21. Alif Membakar Sesuatu di dalam Kepalanya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Maaf.” Keesokan harinya, Alif berbicara, terus berbaring. “Aku tidak seharusnya menyembunyikan segalanya dari kalian.”
Alif mengalihkan pandangannya dari kami. Warna birunya yang tak kunjung hilang sejak kedatangan kami, mampu mengalahkan kilauan di sekitar kepalanya.

Sejak kejadian yang mengungkapkan beberapa fakta itu, kecemasanku semakin bertambah. Kali ini, tidak ada yang mampu menghilangkannya. Sudah jelas. Alif sakit, dan itu bukan demam. Masalah jantung, dan itu bukan penyakit ringan. Semalam aku tidak bisa tidur karena memikirkannya, memberanikan diri buka laman internet. Hingga esoknya aku mendapat kantung mata super jelek setelah tahu apa itu penyakit katup jantung. Sementara Azul, dia lebih banyak melamun sampai aku harus menuntunnya menyeberangi jalan raya.

Kutatap Alif yang sedang menarik selimutnya sampai dagu, dia melanjutkan, “Tapi, Kana .... Saat menyadari sesuatu, aku terpaksa melakukannya.” Alif menatapku sepenuhnya. “Aku, sih, berharap kelap-kelip yang ada di kepalaku ini karena kita berjodoh. Tapi aku tahu alasannya setelah kamu tidak menyadari kebohonganku.”

Aku berusaha mencerna kalimatnya. Sampai beberapa saat kemudian aku tergemap.

“Saat itu aku kira kamu pura-pura tidak tahu. Hingga entah ke berapa kalinya aku berbohong, aku yakin sekali kamu tidak mengetahuinya. Jadi ... aku menyimpulkan bahwa ...”–Alif menunjuk sisi kepalanya–”... kilauan ini ada karena aku bisa menyembunyikan perasaanku darimu.”

Alif mengakhiri pengakuannya dengan senyuman, sementara aku masih terdiam, masih terkejut mengetahui satu fakta lagi darinya. Sebenarnya, berapa banyak rahasia yang dia sembunyikan? Hingga sesuatu memukul dadaku keras sampai aku bisa merasakan mataku memanas.

Alif panik melihatku nyaris menangis. “Eh? Kana? A–aku minta maaf. Aku ... aku seharusnya memberitahumu jauh-jauh hari tapi—”

“Jika kamu bisa menyembunyikannya dariku. Apa artinya ... kamu juga bisa menyembunyikan warna—” Mulutku tidak sanggup untuk mengatakannya. Terlalu sakit sampai rasanya aku ingin menangis keras.

Azul sepertinya tahu apa yang kumaksud. Dengan cepat, dia menyentuh bahuku, menggoyangkannya pelan. Bahkan aku tidak menyadari saat tahu-tahu Alif sudah duduk dekat denganku, dan tangannya terjulur untuk mengusap air mata yang ternyata telah menuruni pipiku. Seharusnya aku menepis tangannya, tetapi rasa takut akan kehilangannya telah membuatku ingin terus menatap cowok itu.

“Entahlah.” Alif menjawab, dan aku sama sekali tidak bisa tenang sampai air mataku mengalir deras. Alif panik sampai memukul Azul. “E–eh ...? Maksudku .... Aku, kan, nggak tahu kapan aku mati.”

Aku semakin terisak mendengar kata menakutkan darinya.

“Kamu ... kamu nggak lihat warna hitam, 'kan? Itu artinya aku baik-baik saja. Aku nggak bisa menyembunyikannya darimu karena aku nggak tahu.” Alif masih berusaha menghilangkan air mataku dengan tangannya. Di situasi normal, aku bisa saja memukul tangannya keras.

“Berarti, kalau kamu tahu, kamu akan menyembunyikannya,” isakku.

Alif tampak menyadari kesalahannya. “Tidak. Tidak akan.” Aku dipaksa menatap mata hitamnya. Alif melanjutkan, “Aku tidak akan menyembunyikannya lagi. Aku berjanji.”

Setelah apa yang ia lakukan selama ini, bisakah aku memercayainya? Aku menepis tangan Alif di pipiku, enggan menatap wajahnya. Saat aku menoleh ke samping, Azul masih tampak tertegun, terus menatap ke arahku seolah-olah dia akan memukul wajahku kapan saja.

Lengang. Aku sudah tidak menangis lagi, dan Azul sudah tidak menatapku. Hingga sesaat kemudian, kudengar Alif mengembuskan napas pelan, lalu berkata, “Sepertinya kalian harus mengetahui ini.” Aku dan Azul menoleh padanya secara bersamaan. “Aku memutuskan untuk melakukan operasi.”

Aku terkesiap, tetapi hanya sesaat.

Cowok itu tersenyum sendu. Fakta bahwa dia takut akan operasi tidak bisa disembunyikan. Ekspresi wajahnya jelas menunjukkan bahwa dia terpaksa menerima keputusan dokter. Tanpa sadar pandanganku tertuju pada dada Alif, diselingi bayang-bayang artikel yang kubaca semalam. Aku meringis, menyadari kesalahanku, sampai Alif kembali menyentuh wajahku.

“Katanya, aku nggak perlu takut.” Alif sepertinya tahu apa yang tengah kupikirkan. Dia tersenyum lembut, berusaha untuk menghiburku padahal dia sendiri butuh hiburan. “Persentase keberhasilannya sekitar .... Pokoknya besar. Jadi, aku punya kesempatan buat nikah sama kamu—aduh!”

Azul memukul keras tangan Alif sampai terlepas dari wajahku. Cowok itu bertanya, “Kapan operasinya dilakukan?”

Belum sempat menghilangkan kedongkolannya atas serangan tiba-tiba dan hilang kesempatannya mengelus-elus pipiku, mau tak mau Alif menjawab dengan nada kesal, “Empat hari. Tolong jangan cemburu! Bikin kesal saja.”

“Aku bukannya cemburu. Tapi menjijikkan,” timpal Azul, sementara aku hanya menonton ketidakjelasan ini sembari menghilangkan air mata di pipi.

“Nggak usah didengar, kalau gitu,” gerutu Alif.
Azul menghela napas panjang, berusaha untuk sabar. Hingga pertanyaan selanjutnya berhasil membuat suasana menjadi lengang. “Bagaimana dengan mamamu?”

Alif membuang pandangannya ke luar jendela, meremas selimut, dan aku tahu dia sedang menahan amarahnya. Entah apa yang dibicarakan ibu dan anak hari itu, tetapi aku tahu bukan hal yang menyenangkan bagi Alif sampai cowok itu mengalami sesak napas. Sekarang, terlihat jelas bahwa Alif membenci mamanya.

“Aku sudah bukan menjadi urusannya lagi,” bisik Alif.

Suasananya kembali hening. Azul tampak menyesali pertanyaannya.
Namun, Alif punya caranya. Dia tersenyum, menghilangkan perasaan marah akan mamanya dengan mudah seolah menyentil sebutir nasi dari atas meja. “Pokoknya, kalian harus datang ke sini.”

“Kami memang selalu datang ke sini, 'kan?” sela Azul.

Alif berdecak. “Maksudku, saat sebelum operasi.”

“Tentu saja.” Aku menimpali.
Alif berkata seperti itu hanya untuk menenangkan dirinya sendiri. Tentu kami akan datang biarpun pada tengah malam. Mama juga pasti mengizinkan. Kurang dari satu minggu bukanlah waktu yang lama bagi Alif. Dia butuh banyak persiapan agar rasa takutnya berkurang.

“Eh, sebaiknya jangan, deh.”
Sontak kami mengerutkan alis. Alif masih tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya, tetapi dia dengan usaha keras menyembunyikannya dariku. Atau ... bukan rasa takut akan operasi yang berusaha ia sembunyikan ....

“Aku justru nggak bakalan tenang kalau kalian datang.” Alif menatapku, lalu tersenyum sampai sedikit warna kuningnya terlihat.
Aku tahu apa yang ia maksud. Itu permintaan agar aku tidak melihat sesuatu yang tak diinginkan, hingga aku ingin menangis kembali.

Lantas, aku menggeleng. Aku memang takut jika warna hitam muncul padanya saat sebelum operasi dimulai. Namun, aku tidak mau dilanda kecemasan di rumah sementara Alif berjuang di meja operasi.

Azul menyentuh bahuku, dan aku berhasil menahan emosi. “Kita juga nggak bakalan tenang sebelum lihat kamu keluar dari rumah sakit. Maka dari itu, jangan penuhi pikiran kalian dengan hal negatif.”

Aku menoleh pada Azul, dia memberiku tatapan membaranya, memberitahuku bahwa pikiran burukku bisa membuatku terjebak dalam kecemasan.

Dia benar. Akhir-akhir ini pikiranku dipenuhi hal negatif sampai-sampai aku kembali dilanda insomnia dan susah mengendalikan emosi. Mama pernah bilang untuk tidak berpikir macam-macam di saat kondisi seperti ini, tetapi aku tidak bisa menghilangkannya begitu saja seperti membuang sampah.

Bahkan, setelah Azul berkata seperti itu pun, dan seberusaha apapun aku menghilangkannya, pikiran buruk ini tidak kunjung hilang. Namun, tidak dengan Alif. Dia bukannya takut seperti yang kupikirkan. Dia hanya takut akan rasa sakitnya, padahal aku yakin sekali dokter sudah berkali-kali mengatakan bahwa ia tidak akan merasa sakit saat operasi.

“Mau buat janji?” Akhirnya aku berbicara setelah beberapa menit lengang.
Alif memperhatikan. Sebelum aku melanjutkan, dia berceletuk, “Jadi pacar kamu kalau aku keluar dari rumah sakit?”

“Bukan.” Kudengar Alif mengeluh. “Aku akan memberitahumu setelah kamu keluar rumah sakit. Itu janjinya.”

Alif menautkan alisnya. Sebenarnya aku tidak tahu apa yang hendak kukatakan. Aku asal bicara saja untuk menenangkan Alif dan juga diriku sendiri. Kendati tidak sepenuhnya berhasil padaku, tetapi sepertinya Alif terpengaruh.

“Kalaupun kamu nggak buat janji, aku pasti akan keluar rumah sakit. Tapi setelah mendengarnya, aku jadi nggak sabar ingin operasi. Kita kencan, 'kan? Aku inginnya begitu.”

Aku tidak bisa berkata-kata lantaran warna kuning pada Alif begitu membara sampai menyakiti mata.

✨✨✨✨✨

Perasaanku sudah lebih tenang setelah melihat semangat Alif. Azul memintaku untuk tidak memikirkan hal-hal buruk lagi, dan aku berjanji untuk melakukannya kendati aku tidak yakin dalam beberapa jam ke depan aku bisa bertahan. Hanya saja, saat aku sampai di rumah, aku dihadapi mobil Tante Wina di halaman rumah, dan wanita itu sudah menghadangku di depan pintu, menghambat rencanaku untuk kabur.

Jadilah aku harus bersabar mendengar ocehan Tante Wina yang tidak ada habisnya, sampai sebuah kalimatnya mampu membuatku tergeragap dalam emosi.

Alih-alih aku yang marah, tetapi kakak lebih dulu menggeram, “Kana bukan anak Tante.”
Tante Wina tampak tergemap, dan aku bisa melihat tangannya menggenggam erat pena yang ia dapat entah dari mana. “Tante memberikan jalan terbaik untuk keluarga Tante, apa salahnya?”

“Bukan jalan yang baik kalau Tante memaksanya.” Kakak mendesis. Sesaat aku mengira dia akan menendang meja karena emosinya meluap-luap, dan hebatnya dia bisa mengendalikannya.

Tante Wina mengatupkan rahangnya. Sebelum dia bisa membalasnya, kakak kembali berkata, “Kana juga punya tujuan setelah lulus. Kalau Tante menginginkan seseorang untuk menjadi seperti Tante, adopsi saja anak yang pintar. Jangan memaksa seperti itu.”

Hampir seketika itu terdengar suara krak, tahu-tahu Tante Wina berdiri tegak sembari membanting patahan pena ke lantai. Wanita itu memelotot pada kakak sebelum beralih padaku dan Mama. “Alasan Tante memilihmu karena Tante percaya. Tante harap kamu menerimanya. Aku permisi, Kak. Didik anakmu agar lebih sopan.” Kemudian pergi menuju mobilnya sebelum kakak bisa menyemburnya dengan kata-kata kasar.

Setelah melihat mobil hitam itu meninggalkan rumah, tiba-tiba saja aku dihadapi wajah galak kakak, jelas menungguku berbicara sesuatu. “E−eh ...? Kakak, kan, tahu aku nggak suka Tante Wina. Jadi, jangan menatapku seperti itu. Bikin takut saja.”

Kakak menghela napas panjang, menyugar rambutnya dan mengenyakkan diri di sofa. “Bisa-bisanya aku punya tante nggak sopan kayak dia.”

“Bagaimana keadaan Alif?” Mama mengubah topik pembicaraan, atau mama tidak tahan dengan keluhan Kakak yang tak ada hentinya.

“Alif bilang, beberapa hari lagi dia akan operasi,” jawabku.

Mama tersenyum, mengelus pundakku. “Baguslah. Itu jalan terbaik.” Sepertinya mama tahu kekhawatiranku. “Mama punya teman seperti Alif. Dokter menyarankannya untuk melakukan operasi. Dan sekarang, dia sudah bisa kerja berat. Kamu nggak perlu khawatir seperti itu.”

“Alif itu pacarmu, ya?” Tiba-tiba saja kakak berceletuk, tetapi aku tak menghiraukannya dan pergi ke kamar setelah pamit pada Mama.
Aku memang sudah tak mengkhawatirkan Alif. Aku senang dengan keputusannya, sehingga kami bisa bersekolah lagi seperti biasanya. Bahkan aku pernah sekali membayangkan liburan bersama mereka berdua.

Bagaimana jadinya jika saat itu Alif tidak menyebalkan, menyerah saat aku bersikap galak dan mengusirnya secara terang-terangan. Aku tidak akan punya teman, dan hal yang lebih pentingnya: hidupku tidak akan berubah—terus menjadi kesenangan para perundung, dan mungkin saja ... di semester genap aku sudah pindah sekolah, ikut Tante Wina ke Bandung.

Sekarang aku di sini, mengkhawatirkan temanku, lalu tertawa kecil saat membaca pesan dari mereka berdua.
Aku sudah punya warna, seperti namaku .

✨✨✨✨✨✨

Empat hari sudah datang. Alif sudah lebih tenang berkat kebijakan Azul dan kunjungan kami di setiap harinya, juga motivasi dariku akan janji yang masih kupikirkan sampai saat ini. Aku sempat mengira dia menjadi gila lantaran terus tersenyum saat menatapku, kemudian dia mengatakan sesuatu sampai membuatku sedikit kesal.

“Aku bakalan kencan dengan Kana.” Warna kuningnya bahkan mengalahkan sinar mentari yang masuk lewat jendela. “Eh! Bagaimana kalau janjinya bukan hanya kencan?”

Aku mendengkus keras, disusul dengan Azul. “Aku bahkan belum memberi tahumu tentang janjinya. Masih rahasia,” kataku.

Alif pura-pura kecewa. “Yah .... Pokoknya kencan itu sudah pasti. Jangan menatapku seperti itu, Jul. Aku tahu kamu juga suka sama Kana.”

Aku langsung melotot pada Azul, dan cowok itu langsung menyanggah, “Alif itu katarak. Asal menyimpulkan.” Aku menghela napas lega karena Azul tidak benar-benar menaruh perasaan padaku.

Kemudian ketukan dari pintu menghentikan perbincangan menyenangkan kami. Dokter datang bersama Papanya Alif, menandakan bahwa operasi akan segera dilaksanakan beberapa jam kemudian.

Sebelum kami keluar, Alif tersenyum lebar bersama warna kuningnya yang tak kunjung hilang, sedikit menjauhkan kekhawatiran pada kami.

Lantaran operasinya dimulai beberapa jam lagi, dan kami tidak diperbolehkan menjenguk selain papanya, Azul memutuskan untuk membawaku bersenang-senang. Mengusir hal-hal yang buruk di dalam benak kami, katanya.

Cowok itu membawaku ke taman kota, ditraktir es krim (dengan paksa), mengobrol tentang rencana liburan, sampai ketidaksengajaan bertemu dengan Janti membuat Azul menggerutu keras dan hendak membawaku pergi. Namun, Janti sudah menyapa kami lebih dulu, dan aku dengan senang menyuruh Janti ikut bergabung.

“Aku ke toilet—”

“Nggak usah bikin alasan.” Aku sudah lebih dulu menahan tangannya, sampai Azul mau tak mau harus bertahan selama belasan menit di tengah obrolan cewek.

Janti sepertinya tahu ketidaknyamanan Azul. Aku bisa melihatnya curi-curi pandang ke cowok di sebelahku yang bermuka masam, kemudian Janti akan menghela napasnya pelan.

“Bagaimana kabar Alif?” Janti bertanya, kembali melirik Azul, sampai aku gemas sendiri melihatnya.

“Dia sudah lebih baik,” jawabku. Aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya mengingat Alif berusaha merahasiakannya pada kami berdua.

Janti tersenyum sembari mengangguk. “Syukurlah.” Dia kembali melirik Azul. “Omong-omong ... aku punya salam dari Maliqa. Dia bilang, maaf.”

Maaf?” Azul bersuara setelah sepuluh menit terdiam dengan muka masam. “Bilang padanya, kalau mau minta maaf, datang sendiri dan ngomong langsung.”

“E−eh ... ya .... Aku akan sampaikan.”

“Jangan cuma ngomong.”

“I−iya, kok. Aku hubungi sekarang, nih.”

Dalam kondisi yang berbeda, aku pasti sudah tertawa, tetapi melihat Janti yang sungguhan mengetik di ponselnya, aku segera menghentikannya. “Jangan sekarang. Maksudku ... aku akan memaafkannya saat dia memintanya di sekolah. Ini, kan, hari libur.” Padahal aku tidak mau bertemu Maliqa di hari libur, lebih-lebih lagi Alif masih berada di rumah sakit.

Janti memasukkan ponselnya ke saku baju, kemudian berdiri. “Baiklah. Aku pergi dulu, ya. Sampai nanti.”

Azul menghela napas lega setelah kepergian Janti, seolah-olah dia terlepas dari beban berat di pundaknya.

“Kenapa, sih? Kamu nggak suka karena dia menyukaimu?” tanyaku, tidak bermaksud menggoda, tetapi Azul memelotot sampai aku mengira matanya akan copot.

“Nggak suka saja. Kamu nggak perlu tahu alasannya.” Azul berkata ketus.
Aku menyerah. “Oke, deh.”

Tidak menyinggung lagi soal Janti, sampai akhirnya kami memutari taman kota, sesekali duduk dan mencamil sesuatu dari traktiran Azul, kemudian kembali berjalan, sampai akhirnya aku yang mentraktirnya makan di kedai terdekat. Tidak terasa, tahu-tahu kami dapat informasi dari Papanya Alif bahwa operasinya akan segera dimulai.

Saat sampai di rumah sakit, kami diberi kesempatan untuk mengobrol dengan Alif selama beberapa menit. Ketakutan jelas terlihat dari wajah cowok itu, tetapi dia kembali meyakinkan diri—mungkin dengan bayang-bayang kencan bersamaku—sampai sedikit warna kuning muncul di sekitar kepalanya.

“Kok, aku deg-degan, ya? Kamu, sih, menatapku terus.” Alif menyeringai. Dalam kondisi yang berbeda, aku pasti sudah menimpuknya dengan sesuatu, lebih-lebih lagi di sebelahku ada papanya. Namun, pria itu berpura-pura tidak dengar, mengalihkan pandangannya pada tembok sembari bergumam tidak jelas.

“Tiga permintaan,” kataku pada akhirnya, berusaha tak menghiraukan keberadaan Papanya Alif.

Alif menautkan alisnya, bingung, lalu bertanya, “Tiga? Sekarang? Kalau begitu, aku mau dipeluk kamu—”

Papanya Alif pura-pura batuk.

“Setelah kamu keluar dari rumah sakit. Aku bakalan mewujudkan tiga permintaanmu.” Aku menjelaskan. Sebelum Alif mengeluarkan kalimat yang mampu membuatku kesal, aku melanjutkan, “Bukan jadi pacar, atau bahkan peluk.”

Alif sempat mengeluh, tetapi pada akhirnya dia tersenyum lebar dan mengangkat ibu jarinya. “Sip.”

Bertepatan dengan itu, dokter datang untuk mempersiapkan operasi. Aku dan Azul meninggalkan Alif, sementara papanya menemani.

Namun, sebelum pintunya tertutup, jantungku meloncat sampai menggedor rongga dada, disusul dengan tangan dan kakiku yang mendadak lemas. Hal mengerikan yang terulang lagi, kembali membuatku membenci diri sendiri. Kendati aku tak tahu dengan apa yang kulihat, tetapi aku tahu bahwa, itu bukan hal yang baik. Seberusaha apapun aku meyakinkan diri sendiri dengan hal positif, kenyataan bahwa warna pekat yang mengitari kepala Alif telah membuatku begitu takut.
Ingin rasanya aku menangis, berlari ke arah Alif yang tengah berbaring mendengarkan dokter. Namun, kakiku tidak bisa digerakkan, dan aku tak mau membuat Azul khawatir.

“Kana?”

Aku gagal. Azul sudah khawatir. Aku bisa mendengar desakan dari nada suaranya.

“Aku—” Suaraku tercekat di tenggorokan.
Aku melihat warna abu-abu. Aku tak tahu apa artinya karena baru pertama kali kulihat. Yang pasti, itu bukan hal baik. Berapa kali pun aku menenangkan diri, mengusir pikiran buruk, tetapi warna yang tak kunjung hilang itu telah membuatku takut setengah mati.

“Jangan bilang kamu melihat ....” Azul tidak bisa meneruskan kata-katanya. Dia sama takutnya denganku sampai bisa kurasakan tangannya bergetar hebat di bahuku.

Aku menggeleng, mencoba untuk tenang dan menutup pintu perlahan. Alif tidak terlihat lagi, tetapi warna abu-abu itu bisa menembus pintu hingga rasa takutku sampai pada puncaknya.
Belum pernah aku melihat hal seperti ini. Apa karena ... Alif itu berbeda, oleh sebab itu warnanya juga berbeda—

Aku lantas menggeleng. Berusaha mencari alasan lain yang mampu membuatku lebih tenang. Namun, aku sudah terjebak dalam rasa takut sampai mataku memanas.

“Kana? Hey! Jangan membuatku—”

Pintu terbuka. Kuusap setitik air mataku agar tidak dilihat Alif. Aku berdiri dan menjawab, “Bukan apa-apa.” Kemudian mengikuti perawat yang mendorong kursi roda Alif menuju ruang operasi.[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro