Kesadaran 26

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pengalaman, selain menjadi guru terbaik, juga yang membuat seseorang menjadi dirinya sendiri. Tidak hanya dari segi ingatan, tetapi juga kepribadian. Mereka saling bertautan, memengaruhi satu sama lain. Pengalaman masa lalu, memengaruhi diri masa kini. Apa yang terjadi sekarang, berpengaruh pada pilihan masa depan. Apa yang kualami, menjadikan aku sebagai aku. Sebuah esensi dari diri.

Tubuh hanya cangkang, tetapi bukan berarti tidak penting. Sama seperti data komputer lama yang dipindahkan ke komputer baru. Kita tidak bisa menyebut mereka satu bagian berbeda, pula tidak bisa melihat mereka dengan cara yang sama. Seperti kapal yang rusak dan terus diperbaiki sampai bagian yang terbuang dapat membentuk kapal yang serupa. Paradoks Kapal Theseus.

Kasus yang hampir sama terjadi pada Kak Danny. Tubuhnya milik kakakku, tetapi kesadaran yang menjadikan dia "Kak Danny" entah di mana. Kesadaran, sebuah konsep ataupun itu yang aku masih tidak tahu apa arti tepatnya.

"Apa yang terjadi?" tanyaku pada Will yang melihat ke luar dengan langit yang semakin jingga seperti sedang menerawang. Pengalaman yang dia maksud membuatku sangat penasaran. Pengalaman yang bisa membuatnya sampai di titik ini.

Namun, Will malah menggeleng. "Aku tidak ingin membicarakannya," jawabnya. Seolah ada kesedihan yang terpancar dari mata hitam sayu itu.

Kepalaku menunduk. Sepertinya, Will belum bisa terbuka kepadaku. Mungkin hal itu bisa membuatnya terbebani, membuatnya mengingat sesuatu yang sangat dia ingin lupakan, atau bahkan sesuatu yang tidak bisa dideskripsikan. Aku jadi merasa bersalah.

"Maaf," gumamku.

"Tidak perlu. Kau tidak salah apa-apa," balas Will.

Aku tersenyum kepada anak itu, lantas beralih menengok Kak Danny yang masih belum memperlihatkan tanda-tanda akan sadar.

"Aku ... hanya sangat khawatir pada Kak Danny. Dialah satu-satunya keluargaku saat ini. Aku tidak bisa membayangkan kalau aku kehilangan Kakak."

"Kau tidak punya keluarga yang lain memangnya?"

Aku menggeleng. "Ayah dan ibuku anak tunggal," sahutku sambil melihat Will kembali. "Kami tidak punya saudara lain. Aku tidak tahu kalau soal saudara dari para kakek dan nenek. Kalaupun ada, kami sudah lama tidak saling mengontak. Ayah dan ibu tidak pernah membahasnya. Bahkan saat kami jadi yatim-piatu, hanya tetangga yang datang untuk membantu dan mengurus pemulasaraan jenazah sampai selesai. Oh, dan kami juga sempat diurus beberapa waktu oleh mereka sampai Kak Danny benar-benar dapat pekerjaan di Shadows, serta kami dianggap sudah bisa mandiri."

Will mengangguk. Dia kemudian melihat ke arah luar. Lampu-lampu rumah lain sudah banyak yang dinyalakan. "Tapi kaubilang tetanggamu tidak dapat diandalkan?" tanyanya.

"Tetangga yang mengurus kami sudah pada pindah," tanggapku. "Orang-orang yang di sekitar sekarang apatisnya bukan main. Mereka tidak pernah keluar setelah pulang dari pekerjaan masing-masing. Mereka mungkin akan keluar kalau ada kebakaran. Tapi kalau untuk masalah pribadi seperti rumah tangga, mereka tidak ingin ikut campur." Aku menggeleng. "Kau jarang melihat orang lalu-lalang saat jalan ke sini, 'kan?"

Will mengangguk kecil. "Ya, mengurusi hidup orang lain memang tidak patut, tetapi ada kalanya kita harus turun tangan untuk menghindari jatuhnya korban jiwa. Seperti kasusmu."

Aku tersenyum miris. Benar, kalau bukan Will yang datang tepat waktu—dan itu pun aku yang menyuruhnya—aku pasti sudah pergi dari dunia ini.

"Aku bersyukur dapat mengenalmu lebih jauh—" Aku cepat-cepat meralat. "Bukan berarti aku bersyukur karena Kak Danny yang sakit jadi aku dapat mengenalmu lebih jauh. Aku hanya senang punya teman lain yang dapat dimintai bantuan saat genting—bukan berarti aku memanfaatkanmu! Sumpah, bukan!" Aku mengibas kedua tangan di depan wajah untuk mengusir pikiran buruk Will lantas menutup muka dengan satu tangan. Malu sekali aku, membuat cowok itu jadi salah paham seperti ini.

Kuintip Will dari balik jemari. Dia tersenyum sambil menggeleng sebagai tanggapan seperti orang yang tidak habis pikir dengan lawan bicaranya.

"Di balik setiap musibah, pasti ada hikmah yang dapat diambil. Seperti dua mata sisi uang koin. Tergantung bagaimana kau melihatnya. Merutuk, atau bersyukur. Bersedih, atau ikhlas."

Aku terkesima. Hal yang kusukai dari Will adalah selain cerdas, dia juga bijaksana.

"Ya ... dan pastinya tidak sepertimu. Aku seringnya menangis kalau sedang mengingat sesuatu yang menyedihkan atau menyakitkan. Lalu, Kak Danny ... akan memelukku sampai tenang." Aku tersenyum miris. "Dipikir-pikir lagi aku ini cengeng, ya? Aku bahkan memelukmu tadi sambil menangis."

"Tidak apa-apa. Tangisan adalah respons yang alami dari tubuh, baik itu sedih, sakit, takut, atau hal lainnya," balas Will sambil mengibaskan satu tangan. Dia mendelik ke arah lain. "Tidak perlu jadi cengeng untuk bisa menangis. Bahkan pria macho sekalipun sebenarnya diperbolehkan untuk melakukannya kalau dia sudah tidak tahan terhadap sesuatu. Persetan dengan kejantanan, air mata dimiliki siapa pun dan dapat dikeluarkan saat dibutuhkan kapan saja."

Entah kenapa aku merasakan kekesalan dalam nadanya.

Aku jadi penasaran. "Apa ... kau pernah menangis?" tanyaku ragu sebab itu terdengar seperti pertanyaan konyol dan Will juga sebelumnya enggan menjawab pertanyaanku.

Will menghela napas sambil mengerling. "Tentu saja pernah." Dia mendesah kasar sebelum melanjutkan. "Aku membencimu, Sa. Karenamu, aku jadi makin ingat kenangan yang sangat sulit aku terima."

Uh, menusuk tepat di dada. Namun, sejujurnya aku juga ingin bertanya, "Kenangan apa itu?" tetapi sepertinya malah akan membuat Will semakin kesal. Ada baiknya menunggu dia yang berinisiatif duluan.

"Mungkin sudah waktunya aku mengeluarkan ini daripada terus jadi duri dalam daging," lanjutnya seraya melihatku tajam.

Ini dia!

Cowok di depanku mengembuskan napas berat, seperti orang yang berusaha menenangkan diri. Matanya memejam sebentar, seolah memilah ingatan mana yang akan disampaikan.

"Terakhir kali aku menangis adalah ketika papaku meninggal," mulai Will. Tangannya terkepal dan air mukanya mengeras. Lagi-lagi dia mengembuskan napas perlahan layaknya orang yang berusaha menurunkan tensi emosi. "Lebih karena kecewa sebab aku tidak bisa menyelamatkannya." Will memandang lurus padaku. Matanya berkaca-kaca. "Papaku juga pernah terjebak di Kehampaan sama seperti Kak Danny. Itu sebabnya aku mau membantumu karena aku tidak ingin lagi ada yang bernasib sama seperti Papa."

Mataku membulat. Sekarang semuanya jelas. Will yang tampak tidak suka bersosialisasi rela menghabiskan waktunya untuk orang yang bahkan tidak terlalu dekat dengannya. Meskipun hal itu masih terasa janggal bagiku. Maksudku, kenapa orang introvert seperti Will (dia introvert kalau dilihat dari perilakunya, 'kan?) mau saja melakukan itu hanya karena punya satu kesamaan? Tolong seseorang beri tahu aku. Namun, aku tetap bersyukur. Satu kesamaan yang mendasar itulah yang membuat kami akhirnya jadi sahabat. Ah, aku harus belajar psikologi tingkah laku sepertinya.

"Sebelum Papa koma, aku sudah jadi Oneironaut. Salah satu orang yang dipilih oleh Somnium karena kemampuannya," lanjut Will. "Namun, karena aku terlalu senang dengan hadiah yang diberikan Mimpi, aku langsung memintanya tanpa berpikir panjang. 'Seorang sahabat,' kataku waktu itu, tetapi tidak langsung terkabul karena usahaku untuk mencari hal tersebut tidak kulakukan secara maksimal. Lalu, hal itu terjadi. Papa mengalami kecelakaan dan dinyatakan koma. Aku yang tahu penawaran dari Somnium bisa digunakan untuk hal ini langsung menyesal."

"Lalu?" tanyaku karena Will menjeda cukup lama.

"Aku meminta bantuan Mimpi, mencari kesadaran Papa, tetapi terlambat menyelamatkannya. Aku tidak bisa melewati penjaga Kehampaan, dan akhirnya Papa meninggal karena kondisinya terus menurun."

"Maaf, aku turut sedih," timpalku karena aku juga bisa merasakan apa yang Will alami. "Aku penasaran, jika kau berhasil menyelamatkan kesadaran papamu dari Kehampaan, apa ada jaminan beliau akan selamat? Kalau takdirnya memang meninggal meski sudah kauselamatkan bagaimana?"

Will memelototiku seperti seseorang yang baru menyadari suatu hal. Mata sayunya kembali memejam singkat. "Aku tidak tahu akan hal itu. Aku hanya berpikir kalau kesadarannya selamat dan Papa bangun dari koma, beliau akan terus bersama kami sampai sekarang."

"Berapa umurmu saat itu?"

Will membuang muka. "Tiga belas tahun."

"Masa remaja awal. Wajar kalau kau berpikir seperti itu." Aku memegang bahu cowok itu. "Dengar, Will, itu bukan salahmu," hiburku. "Kematian tidak bisa dicegah, diperlambat, atau bahkan dihentikan. Kau boleh saja sedih seperti katamu sampai berlinang air mata, tetapi jangan salahkan dirimu atas kepergian seseorang yang bahkan bukan disebabkan olehmu."

Will mengusap sesuatu di pipi kanannya. "Sialan. Aku benar-benar membencimu, Sa. Lihat apa yang sudah kau lakukan padaku."

Aku tertawa miris. Entah kenapa aku terdengar seperti orang berengsek yang telah membuat anak gadis menangis.

"Kalau soal pengalamanmu dengan orang kerasukan Nitemare itu bagaimana?" tanyaku mengalihkan topik. Eh, apa ini saat yang tepat untuk menanyakannya?

Anak itu melihatku tajam. "Kau benar-benar menghancurkan mood-ku, Sa," sergah Will sambil menepis tanganku. "Simpan saja itu untuk cerita lain."

Aku meringis.

"Kau tahu tidak, apa yang lucu? Kita membicarakan banyak hal seolah tidak ada hal mendesak yang sedang terjadi. Padahal Kak Danny sedang pingsan dengan pelipis berdarah dan tangan-kakinya terikat."

Will hanya menatapku jenuh.

Aku berusaha memalingkan pandang dari tatapan penghakiman cowok itu dengan melihat ke arah luar. "Kak Mindy kapan sampainya, ya?" tanyaku.

"Harusnya tidak lama lagi," jawab Will sambil menumpu dagunya dengan satu tangan. "Ia bilang akan segera kemari—"

Suara geraman seketika membuat kami berdiri. Aku langsung memfokuskan pandang ketika Kak Danny menggeliat di tempatnya. Tangan dan kaki Kakak menegang berusaha melepas ikatan.

"Ap ... apa yang harus kita lakukan?!" tanyaku panik.

Will tidak langsung menjawab. Matanya terpaku pada Kak Danny seolah sedang membaca situasi. "Aku akan mengencangkan ikatannya dulu. Kau bersiaplah memanggil bantuan," perintah Will sambil mendekati Kakak perlahan.

Aku bergantian melihat antara jalanan lengang dan Will yang kini sudah berjongkok di depan Kak Danny. Kuperhatikan terus lingkungan luar berharap ada orang yang kukenal dan bisa dimintai bantuan. Kalau aku meninggalkan mereka berdua, aku khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi. Aku sangat berharap Kak Mindy segera datang.

"Tenanglah, Kakak—"

Geraman kembali terdengar. Kali ini semakin kencang. Di tempatnya, Will terus berusaha menenangkan Kak Danny. Aku baru akan mendekatinya ketika anak itu menegang sebelum akhirnya terlempar dan menubrukku. Hanya dalam sekejap mata, Will sudah menindihku sampai aku sulit bernapas.

Will buru-buru bangkit lalu membantuku duduk. Sebelum aku benar-benar mengerti situasi yang terjadi, cowok itu sudah menerjang ke depan menghalau Kak Danny yang tegap menantang.

Ikatannya lepas ....

"Cepat minta bantuan, Sa!" perintahnya seraya kedua tangan anak itu dan Kak Danny saling dorong. Kedua kaki Will perlahan tersaruk mundur tidak kuat menahan kekuatan lawannya. "Cepat, Sa, jangan melihat saja!"

Teriakan Will berhasil menyadarkanku akan situasi. Namun, ketika aku akan pergi ke luar, Will yang memekik kesakitan membuatku kembali terpaku. Dia terdorong, lantas Kak Danny meninjunya sampai menghantam tembok di atas sofa.

"Akh!"

Beberapa foto yang tergantung bahkan sampai jatuh dan mengenai Will.

Tubuhku terpaku. Aku bergantian melihat antara Kak Danny yang menyeramkan dengan mata merah dan Will yang terkapar di atas sofa. Sial. Aku harus segera meminta bantuan atau semua akan jadi lebih buruk.

Dengan langkah bergetar, aku berbalik. Namun, pintu depan segera tertutup diiringi suara keras sampai aku jatuh terduduk karena kaget. Ketika aku melihat kembali ke belakang, Kak Danny sedang merentangkan tangannya ke depan seolah telah menutup daun pintu itu dari jauh.

Aku hanya bisa menganga sambil terbeliak tidak percaya. Itu adalah kekuatan pengendalian energi Kak Danny! Bagaimana mungkin Nitemare bisa sampai memengaruhi kekuatan inangnya?! Sial. Ini lebih buruk dari yang kuduga.

"Kak!"

Aku refleks melompat ke sofa terdekat saat Kak Danny menerjang. Benturannya dengan pintu lumayan kencang sampai membuat kaca jendela bergetar. Melihat mangsanya—aku—berhasil kabur, Kakak melepas tinju yang untungnya bisa aku tahan dengan meja yang kuangkat sekuat tenaga, diiringi suara gelas pecah.

"Kak Danny, sadarlah!" pekikku sekencangnya agar setidaknya ada orang luar yang mendengar perseteruan kami. Namun, hal itu tidak berpengaruh apa pun. Tidak ada yang datang dan Kak Danny pun terus memukul meja sampai tanganku gemetaran. Untungnya, meja jati yang kuat dan adrenalin membantuku bertahan, kalau tidak, aku sudah tumbang dari tadi.

Aku mengintip Kak Danny karena tiba-tiba Kakak menghentikan pukulan-pukulannya. Tubuhku menegang ketika kakakku yang terengah melihat Will yang masih terbaring tak sadarkan diri. Dengan cepat aku mengempaskan meja dengan sisa tenaga yang kumiliki berharap benda itu dapat menghentikannya.

"Will! Will! Bangun!" Aku mengguncang-guncang tubuhnya.

Anak itu seketika membuka mata dan melihat ke arah samping belakangku. Matanya membulat dan raut wajahnya mengeras. Dalam sepersekian detik, Will menggabrukku menghindari lemparan meja Kak Danny yang kini kakinya telah patah satu dan berhasil membuat dinding yang dihantam retak serta beberapa foto lain jatuh berserakan dengan kaca yang pecah.

"Wi ... Willl ...." Lagi-lagi aku memeluk Will dalam ketakutan. "Sepertinya kita akan mati hari ini ...."

"Ssstt! Jangan bilang seperti itu," sanggah Will. Dia mengangkat satu jari. "Dengar."

Aku berusaha keras menajamkan telinga di tengah geraman Kak Danny dan detak jantungku yang kencang. Suara sepeda motor.

"Kak Mindy cepatlah! Kami butuh bantuanmu!" teriak Will.

Tepat saat Kak Danny menarik tinjunya ke belakang bahu untuk menyerang, pintu depan terbuka diiringi seorang wanita berpakaian hitam khas Shadows yang menerobos masuk. Kak Mindy serta-merta meninju Kak Danny di wajah membuat kakakku terpental menabrak dinding.

"Gah! Sial, tanganku jadi sakit!" Kak Mindy mengibas-ngibaskan tangan kanannya sambil sesekali diusap-usap. "Kalian tidak apa-apa, Anak-Anak?" tanyanya dengan suara lembut sambil menghampiri kami.

Aku mengangguk lemah sambil masih memeluk Will erat.

Kak Danny kembali bangkit seraya memegang kepalanya. Matanya yang merah nyalang menatap kami tajam. Kak Mindy yang menyadari hal itu berbalik. Ia mengambil dua buah benda hitam berbentuk balok yang tersampir di pinggangnya. Ujung gawai itu mengeluarkan kilatan listrik dari batang-batang kecil ketika salah satu tombol ditekan.

Aku bergidik ngeri. Benda itu tidak akan membunuh kakakku, 'kan?

"Nah, Dan, akhirnya aku punya alasan untuk menyetrummu sampai pingsan pakai stun gun."

~~oOo~~

Diterbitkan: 09/02/2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro