Kesadaran 25

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mimpi burukku menjadi nyata.

Padahal saat pulang sekolah, semua masih aman-aman saja. Aku masuk masih dengan mengendap-endap seperti sebelumnya. Tidak ada tanda-tanda Kak Danny di mana pun. Kakak baru terlihat lagi setelah aku keluar dari kamar setelah berganti pakaian.

"Sudah makan, Sa?" tanyanya. Senyum lebar terpatri seperti yang selalu Kak Danny berikan.

Aku mematung sebentar sebelum akhirnya menjawab, "Sudah." Aku refleks mundur selangkah saat dia mengulurkan tangan untuk mengelus kepalaku.

Tangan Kak Danny hangat. Setiap elusan yang Kakak berikan lembut, terasa dipenuhi rasa kasih sayang. Namun, semua pikiran skeptisku saat ini mengempaskan segala yang kurasakan seharusnya. Aku belum bisa merasa baik-baik saja setelah mendengar cerita Will dan Leo.

"Will akan datang," laporku sambil menyingkirkan tangan Kak Danny dari kepala. "Kakak ingat Will, 'kan?"

Senyum lebar Kak Danny memudar jadi senyum kecut. "Maaf, ya. Karena Kakak, kalian jadi kerepotan," katanya.

Tidak ada yang aneh. Tidak ada yang mencurigakan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Seharusnya tidak akan ada apa-apa.

"Bukan masalah lagi sekarang," balasku sambil menggeleng. "Lagi pula, aku tahu Kak Danny juga akan melakukan hal apa pun kalau aku seperti itu." Mengetahui satu-satunya keluarga yang dimiliki di ambang kematian, bisa apa lagi aku?

Setelah dirasa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, aku pun menuju dapur untuk menyiapkan camilan. Kutelisik isi kulkas mencari makanan yang cocok untuk disuguhkan. Aku tahu ini hanya Will, tetapi aku merasa harus menjamu selayaknya tuan rumah yang baik. Aku telah melakukan kesalahan saat pertama Will kemari dengan tidak menyiapkan makanan apa-apa.

Nihil. Tidak ada kudapan apa pun yang dapat diberikan. Bahan makanan mentah seperti telur bahkan sudah habis. Sepertinya sudah saatnya aku belanja dan menyetok untuk seminggu ke depan.

"Kak, aku mau ke depan sebentar, ya!" seruku sambil menutup pintu kulkas. Namun, tidak ada jawaban. "Kak?" Apa mungkin Kak Danny sudah kembali ke kamar?

Aku menatap seisi dapur. Tidak ada siapa-siapa selain aku. Ya, sudahlah.

Langkahku menuju luar berhenti di depan kamar ketika kudengar dering ponsel yang ada di kasur. Buru-buru aku masuk lantas kuangkat panggilan dari Will.

"Sebentar lagi aku sampai. Pastikan kau ada di rumah," kata Will dari seberang telepon tanpa basa-basi ataupun salam.

"Eh? Aku baru mau keluar beli camilan dan bahan makanan," timpalku sambil ke luar kamar seraya memastikan kartu uang digital sudah dibawa. "Kau ke sini saja, ada Kak Danny yang jaga rumah."

"Apa kau lihat ada sesuatu yang aneh?" tanya Will dengan nada penuh selidik.

Keningku mengerut mendengar pertanyaan itu. "Sejauh ini tidak, sih," jawabku. Aku refleks melihat ruang tamu di mana aku berada sekarang; satu set sofa panjang dan pendek, meja rendah dengan dua vas porselen berbunga layu dari Kak Airin dan Kak Mindy (aku harus mengganti bunganya segera), lemari kaca dengan berbagai dokumen dan kumpulan foto berpigura di bagian atas, serta foto-foto keluarga yang digantung di dinding tertata rapi. Benar-benar tidak ada yang aneh.

"Tetap waspada, Sa. Kita tidak tahu bahaya akan muncul dari mana—"

Seseorang menyentuh bahuku dari belakang membuatku refleks berbalik dan mengabaikan Will seketika.

"Ah, Kak Danny! Kukira Kakak—"

Mataku membulat ketika tangan kekar Kak Danny mencengkeram leherku. Napasku sesak seketika tatkala jalur udara berhenti memberikan oksigen. Aku meronta, berusaha menjerit, mengayun-ayunkan kaki yang sudah tidak menapak, juga memukul-mukul tangan kakakku agar dia melepaskan cekikannya.

"Kak—"

Suaraku tertahan. Tenagaku serasa dikuras. Semakin aku melawan, semakin kuat cengkeraman Kak Danny di leherku.

Kenapa dia melakukan ini? Kenapa tiba-tiba sekali? Padahal Kakak masih tampak ramah tadi. Apa ini pengaruh Nitemare yang Will bilang? Atau ... sudah muakkah Kak Danny denganku? Apa mimpiku tentang Kak Danny yang membenciku benar adanya? Kakak ....

"Dasar beban ...." Kak—tidak, dia bukan kakakku. Kakak tidak punya mata berwarna merah. Kak Danny tidak menggeram seperti binatang. Kakakku tidak akan menyerang adiknya seperti ini!

"Kak ... Dann—"

Tubuhku dihantamkan ke tembok dengan kasar. Suara gemeretak tulang bahkan sampai terdengar. Ngilu menjalar di seluruh tubuhku. Ditambah dingin yang menusuk dan tekanan yang menyakitkan, rasanya aku bisa saja mati saat ini.

Mati. Apakah aku akan mati sekarang? Di tangan kakak sendiri? Apa ini yang Will maksud dengan cara lain membunuh para Oneironaut?

Will .... Will! Apakah aku masih terhubung dengan Will? Aku masih memegang ponsel. Suara Will juga ternyata masih terdengar meskipun samar.

"Wi—Hng!"

Kak Danny mempererat cekikannya. Rasa sakit semakin terasa sampai air mataku keluar. Sakit. Sesak. Tercekat. Kalau seperti ini terus, aku benar-benar akan mati sebentar lagi.

Tidak, tidak boleh seperti ini! Aku memukul tangan Kak Danny, mencakarnya. Kulemparkan ponsel berharap setidaknya hal itu memberi dampak. Namun, semuanya sia-sia seiring rasa lemas yang mendera karena Kakak memperkuat tenaganya. Oksigen yang mengalir ke otak semakin menipis. Tenagaku habis.

Kesadaranku ... aku tidak bisa mempertahankan kesadaranku. Mungkin ini saatnya menyusul Ayah dan Ibu—

Pintu depan terbuka diiringi daun pintu yang menggebrak. Kak Danny refleks menoleh, sedangkan aku hanya bisa melihat dari ekor mata. Di lawang, Will sedang berdiri sambil terengah. Matanya yang hitam sayu terbeliak.

"Asa!"

Anak itu menerjang, Kak Danny menghantamnya dengan satu tangan yang bebas. Will terlempar melewati meja lantas menabrak sofa. Dengan sigap, dia bangkit kembali seraya menggenggam vas bunga yang tergeletak.

Satu detik Will menapaki meja, detik berikutnya dia melompat sembari menghantamkan vas bunga porselen. Kak Danny masih bisa menahannya dengan satu tangan. Namun, tangan Will yang kiri lebih cepat meninju wajah Kak Danny menggunakan vas yang lain.

Aku jatuh, lepas dari cengkeraman Kak Danny. Kakak sendiri terhuyung sambil memegang kepala. Will menutup serangannya dengan hantaman vas pertama sampai benda itu pecah disertai guguran bunga, membuat Kak Danny terkapar dengan pelipis berdarah.

Kak ....

Aku terengah berusaha mengambil udara sebanyak mungkin. Leherku sangat sakit seperti ada urat-urat yang putus. Sesekali aku terbatuk dengan tenggorokan yang nyeri. Penglihatanku juga kabur oleh air mata dan kacamata yang berembun.

Will berlutut di sisiku. Tangannya tidak lepas meraba-raba tubuh, lengan, dan wajahku. Dengan suara gemetar dia bertanya, "Asa, Asa, kau tidak apa-apa?"

Aku ingin sekali tertawa. Will, itu adalah pertanyaan terbodoh yang pernah terlontar dari orang sepintar dirimu. Bagaimana mungkin orang yang dicekik hampir mati bisa baik-baik saja? Ingin kusuarakan hal itu, tetapi aku terlalu lemas. Suaraku yang keluar saat menangis bahkan terdengar seperti tikus terjepit.

Aku benar-benar banjir air mata. Dan saat aku memiliki tenaga untuk bergerak, kugunakan untuk memeluk Will erat seolah aku tidak ingin kehilangan dia. Aku sangat takut.

Aku sangat takut pada Kak Danny yang seperti itu.

Aku sangat takut kehilangan kakakku juga.

Aku sangat takut untuk mati.

Aku sangat takut.

"Will ...." Kueratkan pelukanku di lehernya.

"Tenang, Asa. Aku di sini," kata Will sambil menepuk-nepuk bahuku. "Semua akan baik-baik saja."

Setelah merasa cukup tenang dan baikan, kuurai lengan yang ada di leher Will. "Bagaimana dengan keadaan Kak Danny?" tanyaku pada Will masih dengan suara serak, lantas berganti menatap Kakak.

"Jangan khawatir, dia akan baik-baik saja," balas Will sambil memapahku ke sofa.

"Dia pingsan dan dahinya berdarah. Bagaimana mungkin aku tidak khawatir?" Ah, suaraku terlalu tinggi. Tenggorokanku jadi sakit.

Wil mendengkus. "Harusnya kau khawatirkan dirimu dulu saat ini. Coba beri tahu aku, siapa yang hampir saja mati tercekik?"

Aku tertunduk seraya mengusap leher yang masih sakit. "Maaf, aku hanya takut terjadi ada apa-apa pada Kak Danny. Kalau dia gegar otak bagaimana?"

Cowok itu menggeleng. Dia melepas ransel yang baru aku sadari dipakai sejak tadi, lalu menyimpannya di sofa panjang. "Dia akan baik-baik saja. Lagi pula kakakmu punya kemampuan regenerasi yang tinggi. Luka sekecil itu bukan apa-apa." Will mendekati Kak Danny, berjongkok, kemudian tangannya seperti melakukan sesuatu di sekitar kepala Kakak. "Hal sekarang yang harus kita khawatirkan adalah bagaimana kalau kakakmu sadar kembali, tetapi masih dalam keadaan dirasuki."

Aku menelan ludah. Mata Will yang tajam dan menyipit saat melihatku menakutkan sekali.

"Kau punya tali tambang?"

Keningku mengerut. "Untuk apa?"

"Mengikat kakakmu," jawab Will sambil matanya mengerling. "Kau tidak mau dia sadar dalam keadaan kerasukan, 'kan?"

Otakku berhenti sejenak. Niat Will yang seperti itu menjadikan dia terdengar seperti penjahat yang mengikat sandera. Namun, dia ada benarnya. Kalau Kak Danny mengamuk lagi bisa bahaya.

"Mungkin ada. Biar kuambilkan," timpalku seraya mencoba berdiri, tetapi rasa lemas masih menggerayangi tubuhku menyebabkan aku oleng seketika ke depan. Untungnya, tanganku refleks menumpu ke meja sebelum aku benar-benar jatuh.

Will menghampiriku sembari kedua tangannya membantuku duduk kembali. "Kau istirahat saja dulu, biar aku yang ambil," sergahnya. "Ada di mana tepatnya?"

"Mungkin ... ada di dalam lemari gantung di atas wastafel atau bisa saja di atasnya ... aku tidak yakin."

Tanpa basa-basi, Will langsung memelesat ke dalam, meninggalkanku yang ngeri sendiri kalau Kak Danny tiba-tiba bangun dan menyerangku. Namun, aku lebih takut kalau Kakak ternyata tidak bangun lagi sampai kapan pun.

Aku jadi berpikir, apa aku harus panggil ambulans atau tetangga dulu untuk meminta bantuan? Atau mungkin sekalian saja minta bantuan polisi? Tidak. Aku tidak ingin Kak Danny diapa-apakan, meskipun ini sudah termasuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Bisa saja mereka mengira kalau aku menelepon karena Kak Danny menyakitiku. Bukan, bukan itu. Aku yakin Kak Danny memang benar-benar hanya sedang dirasuki seperti kata Will.

Orang yang menyelamatkanku datang dengan dua gelas air di kedua tangan dan gulungan tali tambang di salah satu bahu. Dia berjalan hati-hati saat melewati Kak Danny. "Ini, minumlah dulu," suruhnya sambil memberiku gelas di tangan kanan sementara tangan yang lain menyimpan gelas yang satunya di meja.

"Terima kasih." Kuhabiskan air itu dalam beberapa kali teguk. Tenggorokanku jadi lumayan enak setelah minum air hangat itu.

"Kita harus mengikat dengan erat untuk memastikan kakakmu tidak akan menyerang kita," kata Will. Aku sendiri tidak tahu persis apa yang dia lakukan karena terhalang oleh meja. "Kau mau membantuku?"

Aku tidak langsung menjawab. Jujur, pertanyaan itu sangat berat untuk aku jawab, seperti melakukan tindakan kejahatan, padahal aku tahu itu semua dilakukan semata-mata hanya untuk pencegahan.

"Tidak apa-apa, aku mengerti," lanjut Will.

Aku hanya bisa menunduk sambil menautkan kedua tangan.

Will langsung duduk di sofa panjang sesaat setelah selesai mengikat Kak Danny sambil menyerahkan ponselku yang retak di bagian ujung layar atas. Dia menurunkan sedikit resleting jaketnya sampai memperlihatkan kaus berwarna putih. Anak itu mengibas-ngibas dada sebentar, lantas meminum air yang dibawa untuk dirinya sendiri sampai habis.

"Ponselmu kenapa bisa begitu?" tanya Will seraya mengeluarkan ponsel sendiri dari salah satu saku celana jeans seolah tidak ada hal genting yang terjadi.

Aku memutar-mutar benda pipih hitam itu, lalu kuceritakan alasannya kenapa bisa sampai rusak. Sial, tidak bisa menyala.

"Kau sedang apa?" tanyaku melihat Will yang seperti akan melakukan panggilan hologram.

"Menghubungi orang terakhir yang harus tahu hal ini."

Tubuhku menegang. "Ka ... kau akan menghubungi polisi?! Bilang kalau kau akan memanggil ambulans," mohonku.

"Aku memang akan memanggil polisi, tetapi polisi divisi khusus." Alis Will naik satu pasti karena melihatku yang sudah pucat pasi. "Tenang, Asa, aku hanya akan memanggil Kak Mindy. Dia kan, anggota Shadows yang sudah sering menangani kasus seperti ini."

Untuk sesaat aku bisa bernapas lega mendengarnya.

Ketika tenagaku sudah cukup pulih, aku mendekati Kak Danny untuk melihat bagaimana keadaannya. Darah di pelipis Kakak sudah mengering. Kedua tangan kakakku diikat ke belakang dan kakinya bahkan ditekuk baru diikat di bagian betis dan paha. Terakhir, Will mengikat pergelangan kaki dan tangan Kak Danny jadi satu.

"Hai, Kak Mindy—"

"William! Sudah lama sejak kau menghubungi!"

Aku refleks menoleh pada Will. Dia sedang berbicara dengan hologram berwarna kebiruan transparan yang muncul dari ponselnya. Aku pun mendekati anak itu karena penasaran.

"Itu karena aku tidak ada urusan sampai harus menghubungimu," balas Will sambil mengerling. Tangan kanannya yang bebas mendorong wajahku yang terlalu dekat dengan pipinya.

"Huuu, kau mengontakku hanya saat ada butuhnya saja."

Will mendengus. "Terserah," gumamnya. "Omong-omong, apa kau bisa ke rumah Asa dan Kak Danny secepatnya—

"Oh, benar! Aku belum sempat menjenguknya sejak dia keluar rumah sakit. Kau tahu? Pekerjaanku sedang padat-padatnya. Bahkan akhir pekan ada saja yang harus kuurus—"

"Kak, ada hal yang lebih mendesak. Kami butuh bantuanmu."

"Apa itu?"

"Kode 307."

Kedua alis hologram Kak Mindy terangkat. Matanya membulat. "Aku akan segera ke sana." Setelah itu, panggilan hologram berhenti. Will kemudian memasukkan ponselnya ke saku celana.

"Apa itu kode 307? Kok, kau bisa tahu? Hal mendesak apa yang kau maksud?" cecarku karena Will sepertinya lebih tahu banyak hal dari yang kuduga.

Will menumpu pipinya dengan satu tangan seperti orang malas. "Kak Mindy selalu cerita soal pekerjaannya setiap kami bertemu. Dia sering mengatakan hal-hal yang seharusnya hanya diketahui kepolisian tanpa sengaja. Kode 307 artinya target bisa saja mengamuk sampai menghancurkan apa pun di sekitarnya." Tubuh Will menegap, mata hitamnya bergantian antara aku dan Kak Danny yang masih belum sadarkan diri. "Kau mengerti sekarang?"

Menghancurkan apa pun. Aku menelan ludah. "Mengerti ...," balasku sambil mengangguk lemah. Kulihat kakakku yang masih menelungkup dengan tangan dan kaki terikat.

Kak Danny ... sebenarnya Kakak telah berurusan dengan hal apa—

"Eh, tunggu! Bukankah seharusnya kita memanggil ambulans?! Kak Danny pingsan dan pelipisnya teruka, loh!" Aku panik sejadinya karena takut kakakku akan kenapa-kenapa. Jangan sampai serangan Will mengakibatkan luka serius karena sampai detik ini, Kak Danny belum menampakkan tanda akan sadar.

"Aku sudah bilang, kakakmu akan baik-baik saja, 'kan? Kau ingin aku memanggil ambulans dengan kemungkinan dia akan mengamuk saat di rumah sakit?"

Mataku menyipit. "Bagaimana kau bisa seyakin itu?" tanyaku. Terkadang aku tidak mengerti dengan jalan pikiran Will.

"Pengalaman," balas Will sambil membuang muka.

Aku tercenung mendengarnya.

~~oOo~~

Diterbitkan: 08/02/2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro