Kesadaran 23

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gelap. Keras. Menyakitkan.

Kak Danny melindungiku dengan tubuhnya dari benturan si Nitemare, walaupun pada akhirnya kami tetap terpental menembus tembok. Aku dan Kakak menghantam tanah dengan keras; berguling-guling di antara batu bata, genteng, dan balok kayu.

"Kak ...," panggilku seraya memeriksa keadaan Kak Danny. Terengah-engah. Tidak terluka. Utuh. Sebenarnya aku tidak perlu mengkhawatirkan kondisi kakakku. Dia bukan Oneironaut atau seorang Lucid Dreamer. Mimpi seseram dan sesakit apa pun tidak akan memengaruhinya. Kecuali kalau ada campur tangan entitas lain.

Kak Danny memegang kepalanya seraya bangkit. "Sa—"

Guncangan kembali terasa diiringi dentuman sampai-sampai tubuhku bisa saja melompat. Suara raungan bagai guntur memekakkan telinga. Si Nitemare menyeramkan kembali datang.

Oke, biar kudeskripsikan secara singkat menyeramkan yang kumaksud berhubung di luar cahayanya lebih baik—meskipun mendung—dan makhluk itu semakin jelas saja bentuknya. Hitam, sangat besar, berotot, memiliki aura kematian—sip, segitu saja dulu karena makhluk itu mulai menyerangku!

Bum!

Aku dan Kak Danny terpencar menghindari tumbukan tangan raksasa si Nitemare. Tanah kami sebelumnya berpijak hancur menjadi kawah. Makhluk dengan kepala seperti kambing bertanduk melengkung itu kembali berteriak mengalahkan guntur di langit. Dia menatap kami bergantian dengan mata merah bulatnya.

"Kak! Alihkan perhatiannya! Aku yang akan menghabisinya!" pintaku, karena hanya seorang Oneironaut yang bisa mengalahkan Nitemare dan mengembalikan mimpi jadi indah seperti semula.

Si Nitemare Kambing—sebut saja dia begitu untuk seterusnya—melihatku nyalang. Kak Danny yang seharusnya jadi umpan malah diabaikan. Tangannya siap menerkamku ketika senjata Kakak kembali memberondongnya.

"Lawanmu kali ini adalah aku!" teriak kakakku membuat si Nitemare berpaling padanya. Peluru-peluru tidak berhenti keluar membuat makhluk itu harus melindungi diri dengan lengan.

Kesempatan. Sekarang aku bisa fokus memenggal kepala si Kambing agar cepat selesai.

Kusiapkan kedua pedang. Kuamati bagian mana saja yang sekiranya bisa jadi titik buta makhluk itu. Kaki, tangan, pantat—ewh—punggung, kepala.

"Sa, cepatlah!" Kak Danny berteriak sambil terus menembak. Dia berlari ke arahku. Sesekali Kakak berguling menghindari tumbukan lengan.

Mataku membulat ketika aku dan si Nitemare tidak sengaja saling pandang. Aku tergeregap sekejap, lantas berlari ke balik makhluk itu. Loncat, elak, berguling. Sesekali kuhindari ayunan lengan atau tendangan makhluk itu.

Raungan kembali terdengar disertai desingan peluru dari Kak Danny. Aku yang sudah di balik punggung si Nitemare lekas melecut memanfaatkan momen Kakak yang sedang bermain dengan teman barunya. Dengan satu gerakan kutancapkan pedangku ke punggung makhluk—yang ternyata—berbulu itu. Lagi-lagi teriakan bagai guruh menggema. Punggung si Kambing bergerak-gerak tak keruan. Kini makhluk itu lebih seperti banteng rodeo dengan aku sebagai penunggangnya ... yang pusing.

"Sa, hati-hati!" teriak Kak Danny. Aku yang tidak fokus tidak mengerti dengan apa yang Kakak bicarakan—

"Aaagh!" Napasku sesak ....

Sebuah tangan mencengkeramku! Tubuhku rasanya remuk dalam genggaman makhluk itu yang begitu keras. (Kalau di realitas, tulang-tulangku bisa saja sudah ada yang patah.) Tajam kukunya seolah mengiris pipiku secara perlahan. Sial. Kalau begini terus, aku bisa saja kalah dan bangun dengan menyakitkan.

Tangan yang mencengkeramku bergerak tak jelas dengan cepat. Turun-naik. Kiri-kanan. Aku mual, pusing, dan tidak bisa memastikan apa yang sebenarnya si Kambing lakukan. Hal yang pasti adalah makhluk itu sedang melawan Kak Danny karena dari tadi Kakak berteriak-teriak memanggil namaku.

Si Nitemare Kambing baru berhenti ketika dia menarik lengannya ke belakang bahu—O-oh, sepertinya aku akan—

"Kak Danny, awas!!!"

Lagi-lagi, aku dilemparkan untuk kedua kalinya. Benturanku dengan Kak Danny mengingatkanku saat kami berada di dalam mobil dan terjadi tabrakan. Namun, rasanya berkali-kali lipat lebih sakit karena kali ini aku terlempar jauh sampai terpental beberapa kali meninggalkan Kakak, berguling-guling, dan menabrak tiang beton dengan wajah terlebih dahulu.

Sepertinya selama di teritori ini aku akan jadi bola bisbol sampai si Kambing musnah.

Aku bangkit dengan menumpu pedang yang kumunculkan lagi. Sakit dan perih menjalar di seluruh tubuh. Dapat kurasakan asin dan rasa besi di mulut. Cairan merah keluar dari hidungku. Penglihatan mata kiriku tak jelas. Ada sesuatu yang masuk ... darah.

Aku menggeleng. Bukan waktunya untuk mengasihani diri sendiri.

Jarakku dengan Kak Danny dan si Nitemare Kambing terpaut lapangan luas yang berbeda dengan lapangan yang kulewati sebelumnya. Di sana, manifestasi mimpi buruk itu sedang mengamuk. Kaki dia injak-injakan. Tangan dengan kuku pedangnya menghancurkan bangunan-bangunan yang ada. Raungannya mengalahkan gelegar di langit. Sementara itu, Kak Danny masih menembakkan senjatanya dengan sia-sia.

Nitemare yang kuat. Sepertinya aku benar-benar harus jadi anak nakal untuk mengalahkannya. Tidak boleh kutinggalkan Kak Danny terlalu lama dengan makhluk itu.

Tubuhku perlahan membaik. Dapat kugerakkan semua tubuhku dengan sempurna. Sip. Aku mengambil ancang-ancang, lalu melecut secepat kilat. Kuhunuskan pedang tepat ke arah kepala si Kambing. Namun, ketika aku berada dalam jarak serangannya, tangan besar makhluk itu kembali menamparku.

"ASA!"

Aku berhasil melindungi diri tepat waktu sehingga luka yang kuterima tidak terlalu signifikan, meskipun aku jadi terlempar jauh lagi.

"Kak Danny, terus alihkan perhatiannya!" teriakku.

Kekuatan imaji berlaku dua arah. Aksi-reaksi. Keseimbangan. Kira-kira apa yang bisa memperlambat makhluk besar itu tanpa membuatku rugi juga? Sesuatu yang cocok dengan suasana saat ini. Hujan? Puting beliung? Topan?

Aku berlari ke arah si Nitemare sambil mempersiapkan kedua pedang di tangan. Kuarahkan tangan ke angkasa di mana awan bergelung membentuk pusaran. Kubayangkan petir yang sedari tadi menggantung di langit menyambar si Kambing.

"Kak, menghindar!" peringatku.

Jdar!

Kilatan cahaya besar melecut dari langit disusul guntur yang menggelegar. Siluet si Nitemare seperti menggelepar di dalam pilar cahaya. Dalam sekejap mata, makhluk itu gosong dengan asap yang mengepul. Serangan itu mungkin fatal, tetapi hal itu tidak melenyapkannya. Hanya membuat si Nitemare mematung dengan tatapan kosong. Tetap aku yang harus memenggal kepalanya agar musnah.

Sebagai reaksi dari aksiku memanggil petir, petir yang lain jatuh satu per satu bagai hujan. Aku sebisa mungkin berlari mendekati si Nitemare Kambing seraya menghindari itu semua, juga berpacu dengan waktu agar makhluk itu tidak keburu sadar dan membuat sia-sia kekuatan imaji yang kukeluarkan.

Aku mengelak, berkelit, berguling ketika lecutan-lecutan petir menghampiriku. Saat aku lebih dekat dengan lawanku, hujan petir berkurang. Namun, makhluk itu ternyata keburu sadar saat aku di dekatnya. Kepala si Nitemare bergerak kaku seolah lehernya kurang pelumas. Mata merahnya kembali menyala.

Tangan manifestasi mimpi buruk itu mengayun seperti mengusir lalat ketika aku melompat ke bahunya. Untungnya, kali ini aku dapat mengelak dengan mudah sebab gerakan si Kambing jadi lambat. Hal ini mungkin karena akibat dari tersambar petir raksasa.

Aku mempercepat lari. Di tengah guncangan karena lawanku ini terus bergerak, aku berusaha menyeimbangkan diri. Namun, langkahku tidak selalu tepat. Kakiku selip. Aku jatuh, ke balik punggung makhluk itu.

Aku buru-buru membayangkan sesuatu apa pun yang terlintas. Untaian rantai panjang lantas muncul dari punggung tanganku. Ujung rantainya yang berbentuk kerucut tajam menancap tepat di belakang kepala si Nitemare Kambing. Makhluk itu mengaum sekali lagi.

Aku mengayun seperti manusia hutan melalui lengan bawah si Nitemare. Dengan satu entakan tepat di bawah dagunya, aku melepaskan rantai, melecut ke atas melewati kepalanya, lantas memutar tubuh dengan pedang terhunus.

Slash!

Pedangku berhasil memenggal leher si Nitemare Kambing. Kepala makhluk itu menggelinding, lantas berubah menjadi asap pekat. Asap hitam lainnya keluar dari leher, bahu, dan keseluruhan tubuh si Nitemare. Aku yang sedang jatuh bahkan sampai diselubungi asapnya hingga aku tak bisa melihat.

Tunggu. Bagaimana aku menentukan jarak dengan asap setebal ini?! Apalagi paru-paruku mulai sesak dipenuhi asap. Walaupun ini mimpi, tetap saja pengaruhnya nyata bagiku.

"AAAAHHH!!!!" Aku jatuh! Aku jatuh!! Aku jatuh!!!

Di tengah kepanikan, sepasang tangan kekar berhasil menghindarkanku dari benturan. Si pemilik lengan bahkan mengeluarkanku dari kepulan asap dengan selamat tanpa tambahan luka lainnya. Aku yang masih panik hanya bisa bergetar sambil sesekali terbatuk dalam rengkuhannya.

Kak Danny menurunkanku dari pangkuan. "Kau tidak apa-apa, Adik Kecil?" tanyanya sambil mengusap-usap punggungku.

Aku ingin sekali menunjukkan seluruh luka yang kudapat termasuk bibir sobek dan dahi yang berdarah, tetapi Unrealm membuatnya sembuh lebih cepat. Jadi, aku pun menjawab, "Aku tidak apa-apa."

Kak Danny tersenyum kecil. Dia mengelus kepalaku. Hal itu membuat pipiku panas. "Syukurlah," timpalnya lega.

Aku refleks memeluknya. Hangat. Nyaman. Tenteram. Kurasakan Kakak memelukku balik.

"Sebenarnya, apa yang terjadi, sih, Kak?" tanyaku setelah kami melepas pelukan. "Kakak sadar tidak kalau Kakak akhir-akhir ini bertingkah aneh?"

Kak Danny meringis. Dia menggaruk belakang kepalanya. "Kakak juga tidak yakin."

Keningku mengerut. Apa maksudnya?

"Sejak sadar dari koma, sepertinya Kakak lebih sering tidak sadarkan diri atau tidur—"

"Itu tidak mungkin!" bantahku. "Aku tidak pernah melihat Kak Danny pingsan atau sejenisnya. Lebih sering melamun dan tidur bisa saja, tetapi tidak dengan tidak sadarkan diri!"

Apa mungkin tubuh Kak Danny dikendalikan hal lain sehingga kesadarannya lebih sering terjebak di sini? Nitemare bahkan terkadang bisa menyerupai orang lain untuk mengelabui. Seperti yang pernah terjadi padaku. Aku ngeri sendiri dengan asumsi yang kubuat.

"Sa—"

Aku mundur ketika Kak Danny mencoba menyentuhku. "Apa kau benar-benar kakakku?" tudingku sambil mengacungkan pedang di tangan kanan.

Kak Danny menghela napas berat. Tangannya menyingkirkan pedangku dari wajahnya. "Dengar, Kakak juga tidak mengerti—"

Aku mengangkat tangan sedada menghentikan ocehan Kak Danny karena aku mendengar sesuatu.

"Kenapa?" tanya Kakak. Keningnya mengerut.

"Alarmku berbunyi."

Kak Danny menyentuh telinganya. Pandangannya mengedar seolah mencari sumber suara. "Kakak tidak mendengar apa-apa, tuh."

"Mungkin suaranya tidak terdengar sampai kamar Kakak—" Lalu aku teringat kalau pembicaraan ini akan sia-sia. Kak Danny orangnya mudah lupa dengan mimpi yang dialaminya. Pernah satu ketika Kak Danny sangat antusias dengan bunga tidurnya, tetapi kehilangan kata-kata saat di meja makan ketika ingin cerita. "Dengar, lebih baik kita lanjutkan pembicaraan ini di realitas." Itu pun kalau dia benar-benar Kak Danny dan ingat dengan pembicaraan ini.

Kak Danny menghela napas seperti kecewa seraya mengangguk.

Sebelum aku bangun, aku melakukan reset terlebih dahulu terhadap teritori mimpi Kak Danny agar aku yakin kalau semua telah kembali seperti semula. Perlahan, bangunan-bangunan kembali utuh dan cuaca menjadi cerah. Teritori Kak Danny dan pemiliknya berdenyar ketika aku menyuruh Kakak bangun. Tempat itu lalu menguap, menyisakan tanah gersang dengan langit malam penuh bintang kesadaran makhluk hidup.

Tunggu, ada sesuatu berwarna hitam di tanah. Bentuknya seperti tanah itu baru dipakai api unggun. Apa mungkin itu residu Nitemare yang baru saja kukalahkan dan bisa membahayakan? Namun, semakin lama aku melihatnya, sesuatu itu lambat-laun menghilang. Mungkin ini juga harus kulaporkan kepada Will.

Ketika aku membuka mata, rasa pegal dan nyeri langsung menderaku. Refleks aku bergelung karena rasa sakit di perut, dada, dan kepala. Untuk sekejap aku bahkan tak bisa menggerakkan jari-jariku. Namun, sedikit demi sedikit semua rasa itu menghilang seperti biasa.

Seperti yang kukatakan pada Kak Danny, alarm—dari ponsel—ku berbunyi. Aku buru-buru mematikannya dan segera keluar untuk bersiap pergi sekolah meski ogah-ogahan. Tak disangka, aku keluar kamar berbarengan dengan Kakak yang juga baru saja menutup pintu. Senyumnya mengembang.

"Pagi, Sa," sapanya. Dia mendekat dan memelukku.

Setelah apa yang kuhadapi dan asumsi yang terus terngiang di kepala, aku jadi tidak bisa bersikap biasa di hadapan Kak Danny. Belum bisa. Sama seperti hari-hari sebelumnya. Ketakutan dan kewaspadaan kembali menghantuiku. Aku bahkan sampai tidak membalas pelukan Kak Danny. Padahal di Unrealm semalam, aku yang pertama memeluknya. Sungguh ironis.

"Ayo, kita sarapan," ajak Kak Danny sambil mengurai peluk, masih dengan senyum mengembang.

Aku mengikutinya sampai ke dapur, membuat makanan bersama, lalu makan nasi goreng dengan telur di meja makan bersama. Sebisa mungkin aku bersikap biasa, tetapi Kak Danny yang terus mengangkat sudut bibirnya saat mata kami berserobok membuatku waswas.

"Ada yang salah, Sa?" tanya Kak Danny sambil memasukkan satu sendok nasi ke mulut.

"Tidak ada." Ya, ada yang salah dengan Kakak dan aku tidak yakin apa itu. "Nasi gorengnya enak, kok!"

Aku lekas menghabiskan sarapanku, mandi, berpakaian, lantas pamit. Kak Danny masih tidak bisa mengantarku karena kondisinya. Ditambah, entah kenapa—atau mungkin sudah jelas?—aku tidak ingin berlama-lama di dekat Kak Danny kalau dia masih seperti ini terus. Itu membuatku sedikit takut. Aku bahkan sengaja tidak membahas kembali apa yang ingin aku pastikan di Unrealm. Kalau Kak Danny tiba-tiba membicarakannya, kecurigaanku pasti akan meningkat. Namun ternyata, Kakak tidak melakukannya. Apa itu menandakan kalau yang di hadapanku sebelumnya adalah benar-benar Kak Danny? Aku masih belum yakin seratus persen.

Sepanjang jalan aku pergi ke sekolah, aku tidak bisa berhenti berpikir. Apa sosok yang kutemui di mimpi itu benar-benar kesadaran Kak Danny? Apa kakakku sudah sembuh sepenuhnya? Sudahkah aku menghabisi Nitemare yang menyerang tempat itu dengan benar? Apa sesuatu hitam yang tertinggal di bekas teritori Kakak? Jangan-jangan bekas hitam itu ada kaitannya dengan Kak Danny dan suatu saat bisa memengaruhinya?

Aku menggeleng keras. Kata Will pikiran buruk bisa memengaruhi Unrealm. Aku tidak melihat korelasinya di mana sebenarnya. Bagaimana caranya? Apa hanya aku saja yang payah dan tidak paham? Apa pun itu, semoga saja semua asumsi burukku tidak ada yang jadi nyata. Kalau tidak, aku tidak yakin bisa menghadapi semua mimpi buruk itu sekali lagi.

Aku memejam. Semua akan baik-baik saja. Akan ada pelangi setelah hujan. Pasti.

~~oOo~~

Diterbitkan: 06/02/2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro