Bagian VIII

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

I was dreaming of a land

Where you and I can be left hand-to-hand

SATU HAL yang perlu kusyukuri dari sekian azab di sekolah baru ini adalah keberadaan dua malaikat di kelas: Safir dan Magenta.

Magenta adalah anak tetangga yang baru kusadari eksistensinya belakangan karena aku lumayan terisolasi di dalam rumah. Kami tidak satu SMP, tetapi sekarang kami berada di SMA yang sama. Dia anak yang pendiam, bahkan lebih pendiam dariku. Matanya tajam, alisnya tebal dan berbentuk begitu tegas sehingga kesannya dia merajuk setiap saat. Kepribadiannya juga membuat orang-orang segan. Ketimbang pemalu, Magenta lebih pantas disebut penyendiri. Bahkan orang sepertiku pun diabaikannya. Namun, justru itulah yang membuatku buru-buru menggaetnya sebagai teman sebangku.

Tak ubahnya patung penjaga berwajah dingin, Abu seolah diredam oleh kehadiran Magenta di sisiku dan paling-paling hanya menoleh ke belakang sekitar tiga kali dalam sehari. Jika Magenta sedang kambuh aura mencekamnya, keajaiban terjadi karena Abu tak menoleh ke belakang sama sekali, paling-paling hanya melemparkan kertas bergumpal kepadaku yang tulisannya kurang lebih: Jangan pelet aku! atau Mana teman hantumu?

Suatu hari yang menyiksa di bulan Agustus, Magenta jatuh sakit dan absen, segel pun terlepas. Abu nyaris menganggapku sebagai papan tulis dan tidak mau menghadap depan sama sekali. Dua halaman bukuku robek, dan dia melipatnya menjadi pesawat terbang. Untungnya, saat itu Safir melerai sebelum aku sempat menggulung lengan seragam.

Kalau kalian melupakan Safir, kembalilah kalian ke Bagian IV wahai Orang-orang-Asing-yang-Tengah-Membaca-Kisah-Hidupku!

Safir dan Abu duduk berdua di depanku karena; satu, mereka berasal dari SMP yang sama dan tak begitu punya pilihan di awal karena belum akrab dengan anak-anak lainnya; dua, Abu tidak lagi sekekanakan itu untuk menguasai dua kursi. Yah, level kekanakannya naik ke arah yang lain.

Safir kembali ditunjuk sebagai ketua kelas, yang mana membuatku agak mengasihaninya. Lelaki itu tampak tak menginginkan jabatan apa pun, tetapi dia juga tak pernah menolak apa pun yang diberikan kepadanya, bahkan meski itu adalah beban berupa sekumpulan anak rusuh susah diatur yang pernah mengunci pintu dan menutup semua gorden sampai guru agama kami batal masuk karena menyangka kelas kosong.

Safir tak ubahnya raja yang arif, dan Magenta adalah pendekar wanita yang mengawalku dalam diam.

Keduanya nyaris gagal menghalau Abu dari menghajarku pagi itu.

"Kita omongkan baik-baik!" Safir mencoba berteriak dan memegangi Abu dengan percuma. Kelas masih sunyi, dan hanya ada sekitar enam orang anak di dalam kelas kami, termasuk aku, Safir, dan Magenta. "Abu! Jangan sampai kita berurusan ke guru! Tenang!"

Abu tak mendengarkan dan masih mencoba menggerapai ke arahku. Dua laki-laki lain mengerangkengnya, satu gadis yang tak lain dan tak bukan adalah Perak berusaha menenangkannya dengan meniru semua perkataan Safir. "Iya, Abu, sabar. Kasihan Nila."

Dasar buntelan debu, padahal tadi dia berlari ke arah berlawanan saat melihat Abu yang menerjang ke arahku. Setelah memastikan kemarahan Abu hanya tertuju kepadaku, barulah gadis itu mendekat dan memainkan peranan sebagai penengah.

"Dasar cewek—" aku menutup pendengaranku, menghindari perkataan kotor yang dilontarkan Abu untukku. Dadaku berdebar-debar, tetapi aku berusaha sebaik mungkin untuk memasang wajah datar. "Sini kamu! Jangan sok mengabaikanku!"

"Abu, duduk!" bentak Safir untuk kesekian kalinya. Tentu saja Abu tak mengindahkannya.

Magenta melirik jam dinding, yang sudah menunjukkan pukul 7.15. Lalu, dia melirikku. Ada sorot tak nyaman yang terbesit di matanya. Sebentar lagi, kelas ini akan penuh, aku paham sekali apa yang Magenta coba sampaikan. Teman sebangkuku pun menepuk-nepuk lengan atasku, entah untuk meminta maaf, ungkapan turut berduka, atau dukungan bahwa dia akan membelaku. Dengan Magenta, kurasa semua itu mungkin saja bercampur jadi satu.

Aku berdiri dan memberi kode kepada Safir untuk melepaskan Abu. Sang ketua kelas masih cukup waras untuk tidak menurutiku, tetapi kebingungan sesaat membuat pertahanannya buyar dan pegangannya melonggar. Abu berhasil menembus barikade yang dibuat dua temannya, lantas menjamba ke arahku. Dengan pertimbangan bahwa aku akan sangat membutuhkan tangan kanan, aku menaikkan siku tangan kiriku untuk melindungi wajah.

Cengkraman Abu luar biasa kasarnya, dan aku luar biasa nekatnya. Aku berputar untuk lari walau aku tahu gerakan itu fatal. Tangan kiriku terpuntir, dan aku pun menjerit sambil jatuh berlutut. Abu buru-buru melepaskanku.

Barulah kelas sunyi. Perak bahkan menghentikan omong kosongnya.

"Kayaknya, kau habis bikin anak orang cacat," Magenta memanas-manasi. Aku tak mendengar bantahan Abu, tetapi mendengar dengusan napasnya saja agak membuatku lega. Kurasa dia masih punya secercah akal sehat.

"Ayo, duduk," sengal Safir, lalu terdengar suara kursi yang diseret. Lelaki itu pun menghampiriku. "Kamu bisa berdiri, La? Mau ke UKS dulu?"

Aku menggeleng sambil memegangi bahu kiriku yang berdenyut-denyut. Air mataku menetes ke lantai ubin. Buru-buru kuseka pipiku, lalu aku berbalik.

"Maaf," kataku serak. Aku ragu ada yang mendengarku, tetapi ruangan cukup sunyi, jadi kulanjutkan saja. "Rantingnya terbang sendiri dari tanganku waktu itu."

Safir tersedak, Magenta membuang muka untuk tertawa, dan dua laki-laki lainnya malah sudah tertawa. Perak bertindak pintar dengan mundur dua langkah menjauhi Abu yang memerah wajahnya.

"Jadi," Safir berdeham, tangannya menekan dada Abu sebelum teman sebangkunya itu sempat melompat ke arahku. "Biar kuluruskan. Dari yang kudengar dari pertengkaran kacau kalian—"

"Cuma dia yang bertengkar sendiri," bantahku sambil memijat-mijat bahu, "aku diam saja dari tadi. Yang teriak-teriak, 'kan, hanya dia."

Safir berdeham lebih keras. Tangannya meremas dada seragam Abu karena teman sebangkunya sudah mendengus bak banteng diselubungi kain merah. "Iya, dari yang kudengar sekilas, Nila nggak sengaja melempar tangkai kamboja—"

"Sengaja, kok," selaku lagi.

Safir memelototiku, menyuruhku tutup mulut. Magenta malah membuka mulut lebar-lebar untuk tertawa, begitu juga dua siswa lain yang kini sudah ambil jarak aman dari Abu. Perak bahkan cekikikan sambil menutup mulutnya dengan tangan. Semuanya berhenti bersuara begitu Abu bangkit berdiri dari kursinya.

"Sabar," Safir memberi peringatan, lalu mendorong pelan bahu Abu agar lelaki itu kembali duduk. "Oke, jadi Nila nggak sengaja membuat sepeda Abu jatuh."

Safir mengatupkan bibir rapat-rapat ke arahku sampai dagunya maju, menantangku untuk menyelanya lagi. Aku hanya mengangkat bahu yang sehat sebagai respons karena memang kenyataannya aku tak sengaja menjatuhkan sepeda Abu. Tangkai kamboja itu kutunjukkan ke orangnya, bukan sepedanya.

"Tapi," Safir melanjutkan, tatapannya menyasar Abu kali ini. "Itu juga karena Abu mencoba menabrak anak kelas sebelah pakai sepeda."

"Itu hanya untuk bercanda!" tukas Abu.

"Nah, anggap saja aku juga sedang bercanda dengan sepedamu."

Mendengarku, Magenta dan dua lelaki lainnya kembali terpingkal-pingkal. Perak, yang sudah kembali ke kursinya sendiri, menyelipkan rambut ke belakang telinga untuk menguping.

Saat Abu berdiri lagi, Safir mengejutkan kami semua dengan menghentakkan kakinya ke lantai dengan keras. Kemarahan terpancar di sepasang matanya, membuat kami terdiam, bahkan Abu duduk kembali. Aku buru-buru menunduk, teringat Mama yang kalau marah akan memelotot tanpa berkata-kata.

"Kamu mau diam sebentar, La?" tanya Safir, yang sama sekali tidak mengharapkan jawaban dariku. Dia kembali fokus kepada Abu. "Sesalah-salahnya Nila, aku bisa menangkap maksudnya. Kamu bermaksud bercanda ke si..."

"Azam," sahut Perak dari kursinya. Tuh, 'kan, dia masih menyimak. "Azam Rudin. X IPA 3."

"Oh, Zamrud," kata salah satu lelaki yang sejak tadi duduk di samping Abu. "Si kacamata yang penyakitan itu, tuh, Fir. Yang pingsan tiga kali pas ospek."

"Kamu bermaksud bercanda ke Zamrud," Safir melanjutkan. Suaranya jauh lebih tenang. "Tapi, dia belum tentu menganggapmu bercanda. Sebaik-baiknya, aku berharap kamu berhenti bertingkah kayak preman dan mem-bully teman-teman. Tapi, kalau kamu nggak bisa menuruti itu, setidak-tidaknya kamu juga tidak bisa menghajar Nila. Dia membela orang yang kamu ganggu."

"Selesai," kata Magenta. Gadis itu pun berbalik dan kembali mengubur wajah ke kedua lengannya yang terlipat di atas meja, tutup mata dan telinga. Dua siswa lainnya masih menunggu, kalau-kalau Abu hanya berpura-pura mendapat ketenangan jiwa dan memutuskan untuk mencekikku saat yang lain lengah.

"Untuk menyelesaikannya," kata Safir sambil tersenyum—padahal baru beberapa saat lalu dia memasang wajah gahar. "Ayo, kalian berjabat tangan."

"Cuih!" Abu mencibir. "Ogah. Nanti kena santet."

"Tenang saja," balasku. "Aku sudah pernah coba kirim satu ke kamu, tapi setannya balik lagi karena katanya mesti antre di belakang iblis-iblis lain."

Aku melompat dan berlari keluar kelas bersamaan dengan Abu yang bangkit berdiri sampai menjungkalkan kursinya.

Aku bolos jam pertama dan kedua untuk merawat bahuku sendiri di UKS dengan balsam, lalu masuk di jam ketiga dengan mengekori guru mata pelajaran selanjutnya. Magenta menyambutku dengan senyum geli begitu aku duduk di sebelahnya, Safir tampak pucat dan terus melirik ke arahku seolah tak habis pikir kenapa aku masih berani menampakkan muka. Abu tidak menoleh, tetapi aku tahu dia tengah menyusun rencana untuk mendekatiku saat guru pergi.

Saat istirahat, aku nekat keluar lewat jendela. Abu tidak sempat mengejarku karena Magenta sengaja memajukan mejanya untuk memperlambat Abu.

Saat bel masuk berbunyi, aku kembali mengekori guru yang masuk ke kelasku. Namun, seisi kelas sudah terlanjur tahu dengan masalah ini. Mereka melemparkan tatapan antara heran dan takjub ke arahku.

Pulang sekolah, aku berlari menembus hujan, dikejar Abu pakai sepedanya di belakang. Anak-anak yang tahu kisah kami bersorak sorai menyemangatiku berlari.

Siklus itu berlangsung selama seminggu. Mengekori guru, kabur lewat jendela, pulang menembus hujan sambil diuber pakai sepeda. Dalam tujuh hari, kakiku jadi berotot. Dalam tujuh hari, aku jadi model rambut lepek dalam derai hujan. Dalam tujuh hari, nama Anila Jelita dikenal di seantero sekolah—bukan sebagai Anak Dukun atau Cewek Hantu, melainkan sebagai Pawang Abu.

Namun, kalian tahu, tidak?

Hanya butuh satu malam untuk mengembalikan semua reputasiku sebagai Gadis Penyihir.

(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan    

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro