˗ˏˋ꒰ musim semi pertama ꒱

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Itu hujan pertama di musim semi, bahkan kabar cuaca juga sudah memberitakannya pagi tadi. Sayang aku terlu ceroboh dan meninggalkan payung milikku di rumah. Tidak ada yang bisa kulakukan di depan bangunan sekolah ini. Hanya mengulurkan tangan dan merasakan air yang menetes sedikit demi sedikit, membasahi tanganku perlahan. Hal aneh yang setidaknya bisa kulakukan untuk membunuh waktu menunggu ini.

"Akina-san, kau tidak membawa payung?"

Seorang gadis dengan kuncir kecil terlihat baru keluar dari pintu masuk, beriringan dengan beberapa orang yang berlalu dengan terburu-buru. Aku hanya menyunggingkan sebuah senyuman dan menggeleng kecil sebagai jawaban dari pertanyaan gadis itu.

"Ah, payungku terlalu kecil."

Jika memang payungmu kecil, tidak perlu mengatakannya. "Mn, tak apa. Aku akan menunggu hujannya mereda dan berlari ke konbini terdekat." Aku kembali memaksakan sebuah senyuman.

"Gomenne, Akina-san. Sampai jumpa esok."

Aku melambai dan berjuar 'sampai jumpa lagi' dengan pelan, menatap si gadis yang kini mulai menjauh. Tatapanku tak lepas darinya. Bahkan saat seorang pemuda menghampirinya dan berjalan bersama. Ah, itu adik kelas yang sepertinya pernah kulihat dua minggu yang lalu. Mengantarkan coklat dua minggu yang lalu. Mereka ... sepasang kekasih, kah?

Biarlah, aku memang tidak tahu berita apapun tentang sekolah ini, bahkan teman kelasku sendiri. Bukan, bukan berarti aku seorang penyendiri. Hanya mereka yang tidak pernah menceritakan soal itu padaku. Maa, aku tidak memaksa juga. Bagaimana pun itu kehidupan pribadi mereka.

Mengenyahkan pikiran itu, aku menggeleng perlahan. Satu persatu siswa mulai keluar dan membuka payung mereka. Tidak ada yang senasib dengannya. Mungkin ia memang satu-satunya siswa terceroboh di sini.

"Wah ... langitnya menangis."

Aku sontak menoleh, menyadari seseorang berbicara tepat di sebelahku. Seorang pemuda dengan potongan rambut pendek tengah menggulurkan tangannya, menadahkan air hujan yang menetes. Persis dengan yang kulakukan beberapa saat sebelumnya.

"Aku tidak melihat berita cuaca hari ini. Pantas saja langitnya muram, ternyata sedang bersedih."

Aku terdiam. Entah terdiam karena orang ini membicarakan hal aneh sendiri, atau karena fakta jika bukan diriku yang menjadi satu-satunya siswa ceroboh; yang tidak membawa payung kala ramalan cuaca mengatakan akan hujan.

Aku mengabaikan pemuda itu dan bergeser perlahan, mencoba menjauh. Setidaknya aku berusaha mengamankan diriku sendiri dari orang yang aneh. Aku kembali menatap lurus, pohon-pohon sakura dengan bunganya yang berjatuhan. Entah karena mereka sudah lelah mekar atau karena tidak kuat menahan terpaan hujan yang ... tidak mereda sama sekali.

Pintu masuk tidak lagi diramaikan oleh para siswa yang bergegas pulang, seolah sekolah ini sudah benar-benar kosong. Mungkin ada beberapa siswa yang masih berada di ruang ekstrakulikuler atau lapangan indoor. Tapi satu hal yang pasti. Hanya ada dua insan yang berdiri di depan, menunggu hujan yang tak kunjung berhenti.

"Kau tidak berkomentar apapun, ya?"

Aku terkejut, bahkan nyaris terlonjak. Kutolehkan kepalaku, menatap pemuda yang--semula sibuk menatap hujan--kini menatapku. Netra gelap itu menatapku polos, seolah tidak merasa ada yang salah. Memang tidak ada yang salah, tapi--

"Kau baik-baik saja?" Tangannya kini dikibaskan di depan wajahku, mencoba menarik atensiku kembali dan mengacaukan monolog yang kubuat.

Aku terdiam beberapa saat, mencerna apa yang ada, dan mengangguk perlahan. "Aku ... baik-baik saja."

Mendengar jawabanku, ia menyunggingkan senyum puas. Ia kembali menatap langit dan mengulang perkataannya. "Kau tidak ingin berkomentar apapun?"

Huh? Apa maksudnya?

". . . tentang?"

Dibanding langsung menjawab, ia justru menoleh ke arahku dengan sebuah senyuman. Tangannya menunjuk langit dan dengan santai berujar, "Langitnya muram, ia menangis."

Aku terdiam. Manik mataku bergulir, menatap pemuda di hadapanku yang masih tersenyum dan langit dengan awan kelabu yang menggantung di atas sana secara bergantian. Menyadari--sedikit dari--perkataannya, aku hanya mengangguk. "Mn, langitnya muram."

Jangan katakan apapun. Aku tidak tahu harus memberikan komentar apa. Jadi yang bisa kulakukan hanya membeo, mengulang perkataan sebelumnya. Bukannya mendapatkan percakapan lanjutan darinya, aku justru mendengar kekehan kecil. Aku sontak menoleh dan menatapnya.

Apa? Memang ada yang lucu?

"Lucunya~"

. . . Orang ini tidak membaca isi pikiranku, 'kan? Aku mulai merinding. "Apa yang lucu?"

"Ahaha, langitnya lucu. Kenapa ia bersedih, apa 'musim semi' tidak diberikan kue? Maa, Haru juga akan menangis jika tidak diberikan kue."

Hei, sudah berapa kali aku terdiam dan menatap pemuda ini. Bukan karena terpesona, tapi karena perkataannya sulit untuk kucerna. Kenapa ia mengatakan 'Musim semi' sebanyak dua kali?

Tidak mempedulikan wajahku yang kebingungan, pemuda itu justru mengulurkan tangan dan bermain kembali dengan air hujan. Hening cukup lama, memberikan ruang untuknya bermain air dan untukku yang masih berfikir.

"Siapa namamu?"

Seolah sudah terbiasa dengan pertanyaan mendadak darinya, aku menjawabnya dengan santai, "Nadeshiko ... Akina."

"Nama kita seperti menyatu."

Untuk kesekian kalinya, aku kembali terdiam, menatap pemuda itu. "Menyatu?"

Ia berhenti bermain dengan hujan dan memilih untuk menatapku balik. "Mn, menyatu. Mungkin kita ditakdirkan untuk bersama?"

". . ."

Huh?

"Kau menyatakan perasaan?"

"Menyatakan ramalan."

"Aneh."

"Akina-chan juga aneh."

"Aku-- apa maksudnya aku aneh?" Geram, aku meninggikan suaraku. Bahkan kali ini bukan kepalaku saja yang menoleh, tapi seluruh tubuhku sudah bergerak dan menghadap ke arahnya.

"Mn, Akina-chan aneh. Seperti anak kecil yang imut."

"Chotto, aku bukan anak kecil lagi!"

Hei! Orang macam apa yang baru bertemu sudah mencari keributan, bahkan mengata-ngataiku?! Apa pula maksudnya anak kecil? Ia mengejekku tinngiku? Tinggiku normal. Jika terlihat pendek, itu karena kau yang terlalu tinggi.

Ingin rasanya mengatakan hal itu, tapi yang bisa kulakukan hanya menggerutu di kala tawa renyah darinya terdengar.

"Akina-chan kelas 2, 'kan?"

"Bagaimana kau ta--"

"Haru 'kan peramal."

"Musim semi tidak meramal."

"Bukan 'musim semi'nya, tapi Haru."

"Huh?"

Aku kembali menatapnya penuh tanya. Ia hanya menampilkan cengiran, seolah puas karena berhasil menjahili seseorang.

"Namaku Haru, kelas 3-2."

. . . Ah? Jadi itu alasannya ia mengatakan 'musim semi' sebanyak dua kali? Atau--tunggu. Dia bilang apa tadi? Kelas ....

"Hee?! Kau Senpai ku?!"

Sekali lagi, wajah puas Haru terpampang.

.

.

【In That Spring, I'm Still Waiting for You】
by . andin

.

.

Langkah kami berpacu. Cipratan air yang dihasilkan dari hentakan kaki tak kami gubris. lebih baik mempercepat lari sebelum hujan awet ini bertambah deras. Dengan perkenalan dan rasa terkejutku tadi, Haru tidak mengubrisnya dan justru mengutarakan saran masuk akal yang beresiko.

Menerobos hujan.

Dan dengan bantuan tas--yang dijadikan penutup kepala, kami berlari bersama. Kami memang berlari menjauh dari sekolah, tapi ini masih cukup jauh dari rumah. Dan kesialan terjadi lagi. Hujan yang semula sudah cukup mereda, kini kembali deras, memaksa mereka untuk berteduh.

"Seharusnya mampir ke konbini dulu tadi." Aku mengeluh dan menurunkan tas milikku, mengibaskannya perlahan. Ah, apa buku-buku milikku baik-baik saja, ya?

"Kenapa harus ke konbini?"

"Untuk membeli payung. Memang apa lagi?"

"Payung? Untuk?"

". . . Memang Senpai mau berlari terus di bawah hujan."

"Untuk apa berlari di bawah hujan?" Aku baru saja akan membuka mulut untuk kembali berbalas pertanyaan dari Haru, sebelum pemuda itu langsung memotong dan berujar, "Haru sudah sampai rumah."

. . .

"Bisa untuk tidak memberikan kejutan lainnya padaku, Senpai?"

"Tidak mau. Wajah Akina-chan lucu kalau bingung."

". . ."

Aku mengabaikan ejekan itu dan kembali mengibaskan rokku. Manik mataku bergulir menatap tempat kami berteduh. Ini ... toko? Atau rumah?

Seolah membaca pikiranku, Haru--yang semula mengibas rambutnya untuk menghilangkan air--kembali berujar, "Ini toko buku punya Ojii-chan. Rumah Haru di atas."

Manik mataku ikut menatap apa yang ditunjuk oleh Haru; langit-langit atap tempat kami berteduh. Oh, rumah yang menyatu dengan toko. Teman sekelasnya ada yang memiliki hal serupa. Artinya pintu masuk ke rumahnya harus melewati toko, 'kan?

"Di dalam toko cuman ada rak buku, meja, sama meja tempat Ojii-chan menerima uang. Kalau masuk ke rumah, harus lewat tangga luar." Lagi-lagi Haru berbicara seolah ia baru saja mengintip isi kepalaku.

"Senpai seorang penyihir, ya?"

"Haru seorang peramal."

"Peramal memang bisa membaca pikiran."

"Bisa. Ini Haru lagi membaca pikiran Akina-chan."

". . . entah kenapa menyeramkan."

Tidak ada tawa atau balasan apapun dari Haru. Senpai nya itu justru membuka pintu toko perlahan dan berbalik menatapku. Ia membiarkan lonceng pintu berdering tanpa masuk atau mengucap salam. "Mau masuk liat buku?"

Aku menatap jendela besar yang menampilkan sedikit penampakan di dalamnya; sebagian tidak terlihat akibat sticker tulisan besar di jendela. Hangat dengan nuansa kuno? Setidaknya itu yang terlihat dari jam dinding dan beberapa pajangan yang mampu aku intip.

Sepertinya menarik.

"Tadaima ...!" Haru langsung masuk, tak menunggu jawaban dariku sama sekali.

Adakah yang bisa membuktikan jika anak itu bukan seorang pesulap, penyihir, peramal atau apapun sebutannya. Bisa-bisanya ia terus membaca pikiranku. Memangnya ini dunia novel.

Aku berhenti menggerutu dalam batin dan memutuskan mengekor di belakang Haru dan berujar 'permisi' dengan pelan. Dapat kulihat--dari balik tubuh Haru--rak-rak tua dengan buku yang berjajar rapih. Buku baru hingga buku terlama tersusun dengan apik. Beberapa pajangan unik mengisi bagian kosong di rak, meja, hingga meja kasir--tempat dimana seorang pria tua tengah membenarkan kacamata nya.

"Sudah pulang Haru?" Suara serak--khas orang yang sudah tua--terdengar. Aku masih berdiri di belakang Haru dan menatap orang yang dipanggil Ojii-chan oleh Senpai nya itu. Kemeja coklat bergaris dengan rambut yang sudah memutih.

"Belum pulang. Haru 'kan pergi ke toko bukunya Ojii-chan."

"Hahaha, ada-ada saja kamu."

Aku tidak dapat melihatnya, tapi aku yakin Haru tengah menampilkan sebuah cengiran, tanda puas akan kata-katanya yang aneh. Mencoba membuktikannya, aku sedikit mencondongkan tubuhku dari balik tubuhnya--yang cukup menghalangiku yang bertubuh kecil.

"Oya? Siapa gadis kecil ini?"

Aku linglung, seolah maling yang ketahuan akan mencuri. Dengan gagap, aku berbicara, "A-ah ... aku ... Nadeshiko Akina, kouhai Haru-senpai." Aku membungkuk dan memperkenalkan diri. Ah, untuk apa aku bersikap gugup.Memangnya aku akan mencuri sesuatu? Buku? Pajangan? ... atau cucuny--

"Ah ... teman sekolah, teman sekolah. Senang melihat Haru membawa temannya kemari." Pria tua itu terlihat tersenyum dan kembali berujar, "Silahkan melihat-lihat buku di sini. Walau kuno, mereka masih bagus. Akina-chan bisa meminjamnya."

"Eh? Ini bukan toko buku?"

Kakek itu justru menurunkan kacamatanya dan menatap Haru. Yang ditatap hanya memasang wajah tak bersalah dan berceletuk ria, "Haru dan Akina-chan menerobos hujan. Hujannya tidak mau berhenti, langitnya terlalu sedih. Haru mau ambil payung buat Akina-chan pulang."

Berkata demikian, Haru langsung membuka kembali pintu toko dan kabur keluar, meninggalkan aku dan kakeknya yang menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan cucu satunya itu.

. . . kenapa aku ditinggal?!

Merasa canggung, aku hanya berdiri diam. Sementara kakek itu sudah membetulkan kembali kacamatanya dan kembali membaca buku tebal yang sedari tadi menganggur di mejanya. Aku hanya memainkan jemari, melihat sekitar. Tubuhku sedikit menggigil, akibat seragam basah yang masih kupakai.

"Akina-chan?"

Aku menoleh. Sepertinya si kakek sadar akan tingkah lakuku yang gugup. Sebuah senyuman tertampil di wajahnya yang sudah keriput. Suaranya kembali terdengar. "Di sudut ruangan ada penghangat. Akina-chan bisa kesana sambil melihat-lihat buku."

Kakek ini betulan peka.

. . . atau membaca pikiran juga?

"Ah, terima kasih." Aku membungkuk dan melangkah perlahan. Belum menyusuri langkahku yang kelima, namaku kembali dipanggil.

"Akina-chan." Aku berdiam di tempat, berbalik, dan menatap si kakek. Ia berdeham dan kembali berbicara, "Akina-chan betulan hanya teman dengan Haru?"

. . .Apa ini?

Aku mengangguk kecil. "Kami baru bertemu tadi, Ojii--" Aku terlihat ragu untuk langsung memanggilnya sebagaimana Haru memanggilnya. Dan seolah sadar akan hal itu--untuk kedua kalinya--si kakek berujar dengan tawa.

"Panggil Ojii-chan saja,seperti Haru."

"Mn, kami baru bertemu tadi."

"Begitu, begitu ...."

Merasa tidak ada lagi yang ingin dibicarakan oleh Ojii-chan--terlihat dari bagaimana ia kembali sibuk dengan bukunya, aku berbalik dan menjelajahi rak secara perlahan.

"Bunga-bunga bermekaran di musim semi. Bagus, bagus."

Aku sedikit menoleh kala mendengar suara Ojii-chan dan tawanya. Ah, mungkin buku yang dibacanya sangat bagus, sehingga ia berkomentar seperti itu.

....::::**•°✾°•**::::....

regards, ndin
31082024 - 1858 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro