Bagian V

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Excitedly igniting

Selfless and brave in a riot

We're nothing but a bunch of idiot

Banyu biru sudah menghafal alfabet, meski dia masih harus menyanyikannya kalau aku menanyakan huruf ke-10 atau huruf apa yang datang setelah W. Yang di luar dugaanku, lelaki itu malah lebih fasih saat berbahasa Inggris dibanding aku.

"Meet," Banyu mengucapkan, "kau mesti menarik bibirmu sampai kencang kayak orang senyum. Kalau limit, i-nya cuma buka bibir seadanya."

Aku mempraktikkannya dan tak mendapati perbedaannya sama sekali.

Sambil masih memegangi lembaran puisi Bahasa Inggris yang kutulis, Banyu berkomentar, "Kalau nulis, grammar-mu benar, tapi pronounciation-mu payah."

"Kamu kasih kritik sekarang? Kamu bikin situasi kita aurat," balasku. Banyu Biru cemberut saat aku mengingatkan aib besarnya. "Jangan sombong. Padahal baru kemarin kamu menyanyi alfabet dan tahu ke pasar mana Sarimin pergi."

Banyu mendengkus. "Soalnya kamu sombong duluan. Kamu, 'kan, panutanku. Guru pipis berdiri, aku bakal pipis terbang."

Aku menarik rambutnya. "Aku enggak pernah pipis berdiri, ya!"

Kami mulai bergulat. Dia memegangi pergelangan tanganku, menahan agar akar rambutnya tetap bertahan di kulit kepala, sementara aku menjambak dengan puas. Kami masih saling melempar ejekan sampai Mama tiba-tiba memanggilku.

Aku buru-buru melepaskan Banyu Biru, yang seketika terjungkal ke lantai. Keluar dari kamar, aku menabrak Mama, yang bajunya kotor belepotan tanah.

Aku menepuk-nepuk bajuku. Bau pupuk dan rumput liar. "Mama menodaiku!"

Pekikanku menjadi ketika Mama menempelkan kedua tangannya yang berlumpur ke pipiku.

"Sekali lagi kamu teriak-teriak, Mama tanam kamu di bawah pohon pepaya." Mama menarikku ke arah pintu belakang, di mana pot-pot baru bersusun di samping mesin cuci tua. "Mama lagi nyabutin rumput liar waktu kamu teriak-teriak tadi. Orang di sebelah rumah kita jadi heboh. Daripada kamu berbuat aneh-aneh, mending bantu-bantu sini."

"Tadi ada kecoak." Aku membuat alasan.

Mama mengernyit curiga. "Justru kecoak yang lari lihat kamu. Sudahlah, bantu Mama mindahin pot ke depan."

Aku mengernyit. "Tumben. Biasanya sama Grey, 'kan? Grey mana?"

"Sudah di halaman depan," jawab Mama dengan erangan kecil saat dia mulai menarik pot melalui pintu. "Dari tadi adikmu hanya main-main, menyiksa cacing tanah. Nila, pot ini tidak bakal bergerak kalau kamu berdiri bengong saja di situ!"

Kami mengangkat pot besar bersama-sama. Sesampainya di depan, aku terduduk di samping Grey yang tengah mengubek-ubek sisa pupuk dengan tangan telanjang.

"Turun berok," komentarku tersengal sementara Mama menyusun pot-potnya.

"Ih!" Grey balas berkomentar. "Ke WC sana!"

"Berok, Dek, berok. Huruf o, bukan a."

Grey akhirnya mengangkat wajahnya. "Apa itu?"

Aku melipat bibir ke dalam. Bingung. "Intinya, potnya berak—eh, berat."

"Sini." Mama berjalan mendekatiku dengan tampang jail. "Mama pijat refleksi."

Aku mencoba lari, tetapi keburu tertangkap. Mama baru melepaskanku saat pintu pagar rumah sebelah terbuka.

"Magenta," sapa Mama ke seorang anak perempuan yang, aku berani sumpah, belum pernah kulihat wajahnya di sekitar sini. "Kok, pakai seragam sore-sore?"

"Ada acara di sekolah, Tante," sahut gadis itu. "Jadi, harus balik lagi."

"Oh, hati-hati, ya," kata Mama, yang dibalas anggukan Magenta.

"Kok, aku pergi sekolah enggak pernah dibilang hati-hati?" tanyaku.

"Soalnya kamu enggak bakal nurut," kata Mama.

"Itu siapa?" tanyaku lagi. "Aku enggak pernah lihat dia."

"Anak itu seumuranmu. Dari awal kita pindah kemari, dia dan ibunya sudah duluan tinggal di sini. Tapi, dia sekolahnya agak jauh dari sini." Mama mencolek pipiku dengan kondisi tangannya masih bercelemot tanah. "Magenta itu kurang lebih kayak kamu, jarang keluar rumah. Bedanya, dia pendiam."

"Aku pendiam."

"Amin." Mama berkata penuh harap. Lalu, kusadari mata Mama tengah memandangi jendela kamarku. "Nila, sekolahmu bagaimana?"

Aku butuh waktu lumayan lama untuk menjawab. "Sekolahku ... oke-oke saja."

Ini pertama kalinya Mama bertanya urusan sekolahku. Kukira dialog macam ini hanya terjadi di sinetron, film, atau buku. Yah, kalau dipikir-pikir lagi, ini juga pertama kalinya Mama memaksaku membantunya mengurusi halaman.

Biasanya, Mama paham saja aku lebih senang mengurung diri dalam kamar. Dia hanya mengajak Grey sekadar untuk menghabiskan waktu dengan adikku. Soalnya, Grey masih belum bisa dilepas ke sekolah. Hari pertama TK saja sudah bencana.

Terlintas di pikiranku, jangan-jangan Mama sadar ada Banyu Biru di kamarku.

Mama baru akan bertanya lagi saat Grey tiba-tiba melemparkan segenggam pupuk ke jalanan. Dua orang wanita paruh baya yang sedang lewat di depan rumah kami pun terpekik dan melompat mundur.

"Bohong!" Adikku berteriak. Grey mengejutkan kami saat dia mulai meraung-raung, nyaris menumpahkan sekarung pupuk andai Mama telat menangkapnya. "Bohong! Yang ditanam di sini cuma bunga—bukan jimat, apa lagi rambut mayat!"

Sambil masih memeluk Grey, Mama meminta maaf ke kedua wanita di jalan, yang tampaknya adalah tetangga kami juga. Kedua ibu-ibu berdaster itu lantas buru-buru pergi tanpa mengatakan apa pun.

"Sayang, sst, sayang ...." Mama berusaha menenangkan Grey dalam buaiannya. "Iya, Sayang. Mama tidak apa-apa. Sudah, Sayang."

"Kenapa?" Aku terbengong-bengong. "Memang ibu-ibu tadi bilang apa?"

Alih-alih menjawabku, Grey makin histeris dengan air mata bercucuran.

"Nila, masuk," perintah Mama, masih mengurung Grey yang tantrum dalam pelukannya. "Mandi, terus cek jemuran kalau seragam olahragamu sudah kering."

Aku mengerutkan kening. Seingatku, seragam olahragaku malah sudah dilipat Mama ke dalam lemari tadi siang. Namun, aku tetap menurut dan masuk ke dalam.

Alih-alih mandi, aku masuk ke kamarku. Lantaiku penuh kertas berserakan.

"Ba—" Aku ingin mengganti namanya dengan kata-kata kasar, tetapi nanti dosa. Maka, aku semata menjitak kepala Banyu Biru, membuatnya mencicit. Kutunjuk kertas-kertas yang memenuhi lantai. "Bereskan!"

"Tapi, aku belum selesai baca," keluh Banyu. "Semua ini betul-betul kamu yang tulis? Puisi dan cerita kamu bagus-bagus."

Aku duduk di sebelahnya, merasa terbuai karena dipuji. Banyu Biru sendiri langsung tengkurap dan leyeh-leyeh sambil menggoyang-goyangkan kakinya. Dia lanjut membaca tulisan-tulisanku.

Semua puisi itu sebenarnya tidak lebih dari kumpulan kata-kata yang kuanggap cocok dirangkai berima. Cerpen dan novel lama yang kutulis pun beberapanya tidak pernah selesai, bahkan tak kuingat lagi tentang apa. Namun, Pak Pirus—guru terbaik sedunia—amat menyukainya. Beliau pernah meminjamnya dan memberiku komentar tertulis (aku memang anak emas, makanya dibenci teman sekelas).

"Tadi, kok, di luar heboh?" tanya Banyu tanpa memalingkan mata dari tulisanku.

Aku mendesah. "Adikku."

Aku mengintip keluar lewat jendela. Grey tampaknya sudah tenang lagi. Sambil menyedot ingus dan sesekali menyeka air mata di wajahnya, tangannya mengobok-obok tanah lagi. Mama menyekop tanah di sampingnya, sesekali menepuk-nepuk puncak kepala adikku dengan sayang.

Aku tidak pernah bisa memahami adikku—satu detik dia anteng, detik berikutnya mengamuk sendiri tanpa alasan. Dia memang didiagnosis disleksia dan hiperaktif, tetapi menurutku ini berlebihan. Kurasa, dia cuma cari perhatian Mama atau mencoba membuatku kesal.

Atau mungkin ibu-ibu tadi memang mengatakan sesuatu yang menyebalkan.

"Aku benci tetangga," ujarku tiba-tiba. Banyu Biru hanya mengangguk-angguk. Dia tampak tak heran omonganku meloncat begitu saja dari adikku ke tetangga. "Makanya aku tidak mau repot-repot mengenali mereka. Mama tidak cerita, tapi aku pernah menguping—Mama seringkali mesti meluruskan banyak 'kesalahpahaman' dengan tetangga. Kata mereka, Mama bawa laki-laki simpanan ke dalam rumah; padahal, itu cuma Paman Tam, adik kandungnya sendiri! Atau saat Mama terpaksa meninggalkanku dan Grey berdua saja di rumah sampai malam, terdengar hal tidak enak bahwa barangkali dia foya-foya, padahal Mama bekerja."

"Tampaknya para tetangga itu paling suka menggunjingkan adikmu, ya."

Aku tidak tahu dari mana dia mengetahui itu. Namun, saat mendengarnya, kudapati diriku mencerocos, "Wajahku mirip Mama, tapi wajah Grey sama sekali tidak mirip Mama atau aku. Jadi, pernah ada bapak-bapak yang rumahnya satu blok dari sini, beliau bercanda kalau Mama tampak lebih sayang pada Grey ketimbang padaku. Padahal kalau dilihat dari wajah, Grey seperti bukan anak kandungnya."

Banyu Biru melirikku sebentar sebelum kembali memakukan pandangan ke kertas puisiku. "Mungkin itu karena adikmu di rumah terus? Kenapa dia belum masuk sekolah?"

Kuceritakan pada Banyu Biru hari pertama Grey masuk TK, ketika adikku terlibat adu jotos dan tendang-tendangan ala balita dengan dua anak lain. Menurut Grey, kedua anak itu mengolok-olok bentuk matanya. Menurut guru yang saat itu mengawasi, Grey duduk jauh dari kedua anak tersebut. Jadi, walau benar mereka mengejek adikku, Grey mustahil bisa mendengar. Di tengah percakapan serius antara Mama dan guru itu, Grey menunjuk si guru dan memberi tahu, "Itu apa? Kayak kera tapi mukanya manusia."

Menurut Grey, dia cuma menunjuk sesuatu yang menempel di bahu gurunya. Namun, si guru kepalang salah paham dan Mama telanjur malu. Pada akhirnya, Mama memutuskan bahwa Grey belum siap dilepas ke TK. Terlebih, si guru—yang dongkol hatinya—terus-terusan menyinggung betapa Grey tidak bisa membaca. Padahal, ada sekitar selusin anak lain—yang tidak disleksia—yang juga belum bisa membaca di sana.

"Aku juga dulunya tidak bisa membaca," kata Banyu Biru. "Sepertinya adikmu butuh diajari nyanyian alfabet serta keseharian si Budi dan Sarimin itu."

"Itu beda lagi," kataku sambil mengernyit. "Adikku punya kondisi khusus. Di matanya, huruf-huruf seperti melayang-layang dan bertukar posisi tiap detik. Jadi, dia takkan bisa mengenali Sarimin dan Budi."

Banyu Biru mengangguk-angguk lagi. Aku mulai ragu dia sungguhan mendengarkanku.

"Tulisanmu ini ... menarik." Banyu Biru mendadak berkomentar. "Sejak kapan kamu nulis begini?"

Aku mengernyit karena menyadari dia tampaknya butuh waktu untuk bilang 'menarik'. Maksudku, apa susahnya untuk bilang 'bagus' atau 'keren' saja?

"Sejak, entahlah, TK?" Pipiku menggembung bangga.

"Serius?" Banyu menoleh, terkesima sungguhan.

Aku mengangguk dan ikut tengkurap di sampingnya. "Aku sudah bisa membaca sebelum masuk TK. Malah, dulu aku suka baca koran walau enggak paham isinya."

"Balita ajaib. Pantas saja tulisanmu kayak hidup."

Aku tertawa. "Waktu SD, aku pernah langganan majalah anak-anak dan komik."

"Mana komiknya?"

"Hilang," desahku kecewa. "Ada yang pinjam enggak dibalikin, ada yang sok ngaku itu buku dia, ada juga yang terang-terangan minta."

Banyu mengernyitkan alisnya seolah dia ikut merasakan kekecewaanku. "Kau ingat muka mereka? Nama? Tinggalnya di mana?"

Aku termenung sebentar, merasa frustrasi karena tiap kali mencoba mengingat wajah teman-teman lama itu, tidak ada yang muncul di kepalaku. Aku bahkan lupa kapan dan bagaimana bisa buku-bukuku berakhir dipinjam mereka. Saat mencoba mengingatnya, aku hanya bisa mengingat judul dan sampul buku-bukuku.

"Ingatanku agak jelek. Aku memang suka kena insomnia sesaat."

Banyu Biru mengerutkan sebelah pipinya. "Insomnia itu susah tidur. Yang benar anemia."

"Oh, ya, benar."

Kami sama-sama terdiam, merasa ada sesuatu yang salah, tetapi ... ah, sudahlah.

"Tapi, tulisanmu betul-betul ... hmm, apa, ya—oh, elastis!" pujinya lagi. Kurasa, dia bermaksud mengatakan 'estetis'. Ya sudahlah, aku bisa terima, kok, tulisanku dibilang elastis. Banyu bertanya lagi, "Kamu suka mitologi dan cerita rakyat, ya?"

Aku jadi bersemangat dan mulai mengoceh. "Paman Tam sering menceritakannya ke aku, jadi aku menulis versi lainnya. Kayak, tentang mitologi Dewi Perang Yunani yang lahir dari batok kepala Zeus—lucu banget, 'kan? Atau tentang Putri Junjung Buih, yang lahir dari buih sungai dan begitu dicintai oleh dua anak kembar dari Empu Mandastana, yang kemudian keduanya lenyap bersama Bunga Puspa yang mereka berikan kepada sang Putri—cerita itu dramatis sekali!"

"Kalau yang ini?" Banyu Biru mengangkat salah satu kertas. "Ini tentang teman-temanmu? Siapa itu Abu?"

"Dia itu anak blangsak yang duduk di depan kita. Dia tukang bully. Aku tidak bisa mengamuk padanya, jadi aku menumpahkan kekesalanku di sini."

Banyu Biru mengangkat kertas lain. "Sambungan yang ini mana?"

"Tulisanku banyak yang belum selesai, jadi—" Aku mengernyit saat membaca tulisanku sendiri. "Setahuku, yang ini sudah selesai. Mana sambungannya, ya?"

Aku membongkar di antara kertas-kertas lain, tetapi tidak bisa menemukannya di mana-mana.

"Aneh. Sambungannya hilang. Aku lupa kelanjutannya bagaimana, tapi aku ingat ini sudah selesai. Yah, intinya ini cerita dan puisi tentang Peter Pan. Sejak dulu aku suka sekali cerita itu—bukan Peter Pan-nya, sih. Sebetulnya, aku lebih tertarik sama Neverland-nya. Kalau aku jadi Wendy, bodo amat sama Peter Pan atau keluarganya atau adik-adiknya—aku bakal campakkan itu semua dan menguasai Neverland! Hook dan Tinker Bell bakal jadi bawahanku."

"Hmm." Banyu Biru bangkit dari posisi tengkurap dan duduk dengan kedua lengan bertumpu ke belakang. Senyumnya terulas, lesung pipit kecil muncul di pipi kirinya. Sepasang mata birunya mendadak jadi teduh sekali saat menatapku. "Kalau begitu, Nila, apakah kamu mau—"

"Kak Nila!"

Aku mendongak. Di depan pintu, Grey berdiri. Pipinya masih bercemong tanah dan kuku-kukunya menghitam habis main pupuk. Tangannya mencengkram ujung bajunya yang kotor. Bahunya naik turun karena terengah seolah dia barusan mati-matian berlari dari halaman ke dalam rumah.

Di sekitarku, kini hanya ada kertas-kertas tulisanku yang berjatuhan ke lantai seolah kamarku baru dihampiri angin sepoi-sepoi. Banyu Biru sudah tidak ada.

"Apa?" Aku memelototi Grey.

"Cokelat Kak Nila di kulkas ...." Anak itu menggembungkan pipi seperti hendak menangis. "A, aku makan!"

Dia terbirit-birit keluar sementara aku berlari mengejarnya.

(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan    

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro