Bagian IX

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Being alone is a choice

But loneliness is the voice

Of loss, of hope, from being alone

Which you suffer on your own

"KACAMATA ITU dari ayahku, La."

Aku hendak bertanya apa hubungannya itu semua denganku, tetapi tak sampai hati. Gatal mulutku untuk mendesaknya dari mana dia tahu alamat rumahku, tetapi kedengarannya seperti aku menuduhnya yang tidak-tidak dan berkesan ingin buru-buru menyuruhnya undur diri, yang mana merupakan sebuah kebenaran yang pahit. Ingin kubertanya maukah Zamrud pergi, tetapi Mama masih mengawasi di belakangku agar aku berlaku baik terhadap tamu.

"Tolong, La." Zamrud mengecilkan suaranya, tak enak jika didengar Mama. "Abu bilang, kalau mau kacamataku balik, aku mesti pergi denganmu. Nggak boleh ajak orang tua atau orang dewasa."

Dasar bulu keset—Perak, bukannya mempertahankan barang milik orang, malah menyerahkan kacamata Zamrud ke Abu karena diancam, lalu cuci tangan.

Abu juga sama saja—preman kampung. Kehabisan akal mengejarku selama seminggu, dia malah pakai acara menyandera kacamata orang.

Aku berdecak. "Minta lagi saja sama ayahmu buat dibelikan yang baru."

Zamrud berkaca-kaca matanya. Rawan hatiku melihatnya, bukan karena tak tega. Dengan ukuran badannya, aku benar-benar melihat sosok Grey dalam dirinya, dan aku selalu teringat momen di mana Mama memencet hidungku keras-keras jika aku membuat Grey menangis.

"Ayahku kerjanya di Afrika Timur. Kami bertemu cuma satu tahun sekali. Kalau pakai kacamata itu, rasanya Ayah ada di sampingku. Tolong. Ini permintaan seumur hidup. Sehabis ini, kamu mau apa pun kukasih. Kutraktir es krim vanila di Kafe Komet seminggu, atau kamu mau laptopku, atau apalah yang kamu mau."

Aku ingin bilang bahwa aku tidak tergoda dengan iming-imingnya. Kalau aku bilang bahwa aku bersimpati dengan kisah sedihnya pun, itu berbohong. Aku tidak bisa menjelaskan dorongan yang pada akhirnya membuatku mengangguk. Mungkin aku cuma kepingin es krim vanila.

"Di mana?"

"Taman Makam Pahlawan, La," bisik Zamrud sembari melirik Mama takut-takut. "Maaf, Nila, tapi aku benar-benar berharap kamu bisa ikut."

"Ya sudah," dengusku. "Aku ambil jaket sebentar."

Aku baru balik badan saat Grey tiba-tiba menghambur keluar dengan jaketku di tangannya. Mengabaikan Mama yang membelalak, anak itu memekik-mekik sambil menenteng-nenteng sandal di tangan satunya, "Ikut dong!"

"Nggak!" Aku balas memekik seraya merenggut jaketku dari tangannya dan mengenakannya. Kulirik Mama penuh harap sekaligus meminta tolong. "Aku mau ada urusan sama temanku. Kamu jangan ikut!"

"Sini." Mama turun tangan dan meraih Grey. "Kita makan jagung bakar saja."

Aku menaikkan alis. "Jagung bakar? Aku juga mau."

"Iya. Ajak saja temanmu ke dalam. Kita makan sama-sama."

Aku menengok Zamrud, yang matanya berkaca-kaca lagi. Sepertinya aku tidak punya pilihan.

"Boleh pergi keluar sebentar, Ma?" tanyaku. "Sebentaaar saja. Nggak akan sampai satu jam. Aku mesti menemani Zamrud ke sesuatu tempat. Ya? Ya?"

Mama bolak-balik menatapku dan Zamrud, tampak menimbang-nimbang. Mama akhirnya memperbolehkan dengan satu syarat, "Ajak Magenta."

"Kenapa?" protesku lirih.

"Kamu anak perempuan, mau keluar malam-malam, padahal keluar rumah pas masih ada matahari saja hampir nggak pernah kecuali buat sekolah." Mama menungguku membantah, tetapi aku hanya bisa mengatupkan bibir rapat-rapat. Mama melanjutkan, "Magenta sudah sering keluar malam, Mama lihat, buat menjemput ibunya pulang kerja pakai sepeda. Dan lagi, kamu jadi punya lebih banyak teman, 'kan, pulang ke sini?"

Aku menengok Zamrud lagi, meminta persetujuannya. Zamrud terlihat ragu, tetapi akhirnya dia mengangguk. Toh, Abu hanya tidak ingin ada orang dewasa, 'kan? Dia tidak bilang secara spesifik teman sekelas dan Magenta di larang ikut.

Sementara Mama memanggil Magenta dan meminta persetujuan ibunya, aku bertanya kepada Zamrud, "Kenapa tidak minta ganti kacamata saja, sih?"

"Itu punya ayahku," dia mempertahankan jawaban seolah itu sudah gamblang.

"Dan kamu merasa nyaman pakai kacamata orang dewasa?" Aku bertanya-tanya sekecil apa lingkar kepala ayahnya sampai kacamatanya bisa turun-temurun begitu. Lalu, aku teringat bagaimana kacamata itu jatuh dengan mudahnya dari pangkal hidung Zamrud. Kacamata itu memang longgar untuknya, aku menyadari. "Kamu minus berapa, sih?"

"2,75 mata kanan, 2 mata kiri."

"Wow."

"Ayah dan ibuku jarang pulang, jadi aku pakai barang-barang mereka buat obat kangen," curhatnya. Dinaikkannya lengan bajunya, memperlihatkan sebuah arloji berkilau yang, walau tampak mahal, tetapi terlihat salah di pergelangan tangannya. Warnanya putih dan desainnya menyilaukan, jelas-jelas untuk wanita dewasa—mungkin milik ibunya. "Biar pun nggak sama dengan kehadiran mereka, tapi setidaknya ini mengobati kesepianku. Kamu boleh bilang aku aneh, tapi aku merasa kalau jam tangan ini dan kacamata ayahku juga bisa merasakan kesepian seperti pemiliknya. Kalau tak kupakai, rasanya seolah aku membiarkan ayah dan ibuku ikut kesepian."

Aku membuang muka. Untunglah saat itu bertepatan dengan Mama yang membawa Magenta keluar dari rumahnya. Mereka mengucapkan salam kepada ibu Magenta—seorang wanita paruh baya yang mengenakan masker mulut, mungkin sedang pilek. Namun, di bawah cahaya lampu pelataran yang terang, aku bisa melihat pipi wanita itu yang terangkat tanda senyum lebarnya. Jarang sekali ada yang mau tersenyum selebar itu ke Mama di sekitar sini.

Kutarik Zamrud untuk menghampiri Mama yang masih menggendong Grey, dan lelaki itu pun berkata, "Perasaan kamu bilang adikmu sudah 16 tahun."

Aku menoleh ke arahnya sambil menyunggingkan cengiran, membuat Zamrud mendengus ngambek.

Setelah pamit dan salim dengan Mama, aku dan Zamrud pun menggiring Magenta keluar kompleks dan menceritakan dengan singkat apa yang terjadi.

"Kalau Tante nggak terlalu baik hati dan menawariku jagung bakar, aku nggak bakal mau menemani kalian ke kuburan jam 8 malam," kata Magenta seraya merapatkan jaketnya.

"Oh, ya, Nila." Zamrud memulai. "Kok, adikmu tadi bisa tahu kalau kita mau pergi?"

"Kupingnya lebar," jawabku asal.

"Aku sudah merasa, lho." Zamrud masih mengoceh, tak menyadari bahwa dua gadis yang mengapitnya ini tidak mudah menoleransi kecerewetan. "Kalau kamu dan keluargamu itu unik. Ibumu ... bagaimana aku menjelaskan, ya? Bisa dibilang, ibumu itu punya karisma."

Dia belum melihat saja kalau Mama sudah tidur dengan perut terbuka dan satu kaki melenceng ke bawah ranjang.

"Adikmu itu juga sepertinya bukan anak biasa. Aku berani taruhan, dia indigo."

Zamrud ternyata tidak punya rem di mulutnya.

"Kamu sendiri?" Dia masih saja melanjutkan. "Apa kamu juga indigo, Nila?"

"Iya," jawabku. "Dulu aku dijuluki Anak Penyihir. Aku bisa membuat teman menyebalkan tinggal kelas dan mengubah orang bawel jadi cacing tak berkaki."

Magenta akhirnya mengikuti obrolan. "Cacing sejak kapan punya kaki?"

Zamrud malah berkomentar, "Keren."

Aku berjengit. "Aku serius. Aku bisa saja memanggil hantu untuk membuntuti kita, dan kita ini sekarang sedang menuju kuburan. Kamu kira, kenapa Abu selama ini membenciku?"

"Kukira karena dia naksir kamu," cetus Magenta.

Aku mengharapkan Zamrud berubah pikiran dan memutuskan agar kami berbalik arah, makan jagung bakar sama-sama. Lalu, besoknya kami bertemu, dia akan pura-pura tak melihatku karena takut. Aku mengharapkan Magenta diam saja sepanjang jalan seperti yang biasa dia lakukan.

Seperti biasa, semesta menguji kesabaranku.

"Ciyeee!" Zamrud bersiul. "Pajak jadian! Pasti di kuburan nanti, Abu nembak kamu, La. Dia kembalikan kacamataku, dan kita semua pulang dengan bahagia."

"Ke rahmatullah," celetuk Magenta.

"Amit-amit!" Zamrud mengetuk-ngetuk kepala tanda tolak bala.

"Nggak sesimpel itu," Magenta mendengus. "Abu itu setan arang, hatinya hitam. Kalau dia suka sama Nila, tindakan paling wajar yang dia lakukan adalah menculik Nila dan dia sekap di rumahnya. Kita sebagai saksi mata bakal dibunuhnya."

Aku menyengir. "Ternyata kamu lucu juga."

Magenta mengibaskan tangan dan melentikkan jari. "Ah, kamu juga."

"Perempuan memang makhluk Tuhan paling menyeramkan," keluh Zamrud. "Sementara kita mengobrol dan berjalan santai, kacamataku sedang ketakutan."

"Kedinginan dan kelaparan," tambah Magenta. "Abu itu sakit jiwa. Dia pasti sedang menyiksa kacamatamu sekarang."

"Oh, kacamataku yang malang!" Zamrud mulai mampu mengikuti selera humor Magenta. "Tunggu aku, Sayang."

Sementara mereka melantur berdua, aku malah jadi benar-benar memikirkan kacamata terkutuk itu. Kesepian? Yang benar saja.

Namun, aku terus memikirkannya. "Kalau tak kupakai, rasanya seolah aku membiarkan ayah dan ibuku ikut kesepian."

Mungkinkah, selama ini aku mencoba membohongi diriku sendiri dengan mengosongkan meja belajarku dan menimbun kertas-kertas puisiku di loteng? Aku berdalih bahwa aku berusaha melepaskannya, tetapi sampai detik ini aku tidak pernah sungguh-sungguh mengikhlaskannya. Aku selalu marah kepada semua orang yang terlibat di hari itu, dan perasaan itu menggerogoti.

Mimpi-mimpi buruk itu mungkin hukuman atau pertanda—sebuah pesan. Atau hanya gambaran semu yang kuciptakan sendiri seperti dulu aku menciptakan-nya.

Aku sadar benar bahwa lelaki yang terbaring di tengah hutan itu adalah dia, dan aku tetap mencoba melihat wajahnya. Seharusnya aku berbalik, lari, bangun, dan melupakannya. Mimpi buruk akan berhenti perlahan-lahan atau seketika begitu kau berhenti memikirkannya. Tetap saja aku mendekati lelaki itu karena aku tahu dia kesepian, seperti halnya sepi yang melandaku selama dua tahun belakangan.

Banyu Biru, aku tidak pernah benar-benar melepaskanmu.

(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan    

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro