Bagian IV

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

There is a clear boundary between owning and dispossessing

Yet, we're still wondering and trying

Usai menggangguku di sekolah, Banyu Biru juga menginvasi waktu tidurku.

Dia selalu siap sedia di atas meja belajar, mengocehkan hal-hal tidak jelas atau mengomentari kotornya kamarku, lalu pergi setelah sesajen—jatah satu bungkus cokelat dan enam tangkai permen tiap hari—nya habis. Namun, ada kalanya aku merasa senang pada kehadirannya. Kalau aku tidak sedang menjebaknya dengan cokelat berisi kacang mete, Banyu Biru akan diam mendengarkanku bicara karena yang dilakukannya hanya mengunyah.

"Genre-nya distopia," ocehku sambil melambai-lambaikan buku baruku. "Tapi kotanya kedengaran sama saja dengan yang sudah ada sekarang. Pemerintahan korup, konspirasi, tatanan masyarakat kacau—bukan hal baru. Kalau nama kota ini diganti, semua pejabatnya pakai wig pirang, terus anak-anak kelasku dikasih senjata api, kami sudah siap berlakon cerita di buku ini."

Tidak banyak yang menyukai buku novel dalam kalangan anak seusiaku. Kalau pun ada, mereka takkan bicara denganku karena menghindari kalimat 'Omong-omong, kau enggak akan naik kelas tahun ini. Muahaha!'

"Berarti sekarang kita hidup di dunia distopia." Banyu Biru menjilati bekas cokelat di jarinya sebelum berkata lagi, "Besok kasih aku gulali, dong."

"Gulali sudah punah di dunia distopia," kataku.

Banyu Biru membuat bunyi mendecap. Bibirnya belepotan cokelat. "Kenapa kamu suka membaca yang begini? Dunia hancur, monster keliaran ...."

"Karena kalau dunia hancur, aku enggak perlu sekolah. Monster-monster juga tidak menggunjing." Kulemparkan tisu ke arahnya. "Eh, apa kamu seumuranku?"

"Kamu mau aku sebaya denganmu atau tidak?"

Aku mengerutkan kening. Kenapa dia terus-terusan menanyakan keinginanku di saat dia seharusnya bisa memiliki jawaban sendiri?

"Sebaya ...?" kataku, terdengar seperti permintaan.

"Ya, sudah. Kita sebaya." Banyu Biru kembali berkutat dengan bungkus cokelatnya.

Mataku pun melayang ke kakinya yang kotor dan bekas luka samar berbentuk bulatan di bawah lengannya, hampir tak terlihat. "Kamu habis dari mana, sih?"

"Nangkap ikan buas."

Kutunggu Banyu Biru melanjutkan kalimatnya, tetapi dia makin fokus melenyapkan sisa cokelat dari bungkusannya. Aku beranjak dan mengambil handuk yang teronggok di lantai. Kulempar handuk itu ke atas kepalanya.

"Lap badanmu, dong," kataku. "Aku mau, sih, menyuruhmu mandi. Tapi, nanti Mama terbangun. Kalau bunyi air keran terbuka sedikit saja, mode tidur matinya langsung off, insting Mama langsung main demi penghematan biaya air."

Sejak kapan aku peduli dia tertangkap oleh Mama atau tidak?

Alih-alih mengelap badan seperti yang kuperintahkan, Banyu Biru malah melilitkan handuk itu di sekitar wajahnya, mengapitnya di bawah dagu seperti hijab. "Cantik, enggak?"

Aku tersedak, lalu tertawa. "Dari mana kamu belajar begitu?"

Banyu Biru mengangkat buku sekolahku di atas meja, memperlihatkan sampulnya yang menggambarkan lima anak beda budaya. Salah satunya berhijab.

Dia melepas handuk dari kepalanya, lalu melilitkannya di leher. "Ini syal."

"Kalau di kamu, lebih mirip penyangga orang patah leher," kikikku.

Banyu Biru melilitkan handukku ke sekeliling wajahnya, menyatukan ujungnya di ubun-ubun. Dengan rambut awut-awutan dan mata yang setengah terlihat, dia menyajikan sesosok jumping pillow kepadaku. Aku meloncat mundur.

"Hu-hu-hu ... Nilaaa ..." lirihnya.

Aku melemparkan bantal ke arahnya. "Jangan—itu ngeri banget!"

Banyu Biru tertawa. Mengindahkan lemparan bantal, dia melompat ke depanku.

Aku menjerit, lalu Grey ikut memekik dari kamarnya. "Mamaa! Kak Nila, Ma!"

Banyu Biru buru-buru mundur dan melepas kafan-kafanannya. Dia memperhatikan wajahku yang pucat ketakutan. Dengan wajah kalut dan tangan memuntir-muntir handuk, dia berkata, "Aku tidak bermaksud ...."

Meski jantungku masih melompat-lompat, aku tak mampu menahan tanganku untuk tidak menepuk-nepuk kepalanya. "Oke, oke."

"Sori," katanya dengan suara mengecil.

"MAMAAAA!" Grey masih berteriak.

"Enggak apa-apa, Grey!" balasku berteriak. Rumah kami jadi ajang teriak tengah malam. "Tadi aku mimpi buruk! Tidur lagi sana!"

Grey tidak bersuara lagi setelah itu. Mama juga tidak mendatangiku. Katakanlah kedua anaknya diculik alien tengah malam, Mama mungkin baru sadar dini hari.

Kutangkup dadaku yang masih berdebar-debar. "Hantu enggak boleh sok-sokan jadi hantu, tahu? Seramnya dobel. Mukamu juga dekil, tambah bikin takut."

"Iya, sori," desahnya, lalu menggosok-gosokkan handuk ke wajah. Dia manis sekali kalau penurut seperti ini. "Handukmu bau apak," komentarnya lagi.

Aku baru akan beranjak berdiri saat Banyu Biru menarik tanganku dan mendudukkanku kembali.

"Tunggu," katanya sambil merentangkan handuk di belakang punggung. "Masih ada."

"Superman," kataku dengan malas. "Hore."

"Ada lagi." Direntangkannya handuk ke atas kepala kami, menyelubungi kami berdua. "Saya terima, nikahnya—"

Aku mendorong Banyu Biru sampai terjungkal. Kurasakan pipiku memanas. Masih terbaring, lelaki itu malah tertawa. "Masih ada—"

"Enggak usah!" Kurebut handuknya, lantas menggosok wajahnya dengan keras. Dia tidak mengharapkan serangan ini dan cuma bisa menggeliat sementara aku mengampelas mukanya. Esoknya, aku mesti merendam handukku berjam-jam demi menghilangkan bau comberan.

Selain membuat pola-pola baru yang tidak bisa kuprediksi, Banyu Biru mulai membaur layaknya anak sekolahan. Seragam pramukanya hilang suatu hari, digantikan seragam putih-ungu. Meski celananya jadi celana ungu tanggung, dia masih bertelanjang kaki dan tidak menanggalkan jaket biru bertudungnya.

Malah, pagi-pagi sekali, saat aku baru masuk kelas, Banyu Biru sudah duduk di kursiku. Semangat belajar berkobar di matanya meski aku sendiri tak yakin apa dia paham yang kami lakukan di kelas sehari-hari.

Kuambil kursi kosong di pojokan kelas yang dipenuhi sapu-sapu dan kursi-meja cadangan. Kuabaikan tatapan empat orang anak lain yang kebingungan melihatku menyeret kursi baru.

"Nila," kata Safir, ketua kelas sekaligus satu-satunya anak yang mampu menoleransi kehadiranku. Dia lumayan pandai memperlakukanku seperti teman-teman sekelas lainnya. Yah, setidaknya dia berusaha.

Aku menoleh. Kami bertemu mata selama beberapa saat. Safir mungkin menungguku mengatakan sesuatu, tetapi aku juga menunggunya mengatakan apa yang ingin disampaikannya.

Safir akhirnya mengalah dan bertanya, "Kenapa kursimu? Masih bagus, 'kan? Apa jelek juga kayak yang satunya?"

Aku hanya mengangkat bahu. Aku tidak terlalu biasa berbohong, apa lagi spontan. Aku mesti menjawab apa? Ada anak cowok yang sudah lebih dulu menjajah tempat dudukku? Yang ada, Safir akan makin kesulitan menolerirku.

Begitu Bapak Pirus masuk dengan tongkatnya, Banyu Biru menegakkan punggungnya. Dia berbisik, "Bapak itu kenapa tidak pernah bawa buku?"

"Beliau memang begitu," kataku, menatap risau ke sepasang kaki kurus Bapak Pirus yang sepertinya siap ambruk. "Kami yang bawa buku. Beliau mengajar sambil cerita. Lagi pula, kelihatannya Pak Pirus sudah nggak kuat bawa buku cetak."

Banyu Biru mengangkat buku cetakku. "Beratnya memang bisa bikin generasi kalian bungkuk."

Aku mengangguk setuju.

"Tapi, nggak apa," katanya lagi. "Daripada jadi generasi nunduk yang bawaannya barang kecil ringan."

"Hah?"

Bapak Pirus keburu memulai penjelasannya, jadi aku tidak bisa mengobrol lebih jauh dengan Banyu Biru. Bapak Pirus tidak pernah mencatat di papan tulis, dan jarang mengulangi apa yang dijelaskan kecuali ada yang bertanya. Malah, kamilah yang bakal disuruh mengulangi pelajaran di akhir jam nanti. Jadi, kami selalu memberi perhatian ekstra pada jam beliau.

Mulanya, pelajaran berjalan menyenangkan saat Pak Pirus membuat gambar bangun ruang, menjabarkan dimensi-dimensi dengan caranya yang jenaka, dan mengarang cerita tentang bola dari dimensi 3 yang jatuh hati pada tesseract dari dimensi 4. Pak Pirus jago membuat murid-murid tanpa imajinasi ini mencintai matematika yang mematikan. Semua berubah saat rumus menyerang papan tulis.

Ketika kami mengerjakan soal latihan, Pak Pirus berjalan mengitari kelas untuk mengecek. Ketak, ketok, tongkatnya berkelotak di lantai ubin. Ketika beliau sampai ke mejaku, aku menyengir kepada Pak Pirus dan berkata, "Flatland."

Pak Pirus terkekeh. "Anggap saja versi knock-off dari novela itu."

Ah, guru favoritku. Daripada bergaul dengan anak seumuranku, aku memang lebih cocok dengan orang tua yang sudah punya enam cucu dan tahu referensi buku-buku bagus. Skenario Bola dan Tesseract di papan tulis barusan diambil beliau dari Flatland karya Edwin Abott. Hanya saja, tidak ada Tesseract di dalam cerita itu, dan dua karakter yang berteman adalah Bola dan Persegi.

Pak Pirus lanjut berjalan. Buku jari tangannya mengetok-ngetok meja Abu karena cowok itu nyaris ketiduran di atas buku latihannya.

Banyu Biru mulai bandel dan merogoh isi kotak pensilku. Disusunnya penghapus dan penggarisku jadi jungkat-jungkit. Dimainkannya pena dan pensilku, menyusun-nyusunnya seperti denah.

Lama-lama, mungkin karena bosan kuabaikan, Banyu Biru menggeser pantatnya perlahan tapi pasti ke arahku. Kursi kami nyaris berdempat, dan dia menduduki setengah area kursiku.

"Mau kujitak?" bisikku masih sambil menulis. "Geser."

Banyu Biru memperlebar jarak sedikit, tetapi tidak terlalu jauh. Ditengoknya bukuku, lalu diambilnya pena. Dia mulai ikut mencatat, mencoret meja, tetapi begitu aku melongok untuk mengintipnya, yang dia lakukan hanya coret-coret tidak jelas—garis lenggak-lenggok yang sesekali lurus dan sesekali keriting.

"Apa itu, cacing besar Alaska?" tanyaku seraya menahan kikikan geli. Kurobek selembar kertas dari bukuku sendiri, menyerahkannya kepada Banyu supaya dia tidak menulis di meja. Kusorongkan catatanku ke depannya. "Nih, lihat punyaku."

Banyu menggaruk kepalanya. Bingung. Dengan perlahan, diguratkannya ujung pena di atas kertasnya, meniru tulisanku dengan sama persis. Aku pun terhenyak.

"Kamu nggak bisa baca?"

Banyu menggeleng. Jarinya menunjuk salah satu kata di catatanku. "Ini ada kulihat di buku yang ada di atas mejamu."

Aku memberitahunya cara mengeja kata itu. Mendengarnya mengeja, lebih payah dari Grey yang disleksia, aku tidak kuasa menahan tawa.

Sementara Bapak Pirus mengulang penjelasan karena ada yang bertanya, kutuliskan alfabet dari A-Z di kertas Banyu. Kubantu dia menghafalnya, lalu kuberi dia beberapa kalimat dengan kosakata sederhana seperti 'Ular melingkar di pinggir sumur sampai kecebur dan tewas seketika'.

Kuberi juga dia kalimat yang enak dieja semacam 'Peter Piper picked a peck of pickled peppers'.

Melihatnya meraung putus asa sambil mengacak-acak rambutnya agak sedikit menghilangkan rasa stresku di kelas. Maka, kuberi dia hal yang akhirnya bisa dia tulis dan baca tanpa desahan kesal: 'Budi pergi ke pasar' dan 'Sarimin bermain bola'.

Banyu Biru makin antusias untuk menjadi siswa. Dia makin lama bertahan di sekolahku, tidak lagi setengah atau satu jam, tetapi seharian. Parahnya lagi, dia ikut upacara bendera. Dengan kepedean luar biasa, dia baris di sampingku.

"Jenismu tuh di sana." Aku menunjuk barisan anak laki-laki di samping kananku. Karena aku selalu berdiri paling belakang dan sendirian, tidak ada yang mendengarku. Mungkin. Atau para cewek di depanku ini terlalu takut untuk menoleh. Siapa pun yang baris di depanku selalu menegakkan punggung mereka meski cahaya matahari tengah terik-teriknya.

"Aku nggak kenal siapa-siapa di sana," Banyu ikut berbisik. "Nggak enak."

"Kita upacara bukan buat ngobrol."

Dua anak perempuan di depanku akhirnya menoleh. Keduanya menatapku dengan penuh kebencian, bercampur kerutan hidung seolah tengah dipaksa berdekatan dengan sampah basah. Lantaran tak tahu mesti bagaimana dan mereka tak kunjung balik depan, aku pun memasang tampang apa-liat-liat.

Keduanya langsung kembali menoleh ke depan sambil bisik-bisik. Yang satunya bahkan mengedikkan bahu dengan berlebihan seperti orang merinding.

"Aurat," kata Banyu Biru.

"Hah?" Aku menoleh ke arahnya.

"Situasimu sama teman-temanmu," katanya. "Aurat."

"Hah?" ulangku.

"Itu, lho," desisnya gemas. "Di bukumu. Di buku Bahasa Inggrismu, kau, 'kan sempat coret-coret 'The situation's getting aurat'."

Aku hampir membuat kehebohan dengan menyela ucapan pembawa acara di pinggir lapangan dengan tawa kencang. Untung aku berhasil menahan suara, tetapi gara-gara itu aku terbatuk dan ingusku sempat menetes. Kupencet hidungku, berusaha membekap diri agar tidak meloloskan suara.

"Awkward," bisikku. "Yang benar awkward."

"Ya, itu lah," decaknya tak peduli. "Award."

"Memang aku mesti bagaimana," kataku, "supaya situasinya nggak aurat?"

Aku mengatakan itu hanya untuk menyindirnya, tetapi Banyu Biru menanggapinya sungguhan. "Disapa, dong," katanya. "Bilang cuacanya kok panas, atau komentarin pembina upacaranya. Minimal bilang 'hai'."

"Ngomong, sih, gampang," cetusku. "Sudahlah, diam aja."

Kedua anak cewek di depanku menoleh lagi dengan ekspresi yang lebih jengkel.

Refleks, aku menyengir dan berkata, "Hai."

Keduanya saling pandang dengan wajah bingung sebelum kembali menghadap depan. Meski aku merasa bahwa situasi ini sepertinya masih salah, entah kenapa aku merasa puas.

"Masih ada ingus di mukamu," bisik Banyu Biru.

"Ini keringat," aku berkilah.

Dia bersikeras. "Dari kulit itu keringat. Kalau dari hidung berarti ingus."

"Tapi, sama-sama air. Toh, hidung juga bisa berkeringat."

"Tapi, enggak di lubangnya."

Aku mengelap wajah dengan punggung tangan. "Bertahan di sekolah seharian, menyela guru, coret-coret meja, ngobrol pas upacara—aku sekarang jadi anak badung, dan kamu makin mirip siswa manusia normal."

Banyu Biru langsung bungkam. Matanya terpaku ke kakinya. "Iya," lirihnya. "Lama-lama, aku jadi terbawa suasana lagi."

Dia menggumam tak jelas. Aku sempat mendengar dia berkata sesuatu tentang "Mesti menyelesaikan tugas dari mereka" dan "para entitas bisa-bisa berubah pikiran lagi" serta "sebelum Turangga menggantiku dengan yang satunya" atau semacamnya.

Aku tak sempat bertanya apa maksudnya karena saat itu teks Pancasila mulai dibacakan.

(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan    

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro