Kesadaran 24

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di kelas, aku tidak menemukan Will yang sedang tidur di bangku seperti sebelumnya, melainkan anak itu yang sedang memainkan komputer hologram. Tumben sekali dia. Aku lekas menghampiri Will untuk memberikan laporan. Namun sebelum itu, aku menanyakan apa yang sedang dia lakukan.

"Aku sedang memeriksa kejadian akhir-akhir ini," jawab Will tanpa melihatku. Matanya terus fokus ke layar sementara tangannya sibuk di tetikus mungil dan kibor hologram.

Keningku mengerut. Aku menunggu jawaban lanjutan darinya, tetapi Will sepertinya tidak sadar. "Memang apa yang terjadi?" tanyaku lagi dengan jengkel sekaligus penasaran.

Tangan Will akhirnya berhenti. Mata hitam sayunya kini fokus padaku. "Kau sadar tidak kalau situasi sekarang tidak baik-baik saja?" tanya Will.

Otakku agaknya berhenti sebentar. Situasi yang mana? Sepertinya terlalu banyak situasi tidak stabil di berbagai tempat dan tenang di saat bersamaan.

Will mengembuskan napasnya lelah. "Kau ingat tidak alasan kakakmu masuk rumah sakit?"

Aku menggebrak meja. "Tentu saja aku ingat!" jawabku spontan. Mana mungkin aku bisa lupa dengan apa yang terjadi pada Kak Danny.

Will tersentak ke belakang, tetapi hal itu sepertinya tidak dia hiraukan. Dia kembali duduk seperti semula lalu melanjutkan, "Kasus kakakmu hanya satu dari sekian banyak kasus yang ada. Pembunuhan, penyerangan, perusakan. Salah satu dari banyak penjahat Esper itu juga mengincar para Oneironaut—"

Mataku membulat. "Bagaimana kau tahu?!" Setelah Kak Danny yang jadi korban dan belum tentu sembuh, sekarang aku juga terancam bahaya?

"Aku menonton banyak berita. Setiap korban diidentifikasi sampai ke kekuatannya. Para Oneironaut atau Lucid Dreamer biasanya mati karena serangan jantung. Sepertinya mereka diserang di Unrealm. Salah satu opini dari pengamat kriminal ada yang berkata seperti itu." Will memegang dagunya seperti berpikir. "Ada juga yang dibunuh dengan cara lain, sih."

Aku bergidik. "Bi-bisa kau ceritakan yang lain? Ini membuatku takut, kau tahu? Apa ini juga ada kaitannya dengan kau yang tidak bisa tidur akhir-akhir ini?"

Will mengusap wajahnya, lalu menumpu dagu dengan satu tangan. Matanya fokus pada layar monitor hologram. "Ya—entahlah. Aku tidak yakin." Will memejam sebentar. "Nitemare yang kuhadapi akhir-akhir ini memang sulit dikalahkan. Aku sampai terbangun dan sulit kembali tidur. Tapi, bisa saja itu hanya pengaruh aku yang kelelahan."

"Apa ... aku juga akan jadi target mereka ...?" Aku tidak tahu wajahku sudah sepucat apa, tetapi rasanya aliran darah ke wajahku sangat sedikit. "Tunggu, apa hubungannya dengan Nitemare?"

"Aku tidak yakin bagaimana para penjahat itu menyerang di Unrealm, tetapi aku ada tebakan bahwa para Nitemare bisa dikendalikan untuk hal tertentu."

"Memang itu bisa dilakukan?" tanyaku skeptis, agak takut. Semakin aku tahu akan suatu hal, semakin aku takut dengan fakta-fakta yang lain. Dan untuk yang satu ini, jujur aku belum siap.

"Aku tidak tahu," timpal Will sambil menggeleng. Dia menatapku. "Kau tidak perlu khawatir, korban-korban yang teridentifikasi berumur dua puluh tahunan lebih dan/atau termasuk Oneironaut senior. Para pemula sepertinya tidak dianggap sebagai ancaman."

Aku tidak tahu aku yang payah ini sebenarnya beruntung atau tidak.

"Kau tidak perlu pusing memikirkannya," lanjut Will. "Itu bukan tanggung jawab kita untuk sekarang. Berharap saja semua ini akan segera berakhir."

Kelas mulai ramai dengan suara dari siswa-siswi yang lain. Tawa, gosip, teriakan. Walaupun begitu, hanya ada keheningan di antara aku dan Will.

"Semalam aku memeriksa teritori Kak Danny," mulaiku memecah kesunyian di antara kami. "Aku tidak yakin apakah kesadaran kakakku sudah kembali atau belum."

Kening Will mengerut. "Apa maksudmu?" tanyanya sambil mematikan komputer hologramnya, lantas memasukan barang-barang lainnya ke tas.

Aku pun menceritakan semua kejadian yang kualami di teritori Kak Danny mulai dari figuran yang bermata merah, sampai Nitemare Kambing yang bicara.

Will menunduk sambil memegang dagu. "Nitemare dengan kepala kambing?" gumamnya lebih kepada diri sendiri. "Minotaur—tidak, Minotaurus berkepala banteng. Dia bicara? Apa mungkin ...."

"Apa? Apa? Kenapa?" Aku sangat tidak sabar dengan penemuan Will. Hal ini bisa saja jadi petunjuk atas apa yang terjadi pada Kak Danny.

Cowok itu mendongak. "Nitemare terkadang mengambil bentuk-bentuk abstrak seperti Nitemare liar, atau mengambil bentuk dari personifikasi ketakutan terbesar seseorang seperti kau dengan Kak Danny yang mengata-ngataimu. Penyakit mental juga bisa membentuk Nitemare seperti Nitemare orang bipolar dan depresi yang pernah kita hadapi. Ada pula Nitemare yang mengambil bentuk makhluk-makhluk yang sudah terkenal seperti Echidna yang pernah kita hadapi dengan Kak Al. Terkadang bentuk yang ini tidak dipengaruhi oleh ketakutan—aku tidak yakin," papar Will. "Mereka biasanya tidak 'terlalu' berbahaya"—dia mengutip kata terlalu dengan dua jari—"tetapi, Nitemare yang sampai bisa mengindentifikasi seseorang sebagai kesadaran asing, itu cerita lain."

Aku memperhatikan Will dengan saksama. Setiap kerutan di dahinya. Setiap gerakan tangannya. Setiap intonasi yang dikeluarkan. Entah kenapa, aku merasa melihat Will dari sisi yang lain. Terlalu banyak keraguan dalam pembicaraan ini.

"Jadi, apa tebakanmu? Seingatku, Kak Danny tidak punya ketakutan terhadap kambing." Bagiku, Kak Danny adalah orang terberani yang kutahu.

"Tidak. Aku tidak mau berasumsi lebih jauh lagi," sahut Will sambil menggeleng. Matanya fokus padaku seperti orang yang menghakimi. "Aku tidak mau kau berpikir berlebihan dan jadi memengaruhi kinerjamu nanti di Unrealm."

Uh, sangat menusuk. Aku mengalihkan pandang dari mata hitam Will yang tajam. Ah, sudah banyak orang yang datang ternyata. Pasti sebentar lagi masuk.

"Lalu, apa rencanamu?" tanyaku kembali melihat Will.

"Kita harus memeriksa teritori kakakmu lagi."

Aku menghela napas lelah. "Kau akan ikut denganku kali ini, 'kan?" tanyaku penuh harap.

Tanpa kusangka, Will mengangguk. "Aku harus memastikannya sendiri, dan juga agar kau tidak gegabah," jawabnya seraya menyipitkan mata padaku.

Aku tertawa miris. Kuakui kalau aku sedikit banyak bergantung pada Will soal tetek-bengek Oneironaut dan Alam Imaji ini.

"Kau akan menginap?" Sedikit banyak aku ingin Will tidur bersamaku—bukan, bukan tidur yang itu! Aku hanya takut, mengingat Kak Danny seperti itu. Ditambah asumsi Will, aku jadi makin waswas.

"Tidak perlu," jawab Will menghancurkan harapanku. "Kau akan baik-baik saja. Lagi pula seperti katamu, Kak Danny sudah seperti semula, 'kan?" Matanya mengerling. "Meski ada yang aneh di teritorinya."

Pipiku menggembung. "Oh, ayolah, Will!" rengekku sambil mengguncang bahunya. "Jujur saja, aku takut kalau Kakak sewaktu-waktu jadi aneh lagi."

Will menepis kedua tanganku. "Asa, berhentilah bertingkah seperti bocah! Teman-teman lain menertawakanmu."

Aku berhenti, lantas melihat sekeliling. Semua teman yang ada memasang ekspresi yang beragam. Aku tidak tahu apa itu geli, terganggu, atau bahkan mungkin jijik. Wajahku terasa panas dan mungkin sudah semerah kepiting rebus.

"Ma-makanya ...."

Cowok di depanku mengembuskan napas gusar. Dia kemudian mengangkat satu jari. "Beri aku satu alasan kuat kenapa aku harus menginap di rumahmu," tantangnya dengan wajah serius.

Belum sempat aku menjawab—dan aku juga belum tahu jawabannya—bel masuk sudah berbunyi.

...

Kalau aku adalah komputer dengan prosesor minimal dual-core, aku mungkin sudah bisa memperhatikan guru di depan dengan saksama sambil memikirkan alasan yang cukup kuat untuk meyakinkan Will menginap. Sayangnya, aku adalah manusia yang bahkan tidak bisa melakukan multitasking.

"Komputer kuantum memanfaatkan fenomena superposisi di mana partikel bisa berbeda dalam dua keadaan sekaligus ...." Guru di depan menjelaskan sambil menunjuk layar proyektor. "Komputer ini juga menggunakan kubit—kuantum bit—alih-alih bit untuk menghitung ...."

Aku menguap. Kalau saja aku punya kemampuan seperti partikel di alam kuantum, aku bisa melakukan apa pun bersamaan secara lebih efektif—

"Asa, perhatikan. Jangan melamun."

Aku menegang. Lagi-lagi aku ditegur. Untung saja guru IT ini lebih baik dari guru-guru mata pelajaran yang lain. Aku bahkan tidak pernah dihukum. Mungkin karena beliau paham kalau pelajaran ini terlalu rumit untuk ukuran anak SMA. Oleh karena itu, beliau bahkan mendapat predikat Pak Baik.

Aku jadi teringat sesuatu. Sepertinya ada hubungannya dengan guru, kuantum, dan hukuman—Ah, sial. Aku baru ingat. Esai lima ratus kata Pak Botak.

"Cukup saja untuk hari ini, kalian boleh istirahat," tutup Pak Baik sambil berlalu keluar kelas.

Aku baru akan ke bangku Will saat sebuah suara menginterupsi.

"Hey, Sa! Ayo, ke kantin," ajak Luca. Dia menggerakkan kepala ke arah Zach dan Leo yang sudah ada di mulut pintu.

Aku melihat bergantian antara Luca dan Will yang sedang kembali menyiapkan komputer hologramnya. Will terlihat cuek dan Luca malah seperti orang yang tidak sabar.

"Sebentar," pintaku pada Luca, tetapi anak itu malah mengikuti. Sebisa mungkin aku mengabaikannya dan fokus pada Will. "Hei, Will, kau ada waktu?"

Will yang baru beres mempersiapkan gawainya bergantian melihatku dan Luca yang ada di belakangku. "Maaf, aku agak sibuk," jawabnya tak acuh.

Mataku berkedut. "Tidak biasanya kau begini. Lagi pula tumben sekali kau mengerjakan sesuatu di sekolah," sahutku kesal.

"Kuota internetku habis." Will melihatku sekilas. "Juga internet di sini cepat."

Menyebalkan. Apa ini efek aku memintanya menginap?

Luca meremas bahuku. "Sudahlah, Sa," hiburnya. "William sedang sibuk, jangan ganggu dia. Kau tidak tahu apa yang bisa dilakukannya kalau sedang marah."

Ah, Luca. Sayangnya aku tahu.

Aku berbalik dan mengikuti Luca pada akhirnya. Namun, dapat kulihat sekilas dari ekor mata kalau tangan Will mengepal dan matanya berkedut.

Kantin. Pernahkah aku mendeskripsikannya? Luas, bercat putih. Ada beberapa tiang penjaga dengan fungsi lainnya seperti tempat stop kontak. Tempat ini juga selalu ramai, baik saat istirahat pertama maupun kedua. Tidak ada bedanya dengan hari ini. Keramaian para siswa dan beberapa robot pramusaji seperti troli berjalan berpadu. Tawa dan sindiran menggema di seantero kantin. Gosip, ledekan, candaan. Kau akan mendapatkan info penting kalau membuka telinga sedikit lebih lebar.

Aku dan kawan-kawan selalu duduk di bagian belakang dekat mesin minuman seperti biasa. Seringnya Luca yang mendapatkan tempat ini bila beruntung. Kami menyukainya karena bisa melihat seisi kantin dan mendapatkan pemandangan dari kejadian tidak terduga—kalau hoki—lebih luas. Juga agar mendapatkan minuman kemasan lebih cepat. Dan lagi, bisa jadi lebih aman kalau kami ingin membicarakan sesuatu yang agak sensitif sehingga teman-teman yang lain tidak bisa terlalu mendengarnya.

Luca mengawali obrolan dengan membahas video game terbaru dan rencananya untuk pra-pesan. Kami menyimaknya. Lebih sering aku yang menanggapinya karena hobi kami sama, meskipun Zach dan Leo juga tidak kalah menyukainya. (Kesukaan Luca terhadap game tidak menjadikan dia dekat dengan Gema, karena Luca lebih ke PC sementara Gema condong ke game ponsel.) Obrolan berlanjut ke pelajaran, makanan yang kami pesan, sampai akhirnya Luca menanyakan sesuatu yang sangat aku hindari.

"Maaf kalau aku terkesan menguping, tapi itu karena kalian mengobrol terlalu keras," mulainya. "Jadi, bagaimana keadaan kakakmu—maksudku, kau terdengar sangat khawatir. Kau jadi tidak fokus, sering melamun, jadi dapat banyak hukuman daripada aku—"

Tunggu. Apa? Sepertinya aku baru sekali dapat hukuman. Banyak dari mana?

"Jadi ... apa kali ini kau mau cerita masalahmu pada kami?"

Aku menghela napas lelah. Memang, Luca, Zach, dan Leo adalah teman-teman dekatku dari awal. Mengesampingkan alam bawah sadar Luca yang ingin menghajar Will habis-habisan. Namun, aku masih tidak yakin menceritakan masalah pribadiku akan membuat lega walau sedikit.

"Hah, baiklah." Aku mencari kata-kata yang tepat untuk memulai. "Kalian tahu, kemungkinan apa yang terjadi pada kakakku ada hubungannya dengan Oneironaut—versi upgrade Lucid Dreamer." Aku melihat mereka satu per satu memastikan kalau kata-kataku memang mereka pahami. Merasa dapat lampu hijau, aku pun melanjutkan. Kuceritakan pada mereka tentang Kak Danny yang aneh, obrolanku dengan Will sebelumnya, dan ketakutanku kalau Kakak tidak bisa kembali seperti sedia kala.

"Aku turut sedih," sahut Luca. Zach dan Leo mengangguk seolah menyetujui pernyataan cowok berbadan besar itu.

"Aku banyak berhutang pada Will. Jadi tolong, setidaknya jangan pernah menjelek-jelekkan Will di hadapanku," pungkasku.

Ketiga temanku itu mengangguk.

"Aku jadi ingat sesuatu," timpal Leo sambil mengetuk-ngetuk dagu. Matanya menerawang entah ke mana. "Sepertinya aku pernah baca cerita tentang orang yang telah dirasuki sesuatu selama seminggu dan akhirnya dia mati. Tingkahnya aneh, sering mengamuk, tidak mau makan. Setelah sadar, dia kehilangan nyawa karena kelelahan dan kurang nutrisi."

Mataku membulat.

"Memang Nitemare bisa merasuki seseorang seperti itu?" tanya Zach. Keningnya mengerut. Dia lantas beralih padaku. "Bisa begitu, Sa?"

Aku menggeleng kuat. "Mana kutahu ...," jawabku ragu. Takut, waswas, ngeri. Semua bercampur jadi satu. Aku sangat tidak mau kehilangan Kak Danny. Aku baru mendapatkannya kembali dari Kehampaan dan aku harus menghadapi kemungkinan Kakak bisa saja tiada untuk selamanya karena suatu makhluk yang bahkan hanya ada di alam bawah sadar?

"Hei, hei, Leo, pastikan dulu apa yang kaubaca itu benar. Jangan menyebarkan rumor yang belum pasti." Luca menunjuk-nunjuk lawan bicaranya dengan garpu. "Lihat apa yang kaubuat pada Asa. Wajahnya jadi seputih susu."

"Maaf, Asa, aku hanya teringat. Bukan maksudku menakut-nakutimu."

Aku menggeleng lemah.

"Aku harus segera membicarakan ini dengan Will," kataku lantas meminum segelas es jeruk yang kupesan dengan buru-buru sampai tersedak. "Aku duluan." Dengan cepat kutinggalkan mereka.

Aku berjalan setengah berlari. Kuhindari setiap orang di lorong yang juga bergegas kembali ke kelas karena sudah dekat jam masuk.

"Will!" panggilku di lawang pintu. Anak itu menoleh diiringi selidik teman-teman yang lain. Kuabaikan setiap tatapan mereka yang beragam. Lekas kudekati Will. Kuguncang bahunya. "Kau harus menginap di rumahku sebelum terjadi hal yang tidak-tidak pada Kak Danny!"

Cowok itu menekuk alisnya turun sebelum akhirnya menstabilkan diri. "Kan, sudah kubilang kalau kakakmu akan baik-baik saja," sanggah Will.

"Kalau kukatakan aku belum mengerjakan PR Fisika Kuantum dan butuh bantuanmu, apa kau akan berubah pikiran?"

Will mengerling. "Tidak." Dia menepis kedua tanganku.

"Kau sahabatku, 'kan?"

Mata lawan bicaraku berkedut.

"Dengar, Will, aku benar-benar butuh orang lain. Aku takut. Sangat. Aku tidak bisa membayangkan kalau Kak Danny benar-benar berubah jadi mimpi terburukku. Kami hanya tinggal berdua. Tetangga kami tidak bisa diandalkan. Kalau terjadi sesuatu pada Kak Danny atau padaku ...."

Will mengembuskan napas kasar. "Baiklah, baiklah. Aku mengerti. Tapi aku harus pulang dulu untuk mengambil keperluan sekalian pamit pada Mama."

Aku menatapnya penuh syukur. "Terima kasih ...."

~~oOo~~

Diterbitkan: 07/02/2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro