3.1 Wawancara Tokoh Idola

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"PR matematika udah?" tanya Khaira saat guru PKn pergi meninggalkan kelas.

"Udah dong," jawab Hasel sambil tersenyum manis, "nyalin punya Deni."

Khaira menghela napas. "Sel, Menyontek sama saja dengan membodohi diri sendiri," ucapnya pelan agar terlihat bijaksana. Hasel hanya mengangguk dan tersenyum.

Kelas bernuansa hijau toska itu mulai riuh. Beberapa siswa berkeliaran membawa buku tulis dan beberapa lagi meneriakkan angka-angka.

Pergantian pelajaran kali ini terasa lebih lama dari pada biasanya, padahal Khaira sudah tak sabar ingin kembali melihat torehan merah angka seratus di buku PR matematikanya. Dia membuka kembali buku bersampul merah muda itu, mencermati setiap angka dan langkah pengerjaan dengan teliti, dia begitu fokus hingga terdengar gumaman dari samping kanan. Dia melirik, lalu mengernyit.

Alhamdulillahirabbil ‘alamiin wabihi nasta’iin wa’alaa umuuriddunia waddiin... puji syukur Hasel panjatkan pada-Mu ya Allah. Engkau telah meredakan gosip memalukan itu. Semoga tak ada lagi gosip lain yang menyangkut Hasel ya Allah, aamiin.”

Khaira terbengong melihat tingkah aneh Hasel yang tengah menangkupkan kedua tangannya ke muka. Tadinya dia mengira temannya itu tengah berlatih tugas pidato pelajaran bahasa yang akan ditampilkan tiap anak dua minggu ke depan, ternyata dia sedang memanjatkan rasa syukur. Dia menutup buku, meletakkannya di meja, lalu menghela napas.

“Kamu beneran mau insaf? Nggak ngerencanain yang aneh-aneh lagi kan, Sel?” tanya Khaira dengan ekspresi penasaran, tapi tetap hati-hati.

Pertama mengenalnya saat kelas satu sekolah menengah pertama, Khaira kira Hasel adalah murid yang cerdas karena dia selalu mengacungkan tangan saat guru menanyakan sesuatu. Namun, jawaban asal yang dilontarkan sahabatnya itu membuatnya berubah pikiran, dia langsung menyimpulkan bahwa temannya itu bodoh. Dan di saat yang lain, tiba-tiba Hasel mendapat nilai sempurna di latihan menulis essay. Hingga kini, Khaira belum bisa menggolongkan sahabatnya itu ke dalam golongan pintar atau bodoh di sekolah. Sifat Hasel yang labil maksimal, sering membuatnya kesal, juga terkejut.

Hasel terlalu sering melakukan hal-hal yang bersifat memalukan, Namun dia jarang menyeret Khaira terlibat pada setiap kejadian itu.

“Aku punya rencana."

“Rencana apa?” tanya Khaira penasaran.

“Kemaren Bu Endah Asri Lestari Tersenyum Berseri-seri Sepanjang Hari, ngasih tugas bahasa kan? Nah, besok aku bakalan ngerjain tugas itu sendiri. Nggak mau nyontek ke Deni,” jawabnya sambil tersenyum manis.

Khaira mendesah lega, dia kira rencana lain untuk mendekati Kak Shiddiq. Dia ikut tersenyum senang. Dalam hati, Khaira menyesal telah berprasangka buruk pada temannya itu.

***

[Keesokan hari]

“Yes! Dapet!”

Khaira menatap Hasel dengan tatapan horor. Tadi Hasel menarik tangannya tepat saat bel tanda istirahat berbunyi, lalu membawanya ke semak-semak berdaun panjang di bawah pohon jambu biji yang kini tengah berbuah satu dua.  Khaira yang tak mengerti dengan apa yang tengah mereka lakukan, terus bertanya pada Hasel, tapi temannya itu tetap diam, hanya sibuk mengurusi kamera ponsel yang disetel dalam mode zoom in maksimal.

Dan saat Shiddiq keluar dari pintu kelas seberang bersama beberapa anak laki-laki berseragam sama, Hasel memotretnya berkali-kali. Baru saat itulah Khaira mengerti alasan Hasel mengajaknya berlama-lama berdiri di sana. Kini dia merasa sangat kesal, dan gatal-gatal.

“Ngapain sih, nyuri-nyuri foto orang? Kenapa nggak nyari di IG atau Facebook aja?” rutuk Khaira sambil menggaruk bagian atas betis yang tak tertutup kaos kaki. Dia menarik lengan Hasel agar keluar dari sana, menuju tempat duduk panjang pembatas koridor di depan kelasnya.

“Di Facebook kak Shiddiq nggak ada fotonya, IG dia juga diprifasi, dia belum nerima aku follow dia. Di Google sama Pinterest juga nggak ada foto dia, di Youtube juga nggak ada video dia. Aku udah searching ke mana-mana, tetep nggak nemu, Kay,” jawab Hasel sambil mengulum senyum melihat foto blur yang baru saja diambilnya.

“Dih, aku kan jadi gatel!”

“Iya sih, aku juga. Harusnya tadi jangan di situ ya, kejauhan.” Hasel ikut menggaruk beberapa bagian di kakinya yang mulai memerah. "Tokoh idola di tugas bahasa, jadinya kamu pilih siapa?” tanya Hasel tiba-tiba mengalihkan topik pembicaraan. Hasel sudah memasukkan ponselnya ke dalam saku kemeja, lalu ikut duduk di samping Khaira yang masih merasa menderita.

“Imam Bonjol, kamu?” jawab Khaira santai, dia merasa senang setiap kali Hasel membicarakan topik lain, selain Kak Shiddiq. Mungkin kini Khaira cemburu pada temannya itu karena akhir-akhir ini dia merasa mulai diabaikan.

Hasel tertawa hingga menampakkan lubang di bagian kanan giginya yang ompong. "Kak Shiddiq,” jawabnya.

Mata Khaira terbelalak. “What? Kak Shiddiq yang itu?” tanya Khaira sambil menunjuk tong sampah di seberang mereka. Tong sampah yang sangat dibencinya.

Hasel mengangguk sambil tersenyum malu-malu. Khaira kembali menyesal, karena kemarin telah berprasangka baik pada temannya itu.

“Tapi kamu bilang, nggak mau deketin dia lagi.” Khaira mencoba mengingatkan, meski dengan nada yang kurang meyakinkan. Dia masih berharap Hasel tak lagi berbuat yang aneh-aneh, apalagi yang berhubungan dengan tetangganya itu. Kalau dirinya tak sengaja terlibat insiden memalukan, dan orang tuanya tahu, dia pasti akan sangat malu.

“Demi pengetahuan, Kay. Aku akan lakuin apapun asal bisa pinter. Harusnya kamu bangga, aku mulai nyoba nggak nyontek ke Deni. Kan kamu yang selalu ngingetin aku pas aku nyalin tugas-tugas Deni. 'Menyontek sama saja dengan membodohi diri sendiri,' aku sampe hapal kata-katamu.”

Kini Hasel mulai menceramahinya, sebenarnya siapa yang salah di sini?

Khaira hanya mengangguk sebal mendengar ucapan Hasel yang sok benar itu. Memang, dia tak begitu senang melihat Hasel selalu menyalin tugas. Baginya itu sama saja dengan membodohi diri-sendiri, mendapatkan nilai bagus tapi tanpa usaha sedikit pun. Sama sekali tidak mendidik.

Dia sering mencoba mengingatkan Hasel tentang itu, tapi dia tak habis pikir bahwa temannya itu akan mengembalikan perkataannya di saat-saat menyebalkan seperti ini.

“Terserah lah, Sel.” Khaira sangat kesal. Dia memutuskan tak mau lagi peduli pada Hasel, sejak saat ini. Dia tak mau lagi berurusan dengan siswa bernama Hasel, titik.

[Bersambung ....]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro