6. Banjarbaru

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Lagi apa, Sry?" tanya pandu yang tak henti kagum.

Sry mengutak-atik smartglasses miliknya. Mencopot bagian yang rusak lalu dipasangkan lagi dengan yang baru. Tentu saja itu dari toko elektronik si botak.

"Di zaman sekarang, smartphone dan smartglasses bisa bongkar pasang kayak komputer," jawab Sry tanpa mengalihkan perhatiannya.
"Lalu kamu sendiri, kagum dengan apa?"

"Transportasi ini scifi banget," seru pandu. Matanya sedari kereta berangkat hanya mengedip sesekali.  Mulutnya juga 'tak henti berucap "waw" setiap ada sesuatu yang baru. Walaupun dinginnya malam ditambah AC, dia tetap hangat karena semangatnya.

"Bukannya di zamanmu sudah ada kereta cepat listrik Jakarta-Bandung?"

"Bukan itu, di Kalimantan enggak ada kereta."

"Berarti kamu orang pertama di universe-mu yang coba kereta Kalimantan dan perahu cepat pertama Indonesia."

"Oh iya, tadi AI assistant-mu bilang kita naik perahu cepat ke Surabaya, kan?" Pandu terlihat bingung, menyadari sesuatu.

"Yap."

"Tapi, Sry ... Banjarbaru memangnya ada pantai? Terus kayaknya kamu harus baca itu deh." Pandu menunjuk sebuah papan iklan di atas lorong kereta.

Sry mematuhi tunjukan kakeknya. Sebuah teks yang bergerak terpajang jelas bertuliskan "H-2 pembukaan perahu cepat."

"Hah? Belum di update mungkin iklannya," Sry menenangkan kakek—ralat, dia menenangkan dirinya sendiri. Jantung semakin keras berdetak, tekanan darahnya naik.

Dengan cepat menyambar smartphone. Membuka browser dan mencari informasi. Tubuhnya semakin memanas, saat melihat tanggal peluncuran perahu cepat. Membandingkan beberapa kali dengan tanggal hari ini.

Kemudian dia membuka aplikasi lain untuk melihat tiketnya. Rupanya itu jadwalnya untuk dua hari lagi.

***

"Kok bisa gini sih, Sry?" tanya Pandu yang baru bangun dari tidur. Kasur empuk ditambah rasa lelah adalah combo yang pas.

"AI bungul (bodoh). Aku minta tiket tercepat ..., benar, sih, hasilnya, tapi yang namanya AI tetap bisa salah. Memang salah pakai AI untuk jalan pintas." Gerutu Sry.

"Yah, liat sisi baiknya. Untung kita dapat apartemen ini kemarin malam." Pandu turun dari tempat tidur.

"Yang harga satu malamnya setengah dari gajiku?" Sindir Sry.

"Sudah kubilang lihat sisi baiknya Sry, kita bisa aman dalam dua hari di sini, lalu naik perahu cepat ke Nurbaya."

"Surabaya," koreksi Sry dengan penekanan. "Ini penulis, typo-nya jauh," gumamnya.

"Hehe, Nurbaya, mah, nama orang." cengengesan Pandu.

"Hah, siapa?"

"Serius, Sitti Nurbaya enggak tau?"

"...." Sry menggeleng kepalanya.

"Dasar anak zaman sekarang." Pandu mengeluh selayaknya kakek-kakek.

Sry membuka kulkas, tiada makanan disana. "Kita makan di luar aja."

"Tapi kita, kan, sedang dikejar-kejar intel."

Sry pergi ke pojokan kamar. Meja kecil, cermin, dan kursi berdiri di sana. Tas penuh terduduk di kursi.

Wanita itu mengorek-ngorek isinya. Dia dapat laptop dan beberapa stiker kecil bulat putih. Lalu menempelkan ke wajahnya di beberapa titik.

"Ngapain Sry? Ngilangin jerawat?"

"Ini bukan acne patch. Lihat aja." Bibirnya tersenyum keren, seperti karakter yang ingin pamer.

Dia pun mengutak-atik laptop dan setelah menekan enter, bravo! Wajahnya berubah. Sebagai orang sunda, dia sekarang jadi batak. Rahangnya tegas, berhidung mancung, dan berkulit putih, seperti marga Nasution.

"Wah, kok bisa?"

"Alat yang kayak stiker ini pertama-tama akan meng-scan wajah—tapi data wajahku sudah ada datanya. Lalu hologram wajah lain terpancarkan—”

"Seperti teknologi hologram yang ada di film 'Spiderman: Far From Home.'"

"Yup. Bedanya ini skalanya di wajah dan tidak pakai drone. Intel biasanya pakai ini untuk menyamar, tapi kalau rusak, mereka membuangnya. Jadi aku pungut dan perbaiki. Udah, yuk, makan." Sry membuka pintu.

Mereka ke lift, turun ke lobby, dan keluar gedung apartemen. Sebuah bundaran dan tugu selamat datang di tengahnya menjulang.

Tulisan papan hologram 'Banjarbaru' terlukis di depan tuju, lalu di belakangnya 'Banjarmasin'. Sayangnya tidak kelihatan karena hari tidak gelap. Malahan langit biru dengan awan yang dikarunia oleh cahaya pagi.

"Funfact, Ini kalau kita nyebrang, udah pindah kota ke Banjarmasin." Tetiba saja Sry berbicara.

Namun, suaranya tertutupi oleh bisikan orang-orang.

"Ih, coba lihat dia."

"Stylenya kayak kakek-kakek."

"Anak ilang mungkin."

Semua orang melihatnya. Rupanya bisikan itu ditunjukan pada Pandu. Lelaki 18 tahun dengan baju kaos abu yang sablonnya terkelupas. Celana pendeknya merah kehitaman yang tampak buram karena terlalu banyak motif.

Reflek Sry memegang tangan kakeknya. Menyeret paksa ke samping tugu, di sana ada pertigaan, lampu lalulintas, dan zebra cross.

"Sebelum makan, kita harus beli baju," terang Sry.

Pandu paham apa yang terjadi. Genggaman tangan Sry dilepas paksa dengan satu kibasan ketika menyebrang. Cucunya itu lupa, Pandu berusia 18 tahun.

Belum satu menit, mereka  sudah pindah kota. Langkah kakinya tetap berjalan, ke sebuah bangunan paling besar. Sebuah pusat perbelanjaan.

Tanpa harus mencari, deretan toko baju sudah ada di depan mata memandang. Langsung saja kakek dan cucu itu masuk. Baju-baju biasa sampai yang menurut Pandu keren dan unik ada di sana.

"Woah," seru Pandu sembari melihat-lihat. Meninggalkan Sry di belakang.

Sudah 10 menit dia berkeliaran. Melihat banyak style baru yang belum ada di zamannya. Baju hitam yang jika basaj jadi unggu, celana pendek yang bisa memanjang.

"Sry, aku bingung mau pilih yang mana—"

"Nih." Sry menjulurkan sebuah Tote bag kertas berisi satu setel baju. "Udah aku beliin."

Pandu menerimanya. Ternyata hanya baju, celana, jaket, dan topi biasa.

"Yah ..., kok—"

"Apartemen kita udah mahal. Jangan ngabisin semua tabunganku. Sekarang tinggal cari tempat makan."

Tetiba saja bau yang harum, seperti bumbu yang menggoda atau parfum rasa makanan. Rupanya sebuah restoran dengan gaya futuristik gaya cyberpunk, lengkap dengan lampu neon unggu dan biru. Melihatnya saja membuat mata Pandu berkilau.

***

"Soto?" Tanya Pandu.

"Soto banjar, enak tuh, telurnya ada 2," jawab Sry. Pandangannya fokus ke kulit cempedak goreng yang dia makan pakai nasi.

"Ini kok ada ketupat?" Pandu menyendokan sesuatu yang putih dari dalam kuah.

"Lontong, namanya juga soto Banjar."

"Kenapa gak tempat yang tadi aja sih?" kecewa Pandu.

"Aku bukan miliuner."

Sebuah ruangan dingin ber-ac. Wanita berseragam militer berdiri tegak di tengah. Menatap tajam ke arah monitor besar di depannya. Bergambar sebuah peta Kalimantan dengan jalan-jalannya dan banyak icon tersebar.

"Lapor Jendral, kita berhasil nge-tracking ada pembayaran Rental Sepeda Nusantara di taman dekat target menghilang dan kode sepeda yang sama terparkir di stasiun kereta."  Seorang bawahnya melapor.

Data keluar masuknya uang terlihat di monitor besar.

"Baik, periksa data stasiun itu."

"Jenderal, ada pembayaran tiket kereta cepat dengan tujuan Banjarbaru atas nama Sry Candy." Lapor bawahan lainnya.

Sebuah windows yang isinya sama—data keluar masuknya uang dan administrasi—muncul.

"Cek CCTV lampu lalulintas dekat stasiun kereta Banjarbaru."

Windows baru terbuka lagi. Kali ini monitor itu terbagi jadi beberapa monitor kecil. Masing-masing berisikan mobil, motor, motobil, termasuk juga orang yang berjalan di trotoar. Walaupun tujuannya untuk melihat kendaraan yang melanggar, tapi bukan intelijen kalau tidak mengawasi semua orang.

"Perbesar kamera 6." Mata elang Jendral menyadari sesuatu.

Sekarang monitor besar itu hanya menampilkan satu CCTV. Walaupun malam, masih banyak orang berlalu-lalang di trotoar.

"Stop." Perintahnya.

Semua pejalan kaki mendadak jadi patung.

"Mundur."

Patung itu kini berjalan mundur.

"Stop. Perbesar gambarnya. Setelah itu perjelas."

Seorang perempuan yang tak asing lagi dengan seorang pemuda menggendong ransel. Senyuman Jendral Savira merekah melihatnya.

"Kirim pasukan."

Bersambung

(Gambar tugu selamat datang di Banjarbaru)


(Gambar soto banjar)

Kata orang Kalimantan, kalo makin banyak telornya, makin enak tuh sotonya.


(Gambar kulit cempedak goreng)

Cempedak itu kayak nangka. Unik aja sih kulit buah digoreng dan dijadikan lauk. Btw juga, ini adalah makanan umum di sana.


Makasih ya orang Kalimantan mezmez_ karena bantu riset

Makasih juga narasumber buat suku batak Clynoqia

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro