Kesadaran 28

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Saat kukatakan "dari berbagai arah", aku tidak benar-benar mengatakan kalau zombi-zombi itu datang dari arah atas juga. Namun, biar kuralat, karena hal itulah yang terjadi saat ini!

Zombi yang Will tebas sebelumnya—dan berubah jadi asap—jatuh dari jendela bangunan di sekitar kami. Ternyata, tidak hanya satu, tetapi puluhan, menyebabkannya jadi seperti hujan. Aku dan Will harus menebas, mengoyak, memenggal mereka sebelum kami tergigit—dan jadi zombi mungkin? Itu konyol, sih, tapi siapa yang tahu—atau terjadi hal buruk lainnya yang tidak terbayang.

"Rencanaku adalah ...."—Satu zombi kutendang, lantas kutebas lehernya dengan pedang menyilang—"mencari tempat yang lebih tinggi agar bisa mencari kesadaran Kak Danny lebih cepat!"

"Kalau begitu, ayo!"

Will menarik tanganku. Dia melompat ke area yang masih terbuka, lantas tanah yang kami pijak seolah melecutkanku dan Will ke langit.

Aku refleks berteriak panik.

Will langsung mendarat di salah satu atap gedung yang datar, lalu berlari meninggalkanku. Sementara itu, aku menapak atap dengan wajah terlebih dahulu sambil berguling-guling.

"Asa, cepat!" teriak Will di kejauhan.

Getaran di tempat aku berada membuatku bangun seketika. Aku lekas menyusul Will secepat yang aku bisa saat anak itu meninggalkanku lagi dan melompati gedung-gedung.

"Kenapa kita tidak terbang saja?" tanyaku sambil sesekali terbatuk saat di sisi Will, masih dengan berlari.

"Terbang sama saja dengan kita menggunakan kekuatan imaji. Kau mau zombi-zombi itu juga terbang mengejar kita? Aku melompat saja imbasnya sudah seperti itu!" Will menunjuk ke bawah dengan tombak sambil meloncat ke gedung selanjutnya.

Mataku membulat. Tubuhku bergidik. Zombi-zombi yang kami lawan sebelumnya bersatu dan mengalir layaknya air di sungai mengikuti kami. Beberapa dari zombi itu yang tubuhnya membentur bangunan dan membentuk layaknya cipratan air bahkan mencoba naik ke gedung, tetapi gagal.

"Sudah cukup kecoa yang terbang, jangan zombi juga!" pungkas Will.

Tubuhku semakin bergidik mendengarnya. Hiii, kecoa zombiii!

Kami meloncat lagi ke salah satu gedung di sisi kanan. Kumpulan mayat hidup yang terus mengikuti kami itu semakin ganas seperti ombak di lautan. Mereka bahkan sempat membuat gelombang yang tinggi ketika aku melompat seolah ingin menarikku ke bawah, menenggelamkanku, mengoyakku, mencabikku, melenyapkanku—

"Asa! Fokus!" Will berteriak lantas mencengkeram tanganku sampai aku meringis.

Kami terus berlari di atap-atap bangunan yang tingginya kian bertambah. Gedung tertinggi yang kumaksud pun sudah terlihat. Gedung kehitaman dengan banyak jendela beratap datar dengan bagian seperti piramida di puncaknya.

Aku dan Will terus melompati gedung-gedung mendekati gedung target. Zombi-zombi di belakang kami terus mengejar seperti air bah.

Setelah pelarian panjang, kami akhirnya sampai di bangunan terakhir. Gedung tertinggi yang warna hitamnya berasal dari jendela-jendela kaca yang memantulkan warna bangunan di sekitarnya pun sudah di depan mata. Hanya ada satu yang menghalangi. Gedung yang kami pijak ternyata tidak sampai setengah si gedung tertinggi. Dan ada jurang berupa jalanan yang telah hancur di bawah. Satu-satunya jalan masuk adalah dari bawah gedung atau terbang ke atas yang memiliki banyak risiko.

"Kita akan menembusnya," kata Will tiba-tiba.

"Apa?" Aku berbalik padanya.

Tanpa menghiraukanku, Will mengambil ancang-ancang lalu lompat mengarah ke satu titik. Aku refleks mengikutinya tanpa sadar dengan risiko yang mengintai—jatuh ke jalanan dan dimakan zombi yang sudah seperti air bah.

Di udara, Will mengacungkan tombaknya ke salah satu jendela. Kaca jendela itu pecah berkeping-keping seperti debu ketika Will menembusnya dengan keren diiringi aku di belakang yang mendarat dengan—lagi-lagi—wajah terlebih dahulu. Tidak keren sama sekali.

"Aw ...." Aku meringis untuk kesekian kali, dan kali ini seperti ada serpihan kecil kaca di wajahku alih-alih semen atau kerikil.

"Asa, ayo!" perintah Will sambil membantuku berdiri.

Aku membersihkan tubuh sembari melihat sekeliling. Ada ironi di sini. Gedung tertinggi ini memang terlihat mewah dari luar, tetapi ternyata di dalamnya kosong melompong dan bahkan lebih seperti gedung yang baru dibangun; lantai semen putih, pilar-pilar penopang yang menyebar di seluruh lantai, pencahayaan yang hanya mengandalkan cahaya matahari yang kini bahkan sudah berwarna jingga seperti cahaya mentari sore.

"Sa, ayo!" Suara Will bergema. Baru kusadari kalau anak itu sudah tidak ada di dekatku. Sumber panggilannya berasal dari salah satu sudut. "Ayo, cepat!" ulangnya.

Aku menghampiri suara Will di sudut yang memiliki tangga. Kami lekas bergegas ke atas ketika getaran yang kemungkinan berasal dari para zombi terasa. Dengan langkah lebar-lebar kami menaiki tangga yang lebih mirip seperti tangga darurat.

Guncangan kembali muncul ketika kami sudah naik beberapa lantai.

Aku panik. "Apa zombi-zombi itu masih mengejar kita?" tanyaku berhenti sejenak di salah satu platform sambil menarik napas.

Will yang beberapa tangga di atasku juga berhenti. "Sepertinya ... karena mereka memang ditugaskan untuk melenyapkan kita," katanya dengan terengah. Dia melihat ke langit-langit. "Nitemare sumber yang menyerang mungkin lebih besar dari yang kita duga."

Geraman seperti monster yang kuyakin dari para mayat hidup itu menggema. Semakin dekat. Semakin keras.

"Cepat!" ajak Will.

Kami melangkah lebih laju. Kakiku bahkan sampai terasa pegal dan napasku makin pendek. Kalau aku bisa aku ingin sekali langsung terbang saja ke lantai teratas. Namun, seperti yang Will bilang, hal itu hanya akan membuat keadaan lebih buruk. Para zombi bisa lebih beringas dan lebih mematikan. Keseimbangan, katanya.

Aku tidak yakin kami sudah naik berapa lantai. Namun, aku yakin kalau kami sudah lebih dekat dengan lantai teratas. Terbukti dengan aku yang semakin lemas dan napasku yang sudah tidak kuat lagi. Tidak bisa jadi parameter memang, tetapi ketika aku dan Will sudah naik beberapa lantai lagi, sebuah pintu menghalangi kami.

Will segera membuka pintu itu, dan aku pun serta-merta menghambur keluar, lantas merebahkan diri sambil melihat ke atas, ke langit merah berawan merah muda dengan kilat yang sesekali menyambar. Napasku benar-benar satu-satu. Otot-ototku rasanya mau putus. Kalau di realitas, aku mungkin sudah mati karena kelelahan.

Ada suara pintu besi tertutup dan batang kayu yang diselot di belakangku. Itu Will yang menutup pintu tempat kami keluar yang berbentuk mirip piramida. Jika itu adalah untuk pencegahan agar para zombi tidak dapat mengejar, kurasa itu merupakan hal yang sia-sia.

"Ayo, Sa, ini bukan waktunya untuk tidur!" peringat Will sambil menarik tanganku untuk berdiri.

Bentang kota seketika menyapa ketika aku menatap sekeliling. Dari atas sini, aku bisa melihat semuanya dengan jelas. Bangunan-bangunan hancur maupun yang masih kokoh, makhluk-makhluk hitam yang bergerak cepat seperti semut, asap yang membubung dari salah satu sudut, bahkan matahari yang seolah akan tenggelam dengan warna jingganya, dan amukan seekor monster raksasa di tengah kota yang sedang menyemburkan api.

"Kita harus memanggil Somnium," ujar Will dari tepi bangunan. Tatapan matanya lurus ke makhluk setengah kambing seperti yang pernah kuhadapi sebelumnya.

"Bagaimana mungkin? Kau mau meminta Kak Mindy membuka jalurnya lagi?" tanyaku agak khawatir mengingat katanya hal itu bisa membuat kesadaran si Nitemare bisa saja menembus ke realitas.

"Somnium adalah mimpi itu sendiri. Dia bisa ada di mana saja sekehendaknya, menembus ruang dan waktu tanpa terkekang oleh apa pun," jawab Will yakin. "Datang ke sini bukanlah hal yang sulit."

"Oke, aku mengerti—"

Gedung tempat aku dan Will berpijak tiba-tiba bergetar diiringi geraman yang menggema. Guncangannya semakin hebat seperti terkena gempa ketika sebuah tangan raksasa mencengkeram tepi gedung. Dalam satu entakan, sebuah kepala yang meraung muncul disertai tangan lain yang menggebrak atap menghalangi pemandangan kami.

Zombi, zombi, zombi ... makhluk itu adalah kumpulan zombi yang menyatu. Tubuhnya yang menonjol-nonjol terdiri dari mayat-mayat hidup yang menggeliat seraya mengulurkan tangannya seperti ingin menarik lalu memakanku. Bahkan ketika mulutnya terbuka, hanya ada tubuh-tubuh manusia yang bergerak-gerak tak keruan.

Lupakan matanya! Makhluk itu tidak memiliki mata. Rongganya kosong. Keseluruhan tubuhnya sudah cukup menjadi indra penglihatan dengan ratusan mata para zombi yang berwarna merah darah; melihat, mengintai, mengawasi setiap gerak-gerik mangsanya.

Aku ingin muntah.

Makhluk itu meraung sambil mengangkat satu tangan.

Aku berhasil mengelak mundur dengan pedang bersilang di depan wajah, ketika tangan si zombi menggebrak—membuat beberapa zombi terpencar. Serpihan-serpihan zombi yang terlempar membentuk individu baru. Mayat hidup yang utuh berjalan patah-patah, sedangkan yang terpotong bergerak merayap. Namun, jumlah ini terlalu banyak untuk disebut beberapa.

Aku menebas satu dari kanan, lantas berputar mengoyak yang datang dari kiri. Kuputar tubuh dengan cepat sambil menyabetkan pedang ketika zombi lain yang ada di belakangku hampir dekat. Dengan sekuat tenaga kutebas mereka sampai menjadi asap sebelum dapat mendekatiku.

Gedung kembali berguncang ketika tangan lain si zombi induk menggebrak. Kali ini Will yang harus menghadapi kumpulan zombi-zombi itu saat dia hendak ke arahku.

"Ini tidak wajar! Ini sudah termasuk anomali!" teriak Will sambil terus mengoyak dengan tombaknya, sementara aku menendang lantas menebas setengah zombi di udara.

"Lalu apa yang harus kita lakukan?!" timpalku seraya memenggal beberapa kepala mayat hidup jelek sekaligus. "Apa memakai kekuatan imaji tidak apa-apa?"

Aku mengambil napas sejenak saat zombi di bagianku sudah sedikit.

"Jangan!" sentak Will. Dia berputar seraya terus menyabetkan senjatanya. "Panggil Somnium seperti rencana sebelumnya!"

Uh, sial. Aku lupa mantranya. Semoga saja benar. Aku ingin sekali Will yang melakukan, tetapi sepertinya dia sedang sibuk. Tidak ada pilihan lain.

Aku menarik napas. "Wahai, Somnium sang Entitas Mimpi—"

Guncangan lebih besar terjadi. Raungan dari zombi induk lebih dari sekadar suara. Puluhan mayat hidup keluar dari mulut makhluk menjijikkan itu layaknya muntahan yang membanjiri. Mereka merayap, merangkap, menyeret tubuh sebelum akhirnya berdiri dengan susah payah.

Banyaknya mayat hidup yang tumpah seperti air bah membuatku sampai harus mengungsi ke atas atap piramida yang terbuat dari kaca. Sambil terus berpegangan pada ujung besi atap mirip penangkal petir, aku mengelak dan menebas setiap zombi yang dilemparkan untuk menyerangku. Untungnya kaca yang ada cukup licin membuat para makhluk menjijikkan itu tidak bisa naik lebih jauh.

Sementara itu, Will—mana Will?! "Will!" Sial! Dia tidak terlihat di mana pun! "William!" Aku berteriak sekencang mungkin berharap ada respons. "Will!" pekikku sekali lagi sambil menendang satu zombi yang melompat ke arahku.

Namun, tidak ada jawaban. Hatiku mulai janggal. Pikiranku dipenuhi hal-hal tidak enak. Tidak. Tidak. Tidak. "Will, jangan bercanda! Aku tidak bisa melakukan ini sendiri!" Hanya ada raungan zombi dan jeritan samar-samar di kejauhan.

Mayat hidup dari tangan-tangan dan mulut si zombi induk semakin bertambah. Mereka merayap saling bertumpuk ke atas atap piramid, memperpendek jarak denganku. Kalau tidak segera bertindak, aku akan gagal karena dimakan makhluk-makhluk itu dalam hitungan detik.

Ugh! SIAL!

"Wahai Somnium sang Entitas Mimpi!" teriakku sekeras mungkin seraya menebas satu zombi yang meloncat. "Mewujudlah dalam imaji yang tak bertepi!" Kutendang mayat hidup lain yang mendekat. "Datanglah kemari! Kami butuh bantuanmu juga saat ini!"

Satu detik, tak terjadi apa-apa. Detik berikutnya kumpulan cahaya seperti kunang-kunang muncul dari udara kosong. Mereka berkumpul membentuk satu sosok di atasku dengan jubah putih panjang, bertudung, beraksen emas.

Somnium mengangkat kedua tangannya yang panjang. Dengan satu sapuan cepat, udara berembus kencang di sekitar kami. Para zombi dan induknya seketika terpaku, tetapi meraung kembali lebih ganas. Mimpi lantas mengangkat tangannya lebih tinggi. Makhluk-makhluk itu menjerit seperti kesakitan. Mereka membatu, retak, lalu berubah menjadi asap disertai raungan yang memilukan. Para Nitemare itu menghilang bagai debu yang dibawa angin.

Aku terpaku. Itu tadi tak terduga.

Mimpi turun perlahan. Saat berada di tepi bangunan, dia berhenti lantas berbalik. Aku menyusulnya dengan tertatih.

"Untunglah kau datang tepat waktu!" ucapku penuh syukur. Setelah pergulatan panjang akhirnya aku bisa sedikit lega. Namun, ada yang kurang. "Somnium, aku kehilangan Will!"

Aku refleks diam ketika Mimpi menunjuk tangannya ke arah kiriku. Kuikuti arah jemarinya dan mendapati Will sedang berjalan penuh luka sambil menumpu pada tombak. Dengan segera kuhampiri anak itu.

Will ambruk tatkala aku memeluknya. Napasnya tersengal tak keruan lebih parah dari orang asma. Hal yang paling menyedihkan adalah luka-luka di tubuhnya. Penuh dengan koyakan, cabikan, dan gigitan.

Aku membaringkan Will agar dia bisa memulihkan lukanya lebih cepat. Kusandarkan dia ke sisi atap piramida dengan sebelumnya kubuat tempat pembaringan Will terlapis kapas empuk dengan kekuatan imaji.

"Kau tidak apa-apa, Sobat?" tanyaku khawatir karena Will seperti orang yang berusaha terjaga dengan mata setengah tertutup. Namun, dia hanya diam. Hal itu membuatku semakin risau.

Aku tidak tahu bagaimana dia bisa sampai seperti ini. Cabikan di lehernya. Luka melintang di wajahnya. Darah yang keluar dari mata kiri. Koyakan di dada seperti serangan binatang buas. Luka gigitan di tangan sampai beberapa bagian kulitnya terbuka memperlihatkan bagian berwarna merah. Pakaiannya robek-robek pula. Lukanya pasti lebih parah dari yang terlihat sampai regenerasinya sangat lama.

Tidak. Seharusnya tidak selama ini.

"Will?" Aku memanggilnya untuk memastikan kalau dia masih bersamaku. Ya, dia masih bersamaku. Bibirnya terbuka sedikit, tetapi suaranya tidak ada. Aku beralih pada Somnium karena takut terjadi apa-apa pada sahabatku itu. "Kenapa dia tidak pulih cepat?"

Dengan suara semilir angin Somnium menjawab, "Itu karena superposisi. Kekurangannya, kau akan merasakan sakit yang sama di realitas. Regenerasi juga akan lebih lambat karena dipengaruhi oleh tubuh fisik. Kalau kau ingin cepat pulih, kau harus terbangun lebih dahulu, mengurus tubuh fisikmu, lalu beristirahat di teritorimu."

"Kau adalah Mimpi! Tak bisakah kau melakukan sesuatu seperti yang kau lakukan pada zombi-zombi itu?" mohonku. Sebisa mungkin aku menahan air mata yang hampir tumpah sejak aku tidak bisa mendengar suara Will.

"Zombi-zombi itu adalah anomali, sedangkan kondisi William adalah konsekuensi atas pilihannya. Kita hanya bisa menunggu sampai dia pulih atau membangunkannya. Itu pula harus dengan kehendaknya."

Will ....

Dia seperti ini karena membantuku untuk menyelamatkan kesadaran Kak Danny, menyingkirkan Nitemare yang menyerang.

"Somnium, sang Entitas Mimpi, bisakah kau menyelamatkan kesadaran Kak Danny, melenyapkan Nitemare yang ada, dan mengembalikan teritori ini seperti semula?" pintaku. Sekuat tenaga kutahan air mata yang ingin keluar. Jujur, aku sudah tidak sanggup lagi dengan keadaan yang ada. "Nitemare yang menyerang teritori kakakku bukanlah Nitemare biasa. Kalau anak buahnya saja anomali, bukankah makhluk itu juga anomali? Kau seharusnya bisa menyingkirkannya, 'kan?"

"Kenyataannya tidak semudah itu, Asa. Jika semua mimpi buruk bisa aku singkirkan sekaligus, aku tidak perlu meminta manusia menjadi seorang Oneironaut dan mengorbankan kebebasan mereka. Lagi pula, Bafomet bukanlah Nitemare sembarangan. Ada koneksi antara manifestasi itu dan seseorang di realitas. Asalnya yang dari alam lain juga membatasi kehendakku atas makhluk itu. Namun, aku bisa membantumu dengan menyegelnya."

Bafomet? Makhluk yang katanya iblis berkepala kambing itu? Dia Nitemare yang bisa dikendalikan? Dari alam lain juga katanya? Dan sekarang aku harus menghadapinya sendirian? Bagaimana mungkin?

Aku hanya bisa terdiam lesu sambil mengepal.

Sebuah sentuhan mengenai jemariku. Will dengan tangannya yang masih terluka berusaha menggapaiku, aku menggenggamnya. "Tenang ... Asa .... Kita ... akan menghadapinya bersama ...," bisiknya lemah sambil terus berusaha untuk tetap tersenyum.

Hatiku sakit melihatnya. "Aku ... akan berusaha untuk tidak merepotkanmu dari sekarang," janjiku. Tanpa bisa dibendung lagi, air mataku menetes. "Ayo ... kita berburu Nitemare."

~~oOo~~

Diterbitkan: 11/02/2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro