Bagian VI

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Before you read

Please play the song on loop

    _________________________________

Imagine this horizon didn't exist

Can you take it that the sky and the sea would never meet?

Imagine this horizon was real

Can you take it that the remarkably-sized land actually has limit?

BANYU MEMANG pada akhirnya suka membaca dan rutin muncul di jam pelajaran bahasa, tetapi aku belum pernah melihat Banyu ikut olahraga. Entah dia tidak punya seragamnya, atau lelaki itu lemah di fisik. Kupikir, kemungkinan kedua lebih mungkin. Dari awal, Banyu memang sudah aneh—suka makan makanan manis, tetapi tetap kurus. Dan, yang dilakukannya sepanjang hari, 'kan, hanya merecokiku. Dia terlalu bawel dan ceriwis untuk ukuran anak laki-laki.

Aku hampir berhenti berlari karena suatu pikiran menghantamku. Kalau dipikir-pikir lagi, Banyu Biru sekarang tidak lagi sekadar berkunjung. Dia muncul di kamarku hampir sepanjang waktu dan ada di kelas hampir di semua jam sekolah. Bahkan saat malam, aku yakin dia masih duduk di atas meja belajarku meski aku sudah tertidur. Kunjungannya tidak lagi sekadar beberapa menit.

"Anila!" Bapak Gading berteriak dari seberang lapangan, lalu meniup peluitnya. "Jangan meleng! Lari! Lari!"

Tepat saat beliau mengatakan itu, seseorang menabrak bahuku dari belakang dengan sangat sangat sangat keterlaluan sangat keras. Badanku bukan hanya jatuh ke depan, tetapi sudah masuk level melayang, melesat jauh sampai wajahku tertanam ke rumput di pinggir lapangan.

Aku menoleh ke belakang dan melihat bahwa aku terpental lumayan jauh. Melintas melewatiku, tertawa-tawa sambil dibuntuti anak laki-laki lainnya, sang tersangka yang membuatku lepas landas: Abu.

Aku mendengar suara cekikikan para perempuan yang awalnya pelan, lalu tak segan-segan mereka menertawakanku karena aku tak kunjung bangun. Air mataku menggenang di pelupuk mata.

"Jangan nangis," bisik seseorang, membuatku menoleh lagi ke depan. Di antara semak-semak, Banyu Biru berjongkok mengamatiku. Ada yang berbeda dari penampilannya, dan aku perlu waktu sedikit lebih lama sampai menyadari bahwa dia memakai seragam olahraga sekolahku, tidak lagi memakai jaket birunya. Bahkan, rambutnya tidak sepanjang biasanya, seolah dia baru memangkasnya. Aku bahkan bisa melihat alisnya yang tajam lurus, membuat tegas ekspresi wajahnya yang biasanya hanya bisa kulihat dari cengiran jail kalemnya. Tatapannya lebih keras, dan rasanya aku baru bisa meyakini kalau Banyu memang laki-laki.

"Malu," kataku. Aku bahkan mengabaikan rasa sakit di sekujur badanku.

"Berdiri," suruhnya tegas, tangannya terulur kepadaku.

Aku menyambutnya, lantas berdiri dan menepuk-nepuk seragamku yang kusam. Bagian lutut celanaku robek walau tak terlalu besar. Saat aku berbalik, Pak Gading sudah berada di tengah lapangan untuk menghampiriku, sesekali menggiring anak lainnya untuk terus berlari alih-alih mengerubungiku.

"Saya nggak apa-apa, Pak," kataku.

Tanpa menunggu belas kasihan beliau, aku berlari mengikuti arus. Dari sudut mataku, aku menyadari tatapan Abu, tetapi aku mengabaikannya. Begini lebih mudah—pura-pura saja Abu tak ada, hatiku mendapatkan secuil kedamaian alih-alih berkobar dalam keinginan untuk berlari mengejar dan mencakarinya.

Aku melirik ke belakang. "Banyu ...?"

"Iya," jawabnya, ikut berlari di belakangku. Sosoknya, entah sejak kapan, menjulang dan tampak menjagaku. Aku bahkan tak sadar Banyu setinggi itu. "Aku di belakangmu, La."

Sambil menyeka mata yang sudah agak basah, aku tersenyum.

"Saya rasa ini serius. Dia tertawa dan bicara sendiri selama di lapangan."

"Tapi, Anila, walau bagaimana pun, masih 13 tahun, Pak."

"Justru lebih cepat lebih baik, sebelum dia tumbuh ke arah yang lebih salah!"

Aku mengatupkan gigiku rapat-rapat, seerat tanganku yang saling genggam di atas paha. Para guru mengundangku ke ruang mereka, tetapi yang mereka lakukan hanya saling berdebat sendiri seolah aku tak pernah ada di sana.

"Terakhir!" Pak Gading menegaskan. "Ini terakhir kali saya tutup mata. Jika selanjutnya anak itu masih bertingkah seperti barusan, saya tidak akan tinggal diam. Saya yang akan langsung mendatangi ibunya ke rumah."

Aku berjengit saat Pak Gading berbalik dan membanting pintu ruang guru di belakang punggungnya, meninggalkan kami dalam keheningan.

Ibu Jingga memecahkan keheningan dengan berjongkok di depanku dan menggenggam tanganku. Karenanya, genggaman tanganku langsung melonggar satu sama lain.

"Nila," kata Ibu Jingga dengan lembut. Nada bicaranya sama seperti biasa beliau bicara kepadaku, tetapi Ibu gagal menyembunyikan kesedihan di wajahnya. "Maaf, ya, Ibu bertanya begini, tapi apa ada anggota keluargamu di rumah yang laki-laki selain adikmu?"

Aku menggeleng. Semua guru pasti sudah tahu aku tidak berayah.

"Kamu punya tetangga yang akrab denganmu? Laki-laki?"

"Paman Tam," jawabku. "Adiknya ibu saya."

"Kalau yang seumuranmu?"

Aku mengedikkan bahu. Banyu Biru bukan tetanggaku. Atau ... mungkinkah? Maksudku, aku bahkan baru sadar ada perempuan seumuranku di sebelah rumah setelah bertahun-tahun, siapa tahu Banyu Biru memang salah satu anak kompleks?

"Kamu punya teman akrab di kelas?" tanya Ibu Jingga lagi. "Boleh Ibu tahu, siapa itu Banyu?"

Aku mengernyit. "Banyu ... dia teman saya."

Aku tidak tahu mesti menjawab apa.

"Teman," Ibu Jingga mengulang. "Kalian kenal di mana?"

Aku melemparkan pandang ke sudut ruangan, satu-satunya ruang kosong yang tidak diisi siapa pun. Guru-guru terlalu menekanku dengan tatapan mereka walau beberapanya tampak berbaik hati untuk tidak memandang langsung ke arahku.

"Kenal di ... em, sekitaran rumah."

"Dia pernah berkunjung ke sekolah? Kok, tidak izin?"

"Dia tahu-tahu muncul, mau bagaimana?" kataku keceplosan.

"Apa—" Ibu Jingga tampak kesulitan melanjutkan. "Apa dia yang memintamu mematahkan kursi?"

"Dia yang matahin kursi itu, bukan saya! Dia duduk di sana waktu itu."

Ibu Delima, guru BK, menyeruak menggantikan posisi Ibu Jingga. Disentuhnya bahuku. "Nila," beliau berkata tegas tanpa terkesan memarahiku. "Mari kita luruskan satu hal di sini, oke? Ibu harap kamu tidak marah."

Aku menunggu.

"Teman-temanmu, juga Ibu Jingga sendiri, melihat kalau kamulah yang duduk di atas kursi itu. Begitu kursinya patah dan kamu jatuh, kamu langsung bangkit dan duduk kembali ke kursimu sendiri sebelum tertawa."

Kutunggu dalam diam untuk beliau melanjutkan, tidak tahu mesti berkata apa.

"Nila, Ibu mohon, jika kamu punya sesuatu untuk dibagi, sesuatu yang ingin kamu ceritakan, ceritakanlah. Kami akan membantu. Kami akan berusaha, Sayang. Kalau kamu takut, kamu boleh cerita saat kamu siap. Datang saja kepada siapa pun yang ada di sini, kami akan mendengarkan dan berusaha membantu kamu, Nak."

Hening lagi. Aku menunggu lagi. Namun, apa yang kutunggu? Apa, sebenarnya, yang kuinginkan? Aku seolah berharap seorang atau semua guru di sini akan mengatakan hal yang berbeda—bahwa semua ini hanya salah paham. Aku bahkan berharap diriku menghilang sekarang juga dan tak pernah ada di tengah mereka.

"Bu," Bapak Pirus menyeruak maju dengan tongkatnya. "Bolehkah saya yang bicara dengan Anila? Kalau bisa, saya ingin ruangan ini sepi, biar Anila sendiri juga lebih nyaman." Beliau lalu menoleh ke arah Ibu Jingga. "Ibu Jingga boleh tinggal untuk mendampingi Anila, mengingat Ibu adalah wali kelasnya."

Saat para guru berjalan keluar kelas, aku tak kuasa mengalihkan pandang dari pintu. Kuamati mereka satu per satu. Aku tahu beberapanya punya simpati palsu dan merasa senang akhirnya bisa keluar, sedangkan beberapanya tampak ingin tinggal dan mendengarkanku lebih lama. Ibu Delima terutama, aku bisa merasakan tatapan mata beliau yang tak pernah meninggalkanku. Sesekali wajahnya prihatin, sesekali tampak marah. Aku tak mengerti campuran emosi di matanya.

"Nak," Pak Pirus mengembalikan perhatianku kepada beliau. Aku bahkan baru merasakan kedua tangan Ibu Jingga di bahuku, memberi tahu bahwa dirinya terus berada di dekatku. "Bapak mau bertanya, kamu jawab dengan singkat saja, ya?"

Aku mengangguk. Pada akhirnya, punggungku merosot dari sandaran kursi. Aku selalu merasa lebih santai dengan Pak Pirus. Beliau begitu kurus dan mungil, sangat tua dan lembut. Tak pernah ada ancaman yang terpancar dari beliau. Pak Pirus seratus persen orang baik. Guru baik.

"Adikmu, kalau tidak salah, namanya Abu-abu, ya?"

Aku berjengit mendengar adikku disamakan dengan seseorang yang kampret di kelas. "Grey."

"Iya, grey memang artinya apa?" tanya beliau dengan binar jenaka di mata.

"Kelabu," jawabku tak mau kalah.

Pak Pirus mengangguk-angguk sambil tertawa ringan. "Kamu ini pintar sekali, lebih pintar daripada Bapak."

"Lebih pintar Bapak," kataku sepenuh hati. "Bapak lebih banyak ilmunya."

Pak Pirus kian berbinar. "Wah, jujurnya."

Setelah sekian banyak ketegangan yang dituai, akhirnya aku mendengar Ibu Jingga tertawa di belakangku. Tangannya merileks di bahuku.

"Tapi, Nak, seumuranmu ini, Bapak masih buta huruf."

Aku mengangkat alis. "Masa?"

Pak Pirus menarik sebuah kursi lain, duduk di depanku. Tinggal tambahkan meja kecil dengan gelas kopi di atasnya, kami tak ubahnya pengisi acara sebuah talk show di televisi.

"Kami dulu sekolahnya susah, Nak," curhat Pak Pirus. "Cuma yang elit saja yang bisa sekolah. Kamu tahu, Bapak dan teman-teman Bapak dulu sampai disamakan levelnya dengan hewan semacam anjing."

Aku mengangguk-angguk. Rasanya aku pernah mendengar cerita ini dari nenek di zaman penjajahan. "Bapak umurnya berapa, sih."

Baru kemudian aku sadar, Ibu Jingga menahan napas. "Ups," kataku.

"Nggak apa-apa," Pak Pirus melambaikan tangan seperti menepuk udara. "Bapak tahun ini 70, tapi Bapak juga bisa gaul kayak kamu. Eh, tunggu ...." Bapak Pirus mengangkat wajah dan menatap Ibu Jingga. "Saya 70, 'kan, Bu? Atau jangan-jangan masih 60?"

Ibu Jingga terkikik. "Masih 17, kok, Pak." Ibu Jingga melongok dari atas kepalaku sehingga aku bisa melihat senyumnya yang secantik matahari sore. "Bapak Pirus ini dulu gurunya Ibu, lho."

Aku berdecak kagum.

"Nah, kamu," Bapak Pirus menotol-notol sepatuku dengan tongkatnya, "umur segini sudah baca yang berat-berat. Saya sering melihatmu kalau istirahat bukannya bergaul atau ke kantin, malah baca novel, 'kan?"

"Novel sejarah," Ibu Jingga mulai mengabsen. "Buku biografi. Sampai yang thriller juga, ya ampun, Nila, Ibu aja takut waktu lihat sampul bukumu yang ada merah-merahnya itu."

"Seru, Bu," kataku. "Dia memburu pembunuh berantai, ternyata dirinya sendiri pembunuhnya. Plot twist. Kalau nggak salah, Bapak Pirus pernah pinjam, ya?"

"Tapi, diksinya lemah, Nak," Pak Pirus berkomentar. "Bapak baca itu pakai muka datar. Bapak bahkan nggak terlalu kaget sama endingnya."

Bu Jingga terkesiap. "Bapak baca begituan juga?"

"Bapak juga suka fiksi," kata beliau. "Dan, ya, Bapak juga suka tenggelam di dalamnya. Kadang, Bapak membayangkan kalau karakter favorit Bapak sungguh hidup, atau malah Bapak sendiri yang menjadi karakter itu."

"Iya!" aku berseru. "Pernah, Pak, saya nangis kejer karena karakter yang saya suka mati di tengah-tengah buku!"

Ibu Jingga tertawa geli mendengarku, tetapi Pak Pirus tidak. Wajah tuanya malah tampak makin lelah seolah dirinya dipaksa kembali ke suatu masa yang jauh, di mana dia juga merasakan hal sama.

"Iya, tersesat itu kadang menyenangkan, ya," kata Bapak Pirus. Tongkatnya diam di sepatuku, tidak menekan keras, tetapi aku aku bisa merasakan keberadaanya. "Tapi, Nak, jangan lupa untuk pulang. Yang fiksi tetap fiksi. Yang nyata tetap nyata. Kalau kamu mencoba menyatukannya, Nak, pada akhirnya kamu harus memilih untuk melepaskan salah satunya."

Ibu Jingga terdiam. Begitu juga aku. Aku bahkan sudah tidak bisa merasakan lidahku di dalam rongga mulut. Gigi-gigiku sembunyi entah di mana. Aku kehilangan suara.

Kurasa, barusan itu Pak Pirus mencoba menyampaikan apa yang takut disampaikan para guru lain: bahwa apa yang kulihat tidak nyata. Selama ini aku berenang di duniaku sendiri, menyelam dalam halusinasi, sementara orang-orang berjalan di daratan. Untuk hidup layaknya orang lain, aku mesti naik ke daratan itu dan terseret arus manusia.

Pak Pirus memajukan dirinya hingga tidak lagi menyandari sandaran kursi. Tanpa kusadari, aku meneladani beliau. Suara Pak Pirus masih lembut, tetapi pekat akan ketegasan. "Kamu cerdas, Nak. Sangat cerdas. Dari cara bicaramu saja, Bapak tahu kamu sudah berkembang lebih cepat mendahului teman-teman seumuranmu. Tapi, Anila, kamu masih 13 tahun. Belajarlah, bermainlah, bergaullah, berbuatlah kesalahan lalu membenarkannya. Saat sudah waktunya, kamu akan mengemban tanggung jawab orang dewasa. Saat waktunya tiba, kamu mungkin merindukan masa anak-anak, tetapi setidaknya kamu merindukan itu karena sudah pernah merasakannya. Nah, Nak, Bapak ingin kamu tahu dan belajar, kalau hidup itu tidak sekadar meraih, tapi juga melepaskan."

Muncul rasa antipati dalam hatiku. Tanpa kusadari, wajahku jadi kecut. Rupanya ini adalah percakapan orang dewasa yang sok tahu tentang hidupku, menyuruhku mencari teman, tanpa tahu rasanya jadi aku. Tanpa bisa kuhentikan, aku keburu bicara, "Saya puas dengan saya yang sekarang." Mati sendirian juga nggak masalah, tetapi tidak kukatakan yang terakhir itu.

"Itu bukan kata-kata bijak." Pak Pirus menggeleng. "Manusia itu, Nak, tidak pernah puas. Manusia berubah, disengaja atau tidak. Tapi, itulah yang memanusiakan kita. Bu Jingga ini contohnya. Maaf, saya bawa-bawa masalah Ibu."

"Tidak apa-apa, Pak," sahut Bu Jingga. "Tahu tidak, Nila? Dulu, Ibu hampir berhenti jadi guru."

Aku mendongak untuk menatap beliau. Wanita itu tengah tersenyum sampai kerut usianya muncul di dekat mata, tetapi garis senyumnya getir. "Kenapa, Bu?"

"Tepat hari ini, enam tahun yang lalu, terjadi kerusuhan sampai tempat ini jadi kota mati. Kamu ingat?"

Ingat. Sangat ingat. Tidak mudah bagi anak berumur 7 tahun untuk melupakan kobaran api menyala di seberang rumahnya dan bunyi truk terbalik sampai teriakan orang-orang yang berlarian di jalanan. Orang-orang dalam baju kaus berlambang sebuah partai politik menelanjangi anggota partai oposisi mereka, mengacungkan tangan sebagai tanda solidaritas. Siapa pun—laki-laki, perempuan, tua, muda—yang memakai atribut partai lawan dikejar dan dipukuli.

Grey yang masih merah hanya bisa mengorok di pelukan Mama sementara aku menangis melihat kaus kakiku dibakar karena lampu minyak di rumah habis bahan bakar dan kami butuh penerangan.

Listrik mati. Air mati. Lilin habis. Dan, di rumah kami tidak ada laki-laki (Grey belum bisa dihitung karena umurnya masih beberapa minggu). Mama mendorong nakas untuk menahan pintu karena waktu itu pagar rumah kami masih kayu, dan beberapa orang lari ke halaman depan rumah kami, dikejar orang-orang bercelurit.

Mama menyuruhku masuk kamar dan menjaga Grey sementara dirinya mengawasi pintu depan. Saat itu aku masih terlalu kecil untuk paham, kalau seandainya orang-orang gila itu masuk ke rumah, Mama akan jadi mayat pertama di rumah kami.

Begitu aku mengangguk, Bu Jingga melanjutkan, "Suami Ibu meninggal karena terjebak kerusuhan waktu itu."

Aku menelan ludah. Kualihkan pandanganku agar tidak melihat air mata yang hampir meleleh ke pipi Bu Jingga.

"Jadi," aku berkata dengan suara gemetar, "Ibu hampir berhenti jadi guru karena sedih suami Ibu meninggal? Apa yang mengubah pikiran Ibu?"

"Justru Ibu berniat berhenti jadi guru sebelum itu," jawab Bu Jingga mengejutkanku. "Ibu bukan sarjana, Nila, dan waktu itu Ibu cuma guru honorer. Dulu, Ibu ini orangnya kurang motivasi. Punya masalah sedikit di tempat kerja, Ibu langsung putus asa. Lalu, suami Ibu meninggal. Ibu punya anak, dan dia seumuran kamu. Melihat dia yang mirip dengan ayahnya, ibu jadi berpikir: kalau bukan Ibu, siapa yang akan memberi makan kami berdua?"

Aku melipat bibir ke dalam dan menggigitnya kuat-kuat. Aku jadi ingat Mama, yang cantik parasnya dan mulus kulitnya, tetapi kelihatan menua lebih cepat karena menanggungku dan Grey. Dan, Mama tak pernah mengeluh akan itu. Mama menutupi keletihannya dengan candaan dan keusilannya.

"Untungnya waktu itu banyak rekan-rekan guru yang mendukung Ibu," lanjut Bu Jingga lagi. "Termasuk Bapak Pirus ini, yang tak henti-hentinya membimbing Ibu sampai jadi guru tetap seperti sekarang."

Aku menggembungkan pipiku setelah merasa suasananya tidak sesedih tadi. "Jadi ... apa saya sudah boleh pulang?"

Aku merutuki diriku kemudian, terlambat menyadari betapa aku bahkan tidak mengucapkan turut berduka cita atau apalah itu seperti yang biasa diucapkan Mama dan orang dewasa lainnya.

"Satu hal lagi, Nila," Bapak Pirus berkata. "Lepaskan apa yang bukan milikmu, Nak, tapi jangan buat kehilangan itu membuatmu berhenti meraih yang lainnya. Tuhan menggariskan hidup bukan untuk menghukummu. Dari kehilanganmu, ada kedamaian yang datang, entah untuk dirimu sendiri atau orang lain."

Aku sempat mengira ada Banyu Biru di depan kantor guru, menungguku keluar. Mungkin itu gara-gara lesung pipitnya. Yang jelas, segera kusadari itu bukan Banyu Biru, melainkan Abu.

Abu dan kawanannya ternyata menguping. Segera saja aku menjadi bulan-bulanan begitu keluar dari ruang guru. Aku berlari pulang ke rumah, masih diikuti ejekan mereka. Walau mereka sudah jauh tertinggal sekali pun, aku tetap mendengar mereka dalam kepalaku: Siapa itu Banyu? Hantu dari perpus yang tidak ada kepalanya itu, ya? Atau yang sering menangis di WC perempuan?

Rumah sepi. Mama masih bekerja, Grey pasti dibawa bersamanya. Berbeda denganku, Grey jarang mau dititipkan dengan Paman Tam. Bahkan jika ada Ratu Inggris mengiming-imingi cokelat kerajaan, Grey akan tetap lari ke pelukan Mama.

Omong-omong cokelat ....

Aku langsung berlari ke kamarku, mencari-cari bungkus cokelat yang belum kubereskan dari kedatangan Banyu tadi malam. Semuanya ada, begitu bersih karena Banyu yang menjilatinya sampai tandas. Dia memang jorok. Bukan aku.

Aku jarang makan cokelat. Bukan aku.

Tanpa melepas seragam sekolah, aku naik ke atas ranjang dan tidur meringkuk.

Begitu aku bangun, langit senja sudah membentang. Walau aku tidur seharian tanpa ganti baju, Mama tidak marah karena baru gajian. Mama hanya menyuruhku mandi dan ganti baju. Selesai mandi, aku mengambil pasokan permen cokelat lebih banyak daripada biasanya.

Kutunggu Banyu Biru sampai larut malam. Sepertinya dia terlambat datang.

Aku terbangun paginya, masih memungkiri kalau Banyu tak datang semalaman.

Aku berangkat sekolah dengan semua cokelat-cokelat persetan itu dalam tas. Akan kulemparkan semua makanan manis itu ke muka slengean-nya di kelas.

Aku menunggu sampai jam sekolah selesai, lalu pulang ke rumah dengan dada berdebar. Sepi, tetapi kepalaku terasa penuh. Kenapa bocah got itu tidak muncul?!

Malam itu Banyu tak terlihat lagi. Besok, akan kuracuni dia dengan kacang!

Sepi sekali.

Paginya lagi, aku merapikan meja belajarku. Mungkin Banyu memang bisulan gara-gara aku tak pernah membereskan tempatnya. Selama ini dia duduk di atas meja belajarku, tetapi aku cuma memarahinya saat dia duduk di atas meja sekolah.

Sepi.

Setelah hari ketujuh, bendungan dalam kepalaku pun jebol. Mama dan Grey tidak ada. Aku sendirian di rumah. Jadi, tidak ada yang mendengarku saat aku memohon ke meja belajarku. Kubiarkan air mataku berjatuhan.

"Apa gara-gara ucapan Pak Pirus waktu itu?" Tanganku meremas sebungkus cokelat yang sudah meleleh di dalam. "Jadi, kamu betul-betul cuma imajinasiku? Setelah Pak Pirus berkata begitu, otakku jadi sadar dan kamu hilang, begitu?"

Banyu Biru tidak menjawab. Dia bahkan tidak ada di sana.

"Tidak apa-apa." Aku sesenggukan. "Kalau kamu sungguhan imajinasiku saja, tidak apa-apa. Aku tidak masalah berteman dengan sesuatu yang tidak ada. Kamu lebih baik daripada mereka yang nyata. Tapi ... tapi—"

Kulemparkan cokelat-cokelat itu ke meja belajar.

"Kalau mau hilang, jangan hilang sendirian! Ajak aku, dasar bodoh! Egois! Jahat! Seenaknya sendiri! Kamu yang datang kemari, sekarang menghilang seenaknya! Setidaknya, BAWA AKU!"

Barangkali Pak Pirus benar. Barangkali teman-temanku juga benar. Paman Tam pembohong dan aku pengkhayal. Sekarang, setelah aku menyadarinya, Banyu Biru pun lenyap.

Aku naik ke atas tempat tidur dengan mata bengkak dan kepala yang terasa berat. Kurasa, aku tidak punya pilihan selain melepaskannya.

Song credit: Different Worlds by Jes Hudak

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment (kritik juga gapapa) = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro