1. Tong Sampah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Sesungguhnya kamu tidak akan memberi hidayah kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki."

(Al-Qashash:56)

Adzan yang dikumandangkan seorang kakek tua bersuara serak dengan napas pendek-pendek tak mampu membangunkan Hasel dari tidur nyenyak tanpa mimpinya. Dia hanya menggumam tak jelas saat Hakam--kakaknya--mencoba membangunkan dengan cara menggelitik telapak kaki, menggoyang bahu, bahkan menempelkan tangannya yang basah terkena air wudhu ke pipi Hasel.

"Bun, Hasel tidur apa pingsan sih?" gerutu Hakam kesal.

"Jewer aja telinganya, Kam," jawab sang ibu dari kamar sebelah. Ibunya tengah bersiap-siap memakai mukenah untuk sholat berjamaah di mushola rumah itu. Sedangkan sang ayah sedang mengambil air wudhu sambil di pancuran kendi yang terletak di depan rumah.

"Nggak mempan, Bun! Dia cuma ngulet bentar, terus pules lagi." Hakam menyerah membangunkan adiknya yang hanya diam bagai batu. Jika tak ada pergerakan naik turun di bagian perut yang menandakannya masih bernapas, mungkin kakaknya akan lari ke rumah Pak Mantri untuk memeriksakan gadis malas itu.

"Coba bangunin baik-baik."

"Udah."

Hakam minggir saat ibunya menghampiri tempat tidur Hasel, lalu menggoyangnya pelan. "Hasel ... sholat subuh, Nak." Hasel tetap bergeming. "Hasel! Hasel!" Ibunya mengguncang bahu Hasel makin keras. "Hasel! Bangun!" Akhirnya sang ibu pun ikut kehilangan kesabaran menghadapi putrinya yang terlalu sering melewatkan waktu subuh. Dia memukul bahu putrinya itu lalu menyeret kakinya hingga tubuh Hasel ikut terseret. Tapi Hasel tetap tidur dengan damai tanpa tanda-tanda terusik sedikit pun. Akhirnya mereka kembali sholat subuh tanpanya.

***

"Ada apa?" tanya Khaira. Tatapannya mengikuti arah mata Hasel dan berakhir pada tong sampah besar di seberang kelas. Khaira mengernyit. "Sel, kamu lihatin apaan sih?"

"Tong sampah," jawab Hasel tanpa mengalihkan pandangan dari tabung berisi berbagai macam benda tak terpakai itu. Bahkan lama dia tak berkedip. Kepalanya dipenuhi dengan pikiran tentang remaja laki-laki yang dia yakini sebagai salah satu kakak kelasnya saat membuang sampah. Remaja itu terlihat sangat indah dibanding benda-benda di sekelilingnya.

"Kenapa dengan tong sampah?"

"Tadi ... dia buang sampah di sana. Kay, aku jatuh cinta!"

"Please, deh, Sel. Jangan bilang kali ini kamu jatuh cinta sama tong sampah?" Khaira memutar bola matanya, lalu mendengkus dan tertawa.

"Bukan. Bukan tapi sama kakak kelas! Kakak kelas yang jauh lebih cakep dibanding tong sampah itu."

"Siapa?"

"Aku nggak tahu."

Khaira kembali mendengkus. Dia tersenyum penuh ejek. Tak jarang Hasel jatuh cinta pada barang-barang, orang, bahkan binatang. Temannya itu begitu mudah jatuh cinta pada apa pun. Tak menutup kemungkinan Hasel jatuh cinta pada tong sampah, mungkin jika tong sampah itu dicat ulang dengan warna dark cokelat, temannya itu akan lebih memilih selalu buang sampah di sana dibanding dengan buang sampah di tong depan kelasnya.

"Terus jadi mau nyicipin kue yang dibawa mamaku?" tanya Khaira penuh harap.

Hasel mengerjap. "Eh? Kue apa?"

"Haseeel! Kamu nyebelin! Jadi, dari tadi aku ngomong sendirian? Kamu nggak dengerin cerita aku?" tanya Khaira dengan mata berkaca-kaca.

Hasel menggeleng. Dan Khaira memukulkan buku cetak matematika ke kepalanya. "Mamaku pulang! Dia banyak bawa kue dari Malaysia!"

"Eh, iya? Kapan? Mau dong."

"Hasel! Kamu bolot! Nyebelin! Andai aja kamu bukan satu-satunya temen aku, pengen banget kumasukkan ke tong sampah juga!" Khaira memicingkan mata menatap tong sampah itu penuh  dendam. Dia benci diabaikan. Jika dia punya kekuatan super yang bisa mengeluarkan laser dari mata, mungkin tong sampah itu sudah musnah dari pandangan.

Bunyi nyaring bel dan hiruk pikuk murid yang berdatangan dari berbagai penjuru mengalihkan perhatian mereka. Hasel berdiri, mengibas debu yang menempel di rok abu-abu selututnya. Tangannya terulur ke arah Khaira, tapi temannya itu menepisnya. Dengan bibir mengerucut, Khaira mengeluarkan gumaman-gumaman aneh yang sukar dimengerti oleh otak sederhana Hasel. Dia hanya tersenyum. Khaira memang pemarah, tapi dia tak akan lama.

***

"Nah, yang itu tuh, yang pake headset." Hasel menunjuk salah satu remaja laki-laki di parkiran dekat pohon jambu air. Remaja laki-laki berperawakan tinggi kurus itu sesekali tersenyum dan menganggukkan kepala saat ada yang berpapasan dengannya. Khaira tak dapat melihat muka orang itu dengan jelas karena jarak pandang dan lalu-lalang siswa lain.

"Emang kenapa sama tuh orang?" Khaira memakai helm baby pink yang senada dengan sekuternya.

"Itu kakak yang tadi buang sampah. Aku jatuh cinta sama dia, Kay," jawab Hasel sambil memegang kedua pipi dan tersenyum aneh. 

Khaira hanya mendengkus pelan. "Jatuh cinta? Nih, ayo cepetan pulang." Khaira mengulurkan helm cadangan warna coklat kesukaan Hasel yang selalu dibawanya ke mana pun. Karena Hasel memang tak bisa naik motor, dan hampir selalu mengandalkannya ke mana-mana. 

"Iya, tapi bentar, lihatin dia dulu," jawab Hasel. Khaira hanya menggeleng, tapi dia juga merasa penasaran dengan kakak kelas mana yang berhasil membuat Hasel jatuh cinta hanya dengan membuang sampah? Bagaimana cara dia membuang sampah hingga bisa menarik perhatian sahabatnya itu?

Khaira mengikuti arah pandang Hasel, menyipitkan mata agar pengelihatannya fokus, laly ternganga saat menyadari bahwa yang tengah dilihatnya adalah Shiddiq, tetangga sekaligus kakak kelasnya saat SD dulu. Shiddiq anak laki-laki dari keluarga yang ... sangat menerapkan prinsip hidup islami.

"Itu ... yang itu?" tanya Khaira dengan mata melebar karena tak percaya. Tangannya menunjuk persis ke arah orang yang tengah diperhatikan Hasel.

Hasel mengangguk senang. "Ya, yang itu."

"Kamu jatuh cinta sama dia?" tanya Khaira hati-hati, sambil mengamati ekspresi Hasel.

"Ya!" Hasel kembali mengangguk.

"Yakin?"

"Yakin sembilan puluh sembilan koma sembilan-sembilan persen!" Hasel masih saja mengangguk.

"Dia itu tetanggaku," ucap Khaira sambil tersenyum miring.

"Serius Kay? Ceritain please, gimana dia?" Hasel makin semangat, bahkan matanya mulai berkaca-kaca karena haru. Dia sangat penasaran pada kakak kelas itu hingga rasanya ia ingin lari mendekat untuk menanyakan nama, alamat, tempat tanggal lahir, warna favorit, dan lain sebagainya.

"Naik dulu, lagian dia juga udah pergi," ucap Khaira sambil menggeleng  lalu menepuk bagian boncengan sekuternya.

"Ah, tetanggamu kan? Berarti, aku ntar bisa ketemu dia lagi pas main ke rumahmu?" tanya Hasel semangat sambil melompat-lompat dan tertawa riang, tak peduli pada siswa lain di parkiran yang meliriknya dengan tatapan aneh.

"Bisa jadi, tapi dia jarang keluar rumah. Biasanya dia di dalem rumah atau di masjid. Buru naik!"

"Iya! Iya!" Hasel segera memakai helm, lalu menaiki boncengan sekuter Khaira. Jantungnya berdegup kencang saat kembali membayangkan kakak kelasnya membuang sampah. Bibirnya terkembang penuh senyum. Entah mengapa, dia merasa kesulitan menahan senyum. Jatuh cinta itu indah. Deru mesin sekuter terdengar bagai alunan melodi nada-nada cinta, panjangnya jalan raya bagai hamparan karpet abu-abu indah yang akan membawanya menuju cinta. Bahkan suara klakson mobil yang awalnya mengagetkan kedua gadis itu terasa sangat menyenangkan bagi Hasel.

"Namanya Shiddiq. Aku lupa nama panjangnya. Tuh, rumahnya masih lurus ke sana, yang cat warna biru." Khaira memarkirkan sekuternya di halaman depan rumah. Dia meminggirkan motornya sedekat mungkin dengan pohon mangga agar joknya tak terkena matahari. Sedangkan Hasel benar-benar lari keluar halaman ke arah yang tadi ditunjuknya. Sungguh, temannya itu sangat tak tahu diri.

"Kay! Rumahnya yang ini bukan?!" teriak Hasel sambil menengok ke arah kanan dan kiri bagian depan rumah yang terlihat sepi itu.

"Aih!"

Khaira menyesal membawa temannya pulang ke rumah, dia hanya menepuk kening sebelum lari menyusul Hasel dan menyeretnya pulang, mendudukkannya di kursi, lalu mengunci pintu rumah. Hasel memang orang yang sangat berbahaya dan tak tahu malu.

"Hasel! Kamu kok malu-maluin sih? Untung tadi rumahnya sepi. Gimana kalau sampe dilihatin sama Om Fahri sama Tante Sarah coba? Aih! Diem di sana!" bentak Khaira saat Hasel kembali berdiri. Hasel tersenyum dan meminta maaf, lalu kembali duduk. Khaira mendengkus keras, dia menatap sahabatnya dengan tatapan penuh ancam sebelum meninggalkan Hasel sebentar ke dapurnya.

"Nih!" Khaira menjejalkan setoples kue berbentuk bunga dengan olesan cokelat di bagian tengahnya.

Hasel tertawa. Dia langsung membuka dan memakan kue itu. "Aku masih malu-maluin ya? Kapan ya aku berubah kayak kamu?" tanyanya dengan mulut penuh remahan kue.

"Aku mau cerita dulu tentang dia. Dengerin baik-baik. Kali aja kamu berubah pikiran, ntar." Khaira memelototinya sambil menata toples lain berisi kue-kue kering di atas meja. "Enak nggak? Mama beli banyak yang rasa cokelat dari Malaysia, karena inget kamu."

"Enak banget, Kay. Terus Kak Shiddiq gimana?" tanya Hasel mengangguk dengan mata berbinar-binar.

Khaira tersenyum. Dia ikut duduk di sofa, tangan kanannya mengambil remot dari meja, lalu menekan tombol dan mengarahkannya ke TV. Dia mengembalikan remot itu ke tempatnya setelah TV menyala. Kebiasaan mereka memang menyalakan benda itu tanpa benar-benar menontonnya. "Kak Shiddiq itu beda sama kita-kita."

"Beda? Maksudnya, dia bukan manusia? Dia vampir? Pantes cakep banget."

Khaira mengambil salah satu bantal yang terselip di antara dirinya dan punggung sofa lalu memukulkannya ke kepala Hasel sambil tertawa. "Pikiranmu itu loh! Serius dikit napa?"

Hasel hanya menepis dengan kedua tangan yang belepotan hingga remahan kue dari tangannya berjatuhan ke rok dan sofa. Mereka tertawa riang. "Beda gimana?" tanyanya setelah Khaira menurunkan bantal itu.

"Dia itu kan orang tuanya semacam aktivis organisasi Islam gitu, jadi gaya hidupnya islami. Rajin sholat, nggak kayak kita yang bolong-bolong. Rajin ngaji dan tadarusan di masjid, terus pendiem juga orangnya. Jarang banget ngobrol sama cewek, apalagi yang model kita-kita ini."

"Terus."

"Terus? Ya nggak cocok buat cewek-cewek macem kita ini!"

Hasel meneliti seragam yang dipakai mereka berdua, kemeja putih berlengan pendek dipadu rok abu-abu selutut. Dia mengangguk  paham, tapi masih dengan senyum aneh. Siapa yang tahu apa yang sedang dipikirkan di kepalanya?

Khaira menghela napas dan tersenyum. Dia berharap, dengan menceritakan sedikit tentang  Shiddiq, Hasel akan berubah pikiran karena rendah diri merasakan begitu banyak perbedaan.

"Kay," ucap Hasel dengan mata berkaca-kaca.

"Kita beda banget kan sama dia, jadi lupakan dia. Masih banyak cowok normal yang bisa kita jadiin target buat jatuh cinta," ucapnya bangga.

"Kay, aku makin cinta," ucap Hasel dengan air mata menetes satu persatu.

"Aih! Kayaknya percuma aku cerita tentang Kak Shiddiq ke orang macam kamu!" Khaira hampir menangis karena kesal. Dia memijit keningnya yang mulai terasa pusing karena merasa sudah membuang-buang waktu dan usaha untuk menceritakan tentang Shiddiq pada sahabatnya itu.

_________Bersambung ke part 2_______

Assalamu'alaikum, Teman-Teman!

Bagaimana dengan kalian?
Apakah kalian pernah jatuh cinta?

Apa yang kalian rasakan saat jatuh cinta?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro