8. Pertarungan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Takut ...," lirih Sry kecil. Dia berlindung di belakang kakeknya. Menatap ngeri pada kolam renang yang dalamnya 2 meter. Detak jantung 'tak terkontrol sampai terkadang membuatnya sesak, skenario terburuk ada di kepala. "Sry enggak bisa berenang, takut tenggelam. Memangnya Aki bisa selamatkan Sry?"

Wajar, ini pertama kalinya ia liburan ke kolam renang. Jangankan melihat Akinya berenang, melihatnya lari saja tidak pernah. Maklum, orang tua.

"Pakai nanya, tentulah. Aki ini dulunya atletik. Tau Reza Rahadian? Itu Aki yang pandu dia jadi juara dunia. Pandu ... nama Aki 'tak dibuat tanpa alasan, ini adalah takdir." Pandu membusungkan dadanya, haus pujian dari cucu kesayangan.

"Tapi Reza, kan, aktor. Bukan atlet."

"Asal Sry tahu saja, dia berotot besar karena berenang." Pandu mencari alasan.

"Bukanya kalau mau berotot besar harus angkat beban?"

"Itu dulu tahun 2024, sewaktu Anies dipilih jadi presiden ke-8. Sekarang beda lagi." Lagi-lagi Pandu mencari alasan.

"Hah, kata guru Sry, presiden ke-8 itu Prabowo, Aki."

"Yah, siapa pun itulah, yang penting bukan Ganjar. Nih, Aki perlihatkan bisa berenang." Pandu melompat ke kolam, membuat deburan besar yang bahkan membasahi Sry. Lalu ia tenggelam dan berenang memutar ke arah cucunya itu, sebelum kepalanya muncul ke permukaan air.

"Wah, Aki benar bisa berenang," seru Sry. Matanya berkilau-kilau walaupun basah terguyur kakeknya sendiri.

"Sini Aki ajarkan berenang, tidak usah takut." Tangan Pandu terarah pada Sry, siap menangkapnya agar 'tak tenggelam.

Kaki Sry mundur sedikit demi sedikit menjauhi kolam. Jantungnya masih berdetak cepat, namun kali ini dia tenang, membuatnya 'tak sesak lagi. Gadis kecil itu mulai berlari kecil, semakin melangkah, makin cepat. Sampai di ujung, kakinya melompat ke dalam air yang dalamnya lebih dari dua kali lipat tubuhnya.

Basah total semuanya. Sry masuk dengan gaya batu. Semakin jatuh ke dasar kolam. Cahaya kian meredup. Udara kian menipis. Jantungnya berdetak lebih kencang, tubuhnya terasa dingin. Panik, kemungkinan terburuk di kepalanya jadi nyata, Sry tenggelam. Rasanya ingin berteriak.

***

"Aki tolong," teriak Sry.

Pandu tetiba saja menyiram wajah para intel itu dengan kuah sotonya. Sontak mereka kepanasan, bahkan matanya merah menyala karena perih. Tanpa menunggu, dia mengambil kesempatan ditengah mereka yang buta. Tangannya Sry disambar, coba menariknya keluar. "Ayo, cepat!"

Dengan bingung dan kaget yang bercampur jadi satu, wajah setengah ambonnya di lepas. Sekarang dia menjadi sunda utuh tanpa marga. Entah kemana Pandu membawanya, wanita itu mengikuti arus saja.

Belum sempat mereka berlari, si pelayan membuka hijabnya. Rupanya sebuah pistol kecil pipih tersembunyi dibalik telinga kiri, dan pelurunya yang seperti jarum di telinga kanan. Secepat kilat menyatukan keduanya, menarik pelatuk, dan mengenai Sry Candy. 

Seketika tubuh wanita itu tidak bisa di gerakan. Tersetrum oleh aliran listrik kejut, namun itu tidak berbahaya. Stun gun, senjata yang mengenainya. Sry terjatuh ke lantai dengan keras. Baru saja kemarin terjatuh karena ledakan, sekarang karena setruman. Pandu langsung menyambar gelas kaca berisi teh manis pesanannya. Ingin mengulangi cara yang sama seperti tadi, tapi sayangnya ditepis oleh si pelayan. Rupanya dia tidak sebodoh itu sampai jatuh ke lubang yang sama.

Dengan sekejap mata, pandu dilumpuhkan. Tangannya diputar ke belakang, untuk membatasi pergerakan. Kakinya ditendang sampai terjatuh dengan posisi telungkup. Pria itu tidak bisa lagi bergerak.

Cucunya melihat sekeliling. Tentu bukan orang yang pandai berkelahi, terakhir kali dia baku hantam adalah ketika tantrum mau beli VR, itu juga bantal yang jadi lawannya. Namun dia tau, pasti ada sesuatu yang bisa digunakan sebagai senjata. Tanpa dipikirkan saja, jika bertarung dengan tangan kosong pasti kalah. Tetapi yang dia temukan, justru intel yang merekamnya tadi sibuk berbicara dengan warga sipil dan bilang "Jangan direkam."

Itu dia, seorang intel tidak akan mau identitasnya terkuak. Namun jika itu dilakukan, pasti akan jadi pisau bermata dua untuk mereka. Pandu, yang masih telungkup di lantai, melihat Sry dengan tatapan serius. Kepalanya berputar ke arah intel yang sedang menidurkan para pelanggan warga sipil dengan cairan kimia.

"Serum itu ..., mereka akan lupa apa yang mereka lihat sekarang. Bukankah itu ilegal?" gumam Sry. "Sebesar itu kah masalahnya? Sampai kalian rela melakukan hal terlarang yang bisa mengancam nyawa orang tidak bersalah."

Bahaya, kalau sudah seperti ini bukan hanya nyawa pandu dan Sry, tapi juga orang yang tidak tahu apa-apa. Itu yang Pandu pikirkan, sebelum dia berteriak, "Intel, ada intel di sini!"

Seketika semuanya tegang, rasanya seperti darah berhenti  mengalir. Wajar saja, jiwa para intel, yaitu 'kerahasiaan' sudah direbut. Suara gemuruh datang dari luar, langkah kaki, mulut yang berbicara, serta suara lainnya  semakin keras.

Para intel itu terpaksa bersembunyi dan lari. Mereka mengeluarkan jubah dari kantong, memakainya sampai seluruh tubuh tertutup. Dengan menekan satu tombol, mereka menghilang entah kemana. 

Pandu bebas sekarang, buru-buru berdiri dan membantu cucunya. Efek kejut Sry sudah perlahan memudar. Sarafnya bisa digerakan kembali, walaupun agak lemas, dan terkadang dia hilang kesadaran. 

"Ayo, Sry!" teriak kakeknya. Massa semakin dekat, sedangkan cucunya itu belum berlari.

"Enggak sempat," lirihnya. Wanita itu merogoh saku celana, keluarlah satu kain besar seperti selimut. Seperti halnya para intel, dia menutupi tubuhnya dan Pandu, lalu dengan satu tombol, mereka menghilang.

Tidak sepenuhnya menghilang sebenarnya, hanya tidak terlihat. Terdapat kamera di dalam kainnya, merekam menembus monitor di bagian luarnya. Fisika ditambah teknologi memang keren.

Masuklah beberapa orang ke rumah makan. Mata mereka disuguhkan oleh pemandangan sebuah tempat seperti kapal pecah. Lantai basah, meja tak beraturan, serta pelanggan yang tidur pulas. Mendadak panik, seseorang memanggil ambulan.

Cucu dan Kakeknya berjalan diam-diam ke luar. Ingin meninggalkan sumber keributan yang terjadi. Namun ternyata skalanya sudah meluas, bahkan orang-orang sudah berlarian menuju TKP. Ingin jadi penonton yang hanya diam melihat.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro