7. Sembunyi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Dua puluh tahun yang lalu, seorang gadis bermain dengan kakeknya. Proyektor memproyeksikan sebuah tampilan dari laptop. Sebuah permainan player vs player tembak-tembakan bebek karet berjalan, seperti di pasar malam. Yang poinnya paling banyak pemenangnya.

Tangan mereka membentuk pistol. Sebuah alat didepannya merekam pergerakan mereka. Pandu mengarahkan jari telunjuknya ke bebek berwarna biru berlian, poinnya paling besar. Setelah itu menundukkan jempolnya, dan—

Dor!

"Aki enggak akan kalah," seru seorang 50an tahun.

Cucunya itu 'tak suka. Namun si kecil punya ide brilian. Dia mengeluarkan alat buatannya. Berbentuk pergelangan tangan dari sarung tangan karet yang ditiup. Balon itu ditopang tongkat panjang. Kemudian Sry mengarahkannya ke lintasan bebek. Setelah itu menyalakan kipas angin ke alatnya yang membuat jempol sarung tangan terus bergerak karena tertiup.

Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!

Semua bebek yang lewat lintasan itu otomatis tertembak. Membuat Sry kecil menang dalam sekejap.

Pandu menatap sembari tersenyum. Bangga.

"Keren banget cucu aki—"

"Mantog siah ditu jeung awewe eta! (Pergi aja sana sama perempuan itu!)" Bentak mamahnya Sry.

Dar!

Pintu rumah dibanting dengan keras. Panas sekali rasanya seisi rumah.

***

"Setelah itu, bapak enggak tau kemana. Mamah kan PNS, jadi ada dinas ke IKN. Setelah itu dia berpulang sewaktu pandemi lima tahun lalu. Jadi itu kenapa kita enggak tinggal di Bandung lagi," cerita Sry.

"Turut berduka, Sry."

"Oh iya, aku punya pertanyaan yang gak bisa terjawab karna yang punya jawabannya—aki—udah meninggal."

"Ngomong-ngomong aku mau tanya pertanyaan penting," nadanya menurun tanda serius. Mata Pandu menatap tajam, penuh kehati-hatian.

"A-apa?" Bingung, takut, keduanya bercampur jadi satu dalam Sry. Wanita ini bersiap dengan kemungkinan terburuk.

"Istri aku siapa?"

"... Hah?"

"Istri ..., kan, mamahmu enggak lahir lewat rahimku," jelas Pandu.

Cucunya mendesah, lelah dengan berbagai tingkah kakeknya. Lalu dia mengeluarkan smartphone dan memperlihat sebuah profil Instagram. Membuat Pandu tidak asing.

"Seriusan aku nikah sama dia? Kok bisa, padahal hubungan kita jauh banget, pernah ngobrolpun enggak."

Bunyi bell terdengar dari smartphone Sry. Sebuah notifikasi dari dating apps yang kemarin dipakai Pandu. Rupanya ada chat dari seorang lelaki yang match, Aldo.

'Selamat pagi, sang pemanah hatiku <3.' sapa Aldo.

Sry menekan notifikasi itu. Keluarlah ruang chat, yang ternyata kemarin Pandu sudah mengobrol via teks dengannya. Melihat itu, Sry mengscrooll sampai mentok.

'Hai Candy, namamu manis, ya, kayak orangnya'

'gombal deh kamu, udah berapa puan kanu goda?'

'cuma kanu kok, sayangku, cintaku.'

Sry mengusap layarnya dari bawah ke atas. Beberapa kali, karena chat mereka sangat panjang. Berhenti sampai ada sebuah foto.

'aku kasih pap mau gak?' kata Aldo.

'kamu yang jantan ya <3'

Selamat chat itu, Aldo mengirimkan foto. Sesosok om-om bertubuh besar, dengan baju partai dan bersarung. Dia selfie, tangannya menyimbolkan bagus dengan memamerkan ibu jari. Lengkap dengan latar belakang pendopo dan orang-orang yang menonton bola di tv.

"Kenapa kamu match sama orang bapak-bapak mencurigakan ini?" tanya Pandu.

"Kamu yang pilih dia bodoh," ketus kesal Sry.

Bunyi bell tak henti berbunyi dari smartphone Sry. Tampilannya panggilan masuk dari Drian.

"Drian? Ngapain dia?"

"Siapa?"

"Temen aku."

"Laki-laki?"

"...." Sry mengangguk.

"Cie." Menyeringai Pandu, sembari menekan tombol hijau, mengangkat telepon.

"Hallo Candy, kamu dimana?" Suara seorang pria terdengar.

Sry panik, langsung diputuskan telpon itu secara sepihak. Jantungnya berdebar, takut.

"Kenap—”

"Nanti mereka datang, kita harus pergi." Sry terburu berdiri dari kursi sambil meminum tah manis pesanannya.

"Baru beberapa suapan ini," protes Pandu.

Sedetik kemudian, datang kawanan lelaki. Mereka masuk sambil bercakap-cakap normal dan menatap sekitar.

"Ketemu gak yang kau mau?"

"Aku maunya ayam dan telor."

Beberapa dari mereka sesekali menatap Sry. Cuma dia yang berdiri, jadi jelas saja dia ada di bawah lampu sorot. Untungnya, yang mereka lihat itu buka muka aslinya. Hanya orang batak yang di generate oleh AI.

Seorang pelayan berhijab berjalan ke arah Sry dan Pandu. Tangannya penuh membawa dua es teh untuk ibu-ibu di sebelah meja Sry dan Pandu.

Namun karna licin, dia terjatuh, dan menumpahkan minumannya tepat di sebelah kiri muka Sry. Stiker mengubah wajah itu basah dan mati.

Terlihat jelas sisi muka Sry yang sebenarnya. Walaupun yang kanan masih ada ras batak. Tiga dari lima kawanan lelaki tadi menghampiri tkp, menawarkan bantuan. Satunya lagi merekam, dan satunya lagi hilang entah kemana.

Pandu mengerti yang terjadi, mendadak jantungnya bergetak lebih kencang, panik. Sekarang apa yang harus dilakukan?

***

"Kita sudah melacak sinyalnya. Ada di sebuah rumah makan." Lapor salah satu intelijen yang mengoperasikan komputer.

"Kirim pasukan Macan ke sana." Komando Savira. Dia berdiri tegap menghadap Drian yang terduduk.

Pria itu di kelilingi 2 senapan yang menghadap ke kepala dan jantungnya. Tangannya menyatu di belakang kepala, tepat seperti pose olah raga, tapi ternyata itu juga pose orang di ringkus. Salah satu bawahan Savira juga mendekatkan smartphone ke mulut Drian, menampilkan sebuah panggilan beberapa detik yang terputus dari Sry.

"Begini cara inteligen kita bekerja? Yang salah siapa, yang di todong siapa,"siindir ilmuan lain.

Semua ilmuan yang di pesta perpisahan Drian, masih berkumpul. Hanya saja bukan di restoran keluarga, tapi di belakang Drian atau lebih tepatnya ruang interogasi—

Pistol Savira diangkat, lalu diarahkan ke kepala si ilmuan yang tadi komentar. "Kalian tahu ada dimana? Ini kawasan intelijen, semua yang kalian lakukan disini, bisa dianggap tidak terjadi."

Ralat, mungkin yang sekarang lebih tepatnya ruang pengancaman.

"Jendral, Target di temukan." Tegas bawahnya.

Bersambung


Terimakasih Orekasa yang udah ijinin aku buat masukin ke novel ini

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro