Kesadaran 30

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Itu karena superposisi. Kekurangannya, kau akan merasakan sakit yang sama di realitas."

Kata-kata Mimpi kembali teringat di benakku. Kalau memang demikian, Will pasti merasakan sakit yang tak tertahankan. Diremas. Dibenturkan. Dibakar. Remuk. Lebur. Terburai. Dengan rasa sakit yang seperti itu, apa Will masih bisa selamat? Ataukah .... Tidak! Tidak! Aku tidak sanggup membayangkannya. Terlalu mengerikan.

Aku jatuh berlutut. "Somnium! Kenapa kau membiarkan ini terjadi?!" teriakku tidak terima. "Padahal dengan kuasamu ... Will ...."

"Cukup!" Suara Mimpi seolah ada di dekatku. "Kau masih memiliki tanggung jawab yang harus dipenuhi. William juga bisa diselamatkan asalkan urusanmu di sini selesai."

Aku berbalik ke belakang. Somnium benar-benar ada di sini, bukan berupa suara dalam kepala.

"Kau harus tabah, Asa. Pada akhirnya, kau akan sendirian. Hanya dirimu sendiri yang dapat menyingkirkan rasa takut, bukan orang lain." Mimpi kemudian mengangkat satu tangannya. Kak Danny yang tak jauh dariku dan sedang mengerang lantas melayang, mendekatiku dan Somnium. Dia lalu jatuh terduduk sambil memasang wajah seperti orang yang kebingungan. "Tuntaskan tanggung jawabmu. Kakakmu akan aman di sini bersamaku," lanjut Mimpi.

Kak Danny yang menatap Somnium seperti orang yang ingin bicara, tetapi segan. Mulutnya yang terbuka tertutup lagi. Dia tersenyum bodoh ketika Mimpi melihatnya balik dengan datar. Tipikal kakakku.

Dentuman dan getaran menyadarkanku kalau keadaan masih belum baik-baik saja.

"Sekarang, pergilah. Aku akan membantumu dari sini," pungkas Somnium.

Aku mengusap air mata yang mengalir di pipi, bangkit, lalu berbalik.

Somnium benar, masih ada hal yang masih harus aku selesaikan. Bafomet terkutuk. Dia harus segera lenyap dari dunia ini.

Aku mengulurkan tangan ke depan, pedangku yang hilang kembali. Kutarik napas dalam untuk menstabilkan diri. Tarik. Buang. Fokus.

Aku siap.

Kuambil ancang-ancang, lantas menerjang. Dengan secepat kilat aku melintasi padang hitam penuh arang dan jelaga yang menyaru dengan kegelapan malam. Meski hanya berbekal bintang dan kobaran api di kejauhan serta pendar dari si Nitemare Kambing sebagai penerangan, akan kuhabisi makhluk itu meski perbedaan kami seperti anak kucing dan manusia dewasa.

"LENYAPLAH KALIAN ... PARA ONEIRONAUT!"

Bola-bola api mendekat cepat, aku gesit mengelak. Menghindar ke kiri, berguling ke kanan, melompat ke atas. Aku bahkan harus mengoyak dengan pedang tersilang saat satu bola api tak dapat kuhindari. Kutahan sekuat tenaga rasa panas yang menjalar ketika benda itu terburai melingkupi tubuhku.

Ini tidak ada apa-apanya dengan rasa sakit yang diderita Will.

Namun, tidak hanya serangan panas yang mengintai. Tanah yang kupijak berderak. Bebatuan besar runcing mencuat mengikutiku. Hal ini mengingatkanku saat aku bertarung dengan Nitemare yang menyerupai Kak Danny ketika ujian kelulusan Oneironaut. Oleh karena itu, aku sudah bisa mengatasinya.

Aku melompat ke atas, pilar tajam raksasa mengikuti. Kutebas ujung runcingnya sampai menyisakan bagian rata di mana aku bisa berpijak. Kuhindari setiap bebatuan tajam lainnya yang menyerang dari kiri, kanan, depan, belakangku. Tebas, hantam, hancurkan. Aku melompat keluar saat ada kesempatan dan mendarat di area yang lebih leluasa.

"Keseimbangan telah dilanggar." Itu suara Somnium di kepalaku. "Kau bisa menggunakan kekuatan imaji untuk menyerang sekarang."

Aku refleks menghantam tanah dan membentuk dinding batu untuk menghalau pilar-pilar tajam yang kembali mengincarku.

Aku berbalik menuju si Bafomet. Kekuatan imaji bisa dipakai. Ini akan jadi pertarungan yang epik.

Hal pertama yang kupikirkan untuk melawan makhluk besar itu adalah dengan membuat tandingannya. Bisa tebak? Yap! Golem raksasa! Tanah di bawahku bergerak seiring aku yang membayangkan sesosok makhluk besar yang terbuat dari kumpulan bebatuan keras.

Sebuah tangan raksasa dari batu kecokelatan kemudian menyembul dari dalam tanah. Jemarinya berkuku tajam terbuat dari kristal terkuat yang pernah ada; berpendar di tengah kegelapan malam. Tangan lainnya muncul diikuti sebuah kepala plontos dengan gurat-gurat retakan bebatuan.

Aku melompat ke bahu makhluk itu sebelum dia dapat berdiri sepenuhnya dengan kaki yang terbentuk dari karbon hitam padat yang amat kuat. Dengan berpegangan pada kepala si Golem, aku mempertahankan keseimbangan. Dari posisi ini, aku seharusnya bisa mencari celah yang tepat agar bisa memenggal kepala Bafomet dengan efektif.

Raungan bergaung, geraman membalas. Bafomet meninju, golemku menangkis. Tubrukan tersebut membuatku harus berpegangan lebih erat kalau tidak mau terjatuh. Semestinya aku melompat untuk memenggal kepala makhluk terkutuk itu, tetapi untuk menapak dengan benar saja rasanya sulit.

Tidak. Bukan waktunya untuk main aman.

Golemku melancarkan serangan balasan. Namun, Bafomet lebih cepat. Pukulan makhluk terkutuk itu di dada membuat raksasa tanahku oleng.

Aku segera berlari menyusuri tangan si Golem, lantas melompat saat jari-jarinya sejajar dengan kepala Bafomet. Kubayangkan sebuah tanah yang melayang di mana aku bisa berpijak, tepat di depan si Nitemare Kambing. Dengan imaji yang kukumpulkan, kubayangkan sebuah sayatan besar yang dapat membelah gunung.

Slash!

Benar-benar gunung yang kutebas. Lebih tepatnya puncak batu runcing yang mencuat, dan ada lebih banyak yang muncul. Aku terlambat mengelak. Beberapa ujung tajamnya berhasil menggoresku. Di bahu, di kaki, di wajah.

Aku tidak bisa mengontrol tubuh. Aku jatuh sambil menabrak bebatuan, tergores, terkoyak. Sebisa mungkin aku keluar dari hutan keras itu. Kutancapkan satu pedangku di salah satu pilar sebelum aku sendiri berakhir tertusuk. Dengan langkah zig-zag cepat, aku memijak setiap pinggiran batu sambil mencari celah.

Namun, sial. Tidak ada jalan keluar. Aku terpaksa berimprovisasi. Kutebas setiap pilar runcing yang muncul. Potong kiri, koyak kanan. Aku berputar seperti pisau pemotong rumput menghancurkan bebatuan yang ada hingga hancur berkeping-keping sampai akhirnya aku berhasil terbebas.

Aku selamat, tetapi tidak dengan golemku. Raksasa batu itu tumbang. Tubuhnya hancur berkeping-keping, meluruh menjadi kerikil karena hantaman dan tusukan pilar-pilar tajam. Debu-debu pekat dari si Golem beterbangan menghasilkan tabir serupa asap; menyembunyikan sosok Bafomet yang hanya menampakkan mata merah berpendar.

Mata itu melihat ke arahku.

Aku cepat mengelak ketika sebuah batu raksasa memelesat mendekat. Dentuman besar dari kepala golemku yang mendarat disusul tanah yang bergetar menerjang. Dengan cepat aku menghindar lagi ketika puluhan bebatuan lainnya melayang mengincarku.

Ternyata percuma. Membayangkan sesuatu yang tak terhancurkan tetap bisa ditandingi dengan imaji yang setara. Satu hal yang tak kumengerti. Di mana Somnium saat dibutuhkan?!

Aku berlari mencari tempat yang tepat untuk menyerang balik. Hujan batu yang intens dan bola-bola api yang beterbangan kulawan dengan dinding beton yang kokoh dan tebasan yang kuat.

Aku berhenti lumayan jauh dari si Bafomet. Dalam jarak-yang semoga-aman, kuangkat kedua senjataku ke atas. Kubayangkan ribuan pedang dan tombak berbagai bentuk dan ukuran mengelilingi si Nitemare Kambing. Petir-petir menyambar dari ujung tajamnya ke seluruh bilah.

"Ini hadiah dariku dan Will."

Aku menebas udara. Seluruh senjata tajam yang kubayangkan meluncur secepat kilat, tepat ke arah Bafomet. Sebagian dari mereka kena dan melukai si Kambing Terkutuk, sebagian lagi memeleset. Asap-asap keluar dari luka-lukanya. Makhluk itu menggeram dan berteriak. Suaranya seperti dapat membelah angkasa.

Akan tetapi, serangan itu tidak serta-merta membunuhnya. Bafomet malah melancarkan serangan balik. Dia menangkis beberapa pedang dan tombak, lalu melemparkannya kembali ke arahku.

Aku sigap membentuk pelindung. Senjata-senjata yang membentur pertahananku menyebabkan getaran yang hebat. Beberapa di antara mereka bahkan menembus tembok yang kubuat dan berhenti tepat di depan hidungku.

"Baiklah, saatnya untuk serangan kedua."

Pikiranku berhenti sejenak ketika sebuah suara menginterupsi. "Cukup, Asa. Keseimbangan telah pulih. Kau tidak boleh menggunakan kekuatan imaji lebih jauh kalau tidak ingin Bafomet semakin kuat atau pertarungan ini tidak akan berakhir," peringat Somnium.

Ini tidak adil. Aku tidak terima. "Kau mengatakan tentang Keseimbangan di saat pertarungan ini tidak seimbang sama sekali dari awal!" protesku. "Lihat badan besarnya! Aku bahkan seperti anak kucing dibandingkan dengan makhluk itu! Di mana kau saat aku membutuhkanmu?!"

"Dengan aku di sisimu telah membuktikan kalau pertarungan ini seimbang."

"Kalau begitu bantu aku sampai akhir!" teriakku ke angkasa, ke tempat di mana pun Somnium berada. Air mataku hampir lolos karena putus asa. Hal yang kuinginkan hanyalah menyelamatkan Kak Danny, kenapa itu sangat sulit?

Namun, tidak ada jawaban dari Mimpi. Sialan!

Setelah sekian lama aku menunggu, akhirnya rantai Somnium kembali. Rantai-rantai itu mengikat si Nitemare Kambing seperti saat pertama. Namun, lebih kuat dari sebelumnya. Ketika makhluk terkutuk itu ingin bergerak, asap-asap keluar dari bagian tubuhnya yang terikat, diiringi gelegar pekikan yang membelah langit.

"Bertarunglah, Oneironaut!" perintah Somnium.

Aku menyiagakan kedua pedang.

"Semuanya akan berakhir di sini!!!"

Aku berlari, lantas melecut seperti meriam menggunakan pilar yang kumunculkan. Bola-bola api yang terbang tidak menggoyahkanku. Kulawan itu dengan satu tebasan menyilang. Musnah. Lenyap. Menghilang. Tidak ada yang bisa menghentikanku.

Karena aku adalah Asa. Karena aku adalah harapan.

Aku semakin dekat. Kuarahkan mata pedangku tepat ke kepala si Bafomet Terkutuk.

"Hyaaa!"

Pedangku menancap tepat di ubun-ubun si Nitemare Kambing. Makhluk itu berteriak sambil menggerakkan kepalanya tak keruan. Satu pedangku tertanam lebih dalam sebagai pegangan, satunya lagi kutusukkan berkali-kali.

Ini untuk Kak Danny! Ini untuk William!

Bafomet berteriak dan mengeluarkan api sambil menengadah, menyebabkan aku tergantung hampir jatuh. Sebisa mungkin aku bertahan, tetapi beban tubuhku tidak mau kompromi. Sedikit demi sedikit aku bergerak ke bawah. Kukira itu buruk, tetapi hal itu malah membuat tusukan pedangku menghasilkan sayatan yang memanjang.

"Graaaahhh!!!" Si Bafomet memekik kencang.

Makhluk Terkutuk itu mengentakkan kepalanya ingin aku lepas. Aku terpelanting ke atas, berputar-putar. Bola-bola api masih dengan senang hati menemaniku. Kutebas dan kuhalau mereka sekuat tenaga dengan pedang yang terus kugenggam dengan erat.

Di titik tertinggi, aku berhenti.

Aku jatuh dan mendarat tepat di bahu makhluk itu. Sigap, aku berlari ke arah lehernya. Dengan dua pedang yang disatukan dan satu kaki sebagai poros, aku berputar. Sekuat tenaga kuayunkan senjata.

"MATILAH KAU, IBLIS!!!" Kali ini aku tidak akan gagal!

Slash!

Koyakan melintang menganga. Kepala dan tubuh terpisah. Asap tebal keluar dari hasil tebasanku.

"Asa, pergi dari sana!"

Somnium? "Kenapa-"

Sebuah gelombang mendorongku sampai terempas dari atas si Bafomet. Aku meluncur cepat ke bawah tanpa tahu apa yang terjadi. Hal yang aku mengerti hanyalah terdapat asap yang menguar dari seluruh tubuh si Nitemare Kambing dan ledakan yang bersahutan.

"Akh!"

Aku mendarat di bebatuan yang keras. Rasanya sakit sekali. Aku sampai bergelung menahan ngilu, nyeri, dan perih di dalam asap hitam yang perlahan menyebar dari tubuh si Nitemare Terkutuk.

"Asa, aku akan memulai proses penyegelan. Keluar dari sana sekarang!" Somnium berteriak kencang di dalam kepalaku sampai rasanya mau pecah. "Asa!"

"Aku mengerti!" timpalku sambil berusaha keluar dari asap yang mengepung.

Aku terus bergerak meski harus dengan merangkak. Sulit rasanya untuk menggerakkan satu kaki saja. Sepertinya rasa lelah dan sakit yang kurasakan berkumpul menjadi satu mengetahui lawan yang ada telah kalah. Pada akhirnya, aku hanya bisa berbaring dengan napas terengah sambil melihat langit ketika berada di tempat yang lebih aman, jauh dari asap yang mengungkung.

Awan menggulung di angkasa membentuk pusaran tepat di atas Bafomet yang kini tak berkepala. Petir dan guntur menggelegar. Kilat menyambar-nyambar.

Dari tengah pusaran yang bergelung, cahaya keunguan muncul. Warnanya seperti campuran nila dan emas, berputar-putar bagai minyak dalam air yang dikocok. Lama-kelamaan, warna ungu keemasan itu melebar seperti portal yang terbuka mengempaskan awan di sekeliling. Dari dalamnya, kilatan listrik memercik.

Angin dingin yang menusuk tulang berembus, membawa kumpulan asap yang menguar dari si Nitemare Terkutuk ke atas. Perlahan, rantai yang mengikat makhluk itu melonggar seiring tubuhnya yang membentuk pusaran angin terbang ke angkasa.

Rantai Somnium pun lenyap menjadi debu keemasan yang melayang bersama Bafomet yang terserap seutuhnya ke dalam pusaran. Secepat portal itu terbuka, secepat itu pula tertutup. Dalam satu kedipan mata, pusaran keunguan itu mengecil sesaat asap terakhir dari si Nitemare Kambing masuk seutuhnya, menghasilkan gelombang energi yang mengempaskan semua yang ada di langit.

Angkasa penuh bintang menjadi pemandangan terakhir yang dapat dilihat malam ini.

"Akhirnya selesai ...." Ada sesuatu yang tak dapat aku tahan. Rasa lega dan senang yang bergejolak di dada. Senyum kemenangan pun tidak bisa aku bendung.

"Asa!" Seseorang memanggil.

Aku bangkit dan mendapati Kak Danny sedang berlari ke arahku ditemani Somnium di belakangnya. Tangan Kakak terbuka lantas memelukku erat. Aku mendekapnya balik.

"Asa ...," gumam Kak Danny. Nadanya seperti seseorang yang ingin menangis.

"Kak ...." Aku juga hampir mengeluarkan air mata. "Akhirnya-"

"Ini belum berakhir." Somnium menginterupsi. "Masih ada yang harus kaulakukan, Asa."

Aku melepas pelukan. Kepalaku tertunduk. "Will ...."Somnium benar. Aku masih belum bisa merayakan ini. "Kita harus segera kembali, Kak," ujarku pada Kak Danny.

Kakakku mengangguk.

Namun, sebelum itu, aku melakukan reset terlebih dahulu. Kuayunkan tangan dari kiri ke kanan. Perlahan, semua kerusakan diperbaiki seperti semula. Api menghilang. Tanaman-tanaman tumbuh. Bangunan-bangunan kembali menyatu. Aku, Kak Danny, dan Somnium terangkat dan berakhir di rooftop sebuah gedung. Pemandangan kota dalam imaji kakakku dengan segala hiruk-pikuk kehidupan dengan lampu-lampu dan kebisingannya kembali.

"Tugasku di sini telah selesai," ucap Somnium. Dia terburai menjadi cahaya keemasan, lantas menghilang.

Sekarang, hanya ada aku dan Kak Danny.

Aku menatap Kakak sambil tersenyum. Kupegang bahunya sambil berujar, "Sekarang, kita akan menyelamatkan Will."

"Apa yang harus Kakak lakukan?" tanya Kak Danny.

"Kakak harus ...." Oh, tunggu. Aku juga tidak tahu apa yang harus diperbuat sebenarnya. Dan aku baru ingat kalau Kak Danny kemungkinan besar tidak akan ingat apa yang kukatakan di sini. "Kakak harus bangun," pintaku pada akhirnya.

Kak Danny hanya tersenyum.

"Sampai bertemu di realitas, Kak."

Kesadaran kakakku lambat-laun menguap. Teritorinya pun menyusul menghilang. Sekarang, hanya ada langit Unrealm yang berwarna-warni bagai nebula yang bergerak dan tanahnya yang serupa pasir gurun. Tidak ada benda hitam aneh seperti yang kulihat terakhir kali setelah teritori Kak Danny lenyap.

Sesudah kupastikan tidak ada hal mencurigakan yang dapat mengakibatkan masalah lainnya, aku kembali ke teritoriku sendiri yang berperan sebagai gerbang penghubung antara realitas dan Alam Imaji.

"Saatnya kembali."

Aku menutup mata, dan saat kubuka lagi, langit-langit putih serta cahaya menyilaukan menyapaku. Aku mengerjap-ngerjap menyesuaikan penglihatan.

"Aw ... kepalaku ...."

Tubuhku yang pegal, sakit, dan ngilu menegap ketika aku mendengar suara Kak Danny yang meringis. Namun, tampaknya gerakanku terlalu cepat sampai aku sendiri pusing dibuatnya.

"Asa! Danny! Kalian sudah sadar!" Kak Mindy berteriak di depan kami-eh, tunggu dulu.

Aku berbalik ke belakang dan mendapati tempat seharusnya Kak Mindy berada sudah digantikan oleh dua bantal, satu untukku dan satunya untuk Kak Danny.

"Dan, kau harus cepat menolong William!" teriaknya lagi sambil memeluk Will.

"Huh?"

"Will!" Aku segera mendekati orang yang sedang terbaring lemah sambil memejam dalam rengkuhan kakak sepupunya itu. Ada noda darah di bibir dan lebih banyak bercak merah di jaket Will. Kulit putih anak itu juga menjadi semerah kepiting rebus. Napasnya tidak stabil. Saat kusentuh tangannya, aku seperti memegang ceret yang baru saja dipakai untuk merebus air hingga mendidih. Aku sampai refleks menarik tangan kembali. Kak Mindy tidak terpengaruh kemungkinan karena pakaian dan sarung tangannya terbuat dari bahan yang tahan panas.

"A ... apa yang terjadi?" tanya Kak Danny melotot dengan kedua alis terangkat.

"Nanti kujelaskan, sekarang pakai kekuatanmu untuk menyembuhkan Will!"

Aku mundur untuk memberikan Ka Danny ruang.

Kakakku langsung duduk bersimpuh di depan Will yang telah dibaringkan. Tangan Kakak merentang ke depan di atas perut sahabatku. Cahaya hangat kehijauan transparan muncul di antaranya, lantas menyebar ke seluruh tubuh Will.

Sedikit demi sedikit, kulit Will yang kemerahan kembali putih seperti semula. Napasnya menjadi tenang. Kelopak mata anak itu bergerak-gerak.

"Will?" panggil Kak Mindy lirih.

Mata Will perlahan terbuka. Dia mengerjap-ngerjap sebelum akhirnya menerawang sekeliling dengan lemah.

"Kak Mindy?" Will bangkit bersamaan dengan Kak Danny yang berhenti menyembuhkannya. Dia dibantu duduk oleh Kak Mindy yang lantas memeluknya.

"William!" seru kakak sepupu Will seraya terisak. "Aku kira aku akan kehilanganmu. Tante Elisa akan membunuhku kalau sampai itu terjadi ...."

"Setidaknya kita akan bersama-sama di akhirat," timpal Will.

Kak Mindy melepaskan pelukan dan menghadiahi anak itu sentilan di dahi. "Jaga bicaramu!" Dan Will memegangi jidatnya sambil mengaduh. Meskipun bersikap seperti itu, aku tahu Kak Mindy sangat khawatir kepada Will.

Yap, kalau Will sudah bisa bersikap satire, itu artinya dia telah sehat kembali. Dan aku lega dia sudah dapat seperti itu sampai aku juga memeluknya erat.

"Maafkan aku," sesalku. "Karena aku, kau ...." Air mataku keluar. "Ini kedua kalinya kau seperti ini. Maaf ...."

Will mengusap punggungku. "Sudahlah."

"Apa ... William harus ke rumah sakit?" Kak Danny mengingatkan hal yang paling penting.

"Be ... benar!" Aku melepas pelukan. "Lukamu pasti parah kalau sampai seperti ini." Kulihat dengan saksama bekas darah yang mengering di sudut bibir Will. Apa dia muntah darah sangat banyak sampai membasahi jaketnya seperti ini?

"Aku tidak apa-apa. Apa kau tidak ingat terakhir kali aku ke rumah sakit karena bertarung di Unrealm? Aku sungguh tidak apa-apa."

"Tapi, Will, kau memakai teknik superposisi. Ini beda kasus!" tekanku. Tubuh panas, muntah darah, apa yang tidak apa-apa coba? Aku benci dengan orang keras kepala seperti ini.

"Aku ... hanya butuh istirahat."

"William, kau yakin?" tanya Kak Mindy sama seperti kekhawatiranku.

Will melihat kami satu per satu. Dia mendesah. "Baiklah, tapi biarkan aku istirahat sekarang. Nanti kalau aku sudah bangun dan masih merasa sakit, bawa aku pergi."

"Biar Kakak bantu," tawar Kak Danny.

"Aku bisa sendiri-"

Namun, Kak Danny sudah membopong Will tatkala anak itu gagal ketika menyeimbangkan diri. Kakakku lantas membawanya ke kamar bekas orang tua kami. Will langsung tidur kembali sesaat dia melepaskan jaket yang penuh darah dan selimut telah menutupi tubuhnya.

"Jadi, ada yang mau cerita apa yang terjadi?" tanya Kak Danny sambil duduk bersila di depan kasur.

Aku menempatkan kepala di paha Kak Danny. Sesekali Kakak memijat bahuku karena aku yang minta sebab tubuhku masih pegal. Sementara itu, Kak Mindy di sisi lain bersandar di pundak kakakku. Di titik ini, aku sangat penasaran dengan kedekatan mereka sampai kakak sepupu Will itu bisa melakukan hal seperti ini. Tunggu, kenapa aku baru menyadari ini, jangan-jangan mereka-

"Jadi, saat Will tersadar, dia tiba-tiba terjatuh dari sofa dan muntah darah." Kak Mindy memulai ceritanya.

Sepertinya aku harus menunda spekulasiku.

"Dia terbatuk sambil berguling-guling. Mulutnya terbuka seperti orang yang ingin berteriak, tetapi tidak ada suara yang keluar. Dan seperti yang kalian tahu, kulit Will memerah dan suhunya meningkat drastis," lanjut Kak Mindy. "Aku langsung memeluknya dan kucoba untuk menenangkannya. Aku baru akan menghubungi rumah sakit, tetapi aku teringat dengan kalian." Kak Mindy melihatku dan Kak Danny bergantian. "Aku bimbang. Aku terlalu lama berpikir dan hanya diam di tempat berjam-jam karena panik sampai akhirnya kalian kembali."

Berjam-jam? Sebenarnya berapa lama kami di Unrealm? Aku jadi terpikir, apakah ada perbedaan waktu antara realitas dan Alam Imaji? Terkadang di mimpi seperti baru sebentar, padahal kenyataannya sudah lama. Apakah ini ada hubungannya dengan relativitas waktu?

Oke, ini sepertinya bukan waktu yang tepat untuk membahas itu.

Aku bangkit dan menengok ke arah Will yang sedang tidur. Wajah anak itu menghadap ke kanan memperlihatkan ekspresi yang damai. Napasnya halus.

Kata orang, bila kau ingin melihat wajah terjujur orang lain, lihatlah wajah mereka saat tertidur. Aku setuju dengan itu. Karena saat kita di alam bawah sadar, hubungan kita dengan realitas terputus sementara, menunjukkan kita yang sebenarnya.

"Maafkan aku." Aku berbalik, menunduk. "Kalau aku tidak ceroboh, Will tidak akan terluka seperti ini."

"Tidak. Semua ini salah Kakak. Kalau Kakak lebih berhati-hati saat bertugas, kalian tidak akan terlibat dengan semua ini," tampik Kak Danny.

Kak Mindy ikut menambakan. "Tidak, tidak, ini semua salah-"

"Ya, saling menyalahkanlah, kalian." Will menukas masih dengan posisi yang sama. Kami bertiga refleks melihatnya. "Semoga hal itu dapat mempercepat pemulihanku."

"Maaf, Willy. Apa kami membangunkanmu?"

"Menurut kalian?"

"Sebenarnya tadi aku mau bilang ini semua salah penjahat yang menyerang karena membuat kita berakhir dalam keadaan seperti ini." Kak Mindy mengangkat bahu. "Tapi, mari kita lupakan sejenak masalah ini dan nikmati malam yang tersisa, sebelum digempur pekerjaan dan tugas yang membuat ingin mengubur diri," tambahnya sambil kembali menyandarkan kepala di bahu Kak Danny.

"Benar." Aku setuju. "Yang penting masalah ini telah selesai, dan tidak ada korban yang jatuh," kataku sambil kembali menempatkan kepala di paha Kak Danny.

"Terima kasih, ya, Mindy. Kau juga, William. Kau rela sampai seperti ini. Aku berutang banyak padamu. Terutama kau, Asa. Kau adalah adik yang hebat. Kakak bersyukur memilikimu." Kak Danny mengusap kepalaku lembut. "Kakak menyayangimu, Sa."

Hatiku menghangat. Kelegaan memenuhi dadaku. "Aku juga sayang Kakak."

~~oOo~~

Diterbitkan: 13/02/2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro