Bagian VII: 2 tahun kemudian, Nila di bangku SMA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

What's with the desolation?

Can we build in pain?

We've been on this fraction

In the depths of despair to start over and over again

Bulan November dingin luar biasa. Hujan turun tiap pagi sampai siang, lalu turun lagi semalaman. Kutunggu hujan reda di depan kelas sementara anak lainnya sudah menerobos tirai air dengan payung.

Seseorang mendepak tudung jaketku sampai kepalaku ikut tersentak ke depan.

Memang azab berturut-turut pasca ospek. Di tingkat teratas pendidikan wajib pun, di mana seharusnya aku bisa terbebas dari setan penggoda, aku kembali direkatkan dengan Abu. Sialnya, lelaki itu duduk di depanku. Lagi.

Dulu, dia anti bicara padaku dan hanya melayangkan ejekan-ejekan tak langsung yang menyakitkan. Sekarang, Abu telah menaikkan level penyiksaannya. Dia sering berbalik ke belakang untuk mengambili barang-barangku, menanyakan apakah kabarku buruk, atau sekadar menyapa, "Anila Jelekta!"

Nila kecil pasti bodoh sekali bisa sampai naksir cowok macam ini. Aku takkan pernah mengerti bagaimana bisa dulu aku menaruh hati kepada Abu. Sekarang, dia tidak lagi berambut licin. Dia sudah belajar kalau jambul atau rambut berdiri mirip cucuk-cucuk kaktus itu keren, lagaknya seperti jagoan kampung padahal aslinya gemblung, dan sudah tak terhitung berapa kali aku nyaris memuntahi wajahnya.

"Kamu nunggu hujan berhenti? Atau nunggu dijemput pacar khayalan?" tanya Abu sambil menyunggingkan seringai miring. Karena dia tinggi, dia sengaja berdiri dekat denganku supaya bisa menunjukkan bahwa dia mesti menunduk ke bawah buat menatapku. Tambah umur, tambah psikopat.

Aku memasang wajah datar. Walau, pasti enak rasanya kalau bisa mendongak mendadak dan menghajar dagunya pakai kepala.

Sabar, Nila. Kupejamkan mataku dan menghitung sampai tiga.

Jangan hilang kontrol. Satu

Kendalikan diri. Dua.

Sumpahi saja dalam hati. Tiga.

Abu sudah berjalan pergi meninggalkanku begitu aku membuka mata. Karena gagal memancingku, dia mencari masalah di sepanjang lorong dengan menabrak bahu anak-anak lainnya yang lewat. Ada satu anak perempuan, yang langsung meneriakinya. Satu kakak kelas, yang menyumpahinya. Namun, tidak seorang pun berani mengejarnya.

Satu anak laki-laki berbadan kecil yang, dari lambangnya, seangkatan denganku, tidak melakukan apa pun selain pasrah terpepet ke dinding saat Abu menabraknya. Kacamatanya jatuh ke lantai, dan Abu langsung menendang benda itu sampai masuk ke bawah kursi panjang di depan kelas sebelah.

Sementara kakak kelas dan siswi di lorong itu membantu si kecil mencari kacamatanya di bawah kursi, aku berjongkok di depan parit dan memungut tangkai besar kamboja merah yang rontok diterjang hujan untuk dimainkan di sisi got. Si kakak kelas tahu-tahu memanggilku. "Kamu!" teriaknya, mengalahkah suara hujan. "Sini! Bantu kami!"

Aku kenal dia dari ospek. Lagaknya selangit. Harga dirinya tidak bisa kena usik sedikit. Mungkin dia berharap aku langsung berlari menghampiri mereka dan menyelipkan badan ke bawah kursi untuk mendapati bahwa kacamata itu malah sudah terambil oleh si siswi.

Sebelum aku sempat berdiri, siswi itu, sesuai dugaanku, sudah bangkit lebih dulu dengan kacamata si lelaki kecil di tangannya. Didekatinya si kakak kelas, lalu berbisik sambil sesekali melirikku. Kukenali dia sebagai teman sekelasku, kalau tidak salah namanya ... Perak. Gadis itu duduk paling depan, paling tinggi kalau mengacung tangan, paling nyaring suaranya saat pertanyaan rebutan. Supel, dia mengajakku berkenalan duluan, berkata kalau aku ini pendiam dan lembut, tampaknya bisa menjadi teman baik karena menurutnya aku ini anak yang tak suka cari masalah. Beberapa minggu kemudian, aku mendengarnya mengatakan "sombong" dan "sok jual mahal" kepada teman sebangkunya tentang diriku.

Jangan hilang kontrol, kuulangi semua itu bak mantra. Marah boleh, tapi jangan hilang kontrol. Sumpahi saja dalam hati.

Setelah dibisiki oleh Perak, si kakak kelas malah makin menggebu untuk mendekatiku. Namun, langkahnya terhenti saat Abu berteriak dari ujung lorong. Si urakan itu kembali dengan menaiki sepedanya. Kuduga, Abu langsung kembali ke sini dari parkiran sepeda alih-alih pulang karena menemukan sasaran baru: si lelaki kecil berkacamata.

"Minggir, kalian cebol-cebol!" teriak Abu seraya mengayuh sepedanya. Si kakak kelas dan Perak langsung lari tunggang langgang melewatiku tanpa mengindahkan si anak berkacamata yang masih belum mendapatkan kacamatanya kembali. Perak lari sambil masih membawa-bawa kacamatanya.

Aku malah terpana kepada si kecil itu, yang mencoba masuk ke bawah kursi tempat kacamatanya jatuh. Abu senang sekali melihat sasarannya lebih empuk daripada dugaannya, dan aku tak menyangka si kecil itu lebih bodoh dari dugaanku.

Si kecil tersangkut, pantatnya masih tertinggal sementara separuh badan sampai kepalanya sudah dinaungi kursi panjang. Entah memang sudah tak waras lagi atau memang dari lahir jiwanya kering, Abu mundur jauh mengambil ancang-ancang, mencondongkan badan seperti membidik si kecil, lalu mengayuh.

Tangkai kamboja merah di tanganku ini lumayan besar. Malah, benda ini bisa saja batang atau cabang utamanya. Tanpa pikir panjang, hanya digerakkan oleh desakan insting dan the power of kepepet, kulemparkan tongkat ajaibku. Ia masuk tepat ke celah jari-jari roda sepeda Abu, seketika menjatuhkan sang sepeda malang bersama pengendaranya. Kuharap, sepedanya tidak lecet.

Si kecil buru-buru menarik diri dari bawah kursi dan berlari ke arahku. Kalau dipikir-pikir, saat itu justru dialah yang paling waras karena dia menarikku berlari bersamanya, sementara aku malah memekik-mekik sambil melompat-lompat dan bertepuk tangan. Setelah Abu bangkit, barulah aku mengekori si kecil.

Kami berlari ke belakang sekolah, sengaja mengambil jalan di antara lab komputer dan toilet guru karena Abu takkan bisa melewatinya dengan sepeda. Basah kuyup, aku dan si kecil itu malah tertawa-tawa.

"Kamu keren banget!" teriak si kecil itu girang.

Suaranya agak kesat. Aku mengharapkan suara tinggi melengking, tetapi yang kudengar adalah suara tercekik sumbang khas laki-laki yang baru balig. Dia lebih pendek dariku, tetapi mukanya jerawatan. Kulitnya sewarna kopi dan giginya secemerlang ubin lantai masjid sekolah. Tanpa kacamata, aku baru menyadari matanya yang cekung dan berkantung. Dari postur badan bungkuknya, kuduga dia menghabiskan separuh harinya bermain game konsol atau komputer.

"Gila!" suaranya pecah. "Kamu melempar itu tadi dan langsung wush! Terus dia jatuh! Dan kamu masih bisa ketawa! Dan—" Dan terdengar suara meringik darinya.

Kuamat-amati lelaki itu yang menggigil dan tersengal-sengal, tetapi masih saja semringah. Aku mengernyit. "Kamu asma, ya?"

"Hah? Eh, iya,"—suara napas mendecit—"Enggak apa-apa. Nanti stop sendiri."

Aku membalikkan badan, lalu berjongkok di depannya. "Naik sini."

"Hah?" sengalnya melongo.

"Naik," desakku, masih berjongkok menawarinya tumpangan di punggungku. "Abu itu psikopat. Kalau dia ngejar, dan kamunya bengek, kita bakal mati berdua. Aku enggak bakal cerita ke siapa-siapa, kok. Besok kita ketemu, aku bakal pura-pura enggak kenal kamu."

"Aduh," keluhnya. "Jangan, deh! Kalau Abu datang, kamu tinggalin aja aku."

Aku menoleh, menatap lelaki itu dengan alis terangkat. "Yakin?"

Hanya satu kata itu saja, dan dia luluh. Rupanya dia juga belum siap mati dilindas Abu. "Maaf, ya. Aduh, aku memang malu-maluin."

"Enggak apa-apa," kataku seraya berdiri dan mengeratkan pegangan ke kedua kakinya yang gemetaran di pinggangku, lalu mulai berjalan menelusuri pagar sekolah. Aku bisa mendengar dengan jelas bunyi napasnya yang terjepit. "Kamu seukuran adikku, jadi enggak masalah. Yah, mungkin kamu lebih tinggi sedikit."

"Adikmu umur berapa?"

"Enam ..." kataku, dan aku merasakan debaran jantungnya di punggungku, menggemakan rasa mindernya. "Belas," dustaku kemudian.

"Oh," desahnya lega. "Kalian kembar? Atau beda beberapa bulan?"

Aku tak sampai hati untuk bilang umurku sendiri bahkan belum genap 15.

"Eh, namaku Zamrud, omong-omong. Kelas X IPA 3."

"Aku Nila, X IPS 2."

"Anila Jelita?" tanyanya, dan aku pun tahu bahwa dia akan menanyakan embel-embel 'anak penyihir'-ku. Namun, Zamrud melanjutkan, "Yang pindah jurusan itu, ya? Aneh, lho, banyak yang mau masuk IPA di sekolah kita, tapi kamu,"—suara decit napas lagi—"kamu malah pindah ke IPS."

Kakiku dingin, perutku mulai kembung, air menetes-netes dari ujung rambutku. Menggendong seorang laki-laki seumuranku yang seukuran Grey, aku membisiki diriku sendiri, Jangan kentut, jangan kentut.

Aku menengok. "Eh, rumahmu di mana?"

"Tahu Kafe Komet, enggak? Rumahku pas di sebelahnya."

"Kafe itu es krim vanilanya enak banget," komentarku.

"Iya! Nila, kukira kamu anaknya jutek, ternyata asyik-asyik aja tuh."

Aku melipat bibir ke dalam untuk menyembunyikan gigiku yang bergemelutuk. "Kamu jangan ngomong lagi, deh. Suara napasmu tambah keras—bikin cemas. Kalau kamu mati di punggungku, aku enggak punya alibi, dan saksiku cuma Abu."

Zamrud terbahak dan suara decit napasnya membuatku tambah khawatir.

"Eh, boleh tidak, besok kalau ketemu lagi, jangan pura-pura enggak kenal?" pintanya. "Sapa aja! Kalau aku diam sebentar, berarti aku lagi berusaha mengenali mukamu, soalnya kacamataku masih dibawa cewek tadi."

"Iya ... oke," kataku ragu-ragu. "Tapi tolong jangan ngomong lagi. Suara napasmu sudah berat banget."

"Oke, deh."—decit napas lagi—"Oh, omong-omong, Nila, di kelasmu ada beberapa teman lamaku, lho. Kamu kenal, enggak sama si—"

Padahal, dia kedengaran tersiksa sekali di setiap kata, tetapi Zamrud tetap bicara. Kurasa dia masih gugup digendong anak perempuan. Yah, dia tidak punya pilihan. Dia asma dan sekarang hujan, kalau jalan dengan kakinya sendiri, dia akan ambruk dalam hitungan menit dan mayatnya mungkin digigiti Abu kalau cowok itu menemukannya.

Aku menjawab obrolannya seadanya. Saling sapa adalah awal perkenalan. Perkenalan adalah awal hubungan. Hubungan bisa bercabang: pertemanan, kenalan canggung, sahabat, kekasih, atau musuh. Aku selalu ragu. Bagiku, satu-satunya hubungan yang bisa kuterima mampu terjalin hanya di antara aku, Mama, dan Grey.

Keraguan itu lama-lama memudar sendiri seiring pembicaraan kami yang mulai ke mana-mana, lantas lenyap seketika, seolah hujan membasuhnya untukku.

Jangan hilang kontrol.

Kalimat itu mengangkatku ke permukaan di saat aku nyaris tenggelam. Dadaku sesak, dan sepertinya napasku sempat hilang untuk sesaat. Aku membuka mata dan mendapati Mama yang tengah membelai kepalaku. Ibu jarinya mengusap pipiku, menghapus air mataku. "Tidur, Sayang," bisiknya. "Besok sekolah."

Aku memejamkan mata lagi, mencoba kembali tidur walau tahu bahwa mimpi gelap itu akan kembali menyambangi. Namun, berkat mimpi buruk ini juga, Mama yang dulunya santai saja menghadapiku, sekarang serius menanggapi keluhanku.

Ia terus berulang tiap malam. Mimpi itu dimulai di air. Aku ditarik ke dasar air keruh, tenggelam, sampai sesak napas. Ada tiga orang wanita aneh di dasarnya, bicara bergantian padaku. Yang satu mencecarku dengan pertanyaan, yang satu lagi mengatakan hal-hal mengerikan, dan yang ketiga terus memberi tahu bahwa aku tidak boleh begini dan begitu.

Di sekelilingku, ada ikan-ikan bersayap dan sisik menyala terang seolah mereka makan bohlam untuk sarapan. Sekelebat, aku melihat banyak sekali daun pintu melayang terbawa arus air.

Begitu berhasil naik ke permukaan, kusaksikan ribuan bintang jatuh dari langit. Di bawah bentangan kelam, puluhan bangunan rubuh di dalam asap pekat dan burung-burung terbang searah menjauhi kota. Aku berjalan menjauhi kekacauan itu, masuk ke dalam hutan dengan sekujur tubuh basah dan kaki yang lecet, hanya untuk menyaksikan seorang anak laki-laki terbaring di bawah pohon beringin.

Setiap kali aku ingin melihat wajahnya, yang kusaksikan hanya simbahan darah. Sosok lain berdiri di belakangku, berbisik lembut ke telingaku: "Kamu yang membunuhku."

Lalu, aku terbangun sambil memekik.

Paman Tam bilang, bermimpi melihat darah itu artinya jelek. Sangat jelek.

Begitu terbangun dari mimpi, aku justru merasakan sakit hati luar biasa. Bantal-bantal kulempar, selimut kusibak, seprai kubanting, dan seluruh amarah itu selalu tertuju kepada meja belajarku yang kini kosong melompong. Aku tak pernah mengatakan kepada siapa dan mengapa aku marah, dan Mama juga tak bertanya.

Aku bahkan tak tahu apakah Mama paham kenapa kadang aku tantrum sendiri.

Mama hanya memelukku, lalu berbisik, "Jangan hilang kontrol, Sayangku. Marah boleh, tapi jangan hilang kontrol."

Bahkan setelah setahun lamanya, aku tak pernah benar-benar melepaskan-nya.

(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan    

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro