˗ˏˋ꒰ musim semi kedua ꒱

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Detik jam terus berpacu. Jarumnya terus berputar. Itu yang dapat kulihat dari arloji milikku sendiri, kala menunggu Haru yang tak kunjung datang. Dengan memegang tas dan payung pink, aku masih menatap arloji yang melingkar di pergelangan tanganku. Ayolah, bel pulang sudah berdering setengah jam yang lalu. Bahkan Sensei sudah kembali ke ruangan mereka sejak lama; sibuk mengurusi rekap pembelajaran hari ini.

Aku bukannya tidak sabar untuk pulang bersama, bukan.

Tapi payung pink inilah alasannya. Aku harus mengembalikan barang yang sudah dipinjamkan, 'kan? Dan karena itulah, aku masih berdiri di depan gedung sekolah, selama setengah jam. Yang kulihat bukan sosok Haru, justru siswa yang pulang bersama temannya atau pasangan masing-masing. Ah, jangan lupakan kouhai yang menggendong tas gitarnya, atau teman sekelas yang berlari mengelilingi lapangan dengan teman satu klubnya. Yang pasti, sosok yang ditunggu tak kunjung memunculkan batang hidungnya.

Hari ini sudah cukup lelah. Aku hanya ingin berbaring dan ... begitulah. Aku menunduk, menatap tas dengan payung pink yang bertengger manis. Kenapa juga seorang pemuda sepertinya memiliki payung berwarna merah muda? Bisa-bisa ia diejek jika menggunakannya, 'kan? Memikirkannya hanya membuat otakku memanas.

Lagipula cukup aneh melihatnya tiba-tiba muncul kembali dengan pakaian yang sudah diganti. Pantas saja aku harus membaca setengah buku untuk menunggunya mengambil payung. Melihat Haru yang sudah datang, jelas aku mengembalikan buku yang kubaca ke rak dan menghampirinya.

"Kenapa dibalikin?"

"...? Karena ... Senpai sudah datang?"

"Tidak dipinjam? Akina-chan suka dengan bukunya, 'kan?"

"Tidak ada kartu untuk pinjam."

"Minta Ojii-chan buatin kartu. Nanti satu detik langsung whoosh! Jadi."

Aku hanya tersenyum melihatnya yang menirukan suara. Seperti menambahkan efek suara saja pada video animasi. Aku menggeleng kecil dan bersuara, "Kapan-kapan lagi saja."

"Kapan-kapan? Kapan Akina-chan main ke sini lagi?"

Aku baru akan membuka mulut sebelum suara Ojii-chan memotong niatanku. "Haru, sudahi pertanyaanmu. Akina-chan  sudah kedinginan. Coklat hangat dan handuknya mau kau pegang sampai kapan?"

Pertanyaan dari Ojii-chan membuatku tersadar jika Haru datang tidak hanya dengan payung pink yang diapit di lengannya, tapi juga secangkir coklat hangat dan handuk yang menggantung di lengannya. Pemuda itu hanya menampilkan dan menyodorkan coklat hangat padaku.

"Untuk..ku?"

"Bukan. Buat Haru."

Aku merengut kesal dan mengambil cangkir yang disodorkan. "Ini ... kecampur air hujan?"

"Mn." Haru menggeleng pelan dan melanjutkan, "Haru pakai kekuatan ajaib. Jadi cangkirnya ketutup dan gak kena air hujan sama sekali."

Hanya orang bodoh yang percaya kekuatan-kekuatan apapun yang dikatakansenpai nya itu. Tapi melihat cangkir yang berisi coklat hangat normal, membuatku percaya satu hal.

"Terima kasih."

Bukannya mendapatkan jawaban 'sama-sama', kepalaku justru ditutup handuk kecil. Aku hanya terkejut dengan posisi menunduk; menatap cangkir di tanganku. Kurasakan handuk itu mulai bergerak perlahan, mengeringkan rambutku dengan lembut. Pelaku yang melakukannya hanya terkekeh.

"Nanti Akina-chan pulang pakai payung ini, ya."

Kali ini aku yang tidak menjawab. Kepalaku hanya mengangguk dengan mulutku yang membisu, tidak berkomentar apapun terhadap perilaku yang Haru lakukan. Ah, wajahku memanas. Mungkin karena uang coklat hangat.

.

.

In That Spring, I'm Still Waiting for You】
by . andin

.

.

Kejadian itu berlalu dengan cepat dan setelah cangkir berisi coklat hangat itu habis tak tersisa, aku mulai pamit pada Ojii-chan untuk pulang. Hujan tak kunjung berhenti, tapi setidaknya tidak selebat sebelumnya. Sebelum menarik pintu keluar, aku menatap payung pink yang Haru sodorkan.

"Payung Senpai?"

"Bukan, ini punya putri cantik."

"Punya Senpai ...."

"Haru bukan putri cantik. Haru 'kan tampan. Akina-chan yang jadi putri cantik."

Tak menjawab, aku hanya mengambil payung yang disodorkan. "Kenapa pink? Nanti Senpai diejek yang lain, bagaimana?"

"Kenapa diejek?"

"Karena ... pakai payung pink?"

"Tapi pink identik dengan musim semi. Haru suka."

Seharusnya aku tidak perlu menanyakan itu. Itu sudah pasti menjadi hal yang jelas, mengingat namanya. Aku hanya menghela nafas dan kembali menatap arloji. Seharusnya ia bertanya kelas senpai nya itu dan mengembalikannya langsung. Jadi ia tidak perlu menunggu seperti ini.

. . . Bukannya Haru pernah mengatakan kelasnya?

Aku menepuk kening dan mengumpat. Sialan, kenapa aku bisa lupa hal itu. Bahkan, bagaimana bisa aku lupa dengan bertanya pada teman kelasku. Setidaknya seseorang mempunyai banyak kenalan para senpai 'kan? Astaga, bodohnya diriku sendiri. Aku menghela nafas dan berbalik, bergegas kembali masuk ke dalam gedung sekolah.

Baru juga berbalik, hidungku menubruk seseorang, membuatku meringis. Ah, rasanya aku akan mulai bersin-bersin karena tubrukan ini. "M-maaf, aku tidak melihat jalan," ujarku dan dengan sigap menunduk kecil--sembari memegangi hidungku pastinya.

"Akina-chan, sakit?"

Aku mengangkat kepalaku. Seorang pemuda dengan potongan rambut pendek, senpai nya yang sudah ditunggu sedari tadi. Sontak aku kembali menegakkan kepalaku dan merengut kesal. "Senpai kenapa lama sekali?"

"Hidungnya sakit?" Seolah tidak mempedulikan aku yang sudah merajuk seperti anak kecil, Haru justru mengalihkan pembicaraan dan mencubit hidungku perlahan.

"A--"

"Hidung Akina-chan merah."

"Itu karena Senpai cu-- hatsyi-!" Aku langsung memalingkan wajah. Akibat tubrukan dan cubitan Haru di hidungku, kini aku bersin-bersin. Cukup lama, membuat mataku sedikit berair.

"Tuh, 'kan ... Akina-chan sakit. Ayo Haru antar pulang."

"Akina tidak sakit-- hatsyi! Ini karena sen-- hatsyi!" Aku merogoh saku rok dan mencari saputangan milikku.

. . . Kosong?

Mengecek berkali-kali hingga saku seragam. Ah,apa aku meninggalkan saputanganku di rumah?

"Pakai punya Haru aja." Haru menyodorkan sapu tangan putih, membuatku terdiam menatapnya. Mau berpikir yang tidak-tidak--tentang Haru yang membaca pikiran, tapi keadaan terlalu darurat membuatku langsung mengambil saputangan nya dan menyeka air mata dan berganti menahan hidungku.

"Akina kembalikan besok."

Haru hanya menggeleng. "Kapan aja juga boleh. Nanti sekalian main ke perpustakaan Ojii-chan."

Aku mengangguk dan tersenyum kecil. Ya, walau senyumku pasti tak terlihat, mengingat saputangan yang menjuntai menghalangi mulutku. Aku menunduk dan seketika tersadar. "Ah, ini--"

Aku menurunkan tas dan mengambil payung yang semula bertengger manis. Kuulurkan payung tersebut pada Haru dan berujar, "Terima kasih. Akina jadi tidak kehujanan dan terima kasih juga coklat hangatnya."

Lagi-lagi, Haru hanya menggeleng. "Payungnya punya putri cantik, bukan punya Haru."

". . . Akina gak kenal putri cantiknya, jadi kasih ke Senpai saja."

"Tapi Haru tampan, harusnya jadi pangeran tampan. Yang cantik 'kan Akina-chan."

"Iya, ini Senpai yang kem--" Aku terdiam. Kali ini cukup lama untuk memproses apapun yang barusan dikatakan oleh Haru.

"Haru bukan putri cantik. Haru 'kan tampan. Akina-chan yang jadi putri cantik."

Ah, maksudnya...?

"Iya, itu punya Akina-chan. Dari pangeran tertampan." Seolah bangga dengan ucapannya sendiri, Haru membusungkan dadanya dan tersenyum puas. Di lain sisi, aku hanya menunduk dan menatap payung yang masih kugenggam di tangan kananku.

"Untuk ... Akina?"

"Untuk Akina-chan."

"Kenapa?"

"Bunga. Akina-chan bunga pink."

"Huh?"

"Ayo pulang."

Benar-benar. Senpai nya yang satu ini selain suka mengagetkan dan mengatakan hal aneh, juga suka mengalihkan pembicaraan. Yah, biarkan perkataannya tetap menjadi aneh tanpa penjelas. Aku hanya mengangguk dan mengambil kembali tas, mulai berjalan beriringan di samping Haru.

"Akina-chan jadi imut."

"Huh?"

Lihat? Dia benar-benar suka mengagetkan dan membicarakan hal aneh.

"Imut. Biasanya Akina-chan menyebut 'aku', sekarang memanggil nama sendiri."

"Itu ... tertular Senpai."

"Haru gak bawa penyakit aneh, kok."

". . . terserah Senpai." Aku kembali merengut kesal. Biarkan saja senpai nya mengatakan apapun.

"Tapi Akina-chan memang imut dari sananya."

Aku hanya menoleh, menatap Haru yang masih fokus melihat jalan. Angin berhembus kecil, membawa terbang beberapa sakura. Setidaknya aku masih menutup hidungku dengan saputangan milik Haru, menghalangi serbuk bunga yang berhembus. Tapi mengabaikan efek sakit yang dihasilkan, sosok Haru dengan bunga sakura dan musim semi ... entahlah, aku tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya.

"Akina-chan melamun."

Aku tersadar, kala wajah Haru sudah mendekat dan menatapku. Aku menggelengkan kepala dan kembali menatap ke depan. "Maaf."

"Mn, tak apa~ Jangan melamun, nanti yokai datang dan menculik Akina-chan." Ia berujar sembari mempraktikkan wajah konyol. Seolah seseorang yang tengah mencoba menakut-nakuti anak kecil. Aku hanya tertawa kecil melihat tingkah lakunya.

"Akina-chan lebih manis kalau tidak melamun."

Aku hanya menatap jalan, tersenyum miring. "Teman sekelas Akina selalu mengatakan itu."

"Woah, berarti Akina-chan betulan manis."

"Maa ...." Aku mendongak, menatap sakura yang masih berjatuhan. Detik berikutnya, kutatap wajah Haru dan tersenyum. "Akina hanya mencoba menjadi apa yang mereka pikirkan."

....::::**•°✾°•**::::....

Aku mengucap 'tadaima' dengan perlahan. Berpikir tidak akan ada yang menjawab, sebuah suara menginterupsiku yang tengah melepas sepatu.

"Okaeri, sudah pulang?"

Sosok wanita muncul dari ruang tengah, membuatku sedikit terkejut. Aku meletakkan sepatu dan berganti dengan sendal rumah. "Mn, aku pulang."

"Baguslah. Makanan hampir siap. Mandi dan berganti pakaian, ya."

Aku melangkah melewati wanita itu, mengangguk dan berjalan lunglai. "Baik, Okaa-san."

Anak mana yang tidak akan terkejut saat mendapati orang tuanya ada di rumah, jika mereka terbiasa ditinggal sendiri karena pekerjaan. Yah, yang kulakukan setiap hari selalu begitu. Otou-san bekerja pagi. Bahkan sebelum aku berangkat sekolah, ia sudah menghilang.Okaa-san harus mengurus toko kue dan karyawannya hingga malam. Kadang bisa lebih malam jika harus menyiapkan bahan-bahan. Setidaknya aku yakin satu hal, aku bisa meramal obrolan saat makan malam nanti.

Yah lebih baik sekarang menyegarkan diri dan bersiap untuk nanti, 'kan?

Aku selesai membilas diri, beralih berendam di bath up. Setengah wajah bagian bawahku terendam, membuatku menghembuskan nafas dan membuat gelembung-gelembung air. Kulakukan berulang kali sembari ... melamun.

"Ah, aku lupa sapu tangannya."

Seharusnya aku langsung memasukkan sapu tangan milik Haru ke penggilingan. Setidaknya jika tidak kering besok, aku masih bisa mengembalikannya lusa. Yah, nanti akan kulakukan. Sekarang kita pikirkan strategi 'kabur'. Sembari membuat gelembung pastinya.

"Tapi Akina-chan memang imut dari sananya."

Sontak aku tersedak air dan beranjak duduk tegap. Ah, bisa-bisanya suara itu menggema di kepalaku. Terlebih lagi saat aku berniat untuk melamun?! Ukh ... ayolah Akina, singkirkan itu sejenak.

Aku kembali ke posisi awal, menenggelamkan setengah wajahku dan menatap kosong. Bayang-bayang Haru yang mencubit hidungnya hingga memberika payung padaku, terlintas.

Wajahku menghangat.

Menggeleng pelan, aku menyingkirkan bayangan itu. Detik berikutnya, aku dapat merasakan belaian di rambutku. Saat sosok Haru tengah mengeringkan rambutku dengan coklat hangat di tangan.

Wajahku memanas.

Aku kembali duduk tegap, terdiam dan menatap lurus. Cukup linglung, membuatku mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamar mandi. Manik mataku terus bergulir, berakhir mendongak dan menatap langit-langit.

"Airnya terlalu panas."

.

.

.

Aku menyuapkan nasi ke dalam mulut. Makan malam itu cukup sunyi, tidak ada pembicaraan dan hanya suara masing-masing yang sibuk memasukkan makanan ke dalam mulut. Aku juga begitu. Menyuapkan daging dan nasi bergantian. Sesekali menyesap kuah sup yang ada.

Suara sumpit yang diletakkan terdengar, membuatku melirik. Ah, Otou-san telah menyelesaikan makannya. Ini gawat, seharusnya aku makan lebih cepat.

"Bagaimana sekolahmu?" Otou-san membuka percakapan yang jelas di arahkan padaku. Aku hanya mengangguk-anggukan kepala, menelan makananku secara paksa.

"Baik-baik saja."

"Pembelajaranmu?"

"Semua baik."

Hening kembali. Aku menunduk dan sibuk dengan makananku, tidak menatap kedua orang tuaku. Suara sumpit diletakkan terdengar lagi. Kali ini Okaa-san dengan nasi di mangkuknya yang tinggal seperempat.

"Baguslah kalau baik." Okaa-san terdiam beberapa saat sebelum kembali berbicara, "Akina tahu? Hideko-kun masuk ke kampus ternama. Ia masuk kedokteran."

"Hide-kun?"

"Iya. Okaa-san tidak akan memaksa Akina untuk masuk ke sana, kok. Tapi, Okaa-san dan Otou-san sudah bekerja keras. Jadi Akina jangan sia-siakan ini, ya. Ini semua demi masa depan kamu. Kamu anak satu-satunya. Jika Okaa-san dan Otou-san kenapa-napa, Akina bisa bekerja sendiri."

"Setidaknya masuk ke tempat terbaik, bisa membuatmu mudah diterima kerja." Otou-san menambahkan.

Aku hanya diam dan memakan makananku dengan cepat. Tidak, aku tidak merasa mereka salah. Bahkan bisa saja aku berdiskusi dan menyampaikan saran lainnya. Itu hanya dalam anganku. Karena di setiap argumen dan diskusi dengan orang tuaku, aku terlalu takut untuk membuka mulut.

Saat aku membuka mulut, bukan argumen yang keluar. Justru isak tangis.

Aku hanya diam dan mengangguk. Makan malam ini berjalan seperti apa yang kuramalkan.

***

regards, ndin
31082024 - 1900 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro