaatkan tiga bulan mengasihi bayi sebaik mungkin. Dia juga bercerita kalau ada salah satu temannya yang menawarkan kos dengan harga murah dan lokasi strategis. Mendengarnya saja, Bimo benar-benar merasa bersyukur masih ada orang baik yang mau menolong Risya di saat seperti ini.  

"Tapi, di sana deket rumah sakit juga kan?" tanya Bimo. 

"Iya, Bim," jawab Risya, "Kalau enggak kan nanti kerepotan sendiri aku."

"Terus, kamu punya asuransi kan? BPJS ketenagakerjaan?"

"Punya dong, dari kantor kan udah dipotong gaji buat iuran BPJS itu, Bim. Kenapa? Takut aku enggak bisa dapet penanganan?"

Bimo terkekeh mengangguk meski ekspresinya saat ini tak dapat dilihat Risya. Ah, jangan sampai sang mantan tahu bahwa saat ini wajahnya merona mendengar suara gadis itu. Suara yang menjadi candu sampai kapanpun.  

"Udah lama enggak denger suara kamu ketawa gitu," goda Risya sambil mengelus perut buncitnya. "Oh iya, kapan kamu pulang kampung? Mungkin kita bisa ketemuan."

"Belum tahu nih, soalnya kan aku juga baru cuti beberapa minggu buat nyiapin pernik--" ucapan Bimo terhenti takut menyinggung perasaan Risya bahwa dirinya juga sudah menikah demi membantu Wendy juga membalas dendam rasa sakit hatinya dulu. Kini, Bimo sedikit menyesal telah menerima begitu saja ajakan Wendy jika tahu kalau Risya akan kembali lagi padanya. Harusnya dia lebih sabar dan legawa kalau sesuatu yang ditakdirkan menjadi miliknya akan kembali suatu hari nanti. 

Bukankah seperti itu? 

"Ah, iya ... sorry, kamu udah punya Wendy ya," kata Risya terdengar lesu. "Maaf ya Bim, aku enggak sadar kalau kita udah jadi milik orang lain."

"Tapi, hatiku masih punyamu, Ris!" seru Bimo tak rela jika hubungan itu retak lagi. "Meski aku bersama Wendy, aku masih rindu kamu."

"Tapi ..." 

"Wendy bakal paham kok, lagian dia tahu aku masih sayang sama kamu," sela Bimo menimbulkan senyum tipis di bibir Risya. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro