Kesadaran 29

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Langit telah menjadi gelap saat Will sudah bisa sedikit menggerakkan tangan dan kakinya. Hanya ada bintang di angkasa teritori Kak Danny dan kobaran api di berbagai tempat yang jadi penerangan. Suara jeritan dan gonggongan anjing yang waspada menjadi latar suara yang menambah cekaman malam ini.

Bafomet masih mengamuk di salah satu area kota. Dia terus menyemburkan api sambil sesekali mengayunkan tangan atau menendang bangunan-bangunan yang dilewati, seolah makhluk itu ingin meratakan setiap sudut kota sampai tidak ada lagi yang tersisa.

Aku kagum dengan Kak Mindy yang bisa membuat penghalang sehingga Nitemare itu tidak bisa menyeberang lagi ke realitas. Aku juga terkesan pada kesadaran Kak Danny yang masih bertahan saat aku belum bisa menemukannya. Ya, belum. Namun, hal itu tidak akan lama lagi. Aku akan segera bertemu dengan Kakak dan menyelamatkannya.

"Kau siap, Will?" tanyaku pada cowok yang ada dalam rangkulanku.

Dengan bantuan Mimpi dan fokusku, aku jadi lebih cepat bisa mendeteksi kesadaran Kak Danny berada. Kami—setidaknya aku, mungkin—telah siap untuk menghadapi mimpi buruk itu.

Will mengangguk sambil tersenyum walaupun itu terlihat sangat dipaksakan.

Dengan satu langkah besar, aku meloncat dari tepi gedung. Aku, Will, dan Somnium terbang melewati kota yang hancur. Masih tetap fokus pada kesadaran Kak Danny, kami terus mendekati tempat Bafomet berada.

Kami melewati gedung-gedung tumpang-tindih, bangunan yang terbakar, dan puing-puing menara. Terus mendekat ke arah Bafomet yang telah menghancurkan setengah kota dan meratakannya dengan tanah. Juga ke tempat di mana kesadaran Kak Danny menuntunku.

"Sinyal Kakak berasal dari sana!" tunjukku dengan dagu sebisa mungkin karena kedua tanganku telah penuh merangkul Will.

Kami mendarat di tepi area yang belum tersentuh amukan si Nitemare Kambing, lantas bersembunyi terlebih dahulu di antara bangunan yang meski telah menjadi puing, tetapi masih berdiri kokoh. Di balik dinding yang hanya setengah membentuk bekas jendela, aku mengamati sekitar.

Di depanku, lapangan hitam dengan abu pembakaran dan jelaga terhampar. Beberapa puing gedung yang masih kokoh maupun yang sudah hancur berserakan menjadi ukuran kecil. Api berkobar di beberapa titik jadi penerang. Terdengar di kejauhan suara-suara hewan malam menemani. Raungan yang menggetarkan gendang telinga mendera kemudian. Guncangan bumi yang keras menyusul setelahnya.

Aku refleks melihat ke langit-langit di mana debu-debu berjatuhan akibat guncangan. Untungnya, tidak ada tanda-tanda tempat kami akan roboh. Setidaknya aku bisa bernapas lega untuk sementara waktu.

Aku melepas rangkulan Will. Kupastikan napas cowok itu sudah mulai stabil dan luka-lukanya beregenerasi meskipun masih lambat.

"Tunggulah di sini bersama Somnium. Aku akan mencari kesadaran Kak Danny," kataku kepada Will. Aku lantas beralih pada Mimpi. "Ini mungkin lancang, tapi aku sangat berharap kau menjaga Will seperti kau menjaga Unrealm dalam keseimbangan, Mimpi."

"Jangan bicara seperti itu, Asa," tolak Will. "Aku bisa menjaga diriku sendiri."

"Aku sangat ingin percaya, Will," balasku masih merasa bersalah. "Tapi dengan kondisimu yang sekarang, butuh lebih dari sekadar kepercayaan." Aku bergantian melihat Will dan Somnium. "Aku pergi."

Tanpa melihat ke belakang, kulewati setiap reruntuhan yang ada, kuloncati setiap puing yang menghalangi. Aku berlari di tengah padang penuh jelaga diiringi rasa waswas terhadap serangan Bafomet yang bisa datang kapan saja. Disertai guncangan dan ledakan di kejauhan, terus kudekati kesadaran Kak Danny yang terpancar dari sisi lain area yang musnah tak jauh dari tempatku mendarat.

Aku berhenti sekejap untuk memastikan di mana tepatnya kesadaran kakakku.

"Kak Danny!" panggilku dari tengah area yang hancur. Kuperhatikan setiap sudut dari bangunan-bangunan yang luluh-lantak sampai ke dinding api yang menghalangi. Kutajamkan pula telinga agar tidak hanya suara raungan atau gonggongan saja yang terdengar. "Kakak!" Aku memanggil sekali lagi.

" ... Sa!"

Kak Danny?

"Asa!"

Sebuah bayangan bergerak cepat di antara tembok-tembok runtuh dengan api sebagai latar belakangnya. Figur bersenjata laras panjang itu lantas berlari mendekat disertai guncangan dari arah lain.

"Kak Danny!!!" pekikku sambil memperpendek jarak dengannya. Namun, hal itu juga membuat guncangan dan getaran yang mendekatiku semakin terasa. Sepertinya suaraku telah memancing makhluk itu mendekat.

"Asa!"

"Kak—"

Bafomet yang tingginya seperti gedung puluhan lantai menjejakkan kakinya di antara aku dan Kak Danny, menyebabkan empasan angin yang kuat. Aku sampai terpental ke belakang hingga membentur tanah yang keras, menghasilkan bunyi kertak dari tulang punggung.

"AAAA!!!!"

Aku lekas bangkit hanya untuk terbeliak menemukan kakakku yang tengah digenggam oleh makhluk itu. Dalam cengkeraman Bafomet, Kak Danny menggeliat berusaha melepaskan diri.

"KAKAAAK!!!"

Aku lekas mengeluarkan kedua pedang. Aku sudah tidak peduli lagi dengan yang kuhadapi. Akan kutebas si Nitemare Kambing meskipun ukurannya berkali-kali lipat dari yang kuhadapi sebelumnya. Hanya demi Kak Danny.

Aku lekas berlari mendekat sekencang mungkin tatkala lengan makhluk itu mencubit Kak Danny seperti ingin memasukkannya ke mulut. Kulemparkan satu pedang ke arah lengan si Bafomet, tetapi senjataku terpental ketika kena. Saat aku akan menyerang untuk kedua kalinya, mulutku terbuka lebar dan mataku seakan mau copot. Kakakku jatuh tepat ke mulut si Nitemare yang terbuka!

Teriakan Kakak mengiringi kejatuhannya, lalu senyap.

Glek!

"Kak Danny!!!"

Aku berlari, melompat tinggi, lantas menyabetkan pedang pada dada si Nitemare terkutuk itu. Namun, sebelum aku dapat menyentuhnya, sebuah tangan raksasa bercakar hitam menepakku.

"Aaagh!!!"

Aku terlempar sangat keras sampai ke area gedung-gedung yang masih utuh, menembus tembok, menghantam bebatuan. Kerasnya benturanku bahkan membuat bangunan-bangunan yang kulalui runtuh perlahan. Aku yang sudah tidak bisa bergerak masih harus terkubur hidup-hidup oleh puing-puing yang berjatuhan. Gelap. Sesak. Berat. Sakit.

Mungkin ada baiknya kalau aku langsung sadar ke realitas dan memulai semuanya lagi dari awal. Tidak. Sudah sejauh ini. Aku tidak bisa merepotkan siapa pun lagi untuk kedua kalinya.

Dinding yang menguburku terangkat perlahan. Seseorang dengan tombak yang digunakan seperti pengungkit menyingkirkannya dengan mudah. Dia lantas mengulurkan tangan.

"Lihat siapa yang tidak bisa menjaga diri," sindir orang itu sambil tersenyum penuh kemenangan.

Aku menerima uluran tangannya, lantas bangkit.

"Kenapa kau malah ke sini?" tanyaku sambil menepuk-nepuk tubuh dari debu.

"Dan membiarkanmu terluka parah atau"—Will mengangkat bahunya—"entahlah ... mati, begitu?"

Aku menggembungkan pipi kesal. Jangan mati dulu, dong.

Somnium yang ikut menyusul bersama Will melerai. "Tidak ada waktu untuk berdebat. Kita harus memisahkan kesadaran kakak Asa sebelum dia melebur dengan Bafomet. Kalau tidak, tubuhnya akan diambil alih dan tidak ada lagi cara untuk menghentikannya selain dibunuh."

Aku waswas. "Dibunuh?"

"Tubuh fisiknya," tegas Mimpi.

Mataku membulat. Sial. Kenapa semuanya jadi semakin rumit?

Hatiku tidak tenang. Tidak. Ini tidak boleh terjadi. Aku tidak bisa kehilangan siapa-siapa lagi. Semua ini harus segera diselesaikan.

"Kalau begitu, ayo!" Aku segera berlari menuruni tumpukan puing-puing. "Somnium, apa rencanamu?" tanyaku di tengah napas yang menderu menuju ke tempat Bafomet berada.

"Aku bisa menahan pergerakannya, lalu menuntun kalian untuk memisahkan kesadaran Danny dan Bafomet," papar Mimpi.

Aku mengangguk meskipun aku lebih memilih Somnium langsung menyingkirkan mimpi buruk itu. Aku pun beralih pada Will. "Will, kau sudah sehat?"

"Belum!" sahut anak itu yang tertinggal di belakang. "Tapi, aku sudah dapat berlari. Sebentar lagi aku pasti bisa segera bertarung bersamamu."

Aku meringis. Ingin sekali aku menyuruh Will beristirahat lebih lama, tetapi saat ini aku memerlukan seluruh bantuan yang bisa kudapat. Meskipun dari awal, seluruh itu hanya berarti Will dan Somnium.

Kami tiba di area perbatasan antara bangunan-bangunan yang masih kokoh berdiri dengan kawasan yang telah hancur lebur. Segera kumunculkan lagi pedang yang hilang dari udara.

Kini, dua pedang ada di tangan. Aku siap menyerang.

"Aku akan maju," laporku pada Will dan Somnium.

"Aku akan istirahat sebentar," timpal Will sambil mengambil napas. Dia bertumpu pada tombak dengan dada yang naik-turun dengan cepat.

Aku mengangguk, paham dengan kondisinya.

Aku berlari maju. "Kapan pun kau siap, Somnium!" teriakku sambil menerjang ke arah Bafomet yang masih mengamuk. Makhluk itu berteriak seperti orang kesetanan—dia bahkan lebih buruk dari setan—seraya sesekali menyemburkan api dari mulut.

Dentuman. Ledakan. Guncangan. Semua berpadu seiring aku berlari di tengah padang hitam penuh jelaga, arang, dan puing-puing yang hancur. Tak terhitung aku harus menyeimbangkan diri berapa kali ketika bumi bergetar saat aku semakin dekat dengan makhluk itu.

Tinggi puluhan meter. Kulit sekeras batu hitam dengan urat-urat yang dialiri magma. Kuku tangan setajam pedang. Wajah kambing berjanggut dengan tanduk zig-zag—bukan melengkung seperti yang terakhir kuingat. Mata merah besar menyala. Dia Bafomet, si Nitemare Kambing dari Alam Lain.

Pijakanku bergetar ketika rantai-rantai keluar dari dalam tanah. Aku sampai jatuh terduduk karena gagal mempertahankan keseimbangan. Dalam syok sebuah suara tak asing masuk ke kepalaku.

"Aku akan mengikat Bafomet, kau dan Will serang perutnya di mana solar pleksus berada. Kalian akan menemukan kesadaran Danny di sana selagi belum melebur dengan makhluk itu," jelas Somnium.

Aku mengangguk. Serang perut, keluarkan kesadaran Kak Danny, habisi si Kambing, masalah selesai.

"Oke!" Aku bangkit berdiri.

Rantai-rantai Somnium mengikat Bafomet di beberapa sisi; tubuh, kaki, lengan, leher. Makhluk itu menggeliat berusaha melepaskan diri. Sesekali kepalanya menengadah mencoba menghancurkan ikatan leher, tetapi sia-sia. Sedikit demi sedikit, rantai-rantai itu mengencang membuat kulit-kulit batunya hancur perlahan. Nitemare kambing itu berteriak sampai mengeluarkan api dari mulut yang menjurus ke angkasa yang gelap. Lama-kelamaan, ukurannya pun mengecil akibat ikatan hingga hanya sebesar gedung lima lantai.

Kesempatan!

Aku melompat menggunakan rantai-rantai yang mengikat sebagai pijakan. Sesekali guncangan dari si Nitemare Kambing membuatku terjatuh sampai aku harus bergelantungan. Dengan hati-hati kuayun tubuh, kembali menjejak di atas rantai. Satu, dua, seimbang. Aku harus naik satu tingkat untuk mendapatkan pijakan yang mantap sebelum menyerang.

Rantai kembali bergoyang diiringi suara raungan. Lecutannya membuatku harus berpegangan erat lagi. Saking kerasnya getaran, tubuhku sampai turun-naik seperti kain di tali jemuran.

Perutku rasanya diaduk-aduk. Aku mau muntah!

Ikatan di tangan kanan si Nitemare Terkutuk berhasil lepas. Rantai yang membelenggunya di mana aku berada melecut bagaikan cambuk, mengentakkanku seketika ke atas, melewati kepala si kambing. Aku berteriak panik karena tidak menduga ini akan terjadi. Namun, ini pula kesempatanku untuk menyerang.

Aku menghunuskan pedang. Saat aku tepat berada di depan perutnya, kutancapkan pedang sekuat tenaga. Makhluk itu meraung. Tubuhnya yang bergerak kesakitan membuatku harus bertahan seperti daun terakhir yang tertiup angin. Kiri-kanan-atas-bawah. Tancapan pedangku semakin dalam. Sedikit demi sedikit aku pun menurun, menghasilkan sayatan.

Bafomet berteriak semakin histeris. "BERANINYA ... KAU ...!" geramnya. Asap keluar dari mulut dan hidung kambingnya.

Aku menegang. Sepertinya mulai saat ini aku harus terbiasa dengan Nitemare yang dapat bicara.

Tanpa awas dengan keadaan, tangan Bafomet yang telah lepas mencengkeramku. Aku menggeliat dalam genggamannya, berusaha melepaskan diri. Akan tetapi, makhluk itu mengepalkan tangannya semakin kuat sampai aku sesak napas. Aku kira aku akan mati, tetapi makhluk itu malah melemparkanku seperti bola bisbol.

"Aaaaa!!!!" Jujur, aku sudah bosan dilempar-lempar seperti barang tak berharga semenjak masuk ke teritori Kak Danny.

Aku tidak membentur apa pun. Aku tidak terluka sedikit pun. Will menyelamatkanku tepat waktu meskipun hal itu membuat kami jadi berguling-guling di atas tanah karena lecutanku yang cepat—dalam arti yang buruk. Dia lantas mengurai rengkuhannya dan kami pun mengambil napas banyak-banyak bersama.

"Terima ... kasih, Will ...," ucapku terengah. "Kau ... sudah sehat?"

Will mengangguk. "Lumayan ...."

Suara Somnium kembali berdengung di kepalaku. "Jangan membuang-buang waktu lagi," ingatnya. Hanya peringatan, tetapi kami tahu hal itu amat mendesak.

Setelah istirahat sebentar, tenagaku akhirnya pulih. "Ayo, Will," ajakku sembari membantu anak itu bangkit.

Aku membayangkan kedua pedangku lagi, mereka kembali. Will mengulurkan tangannya ke depan, tombaknya muncul dari udara. Kami berdua siap menerjang seiring rantai Somnium yang membelenggu lagi tangan Bafomet yang terlepas.

Aku melihat Will sebagai tanda, dia mengangguk.

Kami menerjang. Aku dari kiri, Will dari kanan. Kuhindari serangan-serangan api yang masih bisa dilontarkan Nitemare itu dari mulutnya. Bola api memelesat dari depan, aku mengelak ke kiri. Guncangan lagi-lagi terasa, kumantapkan setiap langkah.

Aku meloncat lagi ke atas rantai. Kali ini, dengan gerak cepat sebelum setiap guncangan dapat menjatuhkanku. Sementara itu, Will dengan mudahnya berlari di atas rantai seperti seorang ahli akrobat.

Will semakin dekat dengan perut Bafomet, aku pun memperpendek jarak. Dengan gaya pegas kudorong tubuh menggunakan rantai. Seolah telah direncanakan sebelumnya, aku dan Will melompat bersama. Serangan kami saling silang. Kedua pedangku menyayat perut makhluk itu, tombak Will mengoyaknya pula. Erangan tak tertahankan terdengar dari mulut si Nitemare terkutuk.

Ini baru permulaan.

Aku menjejak lagi ke rantai di seberang hanya untuk mendapatkan gaya dorong. Kuputar tubuh sambil menghunuskan kedua pedang. Kuincar perut makhluk itu di mana kesadaran Kak Danny katanya berada.

Jleb!

Kedua pedangku berhasil bersarang. Si Bafomet mengerang.

"Will, bantu aku!" pintaku sambil menggoyang-goyangkan tubuh agar senjataku membuat sayatan seperti sebelumnya.

Si Nitemare Kambing menggeliat semakin menggila. Kedua tangannya bergerak berusaha melepaskan diri dari cengkeraman. Rantai-rantai bergerak seperti gelombang laut di tengah badai.

Will meloncat tatkala rantai yang dipijaknya membentuk bukit. Dia memutar tombaknya, lantas menancapkannya dalam sekali tusukan. Erangan, raungan, guncangan. Semua berpadu bersamaan dengan kami yang terus mengoyak perut makhluk itu.

Satu pedang untuk berpegangan, satu lainnya untuk mengoyak. Seranganku dan Will membuahkan hasil. Aku dapat melihat siluet di dalam perut Bafomet yang terbuka.

"Kakak!"

Aku mengulurkan tangan ke dalam. Ewh. Kenyal. Lengket. Busuk. Akan tetapi, aku bisa merasakan yang lain. Kulit. Telinga. Hidung. Itu wajah Kak Danny. Aku terus meraba, mencoba menggapai lengan kakakku agar mudah ditarik keluar di tengah getaran yang mendera. Sial, sulit. Aku terpaksa melongo ke dalam agar lebih mudah menariknya dengan kedua tangan.

Aku seperti masuk ke guci yang dipenuhi dengan cairan aneh berbau amis. Pengap. Sempit. Seperti diguncang gempa. Sebisa mungkin kutahan itu semua lantas kutarik lengan kiri Kak Danny yang telah kudapat.

"Will, bantu aku!" mohonku. Sekuat tenaga kukeluarkan Kak Danny dari dalam sana.

Getaran kembali terasa. Raungan memekakkan telinga. Ada sesuatu yang terputus. Rantai.

Sesuatu menarikku bersamaan dengan aku yang berhasil mengeluarkan Kak Danny dari perut Bafomet. Namun, sayangnya itu bukan Will. Itu adalah lengan si Nitemare Kambing yang mencabutku paksa, lantas melemparkanku bersama Kakak dengan keras.

"Aaaa!!!"

Aku terbang di angkasa tanpa tahu apa yang harus kulakukan. Aku panik! Bagaimana dengan Kak Danny?!

"Akh!"

Aku jatuh membentur tanah seperti bola meriam. Terpantul. Menggelinding. Terkulai lemas. Samar-samar aku bisa melihat Kak Danny juga terbanting tak jauh dariku. Aku meyakinkan diri. Kak Danny tidak akan merasakan apa yang kurasakan. Ini mimpi baginya.

Namun, hal baik tidak terjadi pada Will. Ketika aku melihatnya, anak itu sedang melawan Bafomet mati-matian. Dia melompat di antara rantai, menyabetkan tombaknya, mengelak dari serangan lengan yang tajam.

Kedua lengan Bafomet telah lepas sepenuhnya dari belenggu rantai. Makhluk itu jadi bisa melawan Will dengan mudahnya. Bahkan hanya dengan satu lengan, si Nitemare Kambing berhasil mencengkeram Will, membenturkannya ke tanah.

Aku ingin sekali membantunya, tetapi badanku enggan bergerak. Tubuhku terpaku. Mataku bahkan hanya bisa terbelalak saat api dari mulut si Nitemare Terkutuk membakar Will.

Serpihan cahaya terbang ke angkasa dari bawah jemari Bafomet.

Hal terakhir yang dapat kurasakan dari sahabatku itu adalah jeritannya yang memilukan. Setelah itu, aku tidak bisa merasakan kehadiran Will. Aku tidak merasakan kesadarannya.

"Will?" Tidak. "William!!!"

~~oOo~~

Diterbitkan: 12/02/2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro