31.2 Wawancara Tokoh Idola

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Nah, itu. Dia udah balik dari kantin, aku mau ambil buku dulu.” Hasel lari meninggalkannya yang tengah duduk di bangku panjang koridor, masuk ke dalam kelas. Tak lama kemudian temannya itu keluar lagi, masih sambil lari meninggalkannya menuju kelas seberang membawa buku bersampul coklat muda dan pulpen. Khaira hanya mengerutkan dahi, lalu menghela napas pasrah.

Andai saja temanku banyak, aku tak akan ditinggal-tinggal kayak gini, batinnya. Dia melirik ke tong sampah seberang dengan bibir mengerucut. Ini semua gara-gara tong sampah itu, pikirnya.

***

“Kak Amri!”

“Eh, don’t touch me ke sini lagi.” Amri sejenak menghentikan aktivitasnya menulis. Dia tersenyum melihat adik kelas yang pernah membuat kehebohan di kelasnya.

Hasel tertawa sumbang. "Kakak masih inget aja. Kak Shiddiq mana? Tadi perasaan lihat dia udah masuk,” tanyanya sambil berjalan mendekat. Tangan kanan gadis itu bergerak menata poni yang berbaris di sepanjang bagian atas alisnya. Matanya menyapu seisi kelas, lalu kembali menatap Amri yang masih terkikik geli.

"Tadi Shiddiq udah balik, tapi ada yang ketinggalan di kantin. Aku lupa namamu siapa sih?" tanyanya santai. Amri menutup buku bersampul biru dengan tulisan 'kimia', lalu menumpuknya dengan buku lain bersampul gambar kartun Pororo.

"Kakak lupa? Padahal namaku mudah diingat. Aku lahir hari Selasa, Kak. Disingkat jadi Hasel," ucapnya. Sementara Amri tertata, dia menunjuk bangku kursi depan meja Amri sambil tersenyum. "Boleh aku duduk di sini dulu?"

"Duduk dulu aja, ntar lagi juga dateng. Nah itu dia,” Amri mengedikkan dagunya ke arah pintu kelas.

Di ambang pintu, Shiddiq memang tengah berdiri dengan kresek di tangan. Dia mengernyit hingga kedua alisnya menyatu, sebelum melanjutkan jalan menuju bangkunya.

“Nggak pake sentuh-sentuh ya,” pinta Shiddiq dengan ekspresi datar.

Hasel mengangguk semangat dengan muka penuh senyum. “Nggak kak! Hasel janji!” ucapnya dengan tangan kanan terangkat ke atas.

Amri kembali tertawa. Dia menerima kresek yang diulurkan Shiddiq, mengeluarkan sebotol minuman bersoda, membuka lalu menenggaknya.

"Kamu punya saudara?" tanya Amri setelah bersendawa panjang.

Hasel mengangguk. Dia membuka buku yang dibawa, meletakkannya ke atas meja. “Ada, kakak cowok,” jawabnya.

“Lahir hari apa?” tanya Amri lagi. Kini Amri tersenyum lebar.

Shiddiq hanya sesekali menatap mereka berdua sambil melahap roti yang diambilnya dari dalam kresek.

“Kamis.”

“Biar kutebak, namanya pasti Hakam?"

“Bener."

Mereka berdua tertawa lepas. Sedangkan Shiddiq hanya mengunyah dalam diam.

“Kamu ngapain ke sini?” Akhirnya kalimat pertama keluar dari bibir Shiddiq. Hasel langsung mengalihkan perhatian, dan Amri pun langsung terkekeh pelan.

“Kak, Hasel ada PR bahasa, disuruh mewawancarai orang. Terus Hasel kepikiran Kakak, jadilah dateng ke sini. Hasel mau wawancara Kak Shiddiq,” jawab Hasel, “boleh nggak?”

Shiddiq terdiam sebentar, lalu mengangguk.

Mata Hasel melebar, mulutnya menganga. Rasanya tak percaya bisa mengerjakan tugas semudah ini. Terlebih dengan orang yang sangat dia kagumi. Jika saja semua tugas bisa disangkutpautkan dengan Shiddiq, Hasel yakin dirinya bisa merebut gelar juara satu paralel kelas dari Khaira. Tapi, karena dia adalah sahabat yang baik, jadi lebih baik dia mengalah saja.

"Wawancara tentang apa?" tanya Amri sambil menggeser sedikit kursinya mendekat ke arah meja.

“Ada, aku udah bikin list pertanyaannya, Kak," ucap Hasel sambil melirik Shiddiq yang mengangguk. "Nama lengkap?”

Hasel mulai mewawancara Shiddiq sambil bersiap mencatat apapun jawaban yang didengarnya.

“Shiddiq Abrar, d-nya ada dua.”

“Tempat tanggal lahir?”

“Jakarta, 9 September.”

“Wafat?”

Tak ada jawaban.

“Eh, masih hidup. Maaf kak,” Hasel meringis menyadari kesalahannya. Memang di buku tugasnya tertulis apa saja yang harus diketahui dari tokoh idola, termasuk tanggal lahir dan tanggal wafat.

“Bisa ceritakan masa kecil kakak? Pernah tinggal di mana aja? Sekolah di mana? Sukanya ngapain?”

“Satu-satu, aja Sel,” sela Amri sambil terkikik geli.

“Hehe, iya Kak, maaf.”

Mereka melanjutkan wawancara aneh itu dengan lancar, sesekali Amri ikut menimpali jawaban Shiddiq hingga membuat wawancara itu tidak terkesan formal.

“Pertanyaan terakhir, Kak. Tipe cewek idaman Kakak kayak gimana?” Sebenarnya, pertanyaan itu hanya karangannya saja. Tak ada pertanyaan seperti itu di buku tugas. Dia hanya penasaran, jadi selagi ada kesempatan, dia puaskan saja rasa penasaran itu dengan sekalian menanyakannya.

Namun, tak ada jawaban.

“Salah, kamu harusnya nanya tipe istri idaman dia gimana?” Amri ikut menimpali pertanyaan Hasel.

Hasel mengguk, lalu mengulang pertanyaannya seperti yang disebutkan Amri tadi.

“Jujur,” jawab Shiddiq.

Hasel langsung terdiam. Dia merasa bersalah telah membohongi Shiddiq. Hasel meletakkan buku tugas dan pulpennya hati-hati ke atas meja, lalu menunduk. Dia hampir menangis menyesali perbuatannya saat ini.

“Kamu kenapa?” tanya Amri bingung.

“Kak, maaf.”

“Jangan diulangi lagi,” ucap Shiddiq.

Hasel kembali mendongak setelah berhasil mencerna kata-kata yang didengarnya. Dia menatap Shiddiq yang tengah tersenyum padanya.

“Kakak tau, aku lagi bohong?” tanya Hasel hati-hati. Shiddiq mengangguk, dan Amri hanya terkekeh pelan.

Hasel memukul kepalanya sendiri, Hasel bodoh! Hasel bodoh! rutuknya dalam hati. Dia berusaha menahan malu yang kini menyebar ke seluruh tubuhnya. Padahal dari tadi dia terus berusaha menahan rasa malu itu.

“Kak, sebenernya... Hasel beneran punya tugas Bahasa, tapi bukan tugas wawancara. Hasel disuruh nyari biografi tokoh idola. Lah, Hasel nggak punya idola, terus Hasel ngefans sama kakak, jadilah Hasel ke sini, karena nggak ada biografi kakak di internet. Sumpah, Hasel udah nyari-nyari dua hari nggak ketemu. IG kakak juga diprifasi, di FB kakak cuma ada tausiah sama kata-kata mutiara doang, nggak ada curhatan apa kek? Foto juga nggak ada. Jadi tadi Hasel ngambil sendiri foto kakak, tapi itupun blur, karena Hasel ngambilnya kejauhan. Hasel sekarang jujur, Kak. Sumpah nggak bohong. Hasel nyesel bohong sama Kakak,” cerocos Hasel tanpa jeda untuk mengambil napas.

Amri hanya melongo melihat kelakuan aneh adik kelasnya yang satu itu. Dia tak habis pikir, untuk apa Hasel mengakui semua kelakuan memalukannya itu? Padahal, Shiddiq tak pernah menanyakannya. Dan, ternyata Hasel juga seorang penguntit berbahaya yang suka mencuri-curi foto orang lain! Mulai sekarang ia harus waspada pada semua adik kelas perempuan!

“Berhijab,” Shiddiq melanjutkan jawabannya.

Hasel bingung sesaat sebelum kembali berbinar-binar dan buru-buru mengambil bolpoin dan membuka buku tugasnya lalu mencatat.

Amri menoleh ke arah Shiddiq dan terbengong melihat tingkah temannya dan adik kelas antah berantahnya itu bergantian. Fix, dia tak mengerti jalan pikiran mereka berdua.

“Terakhir, semangat belajar Islam, dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Udah itu saja,” jawab Shiddiq. Dia mengeluarkan dan memakai headset hitam dari tas ranselnya, lalu diam sambil memejamkan kedua mata.

Hasel menatapnya lama sebelum menoleh ke Amri, berterima kasih dan berpamitan dengannya saat kelas biru itu mulai ramai dengan kedatangan siswa lain penghuni kelas itu. Gadis itu meninggalkan kelas dalam keadaan linglung sambil mendekap erat buku tugasnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro