65. Purnama Musim Dingin Irsiabella Ravelsa (2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jadi, mengapa kau menyukai musim dingin?
Apakah karena kau lahir di musim itu?"

***

"Terima kasih banyak," ucap Stella dengan ragu, tetapi langsung menekan lehernya dengan saputangan pemberian Pangeran Felixence begitu menerimanya.

Sebenarnya Stella agak ragu hendak mengotori saputangan berlambang kerajaan itu, tetapi Stella akhirnya menerimanya setelah mempertimbangkan kemungkinan terjadinya infeksi di lehernya. Lagipula Pangeran Felixence yang memberikannya secara sukarela.

Pangeran Felixence juga meminjamkannya mantel putih kebesarannya, lalu memposisikan agar Stella membelakangi mayat berdarah itu.

Stella agak terkesan, mungkin Pangeran Felixence mempertimbangkan mental Irsiabella yang seumuran dengan adik perempuannya. Bagaimanapun juga, itu adalah pengalaman yang tidak menyenangkan dan benar-benar traumatis untuknya.

"Ini pasti pertama kalinya," ucap Pangeran Felixence, yang membuat Stella langsung kebingungan.

"Uh ... Maaf?"

"Kau melihat seseorang yang tiba-tiba kehilangan nyawanya. Selamanya, itu akan menjadi ingatan terburukmu." Manik amethyst Pangeran Felixence menatapnya dengan sorot agak bersalah.

Stella buru-buru menyela ketika menyadari bahwa Pangeran Felixence tampak akan meminta maaf. "I-itu memang benar, tapi Yang Mulia Pangeran melakukan itu untuk menyelamatkan saya. Dibandingkan ingatan buruk, saya bersyukur karena masih hidup."

Sebenarnya, ini bukanlah pertama kalinya Stella melihat seseorang yang kehilangan nyawa. Stella pernah, dulu. Malam yang tidak akan pernah dilupakannya hingga hari ini. Stella ingat betul dirinya baru saja berbincang dengan Luna, lalu situasi memaksanya untuk meninggalkan Luna sebentar. Hanya sebentar, kemudian Stella kehilangan adiknya dan menyadari bahwa tadi adalah momen terakhir kalinya mereka mengobrol.

Jangan. Jangan menangis lagi setiap membayangkannya.

Stella penuh penyesalan. Seharusnya, dirinya ada di saat-saat terakhir adiknya. Hanya itu. Dirinya tidak sempat berpamitan mengucapkan 'selamat tinggal'. Dia sudah tahu kalau perpisahan akan datang, tetapi tetap saja ....

"Wajahmu tidak mengatakan begitu."

Stella tidak tahu wajah seperti apa yang sedang dirinya tampilkan, tetapi Stella buru-buru menunduk, berharap agar wajahnya tidak terlihat.

Tuan Anonim yang dikenalnya juga memiliki karakter yang khawatiran sepertinya--minus sarkastiknya--tetapi kata-katanya membuatnya semakin yakin bahwa Pangeran Felixence memang merupakan Tuan Anonim yang sama. Setelah Stella pikir-pikir lagi, tahun lalu ketika Winter Moon, mereka sudah saling bertukar cerita.

Dia ..., sudah menyerah mencarinya, kan?

"Ngomong-ngomong, mengapa kau bisa ada di sini?" tanya Pangeran Felixence.

Stella langsung mengerti maksud Pangeran Felixence. Sang pangeran bukan mereferensikan tentang alasan kedatangannya di kota, tetapi alasan mengapa dirinya bisa sampai di tempat yang cukup terpencil dan jarang orang. Lagipula, malam ini adalah salah satu malam suci yang menjadi tradisi besar Terevias. Pasti melelahkan, harus mengurus masalah di malam ini.

Tunggu ..., Apakah Pangeran Felixence hanya kebetulan berada di sini untuk melihat bulan, atau memang sudah tahu tentang rencana pemberontakan ini?

Stella memperhatikan kembali pedang dan jirah lengkap yang dikenakan sang pangeran. Tampaknya, beliau sudah mengetahui hal itu.

"Saya ... tersesat." Stella menjawab.

Sempat ada keheningan sejenak, sebelum akhirnya Stella memilih membuka suara, "Apakah ini pemberontakan? Terorisme?" tanya Stella.

"Hm ... mari kita menyebutnya begitu." Pangeran Felixence menganggukkan kepalanya. "Mereka adalah organisasi yang kontra terhadap aturan dan sist m di kerajaan. Sebenarnya, ini masih rahasia, tapi berita ini akan segera menjadi kabar panas di Terevias, dan sebagai korban, kau pantas mengetahuinya lebih awal."

Pangeran Felixence tampak memperhatikan kembali mayat yang tergeletak itu, lalu berjalan melewati Stella.

"Kau tetap di posisimu, jangan berbalik. Aku akan memeriksanya sebentar," ucap Pangeran Felixence.

Stella hanya berani memperhatikan hal yang dilakukan Pangeran Felixence lewat bayangannya. Pria itu berjongkok, lalu mulai memeriksa tubuh itu. Sekuat tenaga, Stella berusaha tetap berdiri tegak, memperhatikan gaunnya yang ternyata tersemprot sedikit darah, lalu melihat genangan darah yang mulai mengalir hampir mengenai sepatunya.

Ketika Stella mengambil satu langkah ke depan untuk menjauhi posisinya genangan darah itu, Stella menyadari bahwa bayangan Pangeran Felixence langsung beralih menatapnya. Pangeran Felixence memang memintanya untuk tetap ada di posisinya, tetapi pemuda itu tidak berkomentar dan kembali melanjutkan pemeriksaannya.

Entah berapa lama Stella berdiri di sana. Agak canggung juga dengan keheningan itu. Pangeran Felixence sedang bertugas, tetapi juga tidak mungkin meninggalkannya dalam keadaan yang membahayakan.

"Tuan Pangeran!"

Ada suara laki-laki yang seolah menyelamatkannya. Stella ingin berbalik, tetapi tidak ingin melanggar satu lagi hal yang diperintahkan sang Pangeran.

"Kau sendirian?" tanya Pangeran Felixence.

"Lapor, Tuan Pangeran. Yang lain masih mengejar kelompok yang berpencar. Diduga mereka membaurkan diri bersama kerumunan. Saya berhasil menangkap biangnya ..."

Hening tiba-tiba, membuat Stella sangat ingin berbalik untuk memeriksa.

"... Apakah dia mengatakan sesuatu?" tanya Pangeran Felixence.

"Dia menolak menjawab," jawab suara itu. "Tapi saya menemukan ini di sakunya. Sebuah surat, tapi sepertinya ini hanya pesan tanpa makna untuk mengelabui kita."

Hening lagi.

Stella sudah berusaha sekuat tenaga untuk tidak terlibat karena keingintahuannya, tetapi sepertinya dirinya sudah tidak sengaja terlibat karena insiden tadi. Karena itulah, Stella memutuskan untuk hanya mengintipnya dari bayangan mereka yang memanjang ke depan.

Laki-laki itu menyerahkan sesuatu kepada Pangeran Felixence yang kini telah dalam posisi berdiri. Dia tampak menyimpan pedang di pinggang, lalu tangan kirinya membawa sesuatu yang bulat dan tampak berambut.

Sontak, saat itu juga Stella berdiri kaku. Sekujur tubuhnya merinding ngeri.

Apakah itu kepala manusia?

Buru-buru, Stella mengalihkan perhatiannya dengan mendongak untuk melihat titik-titik salju yang turun dan bintang di atas sana. Stella ingin melihat purnama biru yang selalu mengingatkannya pada Putri Felinette, tetapi saat ini dirinya tengah memunggungi rembulan.

"Bagaimana dengan Tuan Pangeran? Apakah ada informasi yang Tuan Pangeran dapatkan?" tanya pemuda itu.

Pangeran Felixence tertawa kecil, tetapi terdengar begitu hambar bagi Stella. "Aku tidak sempat bertanya," jawabnya.

Oh, mereka sedang membicarakan tentang menginterogasi pria bertudung tadi, pikir Stella, agak merasa bersalah.

Pangeran Felixence bisa saja mendapatkan informasi sebanyak mungkin dari pria tadi, mengingat betapa gemarnya pria itu berbicara. Namun, ada setengah pemikiran Stella yang juga lega karena Pangeran Felixence tidak sempat mewawancarainya, mengingat pria itu sempat melihatnya menggunakan kekuatan teleportasinya. Semuanya masih aman terkendali, seharusnya.

"Tapi, dari lambang ini, sudah pasti dia juga bagian dari mereka," sahut Pangeran Felixence.

Lambang?

"Saya akan mencari tahu identitas mereka dan memantau apakah ada keterlibatan kejahatan pelaku dengan anggota keluarga mereka yang lain," ucap pemuda itu dengan tegas.

"Bagus, Terence. Kau tidak pernah mengecewakanku," sahut Pangeran Felixence.

"Untuk berjaga-jaga, saya akan meminta yang lain untuk menyimpan semua atribut organisasi." Terence tampak membungkuk hormat dari bayangannya. Sebisa mungkin, Stella berusaha untuk tidak mempedulikan apa yang dibawanya di tangan kirinya.

"Apakah kau bisa membuang itu, sebelum kita kembali?" tanya Pangeran Felixence.

"Maaf, Tuan Pangeran. Namun, untuk kepentingan identifikasi dan hal lainnya, kepa--maksud saya, ini tetap harus saya bawa. Dan jika saya boleh, saya juga ingin meminta izin untuk membawa yang itu."

Stella bersumpah, hal yang paling dia inginkan saat ini adalah bertemu dengan Regdar dan segera pulang.

"Tapi, tetap berjalan di belakangku," pinta Pangeran Felixence.

"Baiklah, Yang Mulia."

Beberapa saat kemudian, barulah sosok Pangeran Felixence kembali menampakkan diri di sampingnya.

"Ayo, ikut aku," pintanya yang membuat Stella langsung melangkah mengikutinya. Secepatnya, dan jangan sampai Terence menyusulnya dan memperlihatkan hal-hal yang tidak menyenangkan.

.

.

.

"Kau dari keluarga mana?" Pangeran Felixence bertanya ketika sedang ada dokter yang membersihkan telapak tangan Stella yang lecet karena terjatuh tadi.

Aku pernah memperkenalkan diri, tetapi sepertinya dia melupakannya, pikir Stella. Agak sedikit lega juga, karena sepertinya Pangeran Felixence tidak mencurigai identitasnya.

"Saya dari keluarga Ravelsa, Tuan Pangeran. Maafkan kelancangan saya karena tidak menyapa Yang Mulia Pangeran dengan benar," ucap Stella.

"Oh. Felinette pernah membicarakanmu di surat," sahut Pangeran Felixence yang membuat suasana hati Stella langsung membaik seketika, seolah semua hal yang dialaminya tadi tidak lagi mengganggunya.

"Benarkah?" tanya Stella berbunga-bunga.

Saat memperhatikan sekitarnya, pemuda yang tadi bersama pangeran--Terence--juga berada di sana dan tampak langsung menoleh ke arah mereka. Padahal, dia juga sedang membersihkan darah yang sudah mengering di kedua tangannya.

Stella familier dengan Terence. Dia adalah pengawal Putri Felinette yang dulu pernah mencegatnya untuk tidak mendekati sang putri.

Tak terasa sudah enam bulan sejak pertama kalinya Stella bertemu Putri Felinette untuk pertama kalinya, dan kini dirinya sudah cukup disadari oleh sang putri, sampai-sampai namanya direferensikan di dalam surat.

"Kau tidak melihat Winter Moon di akademi?"

Pertanyaan Pangeran Felixence nyaris membuat Stella terbatuk. Bagaimana cara Stella menjelaskan tentang dirinya yang sebenarnya membolos karena anjuran dari ayahnya? Apakah Regdar akan dihukum karena ini dianggap sebagai kecurangan? Putri Felinette yang seorang putri mahkota saja tidak melakukan hal seperti itu.

"Saya sudah berjanji dengan ayah saya untuk melihat Winter Moon bersama-sama. Kebetulan, ini tahun kedua saya menyaksikannya dari alun-alun kota bersama ayah saya dan kami lebih menyukai situasi di sini daripada hanya menyaksikannya dari kediaman kami," jelas Stella panjang lebar.

Baiklah, untuk jaga-jaga, lebih baik Stella tidak melontarkan kebohongan. Dirinya adalah salah satu saksi dari insiden ini dan akan merepotkan sekali jika cerita kebohongan yang berulang akan diselidiki lebih lanjut.

Pangeran Felixence hanya memberikan anggukan, lalu meminta salah satu prajuritnya untuk mencari prajurit keluarga Ravelsa. Selanjutnya, mereka kembali melanjutkan obrolan singkat bersama banyak telinga yang mendengarkan. Situasi memang masih kacau dan banyak prajurit kerajaan yang juga terluka.

"Apakah kau dekat dengan Felinette?" tanya Pangeran Felixence, yang membuat Stella yang terdiam sejenak.

Apakah ini pertanyaan jebakan?

"Saya menghormatinya sebagai putri mahkota," jawab Stella setelah mempertimbangkan jawabannya selama beberapa saat. "Tapi, saya juga berharap bisa berteman dekat dengan Tuan Putri."

Pangeran Felixence tampak tersenyum hangat--Stella bisa melihatnya sekilas, sebelum akhirnya memberikan pertanyaan lain yang lebih mengejutkan, "Apakah Felinette dekat dengan pemuda di akademi?"

Stella membulatkan mata dan berkedip bingung beberapa kali, agak tidak percaya dengan apa yang didengarnya, "Maaf?"

"Tuan Pangeran, saya telah membuatkan sketsanya." Terence yang tadinya berjarak cukup jauh dari mereka, tiba-tiba sudah datang menghampiri mereka dan membawa secarik kertas.

"Kerja bagus, Terence. Kau memang sangat bisa diandalkan," ucap Pangeran Felixence sembari meletakkan kertas itu di sisi lain. Ia kembali menatap Stella, seolah hendak memberikan pertanyaan lagi, tetapi lagi-lagi Terence memberikan pertanyaan.

"Apakah kita perlu membuat laporan resmi?" tanya Terence lagi.

"Terence," Pangeran Felixence memanggilnya dengan nada rendah.

Terence langsung terdiam, lalu menunduk memberikan penghormatan. Stella masih berkedip bingung beberapa kali, tetapi sedikit banyak dapat mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi.

"Jadi, apakah Felinette dekat dengan seorang pemuda di akademi?" tanya Pangeran Felixence, yang mengulangi pertanyaannya.

"Sejauh pengamatan saya, tidak ada, Yang Mulia," jawab Stella.

Meskipun mencoba menyembunyikannya, Stella bisa melihat senyuman tipis lega dari sang pangeran, sementara Terence benar-benar menghela napas lega dengan terang-terangan di depan mereka.

Memang banyak bangsawan-bangsawan yang mencoba mendekati Putri Felinette, tetapi sang putri tidak bisa semudah itu didekati. Tampaknya juga, Putri Felinette menyaring bisa menyaring pergaulannya. Jadi, Stella agak bingung, entah darimana mereka mendapatkan informasi seperti itu.

Setelah semua tangannya yang luka telah terbalut sepenuhnya, Stella tidak sengaja melihat kertas sketsa yang diserahkan oleh Terence kepada sang pangeran, membuat keingintahuannya langsung membesar.

"Maaf atas kelancangan saya, Yang Mulia. Itu ... gambar apa?" tanya Stella.

"Ini lambang organisasi mereka," jawab Pangeran Felixence yang membuat Terence tampak panik untuk alasan yang tidak diketahuinya. "Nona Ravelsa adalah salah satu korban, dan lagipula berita ini akan segera menyebar di Terevias."

Lambang organisasi?

Stella tidak mungkin salah ingat, tetapi dirinya pernah melihat lambang itu sebelumnya. Lambang gelombang air yang melingkar-lingkar.

... Stella pernah melihat lambang itu di jubah Wolverioz.

Setelah Stella ingat-ingat, jubah bertudung yang mereka gunakan memang mirip, itu sebabnya Stella sempat mencurigai pria berjubah tadi sebagai Wolverioz.

Tapi ... bukankah itu berarti ...?

Ada banyak hal yang mengganggu pikiran Stella, tetapi Stella hanya mampu memikirkan satu hal; tentang plot twist lain yang dibawakan karakter Wolverioz. Keterlibatan Wolverioz dan Irsiabella terlalu kental dan mau tak mau semakin membuat Stella semakin yakin.

Semakin banyak hal yang diketahuinya, Stella semakin sadar bahwa dirinya mulai menguak sisi gelap kisah The Fake Princess, sisi yang tidak pernah diketahui Luna.

"Irsiabella!"

Suara Regdar terdengar semakin dekat dengan pendengaran Stella. Bahkan ketika pria itu menghampiri diri untuk memeluk putrinya, Stella tidak bisa berhenti merasa begitu aneh.

Semakin lama, Stella semakin merasa bahwa dirinya tidak familier dengan Irsiabella.

Atau mungkin sedikitpun, sama sekali, Stella tidak mengenalnya.

***TBC***

12 September 2021

Paws' Note

Reaksi Reader: //tepuk tangan heboh//

Yeeeey, ketebak, horeee!

Next chapter kita bakal balik ke POV Luna. Ehey~

Apakah kalian mulai menggalau ketika hendak tukar-tukaran POV karena dua saudari ini sama-sama digantungin sama penulisnya? Hehehehe~ Itulah kenapa kusuka nulis 2 POV kayak gini. Bisa digantungin tanpa dimarahin //gagitu

Fanart kita hari ini dari Disa Elina. Disaaaa, nama username akun Wattpadmu apa yaaa?

Terima kasih banyak!

Ketika fanart kiriman reader mulai menipis, menggambar fanart untuk cerita sendiri adalah jalan ninjaq ///IYA, INI KODENYA UDAH TERANG BANGET.

See you on the next chapter!


BIG HUG, big whale! <3
Cindyana H / PrythaLize

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro