1. Titik Nol

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sry melakukan peregangan di kursinya. Menulis surat tradisional memakan banyak energi. Bell terdengar dari sepenjuru ruangan, tanda uji coba super collider.

Sry dengan cepat masuk ke laboratorium, banyak saintis sudah menunggunya. Mereka mengetik-ngetik keyboard di masing-masing meja komputer, selagi Sry menyalakan alat seperti voyager seukuran mobil. Setelah selesai, dia duduk kursinya seperti saintis lainnya dan menjalankan sebuah perhitungan di komputernya.

"Super collider siap dinyalakan." Suara robot perempuan memenuhi ruangan.

Semua mata terkiblat pada alat berbentuk tabung dan seukuran truk. Itulah super collider, sebuah alat yang dapat membuat lubang cacing.

Sang pimpinan saintis menekan tombol merah besar di mejanya.

"Persiapan tahap pertama, dijalankan." Suara kecerdasan buatan itu terdengar lagi. Di dalam bagian kanan dan kiri dari super collider berputar seperti blender.

Salah satu saintis memasukkan sebuah DNA tumbuhan ke dalam tabung kecil di mejanya yang terhubung dengan super collider. DNA itu terhisap hanya dalam hitungan detik.

"Titik koordinat ditemukan. Menjalankan tahap kedua." Super collider yang berputar lebih cepat, lalu dari kedua sisinya ditembakkan partikel dengan kecepatan tinggi. Untuk mata manusia, itu hanya terlihat seperti cahaya aneka warna yang bertabrakan.

Sedikit demi sedikit, bola hitam muncul di tengah tabrakan. Itu adalah lubang cacing, sebuah portal untuk menuju titik koordinat. Super collider akan menganalisa DNA dan lubang cacing akan menjadi jalan pintas ke planet yang memiliki tumbuhan dengan DNA yang mirip.

"Ukuran lubang cacing telah memenuhi standar. Menjalankan tahap tiga." Voyager yang sudah disetel oleh Sry, bergerak ke lubang hitam. Alat itu berfungsi untuk mengkonfirmasi apakah misi dari super collider ini berhasil.

Ini adalah hasil terbaik sejauh ini. Raut senang sekaligus tegang bercampur di wajah semua orang.  Namun, belum voyager sampai beberapa meter dari super collider, ruangan lampu lab berubah merah.

"Peringatan, kesalahan terdeteksi. Aktifkan protokol keamanan. Tahap tiga gagal dieksekusi. Mematikan super collider."

Semuanya kecewa, Sry dan beberapa saintis lainnya bahkan menepuk mejanya. Tapi apalah daya, itu resikonya jika jadi saintis. Sejak dulu Sry sudah tahu, namun profesi inilah cita-citanya. Bahkan dia sampai meninggalkan kakeknya, demi perjuangan untuk meraihnya.

***

"Overpopulasi kian menjadi, akibatnya lahan hijau semakin menipis karena dialihfungsikan menjadi permukiman." Sry menonton video portal berita dari smartphonenya dan telinganya terpasang earpod.

Tetiba saja seseorang menepuk pundaknya. Otomatis dia menoleh ke sumber suara sembari melepaskan benda di kupingnya.

"Candy, pulang nanti kita main, yuk. Kita mau party." Rupanya itu teman sekantornya.

"Tumben, ada apa?" Heran Sry sembari membetulkan kacamatanya yang sedikit turun.

"Si Drian katanya mau dipindah tugaskan ke kantor yang di Bandung." Tunjuknya ke belakang.

"Katanya super collider yang di sana harus dirombak." Drian muncul dari belakang.

"Sorry, ya, Dri. Aku lembur sekarang, lagian nanti juga kita pasti ketemu di metaverse," tolak Sry. Tangannya menekan sebuah tombol pada earpod dan benda itu berubah bentuk jadi stik kecil.

"Chill .... Oh iya, Ndy. Turut berduka cita, ya."

Kata-kata itu memunculkan wajah kakek di pikiran. Rasa berdosa kembali datang bersama tulisan basah pada surat yang dia buat untuk kakeknya. Tidak akan sampai tentunya.

"Ndy, kamu gak apa-apa? Kalau mau nangis, bisa aku temenin." Drian menenangkan Sry.

"Chill, siapa juga nang—" 

Tanpa dia sadari, Sry sudah mengucurkan satu garis air mata. Dengan terburu, dia menempelkan earpod yang sudah berubah bentuk itu ke gagang kacamatanya. Rupanya kacamata dan earpod adalah satu perangkat kesatuan.

***


Foto kakek muda sampai dia tua pada liontin kalungnya dilihat. Wajah kakeknya dari umur 18 tahun, sampai umur kematiannya tersimpan di sana. Sebuah alat yang dia dapat dari ulangtahun Sry yang ke 12.

Saat itu semua orang mengejeknya karena nama "Sry" seperti nenek-nenek. Sry menangis, tidak ada yang ingin bermain dengannya karena nama aneh itu.

Seperti kebiasaannya ketika nangis, Sry berlari ke pelukan kakeknya. Mengeluarkan air mata sampai matanya kering. Mulutnya berbicara tidak jelas, mencurahkan segala keluhan. Kakeknya mengusap kepala Sry yang wajahnya kian basah.

"Menangis aja, suatu hari nanti orang-orang itu bakal lari ketakutan kalau dengar nama 'sry' dan menyesal sudah mengejek Sry," kata kakeknya saat itu.

"Tapi Sry gak suka nama 'sry'"

Sembari mengusap kepalanya dengan halus, kakeknya menjawab, "Nama Sry itu ada artinya, nanti juga suka. Ngomong-ngomong Aki punya hadiah, nih ...."

Sejak saat itu dia merubah nama panggilannya jadi "Candy", yang sebenarnya itu adalah nama panjangnya. Sry Candy.

Sry yang sekarang berada di mejanya merasa kesal, sampai kapan dia harus berkabung. Rasanya akan jadi selamanya. Suasana hati itu membuatnya kesal dan tak fokus, lalu dilampiaskan dengan mengetikan perhitungan asal pada komputer.

Di ruangan super collider yang hanya ada dia, Sry melemparkan liontin sekencangnya. Berharap jika dengan mendengarkan suara benturan, kekesalannya bisa terbalaskan. Namun sialnya itu justru mengenai tombol merah besar yang berfungsi untuk menyalakan super collider.

"Persiapan tahap pertama, dijalankan." Suara kecerdasan buatan yang tak asing terdengar. Di dalam bagian kanan dan kiri dari super collider berputar seperti blender. Menandakan benda itu aktif.

Lalu liontin itu memantul ke sebuah tabung tempat memasukkan DNA. Sry dengan cepat memegang tali kalung yang liontinnya sedang terhisap ke dalam tabung. Sry menariknya dengan sekuat tenaga namun liontin itu belum ada tanda-tanda akan terlepas.

Karena kerasnya gaya tarik menarik, liontin itu terbuka. Mata Sry membulat keheranan, dia tidak tahu kalau liontinnya bisa begitu. Setelah terbuka cukup besar, sesuatu yang tipis keluar dari dalam liontin.

Sry tidak tau apa itu, tapi dia yakin itu peninggalan kakeknya yang berharga. Jadi Sry memusatkan tenaganya pada kaki. Dan mendorong mejanya. Alhasil Sry berhasil terpental kebelakang bersama dengan liontin di tangannya.

"Apa ini ... rambut?" Ada rambut putih yang tersangkut di liontin, sepertinya benda itu juga yang tertelan oleh tabung.

"Titik koordinat ditemukan. Menjalankan tahap kedua." Super collider itu berputar lebih cepat, lalu dari kedua sisinya ditembakkan partikel dengan kecepatan tinggi. Seperti cahaya aneka warna yang bertabrakan. Lubang cacing akan terbentuk, menjadi jalan pada si mpunya DNA.

Namun alih-alih hitam, lubang cacing ini berwarna warni, seperti partikel yang ditabrakan. Ini baru bagi Sry, tapi dia tau kalau ini artinya bukan sesuatu yang baik.

"Peringatan, kesalahan terdeteksi. Protokol keamanan tidak dapat diaktifkan." Suara AI membenarkan firasat Sry.

"Sial," pekiknya.

Lubang cacing aneka warna itu semakin tidak terkendali. Bentukannya sudah bukan bulat sempurna, tapi seperti bola air yang akan pecah.

Kaki Sry dengan sekuat tenaga berlari menyelamatkan diri. Benar saja, tiba-tiba lubang hitam itu dan super collider-nya meledak seketika. Sry terpental untuk kedua kalinya, namun yang ini sepuluh kali lebih sakit. Tubuhnya menghantam dinding tembok, kacamatanya terlepas dan rusak.

Andaikan saja dia tidak lari, pasti sekarang sudah tewas. Sry yang berbaring belum siap untuk menyusul kakeknya. Kesadarannya mulai pulih dan terbangun. Ingin rasanya lari dari masalah. Sry ketakutan.
Dengan cepat memakai kacamatanya yang sudah seperempat berguna.

Kakinya dipaksa berlari ke garasi dan masuk ke kendaraannya. Sry memacu laju di jalanan ibu kota. Dia tidak peduli ada berapa suara klakson mengarah padanya. Dia fokus ke satu hal.

"Aki Pandu."

Gadis itu hanya ingin pelukan dan usapkan kepala yang menenangkan dari kakeknya. Menangis sejadi-jadinya. Mengeluarkan keluh kesahnya. Sekarang, dia berhenti di sebuah pemakaman. Walaupun ini sudah jam 7 malam, namun cahaya lampu dari segala sudut membuat kawasan ini seperti jam 7 pagi.

Kakinya turun dari kendaraan. Namun hatinya enggan masuk ke kawasan pemakaman. Bukannya dia takut hantu, hanya saja ....

"Apa Aki bakal menerima Sry yang durhaka ini?" gumamnya.

Namun tetap ia paksakan untuk menemui kakeknya. Jalannya yang pelan seperti ulat, kian cepat. Sampai akhirnya dia akhirnya dia lari dengan kecepatan penuh.

Namun matanya berlinang, membuat pandangan buram. Dan tidak sengaja menabrak seseorang. Sry jatuh dan kacamatanya terlepas, pandangannya sekarang buram total.

Seseorang itu mengambil kacamata Sry dan memberikannya. "Ini kacamatanya, maaf, ya, teh."

"Eh, enggak, saya yang ...." Mata Sry terkejut setelah memakai kacamatanya dan melihat seorang lelaki yang sepertinya masih SMA. Rasanya dia pernah melihatnya di suatu tempat.

"Gak apa-apa. Tadi saya juga ... teteh kenapa?" Lelaki itu melihat Sry membelalakkan matanya.

Sry menyambar liontin dan melihat foto kakeknya yang keriputan. Lalu dia atur liontinnya agar memperlihatkan kakeknya yang 18 tahun. Benar saja, wajah lelaki itu sama dengan wajah kakeknya saat muda.

"Aki Pandu?"

Bersambung


Banyak banget referensi di satu bab ini, ketemu gak?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro