22. Alif Berpamitan dengan Bintang-bintangnya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Masih belum hilang, dan ... tidak berubah. Seberusaha apapun aku untuk tenang, tetap tidak bisa. Azul bahkan hampir mencakarku karena aku hanya diam saja saat ditanya. Aku ... hanya mencoba berpikir positif. Abu-abu itu hanya karena Alif dibius total dan dalam proses pembedahan. Oke, itu pemilihan kata yang semakin membuatku ingin menangis.

“... sebaiknya kalian pulang saja.” Papanya Alif berbicara setelah setengah jam hening, atau aku yang terlalu sibuk dengan benakku sampai-sampai tidak mendengarkan sekitar. “Operasinya memakan waktu lama. Bisa dua atau empat jam lebih. Kalian nggak mau pegal-pegal, 'kan?” Dia mengakhiri kalimatnya dengan kekehan yang terdengar seperti paksaan.

Sejenak aku berpikir. Aku tidak masalah menunggu sampai selama itu. Namun, warna abu-abu itu membuatku takut, terus membubung layaknya seseorang telah membakar sampah di dalam sana.

“Bagaimana dengan Om?” Azul bertanya.
Papanya Alif tersenyum. “Om nggak bakalan tenang kalau pergi. Kalian pulang saja. Istirahat. Kalau sudah selesai, nanti Om hubungi.”

Inginnya aku menolak, tetapi Azul lebih dulu berkata, “Baiklah.” Lalu menyeretku pergi.
Kami tidak benar-benar pulang. Azul membawaku ke taman rumah sakit, duduk di bawah pohon dengan paksaan. Dia masih menatapku tajam, ingin mencakar jika aku tidak menjawab pertanyaannya kali ini.

“Apa yang kamu lihat pada Alif?” Nada suaranya jelas menunjukkan bahwa dia takut dan marah secara bersamaan.

Aku tak langsung menjawab. Sebenarnya, aku tak tahu harus memulai dari mana.

“Kana!” Azul mendesak, dan aku sekali lagi ingin menangis, bukan karena wajah galak dan hujan artifisialnya.

“Aku nggak tahu,” kataku pada akhirnya. Azul tampak tidak mengerti, jadi aku melanjutkan, “Warnanya abu-abu. Aku belum pernah melihat itu sebelumnya.”

Cowok itu terdiam bersama warna hijau tua di sekitar kepalanya yang tak pernah hilang sejak sejam yang lalu. “Itu ... mungkin karena dia sakit.”

Aku juga terus mempertahankan pemikiran seperti itu, tetapi ketakutan dalam diriku selalu menggantikannya dengan hal-hal mengerikan. Alif pernah bilang, persentase keberhasilannya besar, bisa mencapai sembilan puluh delapan persen. Aku bisa lebih tenang karena itu. Namun, sekarang aku sudah tidak bisa lagi mempertahankan emosiku dan akhirnya menangis.

“Abu-abunya semakin pekat.” Aku mulai terisak, sampai akhirnya rasa sesak dalam dadaku memuntahkan berbagai emosi dalam bentuk kalimat. “Awalnya terang. Kamu tahu? Seperti membakar kayu. Semakin besar apinya, semakin pekat asapnya. Aku—”

Kata-kataku tertahan di tenggorokan sampai rasanya aku ingin berteriak saja. Bahkan saat Azul menarikku dalam pelukannya, aku hanya bisa menangis sampai membasahi bajunya.

“Aku ... aku takut warna yang kulihat itu permulaan dari hitam.” Bahuku berguncang, dan aku bahkan merasakan tangan Azul di punggungku bergetar. Dia tidak mengatakan apa-apa, tetapi aku tahu dia juga ingin menangis.

Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar, dibanding diriku yang baru mengenal Alif beberapa bulan ini. Azul pasti yang lebih masygul dariku setelah mendengarnya. Bahkan aku bisa mendengar debar ketakutan dari dadanya, seolah-olah jantungnya akan memukul wajahku. Namun, Azul punya pengendalian diri yang cukup bagus untuk tidak ikut menangis bersamaku.

“Kamu bilang, Alif itu berbeda, 'kan? Banyak hal yang tidak terduga darinya, begitu juga dengan warna yang kamu lihat. Saat kita kembali nanti, dia pasti sudah masuk ICU untuk perawatan. Kamu nggak perlu—” Azul seperti menelan sesuatu dengan susah payah, hingga sesaat kemudian dia bisa mengendalikan diri. “Alif pasti baik-baik saja.”

Hatiku terus mengucapkan kalimat tersebut, berusaha mengalahkan pikiran burukku. Azul benar. Banyak hal yang tak terduga dari Alif. Aku tidak boleh menyimpulkan warna abu-abu itu dengan hal-hal buruk, bisa jadi itu akhir dari penyakitnya sebelum Alif benar-benar sembuh.

Berkat Azul, aku jadi sedikit lebih tenang, lalu menarik diri dari cowok itu sampai aku merasa bersalah telah membuat bajunya basah.

“Kamu menangis.” Aku berceletuk saat melihat setitik air mata hampir menuruni pipinya.

Azul segera menghapusnya dan berkata, “Gara-gara kamu. Aku jadi ikut nangis.” Kemudian dia menatap bajunya yang basah, dan aku kembali dibuat merasa bersalah. Namun, Azul berusaha tak mengacuhkan ketidaknyamanan akan apa yang telah aku tinggalkan di bajunya, dan menatapku. “Sudah lebih baik, 'kan?”

Aku mengangguk sembari menghapus sisa air mata dan ingusku dengan lengan baju.

“Sebaiknya kamu pulang. Nanti aku hubungi kalau Alif sudah selesai,” kata Azul.

“Kamu bagaimana?”

Azul tampak ragu-ragu. “Ya ... pulang. Aku harus ganti baju.”

Dia membuatku semakin merasa bersalah. “Eh .... Maaf soal itu.”

Azul mengibaskan tangannya. “Om bilang, operasinya sampai empat jam lebih, 'kan? Aku mau istirahat—”

“Aku nggak mau pulang.” Aku berkata tegas.

“Kamu mau di sini terus? Aku, sih, maunya pulang.” Azul berbohong. Dia sebenarnya tidak ingin pulang.

Hingga kalimat selanjutnya dariku membuat Azul menautkan alisnya. “Aku ikut kamu.”

Ketakutan masih menggerayangiku, dan aku tidak mau pulang ke rumah atau aku bisa menangis di kamar sampai berjam-jam. Jadi, ikut ke rumah Azul adalah solusinya, lebih-lebih lagi bisa bertemu dengan kedua adiknya.

✨✨✨✨✨

Ibunya Azul tahu. Wanita itu hanya menyuguhkan banyak makanan padaku, menyeduh teh di hari yang mendung akhir-akhir ini, dan mengobrol singkat tanpa menyinggung Alif. Setelah itu, aku ikut menyibukkan diri dengan lego bersama kedua gadis kecil yang selalu heboh. Azul hanya berbaring di sofa, menonton, tidak berani di kamar sendirian.

Perasaanku bahkan sudah lebih baik dari sebelumnya. Azul juga sepertinya sama, walau dia tidak bisa tidur padahal matanya terlihat sayu. Jelas dia tidak ingin bermimpi buruk. Untuk menghindarinya, dia lebih memilih membuka ponselnya, bermain sesuatu. Hingga sesaat kemudian dia memanggilku.

“Tiba-tiba aku dapat pesan dari Maliqa.” Azul tampak kesal karena itu, terus menggerutu tentang Maliqa yang berani-beraninya mengirim pesan secara pribadi.

Selagi tanganku menyusun bentuk tak beraturan dari lego, aku mendengarkan Azul membacakan pesannya. “Dia memaksa minta nomor telepon kamu. Dia mau minta maaf atau menagih hutang? Kana, kalau dia minta maaf, jangan langsung diterima. Tunggu sampai keseratus kali kalaupun kamu nggak lihat dia berbohong.”

Kendati Azul tidak berkata seperti itu pun, aku akan melakukannya. Maliqa sudah banyak membuatku kesal, lebih-lebih lagi rambutku sampai harus dipotong. Aku tidak akan memaafkannya semudah itu seperti memakan nasi.

“Zul.” Tiba-tiba saja aku ingin menanyakan sesuatu padanya. Cowok itu menanggapiku dengan gumaman tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel. “Kenapa kamu mau berteman denganku, padahal kamu sudah punya banyak teman?”

Azul menatapku sepenuhnya, lalu mengubah posisinya menjadi duduk. “Bukannya aku sudah pernah menjawab pertanyaan seperti itu, ya?”

Benarkah? Aku tidak ingat.

“Eh, kayaknya belum, deh—tapi sudah. Atau belum? Sudah?” Azul bingung, tampak berpikir, menghindari tatapanku, tetapi akhirnya dia menjawab, “Kamu sendirian. Aku nggak habis pikir dengan cewek-cewek itu. Ya ... pada awalnya aku terpengaruh oleh mereka, sih. Tapi setelah berkali-kali mencoba dekat, kamu nggak seburuk yang mereka kira. Eh, jangan marah, ya.”

Aku mengangkat alis. Hingga perkataan selanjutnya dari Azul membuatku hampir merusak bentuk lego yang kususun. “Yusril sempat naksir kamu.”

“Yusril nggak ada hubungannya dengan cerita itu. Ayo, lanjutkan,” desakku, tidak nyaman mendengar kata 'naksir'.

“Ada, dong.” Seharusnya aku menimpuknya dengan lego saat dia menyeringai. “Yusril memintaku untuk menyampaikan perasa—"

“Hentikan!” Aku sungguhan melempar lego sampai mengenai wajahnya. Azul mengaduh pelan, tetapi seringainya berganti menjadi tawa pelan. Jika dia melanjutkan, bisa-bisa aku jadi membenci Yusril.

Azul melempar balik lego lantaran sang adik memarahinya alih-alih aku. “Alif juga begitu,” ucap Azul. Aku menautkan alis, bingung. Azul melanjutkan, “Dia naksir kamu. Katanya, mata kamu cantik. Dia, sih, berhasil, nggak malu-malu kayak Yusril. Ya ... berkat dia, aku punya kesempatan buat dekat dengan kamu.”

Sejenak aku termenung, kembali memikirkan kemungkinan Alif tidak bertindak demikian. Azul yang menyadari hal itu, lantas berucap, “Omong-omong, berkat kalian, terutama kamu.” Azul menoleh sekitar, seolah-olah mewaspadai seseorang mendengar ucapannya. “Ibu mengizinkanku mendaftar kuliah. Walau dengan satu syarat, sih. Aku harus dapat beasiswa.”

Itu kabar yang bagus. Aku tidak masalah menjadi guru lesnya bahkan di hari libur sekalipun. Berkat kedua temanku, nilaiku menjadi bagus. Juga ... setelah apa yang kami lalui selama ini, aku jadi ingin selalu dekat dengan Alif. Aku yakin Azul pun begitu. Cowok itu kembali termenung, lantas tersentak, dan kembali berbaring sembari bermain dengan ponselnya.

Tiga jam berlalu, kami belum juga mendapat kabar dari papanya Alif sampai lego yang berserakan di lantai berganti menjadi boneka. Apa banyak katup yang harus diganti sampai operasinya memakan waktu lama? Jika begitu, Alif sudah pasti sangat menderita selama ini. Dia berusaha menahan rasa sakit di depan teman-temannya sewaktu olahraga, juga berusaha menyembunyikannya dariku agar tidak terjadi kekhawatiran. Kecurigaanku terhadapnya saat mangkir dari jam olahraga, hanya sebatas 'mungkin dia lelah'.

Sampai sore, aku mengabaikan panggilan kakak di ponsel Azul, menyuruhku untuk pulang sebentar. Menunggu sampai saat ini saja sudah membuat kecemasanku naik. Aku tidak mau menghabiskan waktu di rumah dengan tidak tenang. Beruntungnya, adik terkecil Azul selalu bisa membuat kecemasanku menguap. Selama sisa waktu itu, aku menghabiskan waktu bermain dengannya lantaran Ibunya Azul melarangku membantunya menyapu rumah.

Sampai dering ponsel Azul dan seruannya akan Alif, membuatku terkesiap sampai sang adik ikut terkejut.

“Sudah selesai.”

Begitu mendengarnya, aku langsung berdiri, tidak sabaran saat Azul mengambil uang untuk ongkos ojek.


✨✨✨✨✨


“Operasinya berhasil.” Papanya Alif memberi tahu begitu kami sampai di depan ruang ICU. Sayang kami tidak diizinkan masuk, tetapi aku bersyukur karena Alif sudah ada di dalam sana. “Masa pemulihannya butuh sekitar seminggu. Kalian tidak harus datang ke sini. Begitu Alif sudah bisa melakukan rawat jalan, atau pindah ke ruang perawatan, Om akan menghubungi kalian.”

Wajah lelahnya terlihat jelas, masih mengkhawatirkan kondisi anaknya. Meski begitu, pria itu berusaha untuk tersenyum agar kami tidak ikut khawatir seperti dirinya.

Ini belum selesai. Alif harus berjuang di dalam sana dengan peralatan yang mampu membuatku ketakutan di dalam mimpi tempo lalu. Dokter harus selalu memantau kondisinya agar Alif pulih dengan cepat, tetapi aku selalu ditakuti bayang-bayang efek samping dari operasi.

Azul menepuk bahuku pelan, menarikku dari kemasygulan. “Sebaiknya kita pulang.”
Ingin sekali aku menolaknya, tetapi dia benar. Aku harus pulang, aku juga tidak bisa terus berada di depan ruang ICU sembari menangis dan ditonton perawat.


✨✨✨✨✨


Aku tidak bisa tenang. Berbicara dengan mama tidak membantuku mengusir ketakutan akan Alif. Jadi, aku memutuskan untuk ke rumah Azul, setiap hari. Azul tidak mempermasalahkannya, dia justru senang aku datang. Kantung mata permanennya jelas menunjukkan bahwa Azul tidak bisa tidur selama beberapa hari ini. Aku bahkan dengar dari adiknya yang berbisik padaku. “Aku pernah lihat Kak Ajul nangis di kamar. Kakak berantem sama Kak Ajul, ya?”

Di saat ada kesempatan kala adiknya teralihkan dengan teman-temannya yang berisik di depan rumah, Azul membawaku berjalan kaki sampai pasar malam—apa aku harus menyebutnya pasar sore karena ini belum malam?

Pasar malam di sini tidak seperti yang kuketahui. Hanya berdiri stan-stan makanan dan permainan anak-anak. Ini sebenarnya taman dekat jalan raya. Azul bercerita padaku kalau kedua adiknya sering nyasar ke sini dan menghabiskan banyak uang miliknya yang disimpan di dalam laci. Dia juga bercerita, sewaktu SMP, sebelum taman menjadi pasar, dia dan Alif sering menunggangi sepeda atau bermain futsal dengan anak-anak kampung ini.

Kami selalu pergi ke tempat itu selama seminggu ini. Namun, kami belum juga mendapat kabar tentang Alif. Saat aku menyarankan agar datang ke rumah sakit, Azul menolak.

“Aku nggak bakalan tenang kalau ke sana. Kita tunggu saja. Pemulihan pascaoperasi itu belum tentu cukup seminggu.”

Azul benar. Aku bisa saja kembali menangis di depan ruang ICU. Jadi, kami menunggu lagi.
Kami masih menunggu selama satu minggu lebih sampai harus kembali bersekolah. Tak ada kabar. Kantung mata Azul bahkan lebih buruk dariku. Jadi, kami memutuskan untuk pergi ke rumah sakit dan menghubungi Papanya Alif setelah pulang sekolah.

“Alif masih butuh penanganan. Dia sebenarnya ingin bertemu kalian, tapi dokter melarangnya.”

Aku berusaha untuk percaya saat warna ungu pekat dan biru mengitari kepala pria itu. Hatiku terus berteriak bahwa Alif sedang tidak baik-baik saja, terjadi sesuatu sampai dia tidak kunjung keluar dari ruang ICU, tetapi aku mencoba berpikir positif.

Namun, jawaban dari pria itu selalu sama, sekolah bahkan sudah berjalan seminggu, mengganggu waktu belajar dan tidur kami.
Azul tidak tahan. Dia mempunyai rencana gila untuk menerobos ruang ICU. Saat itu juga, aku memukul kepalanya. “Bodoh banget.” Mana bisa dia menerobos begitu saja tanpa ketahuan.

“Jelas-jelas om menyembunyikan sesuatu dari kita. Aku yakin sekali Alif sudah pindah ke ruang perawatan.” Azul bersungut-sungut sebelum menaiki angkot di jam pulang sekolah. Jadi, pada akhirnya kami memutuskan untuk ke rumah sakit.

Seperti yang Azul duga, Alif sudah pindah ruang. Setelah memaksa sampai marah-marah dan ditegur perawat, akhirnya Papanya Alif menyerah, memberi tahu kami bahwa Alif sudah pindah sejak delapan hari yang lalu.

Seharusnya itu membuat kami senang. Akhirnya Alif bisa keluar rumah sakit, bersekolah seperti biasa, bahkan nongkrong di kafe atau tempat manapun setelah pulang sekolah. Aku tidak perlu lagi merasa cemas, tidur nyenyak, dan belajar dengan tenang. Namun, sesuatu telah membuatku membeku bersama rasa takut dan sesak.

Di dekat jendela yang gordennya terbuka seperempat, Alif terbaring di brankar dengan masker oksigen di hidung, matanya tertutup, dan ... aku sudah tidak lagi melihat kelap-kelip di sekitar kepalanya.[]


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro